> CHAPTER 4

CHAPTER 4

 Kamu saat ini sedang membaca  Eroge no Akuyaku ni Tensei Shitanode Mobu ni Narukotoshita volume 1 chapter 4. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw




Keesokan harinya, saat aku tiba di sekolah, Saita sudah duduk di tempatnya. 


Sambil mengamatinya sebentar, aku berjalan menuju tempat dudukku.


Di kelas, masih belum banyak orang. 


Ini kesempatan yang bagus untuk berbicara tentang perjalanan kemarin. 


Tapi, aku tidak bisa mendekatinya untuk berbicara, jadi aku hanya mengabaikannya.


...Bagaimanapun, aku bosan. Sangat bosan.


Setelah merasakan kehidupan di universitas, jujur saja sulit untuk menjalani kehidupan sekolah seperti biasa. 


Pagi dimulai sangat awal, dan pelajaran berlangsung penuh dari jam pertama hingga jam ketujuh.


Karena aku sudah mempelajari materi ini sebelumnya, mungkin aku bisa dibilang sedikit lebih baik. 


Tapi di sisi lain, karena aku sudah menghafalnya, semuanya terasa sangat membosankan.


Mungkin karena aku sibuk setiap hari, aku tidak berminat untuk bersantai dan membaca. 


Jadi, aku mengeluarkan buku pelajaran. 


Secara teori, ini adalah hasil pembelajaran dari kehidupanku sebelumnya, tapi belajar tidak pernah ada ruginya.


Saat aku menghabiskan waktu menggambar-gambar iseng dengan pensil mekanik untuk ujian tengah semester mendatang, aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku.


"Nishikoji-kun."


Bersamaan dengan suara yang memanggilku, aku merasakan tepukan di bahuku. 


Aku sedikit terkejut, tapi segera berbalik.


"Ah, Saita. Selamat pagi."


Saita, dengan senyum segarnya yang selalu terlihat mencurigakan, mengintip apa yang ada di tanganku.


"Kau sudah mulai belajar untuk ujian tengah semester? Cepat sekali."


"Tidak, aku hanya bosan. Itu hanya kebetulan saja."


Di kehidupanku sebelumnya, biasanya aku belajar untuk ujian semalam sebelum ujian. 


Aku bukan tipe orang yang belajar secara konsisten dan teratur.


Saita mengangguk seolah-olah dia mengerti dan melanjutkan pembicaraan.


"Ngomong-ngomong, hari ini sepertinya Marui-sensei guru matematika tidak masuk."


"Benarkah? Jadi kita belajar mandiri?"


"Iya, iya. Beruntung sekali, kan? Tadi pagi aku dengar beritanya di ruang guru."


Pelajaran matematika itu sangat membosankan, dan kalo aku sampai tertidur, aku pasti akan dibangunkan dengan pukulan buku teks di kepalaku. 


Selain itu, pekerjaan rumah yang diberikan setiap selesai pelajaran sangat banyak, jadi aku benar-benar senang hari ini hanya belajar mandiri.


"Ngomong-ngomong, Saita, kau kan ketua kelas, ya?"


"Ah~, iya, sebenarnya aku dipaksa."


"Kau sial, ya."


Peringkat pertama dalam ujian masuk adalah Ayame, dan Saita berada di peringkat ke-2. 


Dalam bimbingan pertama, Sensei yang sudah tahu hal ini merekomendasikan Saita sebagai ketua kelas.


Dengan rekomendasi Sensei, tentu saja tidak ada siswa yang menolak, dan Saita akhirnya menjadi ketua kelas dengan terpaksa.


Seolah-olah tidak ada yang terjadi kemarin, Saita terus mengobrol.


Sambil menjawab seadanya, Narita datang, dan secara alami kami mulai berbicara bertiga hingga bel berbunyi. 


Pada saat yang sama, Sensei masuk ke kelas dan memulai bimbingan pagi.


Sekilas, ini adalah adegan kehidupan sekolah yang biasa tanpa hal yang aneh.


Semuanya terlalu biasa.


Sebaliknya, aku teringat betapa kacau hari kemarin dan menahan desahanku. 


Pada akhirnya, Saita tidak mengatakan apa pun.


Meskipun dia mendekat untuk berbicara, aku sama sekali tidak mengerti alasan di balik kebohongan absurd itu.


Hanya saja... jelas tidak ada yang bisa dilakukan.


Keanehan pada Saita pasti karena aku telah bereinkarnasi. 


Ceritanya sudah sepenuhnya menyimpang.


Pasti ada upaya di suatu tempat untuk mengoreksi jalur cerita. 


Jadi, yang terbaik adalah aku tetap tenang.


Aku menghela napas kecil dan berdiri mengikuti suara Saita yang memberikan tanda untuk bangkit.


Sejak Kanna mengungkapkan rahasianya kepadaku, aku mulai merasakan kalo dunia ini semakin menjauh dari cerita aslinya, hingga menjadi semakin tidak pasti.


★★★


Dengan jam yang menunjukkan pukul 10:00 pagi di sudut mataku, aku terbangun. 


Di dalam hati, aku merasa ini adalah pagi yang paling menyegarkan sepanjang bulan ini.


Dengan sikap santai, aku bangun perlahan dan bahkan meluangkan waktu untuk merapikan tempat tidur.


"Wah, bulan ini aku benar-benar bekerja keras."


Aku mengumumkan itu sambil mengangguk-angguk pada kata-kataku sendiri. 


Alasan di balik euforia ini hanya satu.


"Golden Week ini, aku akan tinggal di rumah dan tidak melakukan apa-apa sama sekali!"


[TL\n: Golden Week adalah sebuah rangkaian liburan nasional yang terjadi di Jepang, biasanya berlangsung pada akhir April hingga awal Mei. Golden Week terdiri dari beberapa hari libur nasional berturut-turut, termasuk: (1). Shōwa Day (昭和の日) - 29 April, untuk memperingati kelahiran Kaisar Shōwa (Hirohito). (2). Constitution Memorial Day (憲法記念日) - 3 Mei, untuk memperingati penerapan konstitusi Jepang pasca Perang Dunia II. (3). Greenery Day (みどりの日) - 4 Mei, untuk menghormati alam dan lingkungan. (4). Children's Day (こどもの日) - 5 Mei, untuk merayakan anak-anak, terutama anak laki-laki. Beberapa hari libur tambahan atau hari yang berdekatan dengan akhir pekan juga sering dimanfaatkan oleh banyak orang untuk berlibur.]


Setelah menyatakan itu dengan suara lantang, hal pertama yang kulakukan adalah menyalakan TV dengan remote.


Bulan lalu dipenuhi dengan tekanan yang luar biasa, terutama dengan insiden saat perjalanan sekolah.


Sebagai hadiah untuk diriku sendiri atas semua usaha selama sebulan ini, aku sudah merencanakan semuanya sebelumnya. 


Aku tidak akan menjadwalkan apa pun selama Golden Week dan hanya akan bermalas-malasan sebanyak mungkin.


Aku begitu sibuk sehingga kehidupan pribadiku terasa sangat tidak memuaskan. 


Jadi, mungkin ide yang bagus untuk membeli light novel dalam jumlah besar. 


Untungnya, setidaknya aku punya cukup uang.


"Ah, aku juga bisa memesan makanan lewat layanan pengiriman."


Tiba-tiba, ide itu terdengar semakin menyenangkan. 


Karena rasanya aneh kalo aku langsung keluar di hari pertama, aku memutuskan untuk melihat-lihat apa yang ada di rak Nishikoji. 


Tapi, aku tertegun.


Tidak ada light novel, bahkan manga pun tidak. 


Hanya ada buku-buku pelajaran lama.


Aku menemukan beberapa kaset game di dekat TV, tapi semuanya sudah tamat. 


Karena itu adalah judul populer di seluruh dunia, aku masih mengingat ceritanya dengan baik, dan rasanya tidak ada gunanya memainkannya lagi.


Layanan berlangganan terasa merepotkan bagiku, dan selain itu, aku lebih suka membaca manga dan novel dalam format fisik.


─────Singkatnya...


"Aku rasa aku akan mati kebosanan selama Golden Week ini."


Sepertinya di rumah ini tidak ada hiburan sama sekali.


★★★


Meskipun aku bermimpi menghabiskan sepanjang hari di tempat tidur atau sofa, dengan pizza di tangan sambil membaca manga, pada siang hari aku sudah bersiap untuk keluar rumah.


Di pagi hari, aku melakukan pembersihan cepat dan menciptakan suasana yang sempurna untuk bermalas-malasan. 


Satu-satunya yang kurang hanyalah beberapa light novel, dan segalanya akan menjadi sempurna.


"Kalo bicara tentang toko buku besar, pasti yang ada di depan stasiun... tapi rasanya aku malas untuk naik kereta."


Selain itu, di sekitar area stasiun, kemungkinan bertemu teman sekelas lebih kecil. 


Aku memang belum begitu mengerti geografi daerah ini, tapi karena aku menggunakan stasiun setiap hari, setidaknya aku tahu cara menuju ke sana.


Setelah memutuskan tujuan, aku mulai berjalan dengan semangat. 


Karena sudah keluar, aku berpikir untuk menonton film juga, dan sedikit demi sedikit muncul lebih banyak rencana di kepalaku. 


Mungkin karena ini adalah Golden Week, jumlah orang sedikit lebih ramai dari biasanya, tapi aku sama sekali tidak terganggu.


"Tolong... biarkan aku sendiri..."


Suara itu, yang sudah beberapa kali kudengar sejak tiba di dunia ini, dan nada lemahnya membuatku berhenti tanpa berpikir.


"Aku ada janji sebentar lagi."


"Ayolah, hanya 5 menit. Kumohon, kita tukar kontak saja."


"Tidak, sungguh, aku baik-baik saja."


Di sebuah gang sempit yang terhubung dengan jalan utama tempat aku berjalan, Ayame sedang diganggu oleh seorang pria bertubuh besar. 


Dilihat dari situasinya, jelas itu adalah upaya mendekati yang tidak diinginkan. 


Untuk saat ini, sepertinya tidak ada orang lain selain aku yang menyadarinya.


Aku menelan ludah dengan gugup.


─────Mungkin hanya aku yang bisa membantunya.


Ayame menjauh sedikit dari pria itu dan, mengabaikannya, mulai berjalan. 


Tapi, pria itu, yang terlihat gugup, meraih lengannya. 


Hei, hei, itu tidak benar.


"Aku hanya ingin tukar kontak. Kumohon."


Sepertinya pria itu tidak menyangka akan sekeras kepala ini, karena di wajah Ayame terlihat campuran kekhawatiran dan ketakutan.


Kurasa aku tidak punya pilihan lain selain ikut campur... mungkin.


Jujur saja, aku ingin menghindari segala potensi masalah. 


Kalo aku terlibat dengan Ayame sekarang, mungkin aku akan berakhir dalam kesulitan.


Saat pertama kali mengantarkan formulir padanya, aku juga berpikir hal yang sama. 


Haruskah aku ikut campur, menjalin kontak dengannya, dan tidak menyesal kemudian? 


Dan sekarang, setelah Ayame mengenaliku, segalanya menjadi lebih rumit daripada sebelumnya.


Ayame mencoba melepaskan diri, tapi genggaman pria itu semakin kuat, membuatnya sulit untuk bebas. 


Ini seharusnya menjadi hari libur yang tenang, tapi sepertinya aku tidak punya pilihan lain. 


Situasinya terlalu mendesak untuk dipikirkan lebih lama.


"Permisi, aku punya janji dengan dia sekarang. Siapa kau?"


Aku berlari ke arah mereka dan menepis tangan pria itu yang mencengkeram lengan Ayame.


Ketika kulihat lebih jelas, aku menyadari pria itu jauh lebih besar dariku, dan keringat dingin sedikit membasahi dahiku.


Tapi, pria itu terlihat cukup terintimidasi oleh kemunculanku yang tiba-tiba sebagai 'pacar palsu.' 


Dia menggumamkan sesuatu yang tidak terlalu jelas, lalu berdecak kesal dan pergi menjauh.


Aku menghela napas lega.


"Maaf, apa kau baik-baik saja?"


Aku bertanya pada Ayame, dan dia, seperti baru tersadar, mengangguk berulang kali. 


Dia mengangkat wajahnya yang sebelumnya tertunduk dan menatapku dengan saksama.


Kemudian, ekspresinya tiba-tiba cerah.


"Kau orang yang menyerahkan formulir padaku sebelum upacara penerimaan, kan!"


"Ah, yah, itu benar~..."


Mengatakan kalo dia salah mengenaliku tidak akan terdengar meyakinkan. 


Saat aku mencoba menghindari situasi ini, Ayame dengan lembut menggenggam tanganku.


"Aku sudah mencarimu sejak masuk sekolah. Aku ingin berterima kasih. Hari ini juga... sungguh, terima kasih. Aku selalu saja diselamatkan olehmu."


"Tidak, ini kebetulan saja aku lewat di sini dalam perjalanan ke stasiun. Itu hanya kebetulan. Selain itu, membiarkan pria seperti itu tanpa berbuat apa-apa lebih menakutkan, aku melakukannya lebih untuk diriku sendiri."


"Entah itu kebetulan atau untuk dirimu sendiri, aku tetap yang mendapat manfaat... Ah!"


Ayame menekankan sedikit nada pada akhir kalimatnya.


"Apa kau ada rencana setelah ini!?"


"Setelah ini... yah..."


Sejujurnya, satu-satunya hal yang ada di pikiranku hanyalah pergi ke toko buku untuk membeli beberapa novel ringan. 


Praktisnya, aku tidak punya rencana apa pun untuk hari ini. 


Meskipun aku sempat ragu, Ayame melanjutkan berbicara tanpa memedulikannya.


"Kalo kau tidak ada rencana, tolong izinkan aku mengucapkan terima kasih. Juga untuk sebelumnya, saat kamu memberikan formulir itu."


"Ah~, tapi..."


"Sungguh, hanya kalo kau tidak punya rencana! Tapi aku akan sangat senang sekali kalo kau mau ikut dengan ku!"


Ketekunan Ayame lebih kuat dari yang aku duga, membuatku sedikit bingung. 


Tapi, aku tidak bisa membiarkan dia meyakinkanku begitu saja.


"Hmm... yah, hari ini aku punya, uh, semacam... janji atau apa, mungkin. Iya, begitu."


"Begitu ya..."


Saat aku berbohong, Ayame langsung terlihat kecewa. 


Rasanya dadaku sesak dipenuhi rasa bersalah.


"Tapi mungkin aku punya waktu sekitar 30 menit."


"Benarkah...!?"


Ayame menggenggam tanganku lagi, kali ini lebih erat.


"Terima kasih! Tolong biarkan aku berterima kasih padamu, ya!"


★★★


Sambil menghela napas karena mudahnya aku terbujuk, aku mulai berjalan bersama Ayame.


Hari yang awalnya aku berencana untuk menjadikan hari ini hari yang tenang dan sepi, tapi hari ini tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang sama sekali tak terduga.


"Ah, aku sudah memikirkan ini sepanjang waktu. Aku mencoba mencarimu di sekolah, tapi tidak berhasil menemukannya... Omong-omong, boleh aku tahu namamu?"


"Ah~, baiklah, namaku Kanade Nishikoji."


"Nishikoji-san! Aku akan mengingatnya! Seperti yang mungkin sudah kamu ketahui dari pidato saat upacara masuk, namaku Ayame Hananoi."


"Senang bertemu denganmu... Hananoi-san."


"Ya!"


Berbeda dengan ekspresi khawatir yang ia tunjukkan selama upacara masuk, senyuman cerah Ayame ternyata jauh lebih berpengaruh daripada yang aku bayangkan.


"Ah, ya, tentang formulir itu, kau benar-benar sangat membantuku, dan sejak saat itu aku terus memikirkan bagaimana caranya mengucapkan terima kasih. Aku berpikir untuk mengajakmu minum kopi sambil makan kue, atau mungkin memberimu beberapa permen lezat dari toko yang aku tahu. Tapi sekarang setelah aku menemukannya, aku bisa bertanya langsung padamu. Apa yang kau inginkan sebagai ucapan terima kasih, Nishikoji-san?"


Ayame sedikit memiringkan kepalanya. 


Tidak seperti sikap licik Kanna, gerakan ini terlihat sangat alami. 


Mungkin karena itu, meskipun tidak disengaja, ada sesuatu yang menawan dalam kepolosannya.


"Apa yang aku inginkan, kah...?"


Sejujurnya, mengatakan 'apa saja' mungkin sedikit berlebihan, tapi aku benar-benar tidak punya ide apa pun. 


Setidaknya, tidak ada yang bisa membawa pertanda buruk.


Saat aku memutar otak mencari jawaban, Ayame dengan lembut mendekatkan wajahnya dari samping.


"Maaf, pasti sulit bagimu ketika aku menanyakan hal seperti ini secara tiba-tiba, ya?"


"Tidak, aku hanya sedang memikirkan beberapa pilihan."


Ayame meletakkan jari telunjuknya di dagunya.


"Kau benar... Hmm, tadi kau bilang kalo kau punya waktu sekitar 30 menit?"


"Ah, ya, sekitar 30 menit."


"Kal9 begitu, ada sebuah kafe yang ingin aku kunjungi. Biasanya tempat tidak terlalu ramai, jadi kurasa kita bisa selesai dalam waktu kurang dari 30 menit. Bagaimana menurutmu? Aku akan traktir apa pun yang kamu mau, Nishikoji-san."


Pilihan antara memperpanjang percakapan tanpa arah ini atau menerima undangannya ke kafe dan membiarkannya mentraktirku sepertinya cukup jelas. 


Jelas, pilihan ke-2 adalah yang terbaik.


"Baiklah, tolong tunjukkan jalannya."


"Serahkan padaku!"


Ayame tersenyum cerah.


★★★



Tempat yang dibawa Ayame adalah sebuah kafe yang nyaman dengan sentuhan modern, dihiasi dengan furnitur kayu, memberikan atmosfer yang agak tersembunyi dan elegan. 


Ini adalah jenis tempat yang jarang aku kunjungi, baik di kehidupan sebelumnya maupun di kehidupan ini.


Ayame memesan cheesecake blueberry dan aku memilih chiffon cake musiman. 


Kami duduk saling berhadapan.


"Nishikoji-san, kau di kelas berapa?" 


"Aku di kelas 7.”


"Oh, begitu... Aku di kelas 1. Sepertinya karena kita berada di kelas yang berlawanan, jadi kita belum pernah bertemu."


Ayame mengangguk. 


Itu masuk akal juga, mengingat sekolah kami sangat besar.


Percakapan dengan Ayame berjalan jauh lebih lancar dari yang aku kira, tanpa ada jeda canggung. 


Selain itu, melihatnya menikmati dessertnya dengan begitu bersemangat membuatnya sangat menggemaskan.


Bagaimanapun juga, Ayame adalah alasan kenapa aku jatuh cinta dengan game ini sejak awal, dia adalah tipe heroine sempurna bagiku. 


Situasi ini, benar-benar, seperti berada di surga.


"Hari itu, aku berada di taman itu pagi-pagi sekali, membaca dengan putus asa lembaran untuk pidatoku."


Tiba-tiba, nada suara Ayame berubah.


"Sejujurnya, aku agak pemalu dan mudah gugup. Tapi karena itu tidak terlalu terlihat di wajahku, semua orang berpikir aku bukan orang seperti itu, yang memiliki mental yang kuat... Itu membuatku senang. Aku bisa berusaha karena Nishikoji-san bilang aku bisa melakukannya. Karena itu, aku juga ingin mengucapkan terima kasih."


Senyumnya, entah kenapa, terlihat sedikit melankolis, berbeda dari ekspresi cerah yang dia tunjukkan sebelumnya.


"Ah... sepertinya sudah lebih dari 30 menit. Haruskah kita meminta tagihannya?"


"Sudah lewat waktunya? Terima kasih untuk hari ini."


"Tidak perlu terima kasih. Aku yang ingin melakukan ini dan menahanmu."


Ayame berdiri dari kursinya dan aku ikut berdiri pada saat yang sama.


"Terima kasih untuk hari ini. Semoga kita bisa bertemu lagi."


"Terima kasih juga untuk mu."


Kami berpisah di depan kafe. 


Sambil melambaikan tangan kepada Ayame, aku melakukan hal yang sama.


Meskipun hari ini ternyata jauh lebih sibuk dari yang aku kira, mungkin tidak terlalu buruk. 


Sekarang, kalo aku bisa mendapatkan light novel itu, semuanya akan sempurna.


"Baiklah, sisa Golden Week ini hanya untuk bersantai."


Aku berbisik pelan.


★★★


Sayangnya, Golden Week terasa sangat singkat.


Dengan perasaan seperti kematian yang mendekat, aku menuju ke sekolah. 


Aku sempat berpikir untuk mengambil cuti dan beristirahat hari ini, tapi akhirnya aku memutuskan untuk menyerah, karena jika aku absen sekali, rasanya aku tidak akan bisa kembali.


Selama Golden Week, aku menghabiskan waktu dengan membaca manga dan novel ringan. 


Untungnya, pilihan novel dan manga tidak banyak berubah sejak kehidupan sebelumnya, dan meskipun aku tidak bisa mengatakan bahwa aku memiliki rilisan terbaru, setidaknya aku bisa terus membaca seri yang selalu aku nikmati.


Melindungi bukuku dengan sampul, aku masuk ke kelas sedikit lebih awal dari biasanya.


Siswa-siswa masih jarang. 


Dengan begitu, aku bisa menikmati membaca tanpa gangguan.


Aku membuka halaman ketika mendengar suara dari tengah kelas.


"Ah, Kanna, bisakah kau melakukan itu, tolong?"


"Itu?"


"Iya, itu. Maaf, tapi di klub keadaan sangat sulit."


Aku melihat ke arah Kanna dan sekelompok gadis. 


Di depannya, ada dua kotak kardus yang ditumpuk.


Mungkin mereka meminta bantuan dari Sensei, tapi bagaimana pun aku melihatnya, jumlah itu terlalu berat untuk dibawa oleh satu gadis saja.


"Ah~, baiklah. Aku akan membawanya."


Kanna, yang populer di kelas, jelas adalah orang yang sering dimintai bantuan.


Tapi, itu... bukankah sedikit berlebihan?


Setelah memastikan kalo gadis yang dia ajak bicara pergi ke klubnya, Kanna mulai menggerakkan kotak-kotak kardus itu. 


Di kelas, hanya ada Kanna dan aku. 


Dia sepertinya berusaha keras untuk membawanya sendirian, tapi...sepertinya itu sulit.


"Sampai mana aku harus membawanya?"


Aku tahu seharusnya aku tidak berpikir tentang tanda-tanda kematian, tapi aku tidak bisa membiarkan Kanna, yang jelas kesulitan membawa kotak-kotak berat itu, sendirian.


"Eh, apa tidak apa-apa?"


Kanna membuat ekspresi meminta maaf... tapi tidak masalah membantunya membawa sesuatu.


"Ya, tidak apa-apa, lagipula itu pasti cukup berat."


Ketika aku bertanya, Kanna tersenyum sedikit malu dan mengangguk.


"Jadi, satu saja! ... Tapi, kau cepat sekali menyadarinya."


"Yah, aku tidak tahu harus bilang apa... aku pikir mungkin kau tidak terlalu suka ini saat kita bicara terakhir kali. Kau selalu dimintai tolong, tapi..."


Kanna berkedip dan terdiam sejenak.


"Yah, bukan berarti aku tidak suka, tapi aku pikir kali ini akan sedikit rumit."


Dia mengangguk, seolah-olah sedang mengatakan itu pada dirinya sendiri.


"Seperti terakhir kali, kau luar seperti biasa Nishikoji-kun, kau sangat perhatian."


"Benarkah?"


Lagi pula, karena aku tahu isi dari permainan aslinya, tapi Kanna tampaknya sedikit senang.


"Ya. Hari ini juga kau membantu... Ah, tempat yang harus kita tuju itu di sini! Terima kasih!"


Kami menaruh kotak kardus di ruang kelas yang diminta dan keluar bersama.


"Apa kau punya pelajaran bahasa Inggris di kelas pertama hari ini? Menyebalkan, kan?"


Sambil melanjutkan percakapan, kami kembali ke kelas.


Mengenai tanda-tanda kematian... aku berharap mereka sedikit lebih toleran.


★★★


"Apa kau tahu di mana seharusnya aku menyimpan buku ini?"


"Ah, itu. Karena itu bagian filosofi... aku rasa di rak itu. Berikan padaku, aku yang akan meletakkannya di tempatnya."


"Benarkah, apa tidak apa-apa?"


"Ya. Aku kebetulan akan ke sana."


"Tapi aku tidak ada pekerjaan lain, jadi aku akan ikut denganmu. Aku juga ingin cepat belajar di mana menyimpan buku-buku ini."


Dua hari setelah perjalanan, pekerjaan komite perpustakaan mulai berjalan lancar.


Natsuki mengambil bukunya dan berjalan di sampingku, melompat dengan ceria.


"Nishikoji, kau tahu banyak tentang pekerjaan komite perpustakaan, ya?"


"Ah, sepertinya karena aku pernah melakukannya di SMP."


Aku menjawab sambil merasa sedikit berkeringat dalam hati. 


Menjadi anggota komite perpustakaan adalah bagian dari kehidupanku sebelumnya. 


Aku tidak tahu di komite mana Nishikoji berada di sekolah menengah. 


Mungkin di komite yang memungkinkan dia untuk bolos.


Aku rasa dia tidak akan menyadarinya, tapi aku merasa sedikit bersalah dalam situasi seperti ini. 


Terlebih lagi karena orang lain itu murni dan tidak memiliki noda dalam karakternya, seperti Natsuki.


"Begitu. Kalo ada yang tidak aku ketahui, bolehkah aku bertanya padamu?"


"Ya. Tanyakan apa saja."


"Hebat! Aku punya teman yang bisa diandalkan."


"Haha, apa itu?"


"Hmm? Itu dari sebuah permainan yang sedang aku mainkan belakangan ini. Seru sekali loh. Semoga aku bisa pergi ke dunia video game."


"...Ya, itu benar."


Memang benar. 


Akan luar biasa bisa pergi ke dunia video game sebagai pahlawan atau petualang.


Jika bisa, aku ingin bereinkarnasi sebagai protagonis dan bersenang-senang dengan sang heroine... itu pasti menyenangkan!


"Nishikoji...? Apa ini sudah benar di sini?"


"A-Ah, iya. Itu di sana."


Saat aku merenung tentang nasib burukku, aku melihat Natsuki merentangkan tangannya untuk meletakkan sebuah buku di rak. 


Tapi, dia hampir tidak bisa mencapainya.


"Biarkan aku membantu."


Aku menerima buku dari Natsuki dan meletakkannya di rak.


"Terima kasih!"


"Kalo kau tidak bisa mencapainya, bilang saja padaku... Ah, dan juga ada Narita. Dia lebih tinggi dari ku, jadi mungkin dia bisa mencapai tempat yang lebih tinggi."


Saat berbicara, aku merasa seperti dia mengatakan sesuatu yang konyol, jadi aku buru-buru menyebutkan Narita.


Ah, seandainya saja aku bereinkarnasi sebagai Mob daripada protagonis, aku tidak perlu khawatir tentang hal-hal menyedihkan seperti ini.


Tanpa memperhatikan kalo aku sedikit terluka, Natsuki mengangguk.


"Ya. Benar-benar terima kasih. Aku juga ingin akrab dengan Narita-kun, jadi nanti tolong bantu aku ya."


"Tidak, tidak! Sebaliknya."


Kami tertawa bersama, seolah-olah kami sedang dalam kompetisi aneh tentang kesopanan.


"Sepertinya hari ini tidak banyak orang ya~?"


"Sepertinya tidak banyak orang yang menggunakan perpustakaan."


Sejak tadi, hampir tidak ada yang datang dan tempat ini kosong. 


Berkat itu, pekerjaan menjadi sangat sedikit.


"Bagaimanapun juga, itu beruntung. Aku punya kenalan dan pekerjaan ini menyenangkan! Memilih menjadi bagian dari komite perpustakaan adalah keputusan yang tepat!"


Aku penasaran dengan apa yang terjadi dan mengintip dari samping.


"Apa pendapatmu tentang Yuka-chan?"


"Eh? Tentang Ikuta...?"


Yuka Ikuta─────teman masa kecilnya Natsuki.


Tingginya rata-rata. 


Rambutnya hitam dan panjangnya sedang. 


Biasanya dia membiarkannya terurai, tapi hari ini dia mengikatnya dengan kuncir. 


Itu memberi kesan bersih dan serius, dan sejak pertama kali aku bertemu dengannya, aku pikir dia mungkin tipe yang ideal untuk Narita.


Rasanya dia cantik, tapi aku tidak tahu harus berbicara apa dengannya.


"Aku tidak tahu. Tidak ada yang khusus."


"Ah, begitu. Soalnya tadi aku bicara dengan dia dan ternyata kita punya grup favorit yang sama. Dia bertanya apa aku mau pergi ke konser bersamanya."


"Ke sana hanya kalian ber-2...?"


Aku tidak pernah berbicara dengan perempuan di kehidupan sebelumnya.


Sejujurnya, dari lubuk hatiku, aku sangat cemburu pada Narita sekarang.


"Karena kau, Kaede, aku ingin bertanya... Kau pikir apa aku punya kesempatan...?"


Dengan pengalaman cinta yang nol, aku cuma bisa berpikir mungkin iya... 


Narita pasti ingin tahu karena hubungan Nishikoji dengan cewek-cewek terlihat sangat menonjol...


"Ah, mungkin iya...?"


"Jadi kau juga berpikir begitu, Kaede...?"


Akhirnya, meskipun aku kabur dengan jawaban yang biasa saja, Narita mengangguk serius.


"Entah kenapa, rasanya dia juga tidak sepenuhnya tidak tertarik. Kita saling bertukar nomor kontak. Ya, rasanya aku punya kesempatan di sana."


Menyebut nama Yuka hampir seketika, bertukar nomor kontak, dan keyakinan kalo itu bisa berhasil. 


Meskipun Narita berperan sebagai 'anjing peliharaan', dia jauh lebih terbuka dibandingkan aku.


Tapi, memikirkan kencan berkelompok dan semacamnya, kurasa hubungan mereka saat ini cukup sehat, sementara aku mendengarkan Narita berbicara tentang Ikuta hingga kami kembali ke kelas.


Karena aku bereinkarnasi sebagai siswa SMA, aku juga ingin menikmati masa muda khas remaja.


... Yah, mengingat aku bereinkarnasi sebagai Kaede Nishikoji, aku tidak melihat masa depan yang benar-benar berjalan lancar.


★★★


Minggu berikutnya berjalan tanpa kejadian yang berarti.


Saita terus berbicara tentang hal-hal sepele, seperti biasa. 


Percakapan aneh saat perjalanan ekskursi menjadi topik yang tidak lagi dibicarakan antara Saita dan aou.


Selama istirahat, aki terus menghabiskan waktu bersama Narita, jadi sebenarnya tidak ada yang terjadi.


"Haa~..."


Sambil bekerja sebagai anggota komite perpustakaan, aku tidak bisa menahan diri untuk menghela napas.


Minggu lalu aku mengalami pengalaman yang sangat buruk karena Saita.


Aku tidak bisa memberitahukan para guru, karena mereka hanya akan menganggapnya sebagai tindakan malas semata, dan memang, aku tidak bisa mengatakan apa-apa. 


Perut ku benar-benar sakit...


"Apa kau baik-baik saja, Nishikoji?"


Saat aku mencoba meletakkan sebuah buku di rak bawah, Natsuki melirik wajah ku.


Aku meminta maaf atas kejadian minggu lalu saat kami mulai bekerja di komite perpustakaan, tapi dia menghibur ku dengan jawaban optimis, mengatakan bahwa dia juga sering lupa, jadi tidak masalah. 


Seperti dalam cerita aslinya, dia memang memiliki aura ketenangan yang tak terhingga.


"Ah...ya, aku baik-baik saja."


"Itu tidak terdengar seperti kau baik-baik saja. Apa kau ingin beristirahat?"


"Tapi nanti kalo ada lebih banyak orang yang datang..."


"Nishikoji, kau terlalu serius! Aku hanya ingin sedikit melanggar aturan! Ayo, jadi komplotan ku. Jangan biarkan aku menjadi satu-satunya yang dihukum. Tolong."


Natsuki tersenyum nakal.


Baiklah, sedikit saja tidak apa-apa.


Saat aku mengikuti gerakan Natsuki yang memanggil ku, aku sampai di sebuah sudut yang dikelilingi rak-rak tinggi. 


Tempat itu cukup luas untuk dua orang dan tentu saja tidak terlihat dari luar.


"Di sini kita bisa bersembunyi dengan baik."


"Aku tidak kalo tahu ada tempat seperti ini di perpustakaan."


"Ada sedikit orang yang meminjam buku dari area ini."


Saat aku terburu-buru menjawab, Natsuki mengangguk seolah puas.


"Benar, itu benar. Aku menemukan tempat ini saat aou sedang melarikan diri dari kelas rimed."


"Lagi-lagi kau melarikan diri...?"


Sepertinya dia tidak belajar.


"Sejak aku bersembunyi bersama kalian, aku tidak melarikan diri lagi. Itu terjadi sebelum itu. Aku dipanggil karena nilai ku sangat buruk dalam ujian kecil, dan saat itu aku tidak ditemukan!"


Natsuki membuat gerakan damai dengan jari-jarinya dan berkata, 


"Yay!"


"Begitu. Lalu kenapa kau ada di tangga saat itu?"


"Ah, itu karena Sensei datang lebih cepat dari yang ku kira. Aku tidak punya waktu untuk melarikan diri sampai ke perpustakaan."


"Mengerti."


"Tapi itu bagus karena Sensei bereaksi cepat saat itu. Karena aku bisa bertemu denganmu, Nishikoji."


Natsuki tersenyum penuh percaya diri, "fufun."


...Sekarang, baik dalam perjalanan ekskursi maupun saat bekerja di komite perpustakaan, aku merasa terseret oleh Saita, dan kepolosan Natsuki menyentuh hati ku. 


Kekuatan penghancur sang heroine memang luar biasa.


"Mengerti... terima kasih."


Untuk sesaat, aku ragu untuk menjawab, "Aku senang bisa bertemu denganmu juga," tapi aku memutuskan untuk tidak mengatakannya. 


Membayangkan mengatakan itu dengan sungguh-sungguh membuat ku merinding.


Tapi, jawaban itu membuat Natsuki merasa tidak puas.


"Ah, seharusnya kau mengatakan kalo kau juga senang bertemu dengan ku!"


"Aku senang bisa bertemu denganmu."


"Itu terdengar tidak tulus."


Natsuki menggembungkan pipinya dengan tidak senang.


"Aku sungguh-sungguh."


"Benarkah?"


"Benar."


"Baiklah, kalo begitu."


Karena tinggi rak buku, tempat ini terasa agak redup, dan kenyataan kalo kami terpaksa berdempetan di ruang kecil ini membuat kedekatannya terasa begitu intens. 


Terlalu intens. 


Selain itu, meskipun suasana di dalam sini tenang, perpustakaan itu sendiri agak berisik karena jam makan siang.


Tidak... bukankah ini aneh? 


Bukannya aku yang seharusnya berada di sini, kan? 


Natsuki yang membawa ku ke tempat seperti ini. 


Dan bagaimana dengan Saita? 


Seharusnya dia berinteraksi lebih banyak dengan para heroine dan membuat semuanya bahagia.


Tapu, meskipun dalam suasana seperti ini, kemurnian Natsuki yang tampaknya tidak terlalu memikirkan hal-hal terlalu mendalam sangat mencerminkan dirinya.


"Tapi aku senang."


"Hmm?"


Natsuki, yang sedang bermain dengan tangannya, menundukkan kepala.


"Sepertinya kau tidak terlalu bersemangat, kan? Makanya aku pikir akan lebih baik kalo kau merasa sedikit lebih baik. Mungkin kalo kita beristirahat, kau bisa sedikit lebih ceria."


Jadi, itu sebabnya dia mengundang ku ke sini.


"Terima kasih."


"Eh, maksud ku...aku juga ingin bicara! Jadi kau tidak perlu berterima terima kasih..."


"Tapi aku benar-benar merasa lebih baik sekarang."


"Kalo begitu, aku senang."


Natsuki tersenyum lebar. Benar-benar memikat.


"Tidak tahu tahu kenapa, tapi kau berusaha keras. Itu terasa dari suasana mu. Aku di sini untuk mendukungmu."


"Terima kasih. Aku akan melakukan yang terbaik."


Aku tidak pernah berpikir kalo satu kalimat dukungan bisa memberi ku begitu banyak energi. 


Sambil bermain game, aku juga menyadarinya, Natsuki tidak memiliki sikap munafik, seperti kebanyakan orang. 


Dia adalah gadis yang bertindak dari lubuk hatinya, memikirkan orang lain. 


Dalam beberapa hal, dia memang murni, tapi juga sangat memahami sisi gelap dan terang dalam diri orang lain.


Tapi justru karena itu aku bisa mempercayai bahwa kata-kata Natsuki tulus.


...Aku juga harus berusaha. 


Aku harus menghancurkan segala kemungkinan bendera kematian dan, ketika permainan ini selesai, aku harus memastikan dia bisa tersenyum dengan tulus.


Tepat ketika aku mengangguk, bel berbunyi.


"Kita harus kembali ke kelas."


"Waktu terasa berlalu begitu cepat."


"Ya, waktu benar-benar cepat sekali."


Kami keluar dari tempat yang kami tempati tadi.


... Kalo aku berpikir ingin kembali berbicara seperti ini minggu depan, apa itu akan memicu bendera kematian?



Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال