> CHAPTER 4

CHAPTER 4

Kamu saat ini sedang membaca  Netoge no Yome ga Ninki Idol datta ~Cool-kei no kanojo wa genjitsu demo yome no tsumori de iru~volume 2  chapter 4. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw


 

SI PECANDU GAME ONLINE, MENGINAP DI RUMAH PACARNYA



Siang hari. 


Aku sedang berada di mobil Kasumi-san, dalam perjalanan untuk menginap di rumah Rinka. 


Tentu saja, Kasumi-san yang duduk di kursi pengemudi. 


Aku duduk di kursi belakang, dan di sebelahku ada Rinka.  


Selama liburan musim panas, rencananya aku akan menghabiskan waktu di rumah Rinka.  


Meski agak terlambat untuk memikirkannya sekarang, Rinka memang tipe orang yang cepat dalam mengambil keputusan dan bertindak.  


Katanya, orang yang sukses adalah mereka yang melakukan lebih banyak tindakan daripada orang biasa. 


Mungkin itu alasannya. Aku tidak terlalu paham. 


Tapi, sebelum aku menyadarinya, aku sudah diundang menginap di rumahnya. 


Dengan ritme yang mengalir seperti ini, sepertinya sebelum sadar aku sudah akan menikah dengannya...haha.  


Aku mengeluarkan Hp-ku dan membuka obrolan dengan ayahku. 


Aku sudah memberi tahu kalo hari ini aku akan menginap di rumah Rinka, tapi seperti yang diduga, pesanku bahkan belum dibaca. 


Apa dia mengabaikannya karena itu aku, atau dia melakukan hal yang sama kepada orang lain...?  


"....Hmm."  


Rinka dengan lembut merangkai jarinya ke tanganku yang kiri...semacam genggaman tangan kekasih.  


Menyadari hal itu, aku merasa deg-degan karena sentuhan tangan gadis yang lembut. Betapa beraninya dia.  


Bahkan pada kencan pertama kami, kami hanya berpegangan tangan biasa.  


Dengan perasaan berdebar, aku mencoba melirik wajah Rinka dari samping. 

 

...Pipinya sedikit memerah. 


Sepertinya sisi pemalunya masih tetap ada.


Meskipun kami pernah tiba-tiba berciuman atau tidur di ranjang yang sama (hanya dalam kegelapan), sepertinya Rinka masih belum terbiasa untuk berpegangan tangan dengan begitu terbuka.  


Melihat reaksinya seperti itu, aku pun merasa malu dan pipiku mulai terasa panas.  


Untuk menyembunyikan rasa malu yang sedikit itu, aku mengalihkan pandanganku dari Rinka ke pemandangan di luar.  


"Yah, aku tidak menyangka kalo Kazuto-kun akan menginap."  


"Terima kasih atas keramahannya."  


Kasumi-san tertawa ringan sambil berkata, "Kau tidak perlu kaku, kok."  


Sepertinya dia sedang fokus menyetir, karena Kasumi-san tidak menyadari kalo aku dan Rinka sedang berpegangan tangan.  


"Kemarin, Rinka kan menginap di rumah Kazuto-kun, ya? Apa ada kemajuan?"  


"Tidak juga... Kami hanya berbicara biasa. Besoknya kami juga ada sekolah."  


"Hmm. Kalian memang terlihat seperti pasangan yang pemalu. Apalagi Rinka dulu tidak suka laki-laki, jadi dia pasti belum punya kekebalan terhadap mereka. Sepertinya ciuman masih lama lagi, ya?"  


" "........" "


Meskipun Kasumi-san mengatakannya dengan nada santai, untuk kami, perkataannya itu cukup membuat kami berpikir.  


Secara refleks, aku melirik ke arah Rinka───dan ternyata dia juga sedang menatapku. Pandangan kami bertemu.  


Begitu pandangan kami bertemu, secara alami mata kami tertuju pada bibir masing-masing───.  


" "───Eh!" "

  

Kami ber-2 langsung memalingkan muka pada saat yang bersamaan. 


Genggaman tangan kami saling menguat.


...Jadi, Rinka memang memikirkannya?  


Dia terlihat biasa-biasa saja, jadi aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan.  


Tapi, tentu saja dia memikirkannya. 


Yah, itu wajar saja. Lagipula, ciuman itu terjadi begitu saja, seperti dorongan sesaat.  


Lagipula, itu pertama kalinya bagiku. Mungkin juga bagi Rinka.  


Kami berdua saling menyadari hal itu, menciptakan suasana yang agak canggung. 


Rupanya, Kasumi-san bisa merasakan suasana ambigu itu...


"Eh, kalian sudah ciuman!? Eh, serius!?"  


"Diamlah, Onee-chan." 


"Tidak, tidak! Wajah kalian berdua merah loh! Eh, kalian bahkan berpegangan tangan! Apa yang kalian lakukan mesra-mesraan di mobilku ini!? Haruskah aku membunyikan klakson!? Piiip-piiip!"  


Kasumi-san, yang berhenti di lampu merah, menoleh ke belakang dan melihat keadaan kami.  


Rinka, yang panik, segera melepaskan tanganku dengan cepat.  


Tapi, Kasumi-san menghela napas dalam dan berkata dengan nada mengeluh,  


"Wow, aku benar-benar terkejut. Adikku terus saja mendahuluiku..."  


"Onee-chan kan populer di antara pria." 


"Yah, memang. Tapi jarang ada pria yang benar-benar membuatku tertarik, sih~" 


"Kalo semudah itu bertemu dengan orang yang tepat, tidak ada yang akan kesulitan."  


"Tapi Rinka sudah bertemu, kan? Itu pun lewat game online."

  

"Aku benar-benar beruntung. Aku bersyukur setiap hari bisa bertemu Kazuto-kun, baik di game online maupun di dunia nyata."


"Jadi, pada akhirnya ini cuma ajang pamer kemesraan, ya? Aku iri, nih~"


Begitulah percakapan itu terhenti sejenak. 


Topik pembicaraan pun beralih ke kisah cinta Kasumi, dan kedua saudari Mizuki semakin bersemangat membahasnya.


Aku sendiri tidak bisa ikut dalam obrolan itu (kemungkinan kalo aku ikut, suasananya malah akan jadi canggung) jadi aku hanya memandangi pemandangan kota.


"Ah, iya, Kazuto-kun. Ada sesuatu yang ingin aku peringatkan dulu."


"Peringatan?"


"Ibu kami itu, orangnya super serius... Jadi, semangat, ya."


"Super serius? Tapi sebelumnya, aku pernah melihatnya mabuk sampai parah sekali."


"Ah, itu ya... Lebih baik kau anggap dia sebagai orang yang berbeda. Jujur saja, di keluarga Mizuki, dia yang paling 'parah'...hmm, atau mungkin dia imbang dengan Rinka, ya?"


"Maksudmu apa? Aku ini orang yang normal, kok. Aku hanya hidup mengikuti keyakinan dan prinsipku sendiri."


"Kalo dijelaskan begitu, memang terdengar luar biasa... Tapi arah pemikirannya itu yang melenceng."


Kasumi hanya bisa menghela napas dan berbisik pelan, "Apa itu yang disebut jenius, ya..."


"Tapi, aku mengerti maksud Onee-chan. Bisa dibilang, ibu kami punya 2 sisi. Kepribadiannya bisa berubah drastis tergantung situasi dan kondisi."


"Begitu ya... Jadi, semacam Rinka?"


"Apa yang kau bicarakan? Aku selalu sama saja."


".....Tidak sama sekali."


Siapa pun pasti akan setuju—Rin dan Rinka memiliki kepribadian yang benar-benar berbeda.


★★★


Aku akhirnya tiba di rumah keluarga Mizuki. 


Saat Kasumi dan Rinka masuk ke dalam, aku pun melangkah ke pintu masuk. 


Tepat pada saat itu, terdengar suara langkah kaki kecil berlari di sepanjang koridor... Itu Nonoa-chan!


"Yaaay! Kazuto-Onii-chan!"


"Oh, Nonoa-chan! Lama tidak—UWAH!!"


Dia langsung melompat ke arahku dengan kecepatan luar biasa, seperti sebuah tombak yang melesat tanpa henti. 


Nonoa-chan menabrak perutku dengan kekuatan penuh!


Ini dia, serangan khas Nonoa-chan Dive! Aku mengeluarkan suara kesakitan yang cukup menyedihkan, tapi tetap berusaha sekuat tenaga untuk menangkapnya dengan baik.


"Kazuto-Onii-chan! Mulai hari ini, Onii-chan akan tinggal di rumahku selamanya, kan?"


"Hanya selama liburan musim panas, tapi tolong jaga aku ya selama itu."


"Iya!"


Dia tersenyum lebar dengan ekspresi penuh kebahagiaan. Aku tanpa sadar mengusap kepalanya. 


Begitu kulakukan, wajahnya berubah menjadi senyuman malu-malu sambil berkata "Ehehe~". Matanya menyipit dengan ekspresi penuh kepuasan.


Imut sekali. Ini terlalu menggemaskan sampai rasanya aku bisa mimisan.


Tiba-tiba, ada yang menarik ujung lengan bajuku. Aku menoleh dan melihat Rinka.


Dia sedikit mengerucutkan bibirnya, dengan ekspresi yang terlihat agak kesal.


"Kenapa cuma Nonoa yang kau perhatikan...curang."


"Karena Nonoa-chan imut, jadi aku refleks..."


"Jadi, Kazuto-kun memang seorang lolicon, ya."


"Bukan! Tolong hentikan kebiasaan langsung menyebutku lolicon setiap saat!"


Aku merasa seperti pernah mengalami situasi yang mirip sebelumnya...


"Mulai hari ini, tempat ini adalah rumahmu, Kazuto-kun."


"Aku hanya menginap, sebenarnya..."


"Aku ingin kau merasa seolah-olah ini rumahmu sendiri. Karena bagaimanapun juga, kita adalah pasangan suami istri."


Itu permintaan yang sulit... Rinka sudah menjelaskan kepada keluarganya kalo aku akan menginap, tapi tetap saja aku merasa cukup gugup.


Saat aku melepas sepatu dan melangkah masuk, dari ujung koridor, 2 sosok yang familier muncul—ayah Rinka, Mikio, dan ibunya!


"E-Erm, senang bertemu dengan kalian. Mohon bantuannya."


Karena gugup, ucapanku terdengar agak kaku. Tapi, Mikio-papa hanya mengangguk ringan tanpa mempermasalahkannya.


"Kami sudah menyiapkan kamarmu. Gunakanlah sesukamu."


"Ah, terima kasih banyak."


"Tidak perlu sungkan. Ini hanyalah hal kecil yang bisa kulakukan untukmu."


"Eh...maaf, apa maksudmu?"


Aku tertegun, tapi Mikio-papa tetap berbicara dengan ekspresi sekeras baja, tanpa sedikit pun perubahan.


"Bersiaplah."


"Hah?"


"Semua ini baru permulaan."


Permulaan apa? Kenapa nadanya terdengar begitu berat dan penuh makna?


Saat aku masih merasa ada yang janggal, kali ini ibu Rinka angkat bicara.


"Kazuto-kun, kan? Menjalin hubungan dengan Rinka berarti menghabiskan sisa hidupmu bersamanya. Ikatan kalian bukan hanya sebatas ini, melainkan hingga ke dalam jiwa. Tidak peduli apa pun yang terjadi, kalian tidak akan terpisahkan. ...Aku titipkan Rinka kepadamu, untuk selamanya."


Ini...terlalu berat. Apa aku baru saja menandatangani kontrak dengan iblis?


Mungkin saja itu hanya bercanda—aku sempat berpikir begitu. 


Tapi, saat aku melihat mata ibu Rinka, aku langsung menyadari kalo dia benar-benar serius. 


Kalo aku berani mengutarakan niat untuk putus di sini, rasanya dia bisa saja langsung mengambil pisau dan menyerangku tanpa ragu.


Jadi ini yang dimaksud Kasumi dengan super serius, ya...


Ngomong-ngomong, ibu Rinka sangat mirip dengannya, mulai dari sorot mata hingga nada suaranya. 


Bahkan dari segi penampilan, aku bisa membayangkan bahwa kalo Rinka dewasa, dia akan terlihat persis seperti ibunya. 


Dari ketiga saudari Mizuki, Rinka yang paling mirip dengan ibu mereka—baik dalam hal wajah maupun cara berpikir.


Bahkan sifat mereka yang memiliki 2 sisi yang kontras juga sama persis.


"Sebenarnya, aku selalu mengidamkan kehidupan dengan seorang putra. Aku sangat menantikan hari-hari ke depan bersamamu."


Dengan senyum lembut, ibu Rinka mengucapkan kata-kata itu sebelum kembali ke kamarnya bersama Mikio-papa.


...Apa ini? Aku merasa terlalu disambut hingga justru mulai membuatku takut.


★★★


Kamar yang di berikan untukku adalah sebuah washitsu berukuran sekitar 6 tatami. 


[TL\n:Washitsu (和室) adalah ruangan bergaya Jepang yang biasanya memiliki lantai tatami, pintu geser (fusuma atau shoji), dan elemen tradisional lainnya seperti tokonoma (ceruk dekoratif). 1 tatami standar berukuran sekitar 1,62 m², meskipun ada variasi ukuran.]


Rinka memberiku penjelasan singkat, seperti letak futon yang disimpan di oshiire (lemari dinding). 


Kalo dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku tinggal di kamar dengan lantai tatami. Baunya terasa berbeda dibandingkan kamar bergaya Barat.


"Kau bebas menggunakan kamar ini sesukamu, Kazuto-kun. Lagipula, setelah liburan musim panas, kau pasti akan terus menggunakannya juga."


"Jadi aku sudah resmi diakui sebagai bagian dari keluarga ini, ya? Ke-2 orang tuamu juga menerima keberadaanku tanpa ragu."


"Tentu saja. Tidak ada orang tua yang akan menolak calon suami putrinya, kan?"


"Eh? Tunggu sebentar. Rinka... Kau benar-benar sudah mengatakan kepada mereka kalo kita adalah suami istri?"


"Aku ingin mengatakannya, tapi entah kenapa Onee-chan malah menghentikanku. Dia memohon padaku untuk tidak menambah masalah lagi."


...Aku bisa membayangkan bagaimana Kasumi berusaha keras mengatasi situasi ini.


"Aku ingin memastikan satu hal...apa kau sudah memberitahu keluargamu tentang situasi keluargaku?"


"Belum. Aku hanya bilang ingin mengajak kekasihku menginap."


"Begitu, ya..."


Mungkin Rinka sengaja tidak mengungkitnya demi mempertimbangkan perasaanku. 


Sejujurnya, aku tidak keberatan kalo dia menceritakannya, tapi...ya sudahlah.


Yang lebih mengejutkanku adalah mendengar Rinka menyebutku sebagai 'kekasih'. Biasanya, dia hanya menyebut kami sebagai 'suami-istri', jadi ini terasa agak asing.


"Kazuto-kun, bolehkah aku bicara sebentar?"


"Hm?"


"Aku ingin kita menetapkan bagaimana seharusnya hubungan kita sebagai pasangan dalam kehidupan bersama ini."


"Pasangan, dalam arti kekasih, bukan suami-istri, kan?"


"Selama ini, karena aku sibuk dengan kegiatan idol, kita belum sempat melakukan hal-hal yang layaknya dilakukan oleh pasangan suami-istri, kan?"


"Jadi kau mengabaikan pendapatku begitu saja? Yah, kalo dipikir-pikir...mungkin memang kita belum banyak melakukan hal yang layaknya dilakukan oleh pasangan."


Sejauh ini, Rinka hanya pernah menginap di rumahku sekali. 


Kalo aku harus menyebutkan momen spesial, mungkin hanya itu yang bisa diingat.


Aku sendiri tidak masalah dengan keadaan ini, tapi sepertinya untuk Rinka, hal itu cukup sulit diterima.


"Aku rasa, melalui liburan musim panas ini, kita bisa membawa hubungan kita ke tingkat yang lebih tinggi sebagai suami-istri. Lagipula, sekarang kita tinggal di bawah atap yang sama."


"Tingkat yang lebih tinggi, maksudmu...? Secara spesifik, kita akan melakukan apa?"


"Saling bergantung."


"Bergantung?"


"Ya. Kazuto-kun harus belajar bergantung padaku."


"....Bagaimana itu bisa disebut sebagai sesuatu yang pantas dilakukan oleh pasangan suami-istri?"


"Pasangan yang baik seharusnya bisa saling percaya dan saling mendukung. Tapi bagaimana dengan kita? Selama ini, aku selalu menjadi pihak yang bergantung, dan akulah yang selalu meminta perhatian darimu."


"....Tidak juga, kan?"


"Tidak, itu memang benar. Aku sudah pernah mengatakan ini sebelumnya, kan? Kau tidak pernah sekalipun mencoba untuk bergantung padaku."


"......."


Setelah dia mengatakannya dengan begitu tegas, aku tidak bisa membantahnya.


Sejujurnya, selama ini aku sudah merasa cukup hanya dengan kehadiran Rinka di sisiku. 


Meminta lebih dari itu terasa seperti tindakan yang terlalu egois.


"Aku ingin Kazuto-kun bergantung padaku lebih lagi. Aku ingin kau menjadi seperti anak kecil yang manja, yang selalu mencari perhatianku. Aku ingin menghabiskan seharian penuh membelai kepalamu, lalu kita tidur bersama di tempat tidur yang sama... Bagaimana? Bukankah itu terdengar luar biasa?"


"Y-ya...mungkin...luar biasa?"


"Hubungan ideal menurutku adalah ketika kita bisa saling bergantung satu sama lain. Karena pada dasarnya, bergantung pada seseorang adalah bentuk tertinggi dari kepercayaan."


"....Begitu, ya."


Bergantung pada seseorang juga berarti mengandalkan dan menginginkan kehadiran mereka.


Itu adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan ketika seseorang yakin, bahkan di tingkat bawah sadar, kalo mereka tidak akan dibenci oleh orang yang mereka andalkan.


Saat aku memikirkannya lebih dalam, aku mulai menyadari sesuatu.


Sejak kami mulai berkencan, Rinka sering menunjukkan rasa malunya, tapi dia tetap berusaha bergantung padaku. 


Itu sangat terlihat ketika dia menginap di rumahku.


Tapi, sebelum kami resmi berpacaran...aku bisa melihat kalo dia takut akan kemungkinan ditolak.


Dia merasa tidak nyaman karena mengenalkanku pada Kasumi dan yang lainnya sebelum aku benar-benar siap. 


Bahkan saat dia hampir mengungkapkan perasaannya kepadaku, dia memilih untuk memberitahuku tentang koleksi barang-barang bertemakan diriku—mungkin karena ketakutan bawah sadar kalo aku akan menolaknya.


Tapi, ketika aku mengatakan kalo aku menerimanya sepenuhnya, dia mulai menunjukkan keinginannya dengan lebih terbuka.


Dia menjadi lebih sering melakukan kontak fisik—seperti menggenggam tanganku tanpa ragu.


Kalo dipikir-pikir, bukankah ini lebih terasa seperti hubungan kekasih daripada pasangan suami istri? Sebenarnya, memang begitulah hubungan kami, kan?


"Kau bisa menginginkanku lebih dari ini, kau tahu? Kalo kau ingin aku berhenti dari dunia idol...aku bisa saja melakukannya."


"Tidak boleh! Aku ingin Rinka terus bersinar!"


"A-aku mengerti... Tapi kau cukup tegas soal ini, ya."


Aku memang belum pernah melihatnya langsung, hanya dari internet, tapi sosok Rinka sebagai seorang idol benar-benar luar biasa.


Dia telah menjadi harapan bagi banyak orang, dan sulit membayangkan berapa banyak senyuman yang telah dia ciptakan bagi para penggemarnya.


......... 


Misalnya saja...hanya sebuah kemungkinan...kalo Rinka memilih untuk menjadi idol hanya untukku—


"Kazuto-kun?"


"...Tidak ada apa-apa. Ngomong-ngomong, seperti apa sebenarnya yang kau maksud dengan 'bergantung' itu?"


"Hmm... Bergantung pada seseorang berarti mengandalkan mereka, meminta sesuatu, atau mengungkapkan keinginanmu dengan jujur."


"Aku sendiri sudah cukup puas hanya dengan kau berada di sisiku, Rinka."


"Mendengar itu membuatku sangat bahagia...tapi bukan itu maksudku."


"Hmm... Sulit juga, ya."


Untuk seseorang sepertiku yang lebih sering menghabiskan waktu dengan game online, bergantung pada orang lain mungkin adalah sesuatu yang sangat sulit dilakukan.


"Bagaimana kalo kau mencoba menganggapku seperti ibumu dan bergantung padaku?"


"Itu malah semakin sulit dipahami."


Apa mungkin dia mengatakan ini karena memperhatikan latar belakang keluargaku?


Aku sempat berpikir seperti itu, tapi memilih untuk tetap diam dan menunggu kelanjutannya.


"Kalo begitu...bagaimana kalo kau meniru Nonoa?"


"Meniru Nonoa-chan, ya..."


Kalo berbicara soal Nonoa-chan, tentu yang terlintas di pikiranku adalah...itu.


Aku berdeham pelan, lalu mencoba berbicara dengan nada yang sedikit lebih tinggi.


"Rinka~ gendong aku~"


"Baiklah."


"Serius?!"


Kupikir dia akan menanggapinya dengan jawaban yang wajar seperti, "Mana mungkin aku bisa?", tapi yang kudapat justru jawaban langsung tanpa ragu.


Dengan mempertimbangkan perbedaan postur tubuh kami, jelas mustahil bagi Rinka untuk menggendongku.


Tapi, mengingat dia adalah seorang idol yang telah mencapai puncak popularitasnya, tentu saja dia bukan tipe yang menyerah sebelum mencoba.


Dia langsung memelukku erat, lalu dengan suara menggemaskan berusaha mengangkatku.


"Nnngh...! Nn, nngh...!"


Tentu saja, tubuhku bahkan tidak terangkat sedikit pun. 


Aku tetap berdiri kokoh di atas tatami, sementara dia berusaha sekuat tenaga tanpa hasil.


"U-Uh...berat sekali...! Ini tidak bisa dibandingkan dengan Nonoka...!"


"Ya jelas. Tolong jangan bandingkan aku dengan anak kecil."


Rinka terus berusaha mengangkatku dengan sekuat tenaga.


Dia begitu bersungguh-sungguh sampai tidak menyadari betapa dekatnya tubuhnya dengan tubuhku.


Di sisi lain, aku benar-benar merasa gugup.


Tubuhnya yang lembut dan hangat menempel erat padaku, dan karena dia sedang memelukku dengan kuat, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.


Terutama sensasi seperti bantal kecil yang terasa menekan bagian bawah dadaku...


Secara refleks, aku hampir saja menundukkan kepala untuk memastikan, tapi di detik terakhir, aku menahan diri.


Kalo aku sampai melihatnya dengan mata kepala sendiri, segalanya bisa menjadi lebih berbahaya dalam berbagai arti.


"Ri-Rinka, sudah cukup! Itu sudah lebih dari cukup!"


"Nnngh...! Tidak...aku belum menyerah!"


"Tolong hentikan! Aku yang sudah mencapai batasku!"


Mendengar seruanku yang hampir seperti teriakan, akhirnya Rinka perlahan melepaskan pelukannya dariku.


Dia mundur dengan langkah goyah, lalu seolah kehilangan seluruh semangatnya, dia jatuh berlutut di atas tatami dengan ekspresi putus asa.


Bukan hanya itu, matanya yang indah tampak berkilauan, penuh dengan air mata kesedihan.


"Maafkan aku, Kazuto-kun... Aku...tidak bisa menggendongmu..."


"Tidak apa-apa! Tolong jangan terlalu dipikirkan!"


"Betapa tidak bergunanya aku sebagai istri... Tidak bisa memenuhi keinginan suamiku..."


"Itu bukan keinginanku sih... Kau yang menyuruhku meniru Nonoa-chan, kan?"


"Padahal Kazuto-kun akhirnya mau 'manja' dan berkata, 'Gendong aku'..."


"Ta-Tapi itu hanya meniru Nonoa-chan— Tolong dengarkan aku!?"


Apa-apaan ini? Kenapa jadi terdengar seolah-olah aku yang menginginkan untuk digendong...!?


Meskipun, yah...secara teknis memang aku yang memintanya. 


Tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa tidak benar di sini.


"Kalo begitu...ada hal lain yang kau ingin aku lakukan?"


"Tidak ada, sih..."


"Benarkah? Tidak perlu malu, lho."


"Aku tidak malu."


"Oh, benarkah? Padahal Kazuto-kun itu anak laki-laki yang pemalu. Saat menggenggam tanganku saja, matamu berkeliaran ke mana-mana. Saat mata kita bertemu, wajahmu langsung memerah."


"Itu juga berlaku untukmu!"


"Aku? Aku biasa saja."


"Bagian mana yang biasa!? Kau sering menyebut kita ini pasangan suami istri, tapi begitu kau menggenggam tanganku, kau langsung kaku. Lalu, saat aku melihat kulitmu sedikit saja, kau bilang masih itu terlalu cepat...ta-tapi...padahal...ka-kau sendiri yang ti-tiba-tiba...me-menciumku...!"


"I-Itu—!"


Sambil berbicara, wajahku terasa semakin panas.


Suaraku ikut naik mengikuti detak jantungku yang semakin kencang.


Aku jadi mengingat kembali dengan sangat jelas momen ketika dia tiba-tiba menciumku.


Sepertinya, Rinka juga merasakan hal yang sama, karena wajahnya langsung memerah hingga ke telinga. 


Seakan-akan sebentar lagi kepalanya akan mengeluarkan uap.


Ekspresinya yang biasanya tenang mulai berantakan, berubah menjadi penuh kepanikan.


"A-aku... Itu ciuman pertamaku, tahu!? Dan kau langsung melakukannya secara tiba-tiba seperti itu...!"


"A-aku juga! Sebenarnya... Aku sudah membayangkan berkali-kali kalo momen itu akan terjadi dalam suasana yang lebih romantis, d-dan...dari Kazuto-kun yang mengambil inisiatif...!"


"Kalo begitu, kenapa kau melakukan itu!?"


"A-aku tidak tahu! Aku sendiri juga...ugh...Sudahlah! Kazuto-kun, dasar bodoh!"


"Aku yang salah? Lagipula, itu cara bicara Rinka!"


Aku mulai kehilangan kendali atas apa yang aku katakan dan apa yang sedang dikatakan padaku. 


Kepalaku terasa panas dan pikiranku semakin sulit untuk fokus...!


"Kita pasangan suami istri, jadi ciuman itu hal yang biasa!"


"Kita belum menikah! Kita masih pacaran!"


"Tapi pacaran juga ciuman itu hal yang biasa!"


"Tentu tidak!"


"Tentu iya! Kalo pacaran, kita harus ciuman terus!"


"Apa maksudnya ciuman terus!... Apa kau juga mencium boneka Kazuto?"


"───Eh!? Aku, aku... tidak...! Jangan tiba-tiba bilang hal aneh begitu!"


"Pasti kau melakukannya! Lihat saja betapa gugupnya kau, berarti kau pasti melakukannya!"


"Tidak! Kalo pun aku melakukannya, yang pertama itu pasti Kazuto-kun yang nyata!"


Kami ber-2 berteriak seperti anak kecil, tidak menyadari apa yang sebenarnya kami bicarakan.


Tiba-tiba, pintu terbuka dan Kasumi-san muncul di ambang pintu dengan ekspresi yang terlihat terkejut.


"Apa, sudah mulai bertengkar? Jangan bilang ini masalah percintaan?"


"Bukan bertengkar percintaan, ini pertengkaran suami istri."


"Terserah lah, yang penting segera selesaikan urusan kamar!"


Dengan nada yang seolah-olah tidak terlalu peduli, Kasumi-san pergi meninggalkan kami berdua.


Kehadiran orang ke-3 yang tiba-tiba membuat suasana panas yang sempat terbangun langsung mereda begitu saja.


"...Kita baru saja melakukan pertengkaran suami istri pertama kita, ya?"


"Kurasa itu bukan pertengkaran yang serius."


Tapi rasanya, aku merasa kami belum pernah berdebat atau bertengkar, bahkan untuk hal kecil sekalipun.


Apa ini perubahan yang terjadi sejak kami berpacaran...?


★★★


Setelah membereskan barang-barangku, aku menghabiskan waktu santai di ruang tamu bersama keluarga Mizuki. 


Ibu Rinka terus-menerus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlalu cepat untuk dibicarakan, seperti "Makanan favoritmu?", "Rencanamu di masa depan?", "Berapa jumlah anak yang ideal?" Aku hanya bisa tersenyum kecut dan menjawab, "Ahaha, ya... saat ini saya sedang memikirkan banyak hal." Dia terlalu serius. 


Bahkan, karena terlalu serius, dia malah terlihat seperti orang yang sangat aneh.


Tentu saja, dia adalah ibu Rinka. Memiliki 2 sisi kepribadian juga sepertinya mirip.


Waktu pun berlalu begitu saja, hingga tiba saatnya untuk mempersiapkan makan malam. 


Rinka yang dengan cepat mengenakan celemek dan menuju ke dapur.


"Kazuto Onii-chan! Hari ini kita makan kari!"


"Oh, begitu. Waktu aku datang kemarin juga makan kari, kan..."


Waktu itu...kari yang manis karena disesuaikan dengan Rinoka yang tidak suka pedas.


Saat aku teringat tentang rasa itu, ayah Rinka, yang sedang duduk di sofa sambil menonton TV, tiba-tiba membuka mulut.


"Hmm... kalo kari, sepertinya lebih mudah untuk memasukkan benda itu."


"Benda itu? Apa maksudmu?"


"Rasa ingin tahu bisa membunuh kucing. Lebih baik kau tidak tahu."


"Jangan bilang sesuatu yang misterius kalo cuma mau disembunyikan. Itu malah membuatku khawatir."


"Tenang saja. Tidak ada bahaya untuk kesehatanmu."


[TL\n: wah kayaknya ini pengalaman pribadai Miko papa.]


"Tidak ada bahaya, tapi apakah akan ada efek sampingnya...?"


".........."


Katakan sesuatu!


Tapi, setelah itu, ayah Rinka kembali fokus menonton TV, seolah-olah percakapan ini sudah selesai. 


Aku benar-benar kesal dengan orang ini...


Tanpa perlu dibuat-buat, aku ingin tahu apa sebenarnya 'benda itu'...! 


Setidaknya, aku ingin tahu apa itu bahan makanan atau bukan.


Sambil gemetar karena kekhawatiran, makan malam akhirnya selesai. 


Kami semua berkumpul di meja makan yang cukup untuk enam orang. 


3 orang di satu sisi, dan 3 orang lagi di sisi lainnya. Di sampingku ada Rinka, dan di samping Rinka ada Nonoa-chan. Di seberang kami ada Kasumi-san dan pasangan Mizuki.


Setelah menyelesaikan salam sebelum makan, kami semua mulai makan kari dengan sendok. 


Aku mengambil suapan pertama dan merasakan sedikit rasa pedas di ujung lidah. 


Ini adalah kari dengan rasa manis yang sedikit pedas.


Kari yang pernah aku makan sebelumnya memang manis, tapi sepertinya Rinka bisa mengatasinya dengan level kepedasan seperti ini.


Berpikir begitu, aku pun mengangkat wajahku dan menatap Rinka yang ada di sampingku──────Eh!


"........"


Rinka tetap terdiam seperti patung dengan sendok di mulutnya. 


Wajahnya beku tanpa ekspresi, dan air mata mengalir perlahan dari kedua matanya...!


"Ri, Rinka!?"


"....Kari...pedas..."


Ucapan Rinka terdengar tidak jelas. 


Ternyata, dia benar-benar tidak tahan dengan rasa pedas.


Sementara itu, Nonoa-chan dengan senyum cerah memakan kari dengan gembira. Imut sekali.


"Apa lidahku jadi aneh? Kazuto-kun bisakah kau mengeceknya sebentar?"


Rinka mengeluarkan ujung lidahnya dengan cara yang imut, dan aku melihatnya. 


Semua terlihat normal.


Tapi, kenyataan kalo aku baru saja melihat lidah seorang gadis membuatku sedikit terkejut.


"Lidahmu normal kok... Rinka, apa kau baik-baik saja?"


"Sudah tidak bisa lagi. Dalam sekejap tadi, aku teringat kembali ingatanku sepanjang hidupku."


"Itu seperti melihat kilas balik kehidupan, ya..."


"Kenapa sih ada makanan bernama kari yang menyebalkan ini? Kalo bisa, biar saja hilang dari dunia ini!"


"Kau sendiri yang masaknya!"


"Aku kira aku bisa memakannya. Hari ini aku merasa lebih berkembang dibandingkan dengan diriku yang kemarin... Jadi, sudah sewajarnya kan kalo aku bisa makan makanan pedas?"


"Itu bukan sesuatu yang sewajarnya. Eh, apa? Tiba-tiba kau jadi rewel begitu?"


Ternyata, Rinka benar-benar tidak tahan dengan makanan pedas, lebih parah dari yang aku kira. 


Bahkan kari yang sedikit pedas saja sudah membuatnya kesulitan.


Tapi, yang terkejut hanya aku, sementara pasangan Mizuki, Kasumi-san, dan Nonoa-chan terlihat santai dan melanjutkan makan mereka. Mungkin ini hal biasa bagi mereka.


"Begitu ya... Mungkin kalo Kazuto-kun memberiku sedikit cinta, aku bisa makan deh."


"Cinta? Apa maksudmu?"


"Beberapa hari lalu aku menonton acara di TV tentang maid cafe. Mereka membuat hati dengan kedua tangan, lalu sambil berkata, 'Moe moe kyun kyun, jadilah lezat~.'"


Rinka mengatakannya dengan ekspresi datar, tanpa rasa senang sama sekali. Tapi meskipun begitu, dia tetap terlihat imut.


Sepertinya, dia memang tidak bisa melakukan hal-hal yang terlalu canggung seperti itu, meskipun dia seorang idola dengan citra keren.


Dan aku mulai merasa firasat buruk yang membuat mulutku sedikit tertutup.


"Jangan-jangan kau mau aku melakukan itu?"


"Apa kau melakukannya atau tidak itu terserah padamu, Kazuto-kun. Tapi kalo kau melakukannya, aku pasti akan sangat senang. Tidak, aku yakin kau akan melakukannya untukku. Bahkan dengan sepenuh hati."


"Kepercayaan yang berlebihan! Apa kau berniat untuk menghancurkan hidup sosialku!?"


"Tidak usah khawatir, bahkan kalo masyarakat menjauhkan diri darimu, aku akan selalu berada di samping Kazuto-kun."


"Tapi kan itu gara-gara Rinka!"


Kasumi-san yang duduk di depan ku berhenti makan dan tersenyum lebar.


"Wow, aku juga ingin melihat Kazuto Boy yang 'moe moe kyun kyun' (senyum licik)."


"Tolong berhenti bercanda! Ini sungguh memalukan!"


"Nee, Kazuto-onii-chan! Apa kau juga bisa melakukan 'moe moe kyun kyun' untuk kariku?"


"Tidak bisa! Bahkan kalo itu permintaan dari malaikat sekalipun, tetap tidak bisa!"


"'Moe moe kyun kyun', itu adalah ujian pertama yang harus dijalani oleh Kazuto-kun dan Rinka. Kazuto-kun, kamu harus berusaha keras untuk menghadapinya."


"Sebenarnya keberadaanmu sendiri adalah ujian."


"Hm, sebagai pelopor, izinkan aku memberikan saran untukmu—"


"Ah, aku lebih baik menolaknya. Itu hanya akan membuatku semakin cemas."


"Hei, Kazuto-kun, seharusnya kau lebih tenang saat makan."


"Tapi kan yang memulainya Rinka! Apa gunanya mengatakan yang benar sekarang?"


Anggota keluarga Mizuki terus melontarkan hal-hal yang tidak masuk akal (?). 


Aku bahkan tidak punya waktu untuk menarik napas. Kasumi-san berbicara kepadaku dengan ekspresi yang terkesan.


"Wow, luar biasa. Rasanya seperti mesin komedi yang harus ada di setiap rumah."


"Apa kau yakin dengan itu? Karena saya akan marah dan merusak semuanya."


"Kalo ada anak laki-laki, makan malam akan jadi begitu meriah. Kazuto-kun, terima kasih telah datang ke rumah kami."


"Tolong, beri aku ucapan terima kasih yang lebih baik."


Aku merasa seperti hanya dipermainkan! Diperlakukan seperti mainan!


"Jadi... Kazuto-kun, apakah kamu akan melakukan 'moe moe kyun kyun'?"


"...Baiklah, aku akan melakukannya... kalo itu yang kalian inginkan!"


Aku melakukannya karena putus asa. 


Mengikuti suasana hati, aku melakukan 'moe moe kyun kyun' dengan segenap hati!


Dengan kedua tangan, aku membentuk hati dan menghadap ke kari Rinka, lalu dengan suara lantang mengucapkannya...!


"Moe moe kyun kyun! Jadilah enak!"


Aku sudah tidak tahu lagi apa yang sedang aku lakukan! Aku bahkan tidak ingin tahu!


Ini adalah pertama kalinya aku melakukan hal memalukan seperti ini!


"Terima kasih, Kazuto-kun. Dengan ini, aku merasa bisa melakukannya."


"Benarkah!? Aku rasa tidak ada yang berubah sama sekali!"


"Tentu saja, ketika cinta Kazuto-kun dimasukkan, itu menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar masakan. Itu menjadi entitas tingkat yang lebih tinggi. Kazuto-kun harus percaya pada cintanya sendiri."


Dari awal hingga akhir, aku tidak mengerti apa yang sedang dia katakan.


Tapi, kalo Rinka berkata begitu, mungkin itu memang benar.


Rinka yang memegang sendok, dengan penuh percaya diri mengambil kari dan menyuapkannya ke mulut.


Kemudian dia berhenti sejenak—dan tiba-tiba, air mata jatuh dengan tenang!


"S-sangat pedas...!"


"Tentu saja!!"


★★★


"Jangan terlalu berlebihan, aku... Ini bukan karakternya."


Aku bergumam saat mandi. Setelah makan malam, waktunya mandi, dan giliran ku yang masuk. 


Meskipun beberapa jam telah berlalu, dampak dari 'moe moe kyun kyun' masih terasa di tubuhku. 


Kepalaku terasa berputar-putar.


"Ini gawat. Aku malu sekali...!"


Aku memang terbawa suasana oleh keluarga Mizuki. 


Tapi, itu mungkin memang suasana makan malam di keluarga biasa.


...Tidak, sepertinya bukan itu. Mungkin berbeda.


Aku tetap duduk di kursi, terus membiarkan air shower yang mengalir dari atas mengenai tubuhku. 


Seperti latihan di bawah air terjun. Bukan karena pikiran kotor, tapi aku ingin menghilangkan rasa malu ini.


"Kazuto-kun, aku masuk ya."


"O-oh... Hah!?"


Panggilan yang terlalu biasa itu membuatku butuh waktu untuk memahami maknanya.


Aku mematikan shower dan buru-buru menoleh.


Saat itu juga, pintu kamar mandi perlahan terbuka.


Apa ini...sebuah adegan fun service dalam komedi romantis!?


Sebenarnya, secara pribadi, aku tidak merasa buruk tentang itu, tetapi—!


"Kazuto-kun, aku akan membasuh punggungmu."


"....."


Rinka yang muncul di depanku mengenakan kaos dan celana pendek.


Ya, wajar saja. Dia bilang kita terlalu cepat untuk saling menunjukkan tubuh telanjang, kan?


...Tapi, aku merasa seperti aku satu-satunya yang dilihat seperti itu.


"Kenapa kelihatannya kau kecewa?"


"Tidak kok..."


"Jika ada yang ingin kau katakan, jangan ragu untuk mengatakannya, ya? ...Ah, jangan lihat ke sini. Aku bisa melihat berbagai bagian tubuhmu, aku belum siap secara mental."


"Kau masih saja sensitif di hal-hal yang aneh... Kau tidak perlu memaksakan diri untuk membasuh punggungku, kok."


"Kita ini pasangan suami-istri, kan? Jadi hal seperti ini seharusnya sudah biasa."


"Kalo sudah suami-istri, saling melihat tubuh sih... Ah, sudah lah..."


Aku merasa seperti berada di titik pasrah. 


Aku menghadap ke depan dan mengulurkan punggungku pada Rinka.


Sepertinya apapun yang aku katakan, Rinka sudah tidak akan berhenti. 


Dan, meskipun malu, sebenarnya aku merasa senang.


Aku mencoba menutupi bagian bawah tubuhku dengan handuk mandi. 


Lebih tepatnya, aku memang ingin menutupinya.


"Apa keluargamu tidak mengatakan apa-apa tentang ini??"


"Tentu saja ada. Ibuku bilang, 'Biasakan dirimu sebelum kalian benar-benar jadi suami istri', aneh kan? Padahal kita sudah jadi suami istri."


".........."


Keluarganya memang aneh juga.


"Kau belum mencuci kepalamu, kan?"


"Ya."


"Aku akan mencucinya."


"Tentu saja."


Begitu ditanya, aku sudah tahu jawabannya.


"Kazuto-kun, tundukan kepalamu."


Aku menundukkan kepalaku seperti yang diminta. 


Aku bisa merasakan kehadiran di sebelahku, jadi aku melirik ke sampingku untuk melihat Rinka yang berlutut di sana.


"Jika tidak menutup mata, sampo bisa masuk ke matamu, loh."


"Baik."


"Bisakah kau sedikit lebih menundukkan kepalamu? Posisi mu sedikit terlalu tinggi."


Ada sedikit banyak permintaan yang aneh... Tapi, tidak lama setelah itu, Rinka dengan penuh keahlian mulai mencuci kepalaku. 


Sensasi busa sampo yang mulai berbusa dan gerakan jari-jari Rinka yang seperti pijatan memberikan stimulasi yang sempurna pada kulit kepalaku, dan aku mulai merasakan kenyamanan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.  


Atau lebih tepatnya, aku tidak bisa tidak merasa bahagia berada dalam situasi di mana dia mencuci kepalaku.  


Apalagi, dia adalah seorang idola populer yang sedang naik daun saat ini. 


Semuanya terasa sangat tidak nyata.  


"Bagaimana? Aku lumayan ahli, kan? Aku kadang mencuci rambut Nonoa juga."  


Oh, begitu rupanya. Aku merasa memang sepertinya dia sudah terbiasa. Tapi ternyata begitu.  


"Apa ada bagian yang gatal atau tidak?"  


"Kepalaku───bpphh!"  


Begitu aku membuka mulut, sampo langsung masuk dengan deras!  


Aroma yang kuat menyebar di mulutku...!  


"Hihi. Jangan buka mulut, Kazuto-kun."  


Rinka tertawa dengan imut, tapi penuh kasih sayang, sambil terus mencuci kepalaku.  


Aku merasa... seperti diperlakukan seperti anak kecil?  


Begitu memikirkannya, aku mulai merasa sedikit kesal.  


Setelah kepalaku dibilas dengan hati-hati menggunakan shower, aku mengungkapkan sedikit ketidakpuasan sambil berkata,  


"Kalo punggung, aku bisa melakukanya sendiri."  


"Tidak boleh. Jangan mengambil kebahagiaan dariku."  


"Eh..."  


Ternyata ini tentang kebahagiaannya.  


"Sejak kecil, mimpiku adalah memandikan suamiku. Jadi, sekarang... aku sangat bahagia."  


"Se... seriusan?"  


"...Kazuto-kun, apa kau mau mencuci punggungmu sendiri?"

 

Rinka bertanya dengan suara yang seperti akan menangis.

 

Tidak ada pria yang bisa menolak pertanyaan seperti itu.


"Jadi... ya, tolong."


Aku menjawab dengan ragu-ragu, lalu Rinka berkata dengan nada yang sedikit lebih ceria dari biasanya. 


"Sudahlah. Aku tidak bisa membiarkan suamiku seperti ini. Kalo tidak ada aku, dia pasti tidak bisa merawat dirinya sendiri."


"Ah, sudahlah. Aku bisa mencuci punggungku sendiri..."


"Kau akan membuatku menangis? Aku akan menangis sekeras-kerasnya sampai polisi datang!"


"Memanggil polisi hanya karena masalah sebesar ini terlalu berlebihan. Apa maksudmu?"


"Sebagai istrimu, sudah seharusnya aku melayanimu."


Dia menjawab tanpa jeda. Sungguh menyegarkan. 


Sebenarnya aku senang mendengarnya, tapi rasa malu masih lebih dominan.


Rasanya lebih seperti dirawat daripada dimanjakan...


Aku membalikkan badan dan memberikan waslap yang sudah dibasahi sabun kepada Rinca.


"Kalo begitu...aku akan mulai."


"Si-silakan."


Atmosfernya tiba-tiba menjadi tegang.


Sepertinya mencuci punggungku lebih berarti baginya daripada mencuci rambutku.


Aku menunggu dengan sabar, lalu merasakan sesuatu yang lembut menyentuh punggungku. Itu adalah waslap. 


Rinka menggosok punggungku dengan lembut, sepertinya dia berusaha hati-hati agar tidak menyakitiku. 


Sebenarnya aku lebih suka sedikit lebih kuat, tapi ini juga tidak buruk.


"Kazuto-kun."


"Hm?"


"Aku mencintaimu."


"───! I-itu datang tiba-tiba..."


"Tiba-tiba aku ingin mengatakannya. Aneh ya... Saat seperti ini, perasaan sayangku terus-menerus meluap."


"......"


Aku merasakan detak jantungku meningkat dalam sekejap. 


Rasanya seperti ingin pingsan.


"Bagaimana kalo lain kali aku akan meminta Kazuto-kun untuk mencuci kepala dan punggungku?"


"Kalo begitu kan kita harus saling menunjukkan tubuh..."


"Ah, itu tidak masalah. Kita bisa matikan lampu dan membuat kamar mandi menjadi gelap gulita."


"Kenapa harus mematikan lampu...? Kalo gelap, kita tidak bisa mencuci dengan baik."


"...A-apa Kazuto-kun begitu... ingin melihat tubuhku...? Kalo sudah sejauh itu..."


"Sudahlah, ayo hentikan pembicaraan ini."


"Kenapa?"


"......"


Aku menatap dinding kamar mandi dengan serius dan tetap diam.


Aku bisa merasakan Rinka yang terlihat bingung di belakangku, tapi aku tetap mempertahankan keheningan.


...Kenapa aku menghentikan pembicaraan ini?


Untuk itu, satu kata saja sudah cukup untuk menjelaskan.


──────Fenomena fisiologis pria.


★★★


"Akhirnya aku bisa tidur..."


Hari ini benar-benar luar biasa. 


Aku tidak pernah menyangka kalo menginap di rumah Mizuki akan jadi serangkaian peristiwa yang penuh tantangan seperti ini.


Setelah mandi, aku terus dibuntuti oleh ibu Rinka dan Kasumi-san, dan mereka terus bertanya tentang hubungan sehari-hariku dengan Rinka... Dan sampai tadi, Nonoa-chan juga meminta, "Kazuto Onii-chan! Peluk aku! Ayo main!"


Untungnya, sekitar pukul 11 malam, saat Nonoa-chan merasa mengantuk, dia pun tertidur begitu saja seperti baterai yang habis.


Setelah itu, aku akhirnya bisa bebas dari keluarga Mizuki dan berbaring di futon yang sudah disiapkan di kamar tatami untuk beristirahat.


Ah, lebih tepatnya bukan beristirahat, melainkan melepaskan diri. 


Aku merebahkan tubuhku dengan posisi bintang di atas futon, mencoba melepaskan semua ketegangan dari tubuh.


"Rumah yang ada orangnya itu, ternyata begitu sibuk ya..."


Di rumah yang sunyi, aku hanya sibuk dengan game online...


Untuk ku yang hanya pernah merasakan hidup seperti itu, sehari di rumah Mizuki ini terasa memuaskan sekaligus membingungkan.


Ketika rasa kantuk karena kelelahan mulai menyerang dan aku berniat untuk tidur, tiba-tiba ada suara dering telepon dari HP yang terletak di dekat bantal.


...Siapa ya? 


Kalo Rinka, seharusnya dia datang langsung ke kamarku. 


Tidak mungkin juga dari Tachibana atau Saito.


Kalo begitu...mungkin dari Kurumizaka-san. 


Aku lalu mengambil Hp-ku dan melihat layar yang menampilkan nama 'Kurumizaka Nana'. 


Wah, aku benar-benar tepat menebaknya. 


Aku pun menekan tombol terima panggilan dan mengangkat telepon.


"Hallo? Kurumizaka-sa──────"


『Nyah! Nyanya, nyao!』


".....Hah?"


『Nyah-oo! Nya. Nyan-nyan!』


..........


Gawat. Kurumizaka-san benar-benar rusak.


"Nyan-nyan! Nya! Nyaan. Nyaa!"


『....Kazu-kun? Apa kau baik-baik saja?』


Oi! Kenapa tepat di saat seperti ini Kurumi-zaka-san berubah kembali?!


"Tidak, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Tadi ada kucing yang menelponku, jadi aku cuma mencoba berkomunikasi dengan cara mereka. Tidak ada yang aneh kok." 


『Itu bukan alasan, Kazu-kun! Tapi, itu sangat lucu, jadi aku anggap saja oke!』


Suara keras Kurumizaka-san bergema di telingaku... Hmm, mungkin aku harus menurunkan volumenya.


『Maaf ya, Kazu-kun. Sturmangriff yang iseng mengutak-atik Hp-ku...』


"Jadi, itu hanya kebetulan kau menelpon aku ya?"


『Mm, sepertinya begitu. Benar-benar sebuah keajaiban, ya!』


Kurumizaka-san berkata dengan nada senang. 


Aku hanya memberi anggukan sebagai tanggapan. 


Kebetulan, lewat telepon aku juga mendengar suara "Nyanya! Nyaaan!" yang terdengar seperti kucing. 


Sepertinya dia masih menangis.


『Entahlah, ada apa dengan Sturmangriff? Biasanya dia tenang...』 


"Sepertinya dia sedang berusaha menyampaikan sesuatu lewat suara itu."


『Apa mungkin dia ingin mengobrol dengan Kazu-kun?』


"Sudahlah, tolong jangan...!"


『Beberapa waktu lalu, Kotone-chan bilang kalo kau sudah berteman baik dengan Sturmangriff, kan? Jadi, pasti dia ingin mengobrol dengan Kazu-kun!』


"Kalo benar begitu, berarti kucing itu punya kecerdasan yang luar biasa."


『Benarkah? Kucing yang bisa berkomunikasi dengan manusia itu, kalo dicari, ternyata ada juga, loh!


"Tapi, tidak ada kucing yang bisa mengoperasikan Hp dengan lancar, kan?"


『Hahaha, iya sih.』 


Kurumizaka-san tertawa riang, lalu berkata, 『Aku ke kamar lain sebentar』, dan setelah beberapa saat, dia kembali dan berkata,『Maafkan aku, tunggu sebentar. Suara Sturmangriff tidak terdengar lagi. 


Sepertinya kami akan melanjutkan percakapan.


『Akhirnya liburan musim panas dimulai, Kazu-kun. Apa kau punya rencana?』


"Sebetulnya tidak ada... Ah, tapi mulai hari ini aku menginap di rumah Rinka."


『Eh! Apa itu! Itu acara besar yang luar biasa! Rin-chan tidak bilang apa-apa padaku!』


Kurumizaka-san terdengar sangat terkejut, sepertinya ini pertama kali dia mendengarnya. 


Ternyata Rinka tidak memberitahunya. Apa dia sengaja tidak memberi tahu, atau memang topik itu belum muncul...


『Hmm! Aku ingin bertanya banyak hal... Tapi, 'Rencana Teman Baik' sudah selesai, jadi...』


"Menurutku, kau tidak perlu terlalu fokus pada itu... Oh, ada satu hal yang ingin aku bicarakan, boleh?"


『Ya, tentu! Apa pun bisa kau konsultasikan dengan ku!』


Aku bisa membayangkan Kurumizaka-san dengan percaya diri dan membusungkan dadanya. 


Meskipun sedikit aneh, aku memutuskan untuk mengungkapkan sedikit kebingunganku. 


Masalahku kali ini adalah tentang bagaimana cara menjadi manja. 


Aku sudah coba mencari di internet, tapi aku masih bingung. 


Rinka memintaku untuk manja padanya, jadi aku bertanya pada Kurumizaka-san, bagaimana cara aku manja seperti itu.


『Hmm... Aku rasa, kau hanya perlu manja seperti yang kau inginkan tanpa terlalu memikirkannya.』


"Masalahnya, aku tidak tahu bagaimana caranya... Aku sudah senang senang kalo Rinka ada di dekatku."


『Wow, kau tidak terlalu mau apa-apa ya... Sepertinya kau lebih ke tipe yang polos... Tapi, aku tidak bisa membayangkan kau jadi orang yang manja... Ah, tapi tadi, tiruan kucingmu itu lucu sekali loh!』 


"Sudah lupakan saja itu. Aku tidak tahu kenapa aku melakukannya."


Kemungkinan perasaan yang muncul setelah aku mencoba terlalu keras untuk menjadi imut itu masih sedikit tersisa.


Meskipun aku merasa sedikit canggung, tinggal di rumah ini seperti ada sesuatu dalam diriku yang perlahan terpengaruh.


『Hmm... Kalo soal rencana kencan atau cara menciptakan suasana yang menyenangkan, aku bisa memberimu banyak saran...』


"Sebaliknya, itu malah bisa dibilang sangat parah, lho, Kurumizaka-san."


『Hehehe, tidak begitu juga kok...』


"Maaf, tapi bagaimana kau bisa menganggap kata 'parah' itu dengan cara yang positif? Sebaliknya, itu luar biasa."


Aku benar-benar terkejut. 


Yah, mungkin ini memang salah satu daya tarik dari Kurumizaka-san (?).


『Entah ini bisa jadi saran atau tida, tapi, Kazu-kun, apa kau pernah berpikir ingin Rin-chan melakukan ini atau itu padamu?』


"...Ah..."


Aku mulai berpikir sejenak.


Sekadar mengingat, saat kencan pertama kali, aku memang ingin memegang tangan Rinka.


Selain itu, aku merasa ada perasaan yang lebih mendalam, lebih dari sekadar ingin berada di dekatnya.


Hari ini juga begitu.


Aku sempat berpikir, kalo saja Rinka menjadi idolaku sendiri...


"Terima kasih, Kurumizaka-san. Sepertinya aku mulai mengerti sedikit."


『Benarkah? Kalo begitu, jangan ragu untuk selalu berkonsultasi! Walaupun 'Rencana Teman Baik' sudah selesai, aku tetap akan siap membantu kapan saja!』


Suara ceria dan penuh semangat Kurumi-zaka-san benar-benar membuat hatiku hangat. 


Dia memang gadis yang sangat baik.


Setelah itu, kami mengakhiri percakapan dan aku mematikan lampu kamar, bersiap untuk tidur.


Di dalam kamar yang gelap gulita, aku menutup mataku dan perlahan terlelap ke dunia mimpi.


★★★


Kesadaranku yang tenggelam dalam dunia mimpi tiba-tiba terangkat kembali ke kenyataan. 


Aku membuka mata dan melihat langit-langit yang gelap dan tidak dikenal.


"......?"


Ada yang aneh, tubuhku terasa berat. Bahkan, selimutnya terasa menggembung. 


Seperti ada seseorang yang berbaring di dalam selimut, menindih tubuhku... Dan di dadaku, ada kepala yang sangat familiar.

Kurasa ini...


Aku memberanikan diri untuk mengangkat selimut itu.


"....Rinka-san?"


Seperti yang kukira, Rinka sedang berbaring di tubuhku, memelukku dengan erat. 


Apa aku menjadi gulingnya?


Rasa kedekatan yang tidak bisa lebih erat lagi. 


Meskipun melalui kemeja, aku bisa merasakan kehangatan tubuh Rinka yang lembut.


Wah, seriusan...


Situasi ini membuatku sangat panik. 


Aku hampir saja mengeluarkan suara karena terkejut.


Rinka memang cenderung menjadi lebih aktif di ruangan yang gelap, tapi aku tidak menyangka dia akan diam-diam merayap masuk tanpa mengatakan apapun.


Biasanya, dia selalu mengaku sebagai istri meskipun sebenarnya sangat pemalu, dan menjadi berani ketika wajahnya tidak terlihat. 


Pacarku ini memang sangat ekstrem...


"Uhm, Rinka-san? Bisa tolong pindah sedikit? Ini agak sesak..."


"Aku sedang tidur, jadi aku tidak mendengarmu."


"Tapi kau jelas bangun! Kau sangat jelas bangun!"


"Itu cuma omong kosong saat tidur."


"Dia memberikan respon dengan sangat jelas, tapi kenapa?"


"Aku masih harus bangun pagi besok... Jadi, kita obrolin besok saja, ya."


"Kenapa jadi aku yang terlihat seperti sedang minta perhatian begitu...?"


Aku merasa ini cukup tidak adil, sebenarnya.


Ketika aku hendak berbicara lagi, aku bisa merasakan Rinka mengangkat wajahnya. 


Karena gelap, ekspresinya tidak begitu terlihat jelas. 


Tapi, berdasarkan suasananya, sepertinya dia hanya menunjukkan ekspresi biasa yang tenang.


"Rinka, ini sedikit... tidak seharusnya seperti ini...!"


"Shh... jangan berisik, nanti ibu-ku akan mendengarnya. Aku sudah berusaha keras untuk sampai sejauh ini tanpa ketahuan, lho."


"...Tapi kalau orang-orang itu, aku rasa mereka akan menerima begitu saja."


"Apa yang kau pikirkan tentang keluargaku? Tentu saja mereka akan memberi tahu kita supaya menjaga hubungan dengan cara yang sehat."


...Apa sih maksud 'hubungan sehat' menurut mereka?


"Ini benar-benar obrolan aneh. Kita kan suami-istri, jadi tidur bersama itu hal yang wajar, kan?"


"Iya, benar. Jadi, tolong, kalo bisa menjauhlah sedikit—atau setidaknya turun dariku...!"


Aku berusaha menggoyang tubuhku untuk memaksanya turun, tapi Rinka seperti berpegangan erat pada tubuhku seperti koala, dan dengan sungguh-sungguh berusaha bertahan, "Nggggggg!" Kenapa begini?


"Tidak akan aku lepas, tidak akan!"


"Betapa gigihnya... Waktu tiduran jadi terus berkurang...!"


"Sampai sejauh mana kau pikir aku menantikan momen ini? Aku tidak akan melepaskanmu meskipun harus mati...!"


"Semangatmu memang... benar-benar salah arah...!"


"Ngugugugu!"


Semakin aku berusaha menggoyang tubuhku, semakin kuat Rinka memelukku. 


Pertarungan yang semakin sia-sia ditambah dengan rasionalitas yang hampir ambruk, akhirnya aku berhenti melawan.


"Mulai sekarang, setiap malam, kau harus jadi bantal pelukanku, Kazuto-kun... fufu."


"Fufu... Ini terlalu dekat. Apa kau bisa sedikit menjauh...?"


"Suami-istri itu seharusnya tidur bersama. Aku ingin berada di dekatmu sampai tubuh kita menyatu."


"...Apa kau tidak merasa apa-apa meskipun kita begini dekat begini?"


"Tubuh Kazuto-kun hangat, kan."


"Kau terlalu polos...!"


Ini benar-benar tidak seperti perkataan seorang gadis yang sedang berada di masa pubernya.


"Sun-sun, sun-sun... sun-sun."


"...Hm?"


Entah kenapa, Rinka mendekatkan wajahnya ke bawah leherku dan dengan sungguh-sungguh mengendus baunya.


Rasa malu yang seharusnya muncul tergantikan dengan kebingungan yang luar biasa.


"...Apa yang kau lakukan? Kenapa kai mengendus seperti itu?"


"Baunya Kazuto-kun itu membuat ku ketagihan. Begitu aku mencium, rasanya aku ingin terus melakukannya... sun-sun."


"Seperti narkoba yang punya efek adiktif... Kenapa kau tidak berhenti mengendus? Itu memalukan."


"Sun-sun, sun-sun..."


"Rinka?"


"...Kazuto-kun kau suka hewan, ya?"


"Kau tiba-tiba mengalihkan topik ya...? Mmm, tidak juga sih, aku tidak membenci hewan. Tergantung jenisnya."


"Begitu... Aku paling suka rakun."


"Rakun? Kenapa?"


"Karena lucu. Bentuk tubuhnya yang bulat dan mata yang bulat... Hanya dengan melihatnya, hati ku merasa tenang. Lagipula, yang paling aku suka adalah bagaimana mereka sangat setia sebagai pasangan."


Rinka terlihat berbicara dengan senang hati, sementara aku hanya diam mendengarkan.


"Rakun itu, lho, mereka hidup bersama dengan pasangannya seumur hidup. Pasangan suami-istri itu selalu berdekatan, dan selalu melakukan segala hal bersama."


"Jadi, mereka sangat setia ya?"


"Benar. Kalo pasangannya meninggal duluan, dia akan hidup sendirian sampai akhir hayatnya. Dan dia tidak akan mencari pasangan lagi."


Itu cinta yang begitu murni. 


Gambaran tentang rakun yang ada di kepalaku berubah total. 


Setelah mendengar cerita itu, rasanya rakun jadi terlihat seperti hewan yang sangat setia. 


Sekarang aku bisa mengerti kenapa Rinka begitu menyukai rakun.


"Ternyata aku tidak bisa tahan lagi. Batas kesabaranku sudah terlewati."


"...Tapi, aku rasa kau tidak sedang menahan apa-apa sih."


"Sebenarnya, aku biasa tidur sambil memeluk boneka Kazuto-kun."


"...Lalu?"


"Sekarang, aku sedang memeluk Kazuto-kun yang asli, tapi aku tetap ingin memelukmu lebih erat lagi."


"H-hah...?"


Aku bingung dengan apa yang sebenarnya Rinka inginkan. 


Ketika aku masih ragu, tiba-tiba Rinka memegang kepalaku dan menariknya—membawa wajahku ke dadanya. 


Aku hanya bisa merasakan tubuhnya yang sangat lembut, memeluk kepalaku dengan kuat. 


Aku merasa sesak dan perlahan menepuk tangannya, berharap bisa bernapas sedikit lebih lega.


"...Kau benar-benar melakukan apa saja ya...!"


"Apa kau tidak suka? Kalo kau benar-benar tidak suka... aku akan berhenti."


"Aku... tidak tidak suka..."


"Begitu, suamiku yang agak lambat dalam menjadi jujur. Betul-betul membuat bingung."


".........."


Aku merasa ingin mengatakan sesuatu, tapi aku menahan diri.


"Sungguh Kazuto-kun itu imut. Boneka Kazuto-kun juga imut, tapi tetap saja Kazuto-kun yang asli yang paling aku suka."


"Begitu ya.........."


Kalo dia berkata kalo boneka Kazuto-kun lebih imut, itu pasti akan mengejutkanku.


"Hei Kazuto-kun, apa ada sesuatu yang ingin kau minta dariku? Mulai dari mengelus kepala hingga menyanyikan lagu pengantar tidur, apapun boleh."


"Jangan perlakukan aku seperti anak kecil. Tolonglah..."


"Apa kau tidak tahu? Ketika Kazuto-kun tidur, kau itu benar-benar seperti anak kecil. Wajah tidurmu yang polos itu sangat menggemaskan."


Tangan Rinka yang memeluk kepala ku semakin mengerat.


Mungkin Rinka tidak menyadari, tapi saat ini wajahku benar-benar tertekan di payudaranya. 


Aku masih berbicara biasa, tapi rasanya seperti jantungku akan meledak dan situasinya menjadi sangat berbahaya.


"Sungguh, Kazuto-kun ini benar-benar Kazuto-kun, Kazuto-kun......!"


Rinka mengeratkan pelukannya lagi pada kepalaku, seakan tidak tahan, dan terus menyebut namaku berkali-kali. 


Aku merasa hampir tercekik, jadi aku perlahan mengetuk tangannya, meminta dia untuk sedikit melonggarkan pelukannya.


......Kazuto-kun, ya.


"Kalo begitu, aku ada satu permintaan, boleh?"


"Tentu, serahkan padaku."


"Kenapa kau menerima begitu cepat? Aku belum mengatakan apapun."


"Karena itu permintaan Kazuto-kun, kan? Tentu saja aku tidak akan menolaknya."


"Kalo begitu, tolong jauhkan kepalaku." 


"Ssst, ssst... eh, maaf. Tadi aku tertidur sebentar jadi tidak dengar. Maaf ya, kita bicara lagi nanti."


"Hei."


Karena dia tidak mau melepaskannya, aku menyerah dan meminta hal lain.


"Rin, aku punya satu permintaan lagi."


"Tergantung permintaannya."


"Kata-katamu berbeda dari tadi."


"Wajar saja kalo pemikiran seseorang berubah seiring waktu."


"Lebih tepatnya, kau hanya memilih pilihan yang menguntungkanmu, kan?"


"Ssst, ssst... eh, apa tadi?"


"......."


Sial, aku jadi kesal, tapi di saat bersamaan aku merasa dia sangat menggemaskan! 


Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, lalu menyampaikan permintaan ku.


"Aku ingin kau memanggilku Kazuto."


"... Kau tidak suka dipanggil dengan tambahan 'kun'?"


"Bukan begitu. Ini hanya permintaan tiba-tiba. Tidak ada maksud khusus."


"Begitu..."


Kalo dipikir-pikir, tidak ada orang yang memanggilku Kazuto. Memang ada apa sih, tapi...


"Kazuto."


"Hmm."


Rinka mengucapkan namaku dengan datar.


"Kazuto."


"Hmm."


"Kazuto, Kazuto, Kazuto, Kazuto, Kazuto, Kazuto..."

 

"Jangan, aku takut!"


Rinka merangkak ke dalam selimut dan terus memanggil namaku dengan wajah serius... Sepertinya ini adegan dari film horor.


★★★


Entah sudah berapa lama. Mungkin hanya beberapa puluh menit.


Tidak mungkin aku bisa tenang dalam keadaan dipeluk oleh Rinca seperti ini.


Ketika mendengarnya mulai mendengkur dengan lembut, "Ssst... ssst... ssst", aku perlahan-lahan mendorong Rinca dan merangkak keluar dari selimut. 


Aku tidak tahan dengan situasi ini. 


Intensitas kedekatan kami kali ini jauh berbeda dari biasanya. 


Sepertinya tindakan Rinka semakin berani. ... Mungkin kalo lampunya menyala, dia akan lebih tenang.


"Pukul 2... ya?"


Aku melihat jam di Hp-ku. Aku sama sekali tidak mengantuk.


Aku memutuskan untuk keluar ke balkon sebentar untuk menenangkan pikiran.


"Oh, Kazuto-kun. Kenapa kamu keluar jam segini?"


Ada orang yang sudah ada di sana. Itu Kasumi.


Dia bersandar pada pagar balkon, menatap langit malam yang mendung sambil minum minuman alkohol (kaleng yang ditandai dengan lemon asam). Pipinya sedikit memerah.


"Aku ingin menghirup udara segar..."


"Begitu ya. Jangan-jangan, kau baru saja dari kamar Rinka?"


"Ya, begitulah..."


"Sudah...?"


"Aku tidak akan menjawab pertanyaan itu. Tidak ada apa-apa antara kami."


Aku menjawab dengan tegas, dan Kasumi tertawa kecil.


"Kau ini lucu sekali. Terus, kau sedang apa di sini?"


"Aku? Aku sedang merenung..."


"Sambil minum minuman beralkohol?"


"Iya. Mau coba?"


Aku hendak mengambil minuman yang dia ulurkan, tapi dia segera menariknya kembali.


"Tidak boleh. Nanti jadi ciuman tidak langsung."


"Seharusnya kau protes yang lain, bukan itu."


"Kau mabuk ya?"

 

"Iya juga ya. Aku tipe orang yang kuat minum, jadi kalo aku pergi ke acara minum-minum dengan laki-laki, aku harus dengan teman yang bisa dipercaya."


Acara minum-minum... Itu dunia yang belum pernah aku alami sebagai anak SMA.


"Padahal kau tidak kuat minum, tapi kenapa kau minum?"


"Kalo lagi banyak pikiran..."


"Memikirkan apa?"


Pertanyaan itu muncul begitu saja di tengah obrolan santai kami, dan setelah berpikir sejenak, Kasumi mulai berbicara.


"Tentang Rinka."


"Tentang Rinka?"


"Aku iri padanya."


Kasumi menatap langit malam dengan tatapan kosong.


Ini bukan sekadar ucapan biasa. 


Dia terlihat sangat serius.


Sebelumnya, Kasumi pernah bilang kalau dia iri pada Rinca, tapi kali ini rasanya berbeda.


Karena aku terdiam, Kasumi melanjutkan sambil menatap bulan yang tertutup awan.


"Dia sukses jadi idol, bisa bersama pria yang dia suka...sudah sempurna sekali. Dia bisa mengurus rumah tangga dengan baik... dia benar-benar wanita idaman."


"Kasumi-san..."


"Tentu saja aku tahu Rinka sudah berusaha keras. Aku melihatnya sendiri. Sebagai kakak, aku sangat senang melihatnya bahagia. Tapi kadang-kadang, aku membandingkan diriku dengannya..."


Aku mengerti apa yang dia maksud tanpa perlu bertanya.


Aku selalu menganggap Kasumi-san sebagai kakak yang suka bersenang-senang, tapi ternyata dia memiliki sisi yang lebih serius.


Ini adalah hal yang wajar.


Wajar kalo seseorang merasa iri pada adiknya yang jauh lebih sukses.


"Ah, aku mungkin terlalu banyak minum. Aku masuk dulu ya."


Kasumi-san meninggalkan balkon. 


Aku melihat punggungnya yang terlihat sedikit sedih.


"......."


Aku tidak bisa berkata apa-apa. 


Tidak ada yang bisa kukatakan.


Yang bisa kulakukan sekarang adalah melupakan pembicaraan ini demi kebahagiaan Kasumi-san. 



Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال