Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 4, chapter 4. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
PERASAAN SEKARANG
Keesokan paginya setelah bertemu dengan Reina, aku terbangun dengan tubuh yang terasa sedikit lesu.
Aku pikir itu mungkin karena cuacanya, lalu aku membuka tirai jendela.
Seperti yang kukira, hujan sedang memukul kaca jendela.
Langit yang kelabu dan tebal bisa dilihat dengan cepat hanya dari sekali pandang, dan angin kencang membuat rumah bergetar.
"...Ini belum musim badai, kan?"
Tanpa sadar, aku menggumamkan kata-kata itu karena dunia di luar terasa begitu berisik.
Tadi malam, aku memeriksa prakiraan cuaca melalui aplikasi di Hp-ku, dan tidak ada tanda-tanda badai.
Yang ada hanya kemungkinan hujan dengan probabilitas 60% sepanjang pagi, dan tanda cerah untuk siang hari.
Sulit untuk mempercayai kalo beberapa jam lagi cuaca akan cerah, melihat kondisi langit yang seperti ini.
Untuk mengikuti kuliah, aku harus meninggalkan rumah dalam satu jam lagi, tapi dengan cuaca seperti ini, rasanya sangat berat untuk melangkah keluar.
Website kampus belum mengumumkan adanya pembatalan kuliah, tapi itu mungkin hanya masalah waktu saja... Aku memilih untuk percaya begitu.
Kalo aku seorang pekerja kantoran, pasti tidak ada alasan untuk tidak pergi bekerja meski cuacanya buruk, tapi sebagai mahasiswa, sering kali kita bisa absen kalo ada peringatan cuaca buruk.
Memang agak aneh, kampus dengan mahasiswa yang lebih tua justru lebih mudah mengambil hari libur, tapi aku akan menerima itu karena setiap mahasiswa diberi kebebasan untuk memutuskan.
Artinya, aku akan tidur lagi sekarang, mempercayai kalo kuliah nanti akan dibatalkan.
Betapa aku pandai membujuk diri sendiri untuk bersikap malas, pikirku sambil berbaring ke dalam selimut.
Pada saat itu, Hp-ku bergetar.
Dari balik selimut, terdengar suara getaran yang samar.
Karena suara itu datang dengan interval yang teratur dan berlanjut, aku bisa tahu kalo itu bukan pesan, melainkan panggilan telepon.
───Siapa sih itu?
Dengan otak yang masih agak tumpul karena baru bangun tidur, aku perlahan mencoba berpikir.
Tapi, aku akhirnya sadar kalo aku tidak mengangkatnya, bisa jadi ada masalah, jadi dengan enggan aku meraih Hp-ku dan menyentuhnya.
『Jangan tidur!』
...Suara ini, sepertinya milik Ayaka.
Kalo dia bisa menebak tindakanku hanya dari cuaca, ini sudah sangat menakutkan, tapi aku berharap itu tidak terjadi.
Aku ragu sebentar untuk membalas atau tidak, akhirnya memutuskan untuk pura-pura tidur.
『Kabarnya semua kuliah hari ini dibatalkan.』
"Serius!?
『Itu bohong. Kau bangun kan?』
Aku terbangun dengan tiba-tiba, membuka mulut sebentar, dan menatap ponselku dengan bingung.
"Ke...keh, kau menggodaku dengan hati yang tulus..."
『Kalo hati mu tulus, seharusnya kau senang datang untuk kuliah.』
"Justru karena hati ku tulus, aku lebih jujur dengan keinginan ku!"
『Ya, ya, hebat.』
"Sialan!"
Dengan kata-kata itu, aku kembali menyembunyikan wajahku di bantal.
Tidak ada seorang pun yang bisa menghentikan tiduran ku yang sudah kehilangan harapan.
Tapi, bertentangan dengan keinginanku, perutku tiba-tiba mengeluarkan suara keroncongan.
『...Mungkin, sebaiknya kau makan sarapan dulu?』
"....Iya, kau ada benarnya juga."
Aku menjawab dengan enggan, lalu perlahan-lahan bangkit dari tempat tidur.
Aku membawa Hp-ku dan turun dari tempat tidur, merasakan udara dingin di telapak kaki. Sepertinya hari ini cukup dingin.
"Kenapa ya, hari ini dingin sekali?"
『Memang dingin. Sampai aku kepikiran untuk menyalakan pemanas.』
"Benar. Ya sudah, aku akan menjalankannya aja."
Setelah menyalakan pemanas yang tidak sesuai musim, aku membuka pintu kulkas.
Kalo sudah lebih dari 5 hari tanpa kedatangan Shinohara, kulkasku akan kembali dipenuhi dengan makanan yang tidak sehat seperti biasanya.
Setiap kali itu terjadi, aku selalu dimarahi dengan kalimat, "Kenapa dalam beberapa hari ini isinya cuma eclair?" jadi sekarang, ada sekitar 8 onigiri yang kubeli di minimarket.
Dengan ini, seharusnya tidak ada yang bisa mengeluh.
『Hei, katanya ada peringatan badai, jadi semua kuliah hari ini benar-benar dibatalkan.』
Pernyataan Ayaka kutanggapi dengan santai.
"Aku, sudah tahu. Sekarang aku mau makan roti melon coklat chip."
Dengan itu, aku menarik melon pan coklat chip dari rak dapur.
Onigiri aku simpan untuk makan malam nanti.
『Itu terdengar enak. Tapi, kenapa kau tidak tidur lagi aja, kan ini kesempatan untuk tidur 2 kali.』
Kalo Ayaka mengulang hal yang sama lagi, aku pasti bisa menebaknya.
Dengan suara kunyahan, aku menanggapi candaan Ayaka.
Aroma manis yang samar menyebar di mulutku, memberi perasaan bahwa hari baru sudah dimulai.
Terdapat berbagai jenis roti isi, tapi roti melon dengan chip coklat adalah salah satu yang paling saya sukai dan sering saya makan, biasanya dua hingga tiga kali dalam seminggu.
"Seandainya ada café au lait di sini, pasti itu akan sempurna sekali."
『Kau bisa membelinya di minimarket dekat situ. Kan hanya 2 menit berjalan kaki dari situ.』
"Memang sih, tapi kalo aku keluar sekali, aku pasti akan kebangun dan tidak bisa tidur lagi."
『Jangan bilang begitu. Lalu, apa rencanamu hari ini?』
"Apa yang kau maksud dengan 'apa rencanamu'?"
『Karena kuliah dibatalkan, kau jadi bebas hari ini. Kau mau melakukan apa di apartemen mu?』
Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku menyadari sesuatu.
"....Serius, kuliah hari ini benar-benar dibatalkan?"
『Sudah aku bilang dari tadi, kan?
』
Aku buru-buru memeriksa halaman web kampus melalui Hp-ku, dan ternyata benar, pengumuman pembatalan kuliah sudah muncul di papan pengumuman.
"Seperti cerita anak-anak yang berlebihan..."
Tanpa sadar, aku mengeluh, dan Ayaka langsung membalas, 『Aku ini perempuan, loh!』
Maksudku bukan itu, tapi tidak masalah juga jika dia mengira seperti itu.
"Kalo hari ini libur, sayang sekali kalo hanya tidur. Mungkin sebaiknya aku bermain game."
Karena aku sudah makan sarapan saat teleponan dengan Ayaka, rasanya aku seperti sudah memulai hari.
Kebetulan hari ini aku tidak ada kerja paruh waktu, jadi ini kesempatan bagus untuk menikmati waktu sendiri.
Aku menyalakan konsol game yang terhubung ke TV.
Meskipun sudah lama kubeli, suara ketika konsol itu menyala selalu membuat suasana hatiku menjadi lebih baik.
『Kau benar-benar aneh.』
Mendengar suara Ayaka yang terdengar seolah terkejut, aku pun tersenyum tipis.
"Bahkan kalo kau memujiku, tidak akan ada hasilnya loh."
『Aku sama sekali tidak memuji, kok.』
Aku tertawa mendengar jawabannya yang cepat.
Ternyata, tertawa bisa mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan—sepertinya itu benar adanya.
Mungkin, Ayaka memang menjadi sosok yang seperti itu bagiku.
Tanpa perlu merasa terbebani, hanya dengan berbicara dengannya, hati ini terasa lebih tenang.
Ini agak memalukan untuk diungkapkan secara langsung, tapi mungkin Ayaka juga merasakan hal yang sama.
Meskipun hubungan kami terlihat aneh dari luar, mungkin itu tidak masalah.
Tapi, selama ini, meskipun kami saling menganggap hubungan kami sebagai satu-satunya yang tidak tergantikan, kami tidak pernah menganggapnya sebagai hubungan yang aneh.
Kami bahkan tidak menyadari kalo hubungan ini bisa menyakiti orang lain.
──Apa yang kita lihat dan rasakan adalah segalanya.
Aku bisa dekat dengan Ayaka karena saat pertama kali bertemu dengannya, aku memutuskan untuk tidak memikirkan pandangan orang lain dan membangun hubungan ini tanpa beban.
Tentu saja, setelah masuk kampus, aku memang lebih berhati-hati dan menghindari memposting foto-foto kami berdua di SNS, menjaga jarak sesuai dengan norma yang ada.
Tapi, aku yakin, hubungan ini sulit untuk dipahami oleh siapa pun, tidak peduli seberapa banyak aku mencoba menjelaskannya.
Kecuali kalo mereka bisa merasakan sendiri masa-masa indah seperti masa muda yang penuh warna itu, mereka tidak akan bisa mengerti.
Jika itu benar, maka hubungan ini──
『Hei.』
"Hmm?"
Aku terhenti sejenak oleh panggilan Ayaka.
『Cuacanya mulai cerah.』
"Jangan bercanda."
Saat aku mengalihkan pandangan dari konsol game ke jendela, cahaya matahari mulai masuk ke dalam ruangan.
Tapi, hujan masih turun.
"Sepertinya hujan ringan masih turun. Anginnya sudah berhenti, tapi..."
『Itu seperti pernikahan rubah.』
[TL\n: itu mitos atau cerita rakyat yang berkaitan kalo hujan tapi mataharinya gak ketutp awan mendung dan matahari masih bersinar terang, yah kalo di indo mitosnya itu ada org yang meninggal.]
"Oh, jadi ada yang menikah lagi hari ini, ya?"
『Jangan asal menjawab begitu.』
Meskipun dia berkata begitu, nada suara Ayaka tetap lembut.
Berbicara melalui telepon setiap hari berarti aku bisa memberikan jawaban yang santai seperti ini, dan Ayaka pun akan menerima hal itu.
Aku juga akan melakukan hal yang sama jika berada di posisi yang sama, dan karena itu hubungan kami tetap bertahan.
『Hei, bagaimana kalau kita bertemu hari ini?』
"Eh?"
Aku berhenti menggerakkan tanganku yang memegang konsol game.
Ayaka terdengar tidak puas dengan reaksiku itu dan berkata,『Apa?』
『Yah, sebenarnya tidak masalah, sih. Kau pasti ingin bermain game, kan?』
Ayaka dengan mudah membatalkan ajakannya, tapi aku segera menahannya.
"Tidak, aku akan pergi. Tadi aku hanya sedikit terkejut saja."
『Eh? Terkejut kenapa?』
"Karena, ini pertama kalinya kalo kau bilang kau ingin bertemu denganku. Biasanya, kalo kau ingin mengajakku bertemu kau selalu ada alasan seperti ada acara dan kau ingin sebaiknaya aku ikut."
Biasanya karena ada acara kencan buta. Ingin makan siang di kafe baru yang buka. Menginginkan ikut makan di buffet hotel atau ingin pergi berlibur—atau setelah kuliah, aku diajak bergabung.
Mendapat ajakan tanpa alasan apapun di hari libur adalah hal yang langka.
Sepertinya, Ayaka menyadari hal itu dari kata-kataku, karena dia memberikan jawaban yang agak kehilangan ketenangannya.
『I-iya, ini memang agak jarang…』
"Kau agak panik tadi, kan?"
『Tidak, ada alasan yang jelas kok.
』
"Ah, benar-benar saja."
『Aku matikan ya, selamat tinggal.』
"Eh!? Tunggu, maafkan aku!"
Aku terkejut dan segera menghentikan ucapanku.
Bukannya aku ingin menelepon 24/7, tapi aku merasa sedih ketika keheningan tiba-tiba kembali ke dalam ruangan ini.
Selama beberapa saat, aku berpikir untuk terus melanjutkan percakapan sambil menaikkan levelku di RPG, tapi kesepian itu justru semakin mendalam.
"Kalo untuk pergi jalan-jalan, aku bisa mempertimbangkannya."
『Itu bagus. Jadi, kita setuju kan?
』
"Tunggu sebentar."
『Ada apa?』
Meskipun aku yang mengajukan usulan, aku merasa ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum menerima ajakannya.
"Aku tidak punya mobil. Lagipula diluar lagi hujan."
『Aku akan menyewa mobil. Hujannya juga akan segera berhenti.』
"Hei, Kau baru saja menjawab dengan kosa kata yang bagus Pasti begitu!"
Dari ujung telepon, aku mendengar suara tawa Ayaka. Sepertinya memang benar begitu.
『Terserah nanti kalo hujan sudah berhenti, oke. Tapi karena ini kesempatan, aku ingin tetap pergi meskipun hujan ringan. Kalo berdua, sewa mobil juga lebih murah.』
"Ah, jadi kau juga cukup suka meyetir, ya?"
『Hmm,yah bisa dibilang aku suka. Tapi, aku tidak cukup berani untuk menyewa mobil sendiri. Kalo aku membayarnya sendiri, itu agak mahal juga, sih.』
"Benar. Sewa mobil itu memang cukup mahal kan?"
Meski hanya untuk sewa satu hari, harga sewa mobil cukup memberatkan kantong mahasiswa.
Semakin banyak orang yang ikut, semakin murah harganya per orang.
Memang, biasanya sewa mobil dilakukan dalam kelompok besar atau saat berlibur.
『Selain itu, aku belum pernah satu mobil denganmu.』
"Ah, memang. Sejak aku punya SIM, aku hanya pernah bawa orang tuaku saja."
Mobil memang memiliki keuntungan karena lebih fleksibel dalam hal mobilitas, tapi ada juga kekurangannya, seperti tidak bisa minum alkohol saat jalan-jalan dan biaya parkir yang harus dibayar.
Bagi mahasiswa, transportasi dengan menggunakan kereta lebih praktis.
Itulah sebabnya aku belum pernah naik mobil bersama Ayaka, dan memang kalo tidak ada kesempatan seperti ini, aku jarang mengajak orang untuk jalan-jalan menggunakan mobil.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku memutuskan untuk setuju.
Tapi dengan syarat.
"Baiklah, kalo hujan sudah berhenti, kita akan bertemu."
Meskipun jalan-jalan dengan mobil terdengar menarik, bagi ku itu lebih cocok dilakukan saat cuaca cerah.
Rasanya aku kurang berminat untuk berkendara saat hujan, apalagi dengan menyalakan lampu sein.
『Coba buka jendela.』
"Eh?"
『Ayo, lakukan saja.』
Seperti yang diperintahkan, aku bangkit dari tempat dudukku dan menuju jendela, kemudian aku mengulurkan tanganku ke jendela.
Saat jendela terbuka, ternyata hujan benar-benar berhenti.
"....Apa ini sihir?"
『Sekarang langit akan cerah!』
"Padahal, sudah cerah."
Aku menjawab dengan senyum masam pada kata-kata yang terdengar seperti sesuatu yang keluar dari seorang miko.
★★★
Waktu pribadi antara mahasiswa dan pelajar SMA.
Kalo dibandingkan, mahasiswa memang cenderung mengeluarkan lebih banyak uang.
Dulu, ketika masih SMA, kalo diajak makan malam, biasanya hanya di restoran keluarga, tapi setelah menjadi mahasiswa, tempat yang dipilih beralih ke izakaya.
Saat menghabiskan waktu seharian bersama teman, tidak jarang uang sebesar 10 ribu yen bisa habis begitu saja.
Tapi, ada kepuasan tersendiri ketika menggunakan uang yang diperoleh sendiri untuk melakukan hal-hal yang disukai, sesuatu yang tidak bisa dirasakan ketika masih SMA.
Tapi walaupun begitu, kehidupan SMA juga memiliki kesenangan tersendiri yang hanya bisa ditemukan di sana, sehingga sulit untuk membandingkan keduanya.
Tapi, ada satu hal yang jelas membuatku merasa bahwa kehidupan di universitas lebih menyenangkan.
Yaitu, transportasi—lebih tepatnya, mengemudi mobil.
Meskipun izin mengemudi dapat diperoleh sejak usia delapan belas tahun, di tahun terakhir SMA, fokus utama adalah ujian masuk sehingga tidak banyak waktu untuk memikirkan hal lain.
Oleh karena itu, sebagian besar mahasiswa mulai mengurus izin mengemudi setelah masuk kuliah.
Tapi, sangat sedikit mahasiswa yang memiliki mobil pribadi.
Di sinilah sewa mobil menjadi solusi.
Dengan biaya sekitar 5 ribu yen, kita bisa menyewa mobil selama 6 jam, dan jika dibagi bersama teman-teman, harganya menjadi lebih terjangkau untuk kantong mahasiswa.
Aku memperoleh SIM lebih dari setahun yang lalu.
Setiap kali pulang kampung, aku meminjam mobil orang tua untuk berlatih, dan seringkali mengajak teman-teman untuk jalan-jalan dengan menyewa mobil, sehingga sekarang aku sudah mulai terbiasa.
Dan kini, aku sedang dalam perjalanan dengan Ayaka.
"Hai, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Hmm?"
Ayaka, yang duduk di sebelahku, mengeluarkan suara yang terdengar sedikit ragu.
"Kan, kau yang mengajak jalan-jalan ini, kan?"
"Ah, iya. Terkadang, kita perlu melakukan hal seperti ini, kan?"
"Ya, memang sih. Memang menyenangkan."
Lampu lalu lintas berubah menjadi merah, dan mobil berhenti dengan menjaga jarak yang cukup dari kendaraan di depan.
Kemudian, Ayaka menyipitkan matanya dan menatapku.
"Kenapa kau tidak mengemudi?"
"Awalnya, aku merasa aku butuh waktu untuk memeriksa teknik mengemudimu terlebih dahulu."
"Aku pikir kau akan memberikan jawaban yang lebih baik dari itu."
Ayaka mengeluarkan suara yang terdengar sedikit kecewa.
Memang, setelah aku yang mengusulkan untuk berkendara, membiarkannya terus-menerus mengemudi mungkin bukan keputusan terbaik.
"Kalo begitu, biarkan aku yang mengemudi saat pulang!"
"Itu yang aku rencanakan juga. Meskipun kau masih tergolong baru dalam mengemudi, aku sedikit khawatir."
"Tidak kok, tidak terlalu berbeda juga."
"Benarkah? Yah, aku sewa mobil ini sampai besok, jadi pengembaliannya tidak harus hari ini."
"Ah, jadi apa kau punya rencana lain?"
"Sampai sekarang, aku belum tahu pasti, tapi kita lihat saja nanti."
Sambil berbicara ringan, lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.
Kami mulai bergerak mengikuti mobil di depan dan perlahan-lahan menambah kecepatan.
"Ayaka, kau mulai mengemudi sejak kapan?"
Pertanyaanku membuat Ayaka terdiam sejenak, seolah sedang mengingat kembali, kemudian dia memberikan jawabannya.
Aku merasa sedikit bersalah karena berpikir di saat mengemudi, tapi aku tetap menunggu jawabannya.
"Sepertinya sekitar musim gugur di tahun pertama. Aku ikut pelatihan dengan teman-temanku, dan langsung mendapatkan SIM."
"Ah, pelatihan, ya? Sepertinya itu cara yang cepat dan praktis."
Ditambah lagi, rasanya menyenangkan bisa tinggal bersama teman-teman selama 2 minggu dalam satu program.
Meskipun aku juga menikmati waktu sendiri, kadang-kadang aku merasa tertarik dengan kegiatan semacam itu, jadi aku agak iri dengan pengalaman pelatihan mengemudi.
"Kalo kau sendiri, tidak mengikuti program pelatihan?"
"Aku mengikuti sekolah mengemudi selama 6 bulan. Sekarang, kalo dipikir-pikir, mungkin lebih baik mengikuti program pelatihan seperti yang kau lakukan supaya lebih cepat."
Di sekolah mengemudi yang memiliki periode waktu tertentu, kita harus menjadwalkan pelajaran teori dan praktik sesuai dengan kecepatan masing-masing.
Tapi, karena aku terlalu sering bolos di awal, aku hampir saja tidak lulus.
Biaya yang dibutuhkan juga sekitar 20 ribu yen, jadi di bulan terakhir, aku harus memanfaatkan pembatalan jadwal dari siswa lain untuk akhirnya mendapatkan SIM.
Itu adalah kenangan yang cukup menegangkan.
"Seharusnya kalo kau tidak bisa mengatur jadwal dengan baik, lebih baik ikut pelatihan intensif saja."
"Ah, waktu itu rasanya memang tidak memungkinkan."
"Ya, memang butuh waktu yang cukup."
Di depan zebra cross, ada pejalan kaki yang berhenti, dan Ayaka menghentikan mobil untuk memberi jalan.
"Jadi, aku ini menyetir tanpa tujuan yang jelas, kau ada rencana atau tujuan tertentu?"
"Kalo kita ingin, aku bisa buatkan tujuan sekarang."
"Aku sudah menduga itu. Kalo begitu, bolehkah ke rumahku?"
"Eh, maaf?"
Aku sedikit cemas melihat ekspresi Ayaka yang terlihat agak datar, dan perlahan aku mengamati wajahnya.
Setelah mobil melaju kembali, Ayaka sepertinya sadar dengan tatapanku dan melirik ke arahku sejenak.
"Ah, tidak apa-apa. Aku tidak marah. Aku hanya bilang, apa kau mau datang ke rumahku?"
"Ah, kalo begitu, syukurlah."
Aku sempat mengira kalo itu semacam peringatan bahwa kalo aku terus mengajukan hal yang tidak jelas, Ayaka akan menyuruhku pulang.
Tapi, setelah dipikirkan dengan lebih tenang, aku menyadari kalo Ayaka pasti akan mengungkapkan dengan jelas jika dia ingin menyampaikan sesuatu.
Aku merasa lega dan mulai menikmati pemandangan dari jendela mobil.
Aku terkesan dengan pemandangan yang terlihat berbeda dari yang biasa kulihat di trotoar, dan kenangan itu masih segar di ingatanku.
Saat pertama kali mengemudi—
"Eh? Rumah?"
Aku terkejut dan tanpa sadar menatap Ayaka 2 kali dengan pandangan yang lebih jelas.
★★★
Pada masa SMA, aku pernah mengunjungi rumah Ayaka.
Tapi, itu adalah rumah orang tuanya, dan tentunya berbeda dengan masuk ke rumah tempat tinggal pribadi.
Dengan sedikit rasa gugup, aku melangkah melewati ambang pintu, dan yang keluar dari mulut ku adalah kata-kata yang penuh kekesalan.
"Tidak adil!!"
"Wah, kau mengejutkan ku! Kenapa kau berteriak begitu?"
Ayaka menepuk punggung ku dengan keras dan segera mengajak ku untuk masuk ke dalam ruang tamu.
Aku pun segera melupakan rasa sakit di punggung dan masuk.
Ya, ruang tamu.
"1LDK, ini benar-benar membuat iri... Terlebih lagi, rumah ini 2 kali lipat lebih luas dari rumahku."
"Sebenarnya, ini tidak ada yang istimewa. Untuk melengkapi furnitur, aku harus mengeluarkan banyak uang, jadi aku harus bekerja paruh waktu dengan sangat keras."
"Tapi tetap saja, aku tetap iri. Wah, aku ingin sekali pindah ke sini."
Lantai kayu putih, gorden dan karpet biru muda.
Tanaman hias di sudut ruang tamu sangat cocok dengan warna gorden, sementara meja kaca di tengah ruangan dihiasi dengan jam pasir.
Meskipun barang-barangnya banyak dan beragam, ada kesan kesatuan dalam dekorasi yang memberikan suasana yang sangat modis.
"Sepertinya aku juga ingin membuat rumah ku seperti ini."
Dulu aku berpikir kalo rumah hanya sekadar tempat tinggal, tapi setelah melihat perbedaan ini dengan teman sebaya, saya merasa sedikit tertekan.
"Kau tidak akan bisa."
"Itu kejam sekali!"
"Itu benar, loh. Aku cukup beruntung karena orang tua ku membantu membayarkan setengah biaya sewa rumah, tapi meskipun begitu, aku harus bekerja paruh waktu 4 kali seminggu supaya bisa hidup. Kau sendiri, rasanya tidak mungkin bisa bekerja lebih dari 3 kali seminggu."
"...Tapi aku masih bisa bertahan!"
"Ya, ya, duduk saja di sofa."
Ayaka mengabaikan keluhan ku dan menuju ke dapur.
Aku masih merasa tidak puas, lalu melanjutkan memandanginya dari belakang, sementara Ayaka mengambil apron dari rak kecil di dapur.
Gerakan Ayaka yang mengenakan apron adalah sesuatu yang biasa saya lihat di rumah, namun kali ini tempat dan situasinya berbeda.
Melihat Ayaka mengenakan apron mengingatkan ku pada praktik pelajaran rumah tangga di SMA dulu.
"Eh, ada apa? Serius?"
Aku merasa sudah bisa menebak apa yang akan terjadi, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Ayaka yang sedang menggigit ikat rambutnya, menoleh ke arah ku.
Begitu mata kami bertemu, Ayaka tersenyum nakal, dengan sudut bibir yang terangkat.
"Hehe."
──Ah.
Gerakan Ayaka yang menggabungkan kelucuan dan sedikit daya tarik seks membuat ku secara tidak sadar berpaling.
"Diam di situ saja."
Setelah mengikat rambutnya, Ayaka mulai mencari bahan-bahan di dalam kulkas, lalu dengan cekatan menata bahan-bahan tersebut di atas meja.
Kenapa tiba-tiba semuanya berubah begini?
"Apa aku pernah melakukan hal baik padamu?"
"Tidak ada. Hanya saja, aku sedang merasa seperti ini. Lagipula, kau datang ke sini hari ini."
Setelah menjawab pertanyaan ku dengan santai, Ayaka mulai mengoleskan mentega ke dalam wajan.
Kalo hanya dengan menjawab ajakan untuk datang saja aku bisa diperlakukan seperti ini, rasanya aku ingin segera datang kapan saja.
Sambil memikirkan hal tersebut, aku mengamati Ayaka dari belakang, dan aku merasa seolah-olah pertarungan yang berada di luar pemahaman ku sedang dimulai di atas kompor.
"Kau suka gratin, kan? Aku akan membuat itu."
"Eh, serius? Apa aku akan mati? Apa ini makan malam terakhirku?"
"Yah, sebenarnya sih, ini bisa dibilang keberuntungan yang bisa membuat orang merasa seperti itu."
Ayaka mengatakan itu dengan santai sambil terus melanjutkan memasak.
Jumlah kali Ayaka memasakkan makanan untukku bisa dihitung dengan jari.
Semua itu terjadi saat kami masih di SMA, seperti ketika dia membuatkan bekal untuk festival olahraga atau saat praktik pelajaran rumah tangga, semuanya terjadi di sekolah.
Setidaknya, ini adalah pertama kalinya dia memasak untukku di rumahnya.
Bagi para penggemar Ayaka di sekolah, situasi yang sedang kualami ini mungkin sangat diinginkan, hampir seperti sesuatu yang sulit dicapai.
"Sebenarnya, aku sudah ingin memasakkanmu makanan sejak dulu, tapi kita tidak pernah bisa menemukan waktu yang tepat, kan? Semua yang sudah aku rencanakan selalu tertunda, jadi tadi di dalam mobil aku berpikir, 'hari ini saja, deh.'"
"Terima kasih banyak."
"Ayo, ucapkan terima kasih dengan lebih biasa."
Meskipun dia berkata begitu, aku bisa merasakan Ayaka tersenyum puas.
Aku pun merasa senang dengan hal itu dan menempelkan wajah ku ke bantal.
Tiba-tiba, aku mencium aroma lembut dari Ayaka, dan tanpa sengaja aku merasa seperti melakukan sesuatu yang tidak seharusnya, jadi aku segera menjauhkan wajahku.
"Tidak perlu khawatir, kok."
Ayaka mengatakan itu tanpa menoleh ke arah ku. Mungkin dia memiliki mata di belakang kepalanya.
"Tenang saja, santai saja."
Waktu yang telah kami lalui bersama membuat Ayaka bisa mengucapkan kata-kata seperti itu.
"...Iya."
Aku menjawab singkat dan kembali menempelkan wajah ku ke bantal.
Sambil mendengarkan suara Ayaka yang sedang memasak dan terbungkus aroma bantal, aku merenung sejenak.
Setelah perjalanan ke pemandian air panas, hubungan kami tidak banyak berubah.
Dan aku memutuskan untuk terus menjaga hubungan ini.
Meskipun hubungan kami mungkin terlihat tidak biasa jika dilihat dari luar, selama kami berdua merasa puas dengan keadaan ini, itu sudah cukup.
Ini adalah keputusan yang aku pilih, dan juga sesuatu yang Ayaka terima.
Tapi sekarang, aku berada di rumah Ayaka.
Ini adalah hal baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Mungkin, ada hal-hal yang belum aku pikirkan sebelumnya yang kini muncul dalam pikiranku.
Sesuatu yang sulit diungkapkan dan sekaligus menakutkan.
—Mungkin Ayaka ingin mengubah hubungan ini.
Pernyataan yang dia buat di penginapan onsen, "Apapun yang terjadi, aku tidak masalah", mungkin benar-benar adalah perasaan yang sebenarnya.
...Kalo itu benar.
Aku tahu kalo menjaga kenyamanan ini selamanya adalah hal yang tidak realistis.
Ketika kami memasuki dunia kerja, waktu akan menjadi lebih terbatas, frekuensi pertemuan akan sangat berkurang, dan rasa tenang secara emosional juga akan menghilang.
Karena itu, aku ingin menjaga momen ini, ruang ini, yang ada sekarang ini.
───Aku ingin melihat pemandangan yang ada setelah melewati batas pertemanan.
Kalo aku melihatnya dari sudut pandang ku saat masih SMA, aku rasa saat ini adalah pemandangan itu.
Oleh karena itu, sebagai mahasiswa, aku bertanya pada diriku sendiri.
Aku telah menjadi teman dekat Minori Ayaka.
Kalo ada pemandangan lain setelah itu, apakah aku ingin melihatnya?
★★★
"Lezat sekali."
Begitu aku menggigit, akh tidak bisa menahan suara kagum yang keluar dari mulut ku.
Saat aku mengambil suapan kedua, perasaan bahagia mulai mengalir dari tenggorokan.
Gratin yang dibuat oleh Ayaka benar-benar luar biasa.
Sudah lama sekali sejak aku terakhir kali makan gratin buatan tangan.
Sejak kecil, selalu ada gratin di dalam kotak makan siang ku, tapi itu tentu saja gratin beku.
Gratin beku pun meskipun tidak memerlukan banyak usaha, tetap sangat lezat, tapi tidak ada bandingannya dengan yang dibuat oleh Ayaka.
Satu-satunya kelebihan gratin beku adalah bisa mengecek ramalan keberuntungan setelah selesai makan.
Ketika aku menyuap gratin lagi, akh tidak bisa menahan senyum dan menaruh sendok di piring sebentar.
"Ini... benar-benar enak. Alu butuh lebih banyak kosakata."
"Aku tidak mengharapkan laporan makanan dari mu."
Meskipun begitu, ekspresi Ayaka terlihat senang.
"Bagaimana? Apa kau sekarang mengagumiku?"
"Mengagumi seperti apa?"
Ketika aku bingung, Ayaka mengarahakan ujung sendoknya ke ku dan mulai berbicara.
"Kau sudah lama tidak makan masakan buatanku, kan?"
Tadi aku juga sempat teringat kalo ini adalah pertama kalinya sejak SMA aku makan masakan buatan Ayaka.
Makan banyak masakan Ayaka yang baru saja dibuat seperti ini juga pertama kalinya.
Tapi, aku tidak merasa meremehkan masakannya.
Makanan yang dia bagi dari kotak makan siangnya waktu SMA juga sangat enak, dan masakan meat-and-potatoes yang dia buat di pelajaran rumah tangga sampai-sampai para siswa laki-laki berebutan untuk mencicipinya.
"Aku sudah berharap tinggi sejak awal, tapi ini jauh lebih enak dari yang aku kira."
Mendengar jawaban ku, Ayaka menatap ku dengan tatapan tajam.
"Balasan yang sempurna sampai aku tidak bisa berkata-kata, tapi ini malah membuatku kesal!"
"Apa itu tidak terlalu tidak adil?"
Ayaka terlihat ragu sejenak dengan arah sendoknya, dia menggerakkannya perlahan di depan mataku sebelum akhirnya mengambil sebagian gratinnya sendiri.
Sambil mengunyah, Ayaka mengangguk-angguk pelan.
"Ya, ya, mungkin. Sepertinya aku bisa membuatnya dengan cukup baik."
"Apa hasilnya bagus?"
"Karena aku membuat saus putihnya dari awal, rasanya memang sesuai dengan seleraku. Senang rasanya bisa cocok dengan selera mulutmu juga."
Saat Ayaka mulai memasak, aku teringat bahwa dia memasukkan mentega ke dalam wajan.
Setelah itu, sepertinya dia menambahkan beberapa bahan lagi, mungkin sedang membuat saus putih.
Karena ini adalah bidang yang tidak aku pahami, sejujurnya saat itu aku tidak benar-benar tahu apa yang sedang dia lakukan.
"Sepertinya itu cukup rumit, ya."
"Tentu saja. Aku ingin kau makan makanan yang enak."
Mendengar kata-kata Ayaka, sendokku berhenti di atas piring.
Aku memutuskan untuk meletakkan sendok yang tadinya akan aku bawa ke mulut dan menatap Ayaka dengan lebih serius.
Ayaka menyadari tatapanku dan, mungkin memikirkan kembali apa yang dia katakan, dia sedikit memerah.
"Aku tidak bermaksud apa-apa, lho."
"Benarkah?"
"Tentu saja tidak."
"Oh, begitu. Kupikir kau memang sengaja mengatakannya."
"A-apa maksudmu?"
Ayaka bertanya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Aku melanjutkan makan gratin sambil menjawab.
"Aku kira itu lelucon tentang 'makanan enak' dan 'makanan yang kau inginkan'."
"Tidak mungkin itu terjadi, idiot!"
"Eh, itu udangku!"
Ayaka dengan cepat mengambil udang yang tersisa di piringku dan memakannya dengan kecepatan yang bahkan membuat Shinohara terkejut.
Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi untuk menghindari masalah lebih lanjut, aku memutuskan untuk mengunyah perlahan.
Meskipun udangnya hilang, gratinnya tetap enak.
Rasa krimnya menyebar di mulutku dan membuat tubuhku terasa hangat dari dalam.
Ketika Ayaka pergi ke kulkas untuk menuangkan teh yang habis, aku mengambil beberapa udang yang sudah dirampas dan langsung memasukkannya ke dalam mulut.
Dengan begitu, tidak ada bukti yang tersisa.
"Heh, mau minum alkohol?"
"Ah, iya, minum-minum."
Ayaka mengangguk mendengar jawabanku, lalu mengambil 2 kaleng bir dari kulkas.
Dia membuka tutup kaleng dengan suara 'psh' dan saling menempelkan kaleng bir kami.
"Kanpa..."
Tapu, aku segera berhenti berbicara.
"Ada apa?"
"Tidak bisa, kan? Kita kan datang pakai mobil hari ini."
Sepertinya Ayaka juga baru sadar, "Ah, hampir saja" dan dia langsung menurunkan kaleng yang ada di tanganku.
"Maaf-maaf, aku lupa karena sudah terbiasa karena kita berbicara seperti biasanya."
"Keuh, aku ingin sekali minum."
Makanan yang disiapkan Ayaka bukan hanya gratin buatan tangan, tapi juga ada salad dan piring besar yang berisi sashimi siap saji.
Aku pun berpikir, betapa nikmatnya kalo ada alkohol di sini, dan aku tidak bisa menahan untuk menghela napas.
"Yah, nanti saja di kesempatan berikutnya."
Ayaka berkata begitu, lalu pergi untuk menyimpan kaleng bir di kulkas.
Karena sudah membuka tutupnya, Ayaka sepertinya akan meminumnya sendiri.
"Kapan kesempatan berikutnya itu?"
Kami sudah lama saling mengenal, dan hari ini adalah pertama kalinya aku makan di rumah Ayaka.
Bahkan hari ini saja, sepertinya hanya karena keinginan Ayaka.
Kapan aku bisa datang lagi? Itu semua tergantung pada suasana hati Ayaka.
Dalam situasi seperti ini, aku hanya bisa menghela napas dan berkata, "Cheh..."
"Jangan khawatir, asalkan kau memberi tahu sebelumnya, kapan pun kau mau datang, aku tidak masalah."
"Hah, kapan saja?"
"Selama kau memberitahuku sebelumnya."
"...Eh, kenapa? Serius?"
"Kenapa kau begitu meragukannya?"
Ayaka tersenyum kecut dan kembali duduk.
Dia mengambil sepotong sashimi dan salad, lalu memberikannya kepadaku.
Aku menambahkan kecap pada sashimi dan menjawab pertanyaannya.
"Karena sebelumnya aku tidak pernah masuk ke rumahmu, tiba-tiba kau bilang bisa datang kapan saja, tentu saja aku kaget. Aku sih tidak meragukanmu."
"Tapi kan sekarang kau sudah datang. Sekarang adalah saat yang penting. Bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Itu..."
Aku ingin kembali datang ke rumah ini.
Tidak ada pria yang bisa menolak perawatan seperti ini.
Yang membuatku ragu adalah ketakutan kalk hubungan antara aku dan Ayaka akan berubah dengan aku masuk ke rumahnya.
Itulah konflik batin yang terkadang muncul.
Karena aku merasa puas dengan hubungan kami saat ini, aku merasa takut jika keadaan berubah.
Perubahan dalam hubungan ini tidak selalu menjamin akan berjalan ke arah yang baik.
Bagi ku, hubungan dengan Ayaka adalah sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang tidak bisa aku pertaruhkan begitu saja.
Karena itulah, membuat keputusan menjadi sangat sulit.
Aku tidak bisa menghilangkan pemikiran untuk mempertahankan hubungan kami seperti sekarang.
Tapi, setelah memikirkannya lebih dalam, aku merasa kalo itu adalah pemikiran yang agak kaku.
Kalo aku benar-benar tidak ingin mengubah hubungan dengan Ayaka sedikit pun, aku pasti akan menolak ajakan untuk pergi ke perjalanan onsen.
Fakta kalo aku menerima ajakan itu adalah bukti nyata kalo, entah bagaimana, ada perasaan dalam diriku yang berharap adanya perubahan yang lebih baik.
Aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan hubungan yang baik bagi kami berdua.
Tapi, ada satu hal yang bisa aku pastikan.
Kalo aku memutuskan untuk mengunjungi rumah Ayaka, semakin banyak waktu yang kami habiskan bersama, tentu saja tidak akan membuatku merasa buruk.
Jadi, kesimpulannya menjadi mudah.
Seperti yang Ayaka katakan, yang penting adalah perasaanku saat ini.
"Kalo begitu, bagaimana kalo kita makan bersama kadang-kadang. Terima kasih sebelumnya."
Aku ingin menghabiskan waktu yang lebih menyenangkan dengan Ayaka, menikmati waktu yang tersisa sebelum kami menjadi orang dewasa dan memiliki lebih sedikit waktu untuk diri sendiri.
Itulah perasaanku sekarang, dan itu adalah hal yang harus aku prioritaskan.
"Hidup dengan jujur memang lebih membuat bahagia. Tambah gratin! Dan besok, croquette akan jadi pilihan yang bagus!"
"Itu sih, terlalu manja!"
Ayaka menepuk pundakku dengan keras.
Tapi, meskipun dia melakukan itu, ekspresinya terasa lebih lembut dari biasanya.
Saat mata kami bertemu, aku merasa sedikit malu, jadi aku memasukkan saladku ke dalam mulutku untuk menyembunyikannya.