Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 4, chapter 5. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
HUBUNGAN TENTATIF
Suara bola yang dipantulkan akibat dribble terdengar menggema di seluruh gymnasium.
Bau wax yang tercium di udara membuat suasana terasa nyaman, dan untuk ku yang pernah menjadi anggota klub basket di sekolah menengah,y tempat ini memberikan rasa ketenangan.
Hari ini adalah hari kegiatan klub basket 'start' yang sudah aku janjikan untuk bertemu dengan Reina.
Sepatu basket yang saya kenakan adalah sepatu favorit ku, dan aku mengikat tali sepatu dengan hati-hati.
Saat aku berdiri dan menggosokkan telapak sepatu ke lantai, terdengar suara gesekan yang enak didengar. Kondisi lantainya tampaknya baik.
"Nah, Yuu."
"Apa?"
Aku menjawab saat Toudou berbicara dari samping.
"Jangan cuma bilang 'apa'," kata Toudou, sambil menunjuk ke belakang dengan ibu jarinya.
Di pintu masuk gymnasium yang dia tunjuk, Reina terlihat berdiri di sana.
"Aku kira kau membawa perempuan lain selain Kouhai mu, tapi itu... bukankah itu mantan pacarmu?"
"Benar."
Todo mengerutkan kening, mungkin merasa ragu padaku karena mengakuinya begitu mudah.
"Apa kalian berdua kembali bersama?"
"Tidak, itu bukan yang terjadi."
"Kalo begitu kenapa kau membawa dia? Kau kan sudah diselingkuhi, kenapa kau tiba-tiba membawanya ke sini?"
Toudou terlihat sedikit bingung, seolah ingin bertanya, "Apa yang kau pikirkan membawa mantan pacar yang telah berselingkuh?" Kalo aku berada dalam situasi yang sama denganya, mungkin aku pun akan berpikir demikian.
"Aku hanya ingin memastikan, kau tidak memberitahu hal itu kepada siapa pun, kan?"
Aku bertanya, dan Toudou langsung menjawab, "Tentu saja tidak."
"Yang semua orang tahu hanya sampai saat kau berpisah. Aku sudah cukup jelas tentang batasannya. Kalo cerita tentang siapa yang disukai Yu, mungkin aku akan menyebarkannya, tapi itu beda ceritanya."
"Kalo begitu, batasanmu sedikit salah, ya..."
Mendengar kata-kataku, Toudou tertawa sambil menggoyangkan bahunya.
Meskipun sedikit ragu, aku tidak bisa kehilangan kepercayaan pada Toudou.
Kalo sampai aku tidak bisa mempercayainya, itu akan langsung mengarah pada ketidakpercayaan terhadap manusia secara umum.
Kami sudah berteman sejak kuliah, dan di antara teman sesama sejenis, aku menghabiskan waktu paling banyak bersama dia.
Karena itu, aku merasa perlu memberitahunya tentang kejadian dengan Reina.
Meskipun sulit untuk membuka sisi lemahnya, aku tahu ini penting untuk mengoreksi nama baik Reina, jadi aku rasa itu hal yang harus dilakukan.
"Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan padamu, Toudou."
Aku duduk kembali di samping Toudou.
Aku melirik ke arah pintu, dan sepertinya Reina sedang mengamati anggota klub yang sedang bermain shooting dengan penuh minat.
───Aku sudah meminta Reina untuk menunggu sampai aku selesai bercerita semuanya pada Toudou.
Teman-temanku yang tahu alasan kami berpisah karena perselingkuhan Reina hanya ada beberapa, termasuk Ayaka dan Toudou.
Di klub ini, hanya Toudou yang tahu, tapi suatu saat aku harus memberi penjelasan pada semua orang.
Reina sempat bilang, "Yuta-kun, kau tidak perlu melakukan itu untukku."
Karena itu, tindakan yang akan aku ambil ke depan mungkin akan terlihat sebagai kepuasan diri yang tidak berarti bagi Reina.
Tapi, ini adalah batas minimal yang harus aku tentukan.
Ini adalah syarat yang tidak bisa ku hindari untuk bisa berinteraksi dengan Reina tanpa beban di masa depan.
Jadi, batasan yang aku tentukan ini adalah upaya untuk melindungi diri sendiri dengan alasan 'untuk Reina'.
Meskipun begitu, kalo pada akhirnya hal ini akan membawa kami untuk memulai kembali, maka aku bisa memberi makna pada perlindungan diri ini.
Berbicara dengan Toudou tentang semua ini adalah langkah pertama menuju batasan itu.
Aku mengumpulkan tekadku, menarik napas dalam-dalam, dan mulai berbicara dengan tenang.
"Aku pernah bilang kalo dia selingkuh, kan?"
Toudou yang wajahnya terlihat bingung, dan aku mulai menyusun kata-kata ku.
Sambil mengingat kembali kejadian-kejadian tahun lalu, aku berusaha berbicara dengan hati-hati dan memberikan waktu untuk merenung.
Toudou yang awalnya mendengarkan dengan santai, lama-lama mulai serius.
Toudou adalah tipe pria yang setia pada pacarnya.
Mungkin saja, setelah ini, dia akan mulai memandangku dengan rasa tidak suka.
Dari sifat Toudou yang tidak suka menunjukkan perasaannya, mungkin dia tidak akan mengubah sikapnya secara terang-terangan, tapi aku tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya.
Aku mulai menyadari kalo ada kemungkinan seorang teman yang aku kenal baik akan menjauh setelah berbicara tentang ini, tapi sudah tidak bisa aku hentikan.
Beberapa menit kemudian, aku akhirnya menyelesaikan ceritaku.
Satu-satunya nama yang tidak aku sebutkan adalah Ayaka, tapi Toudou mungkin akan mengerti.
Sebenarnya, aku yang kurang berhati-hati, dan Ayaka sendiri tidak bersalah.
Tapi, hanya aku yang bisa benar-benar memahami hal itu.
Karena hubunganku dengan Ayaka hanya bisa dimengerti oleh kami berdua.
Bahkan Toudou pun tidak tahu kenapa aku dan Ayaka memiliki hubungan yang berbeda dengan orang lain.
Karena kami menghabiskan waktu bersama di ruang dan waktu itu saat kami berada di kelas 2 SMA, hubungan kami saat ini ada karena pengalaman itu, tapi menyampaikannya hanya dengan kata-kata tentu akan sangat sulit untuk dipahami.
Hal ini disadari olehku dan Ayaka.
Oleh karena itu, saat memikirkan kalo Ayaka mungkin akan mulai mempertimbangkan kembali hubungan kami setelah kejadian dengan Reina, aku merasa agak cemas.
Tapi, setelah aku memberitahunya tentang kejadian dengan Reina melalui telepon, Ayaka tetap berbicara denganku seperti biasa.
Hal ini sedikit memberi ketenangan bagiku.
Meskipun hubungan kami mungkin terlihat aneh untuk orang lain, tapi untukku, itu adalah sesuatu yang tak tergantikan.
Tapi, hal tersebut terpisah dari tindakan dan kata-kata yang aku ucapkan kepada Reina.
Sekarang, aku harus menghadapi kenyataan kalo kurangnya perhatian dari diriku lah yang menyebabkan semua ini.
Sebagai langkah pertama, aku menceritakan semuanya kepada Toudou, tapi selama aku berbicara, Toudou tidak menyela sedikit pun.
──Mungkin dia sedang memandang rendah diriku.
Ketika aku berbicara, kesadaran akan betapa buruknya situasi ini semakin kuat.
Aku yakin Toudou sedang berpikir keras tentang apa yang harus dia katakan.
Aku terus menunggu reaksinya, hingga akhirnya Toudou menghela napas panjang dengan berat.
".....Syukurlah aku tidak memberitahukan hal ini kepada orang lain."
"...Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir."
Toudou, seperti halnya Ayaka, sempat menunjukkan perhatian padaku setelah aku putus.
Tapi itu semua karena situasi khusus tentang perselingkuhan.
Kalo hanya karena masalah putus biasa, Toudou mungkin tidak akan merasa perlu khawatir padaku.
Tapi, karena Ayaka yang lebih memikirkan keadaan, dia tertawa untuk mengalihkan situasi, sementara Toudou, yang menganggap aku sedang digoda, bertindak dengan cara yang tidak biasa bagi orang kebanyakan.
Toudou sepertinya berpikir hal yang sama denganku, dan dia pun tertawa sambil berkata, "Aku hanya bercanda, kan?"
"Tapi, aku merasa kasihan pada Reina."
Aku mengangguk mendengar kata-kata Toudou.
"Maafkan aku, sungguh. ...Memang, ceritaku ini sampai membuatmu merasa terhina, aku tidak bisa menyalahkanmu."
Ketika suaraku terdengar muram, Toudou justru tersenyum kecil dengan tak terduga.
"Tidak. Sejujurnya, aku mengerti dengan apa yang kau lakukan. Aku juga pernah melaporkan semua hal yang menyenankan tentang pacarku, dan tanpa sadar malah membuatnya marah."
"Toudou kau juga begitu?"
Aku merasa agak terkejut karena dia terkenal sebagai orang yang sangat memperhatikan orang lain.
Di klub ini, banyak anggota baru yang bergabung, tapi bisa mengumpulkan banyak orang di klub basket seperti ini hanya karena Toudou yang menjadi ketua.
Dia bisa tertawa bersama siapa saja tanpa memandang status, dan baik Senpai maupun Kouhai, serta pria dan wanita, semuanya memiliki penilaian yang baik terhadapnya.
Tanpa memihak karena kami berteman, aku merasa sangat jarang ada orang seusia yang memiliki banyak hal untuk dihormati seperti Toudou.
Melihat Toudou yang mengalami kegagalan yang sama denganku, aku tidak bisa menahan senyumku.
"...Ternyata kau juga pernah melakukan kesalahan seperti itu, ya?"
"Ya, iya lah anjir, gua bukan nabi! Aku sudah banyak melakukan kesalahan di awal, jadi sekarang aku bisa menjaga hubunganku dengan pacarku dengan baik. Pacarku yang dulu justru meninggalkanku karena sering bertengkar karena hal-hal seperti itu."
"Oh, begitu. Aku kira Toudou itu orang yang secara alami punya perhatian tinggi."
Saat aku mengolok-oloknya, Toudou mengangkat sudut mulutnya dan berkata, "Haha, itu sebabnya."
"Kalo kau sudah lebih dulu mengalami kegagalan yang sama yang dialami orang lain, kau bisa tetap tenang ketika orang lain sedang mengalaminya. Kesanku tentangmu, Yuu, adalah hasil dari itu. Ini cukup menguntungkan, lho."
Ada sesuatu yang berat dalam kata-kata itu.
Bukan sekadar pendapat yang dipinjam dari orang lain, tapi sepertinya itu adalah teori yang Toudou peroleh setelah melalui pengalaman pribadinya.
Teori yang memiliki daya terapan tinggi dan bisa berlaku untuk hubungan atau apa pun itu, membuatku bisa mencerna dengan mudah.
"Orang sering bilang soal ketenangan orang dewasa, kan? Mungkin itu sebenarnya muncul karena mereka sudah lebih dulu gagal."
Aku berkata begitu, lalu berdiri.
Kegagalan adalah kunci dari kesuksesan.
[TL\n: org yg gagal jinakin Bom dan org gagal ginjal belike. "Ah yang bener aja bang kamu bohong, di kita satu kesalahan berarti akhir dari semuanya."]
Jika apa yang terjadi antara aku dan Reina bisa dianggap sebagai kegagalan, mungkin suatu saat nanti aku bisa memanfaatkan pengalaman itu.
Entah itu setengah tahun lagi, setahun lagi, atau bahkan lebih lama, aku tidak tahu.
Tapi kalk aku tidak melupakan kejadian dengan Reina, saat itu pasti akan datang.
"Siapa ya, orang yang akan jadi pasanganmu berikutnya?"
Toudou berkata begitu sambil tersenyum licik.
Aku berpikir sejenak tentang hal itu, lalu membiarkannya begitu saja.
"Mungkin kau♡."
"Jangan bercanda!"
Toudou melompat mundur dari tempat duduknya, dan aku hanya tersenyum ringan sembari berjalan menuju Reina.
Di pintu, aku melihat Reina mengintip dengan hati-hati dan mata kami bertemu.
Aku telah menceritakan semuanya pada Toudou.
──Mungkin sekarang aku bisa berbicara dengan Reina tanpa rasa khawatir.
Aku rasa, jawabannya akan segera terlihat.
Begitu juga apakah keputusan untuk memulai kembali ini baik atau tidak.
Aku mengangkat tangan ke arah Reina, memberi tanda pada Toudou kalk percakapan kami telah selesai.
★★★
"Yuta!"
Dengan seruan tersebut, bola berwarna oranye itu masuk ke telapak tanganku.
Ketika aku memandang ke arah ring basket, jaraknya terlalu jauh, dan aku belum berada di posisi yang tepat untuk melepaskan tembakan.
Di depan, ada 2 pemain bertahan lawan.
Salah satunya cepat-cepat menutup jalur umpan, sementara aku mengutuk dalam hati dan mulai mencari jalur umpan lain.
Setiap rekan setimku sudah dibayangi lawan, dan aku tidak menemukan siapapun yang bisa menerima umpan.
"Pergi saja sendiri!"
Aku mendengar suara kesal dari seseorang.
Sebagai respons, aku menumpukan berat badan pada kaki yang menjadi tumpuan ku dan memiringkan tubuhku untuk melaju.
Pemain lawan juga cepat menghalangi, berusaha menutup jalanku dengan tubuhnya.
──Ini dia.
Aku memutar tubuh ke belakang dan maju sedikit ke depan, melewati pertahanan lawan dengan setengah tubuh.
Begitu aku melihat celah, di depanku ada Toudou.
Aku mengulurkan tangan untuk memberikan umpan, tapi sepertinya ekspresi wajah Toudou menjadi tegang.
".....Baik."
Aku melanjutkan dribble, berusaha melepaskan diri dari penjagaan lawan dengan gerakan menyamping,
dan melepaskan tembakan sebelum mendarat.
Bola yang memantul dari papan pantul akhirnya masuk ke dalam ring.
"Kenapa kau selalu mencoba memberikan umpan padahal kau bisa melakukan gerakan itu?"
Toudou berkata begitu sambil menepuk pundakku.
Tubuhku yang sudah kelelahan setelah bergerak dengan intensitas tinggi mulai terasa nyeri.
"Umpan juga merupakan bagian penting dalam permainan tim, kan?"
"Tentu saja. Tapi, kalo dalam pikiranmu hanya ada umpan sebagai pilihan, itu sudah berbeda."
Toudou meremas botol plastik kosong dan menghancurkannya, lalu dia mengerutkan keningnya.
"Pemikiranmu yang enggan mengambil keputusan sendiri sepertinya tercermin dalam permainanmu."
"Ah, itu terasa menyakitkan."
Aku menggelengkan kepalaku, berusaha menjauhkan suara Toudou.
Toudou memang sangat mahir dalam bermain basket.
Mungkin karena itu, setelah setiap pertandingan, dia sering memberikan saran kepadaku.
Bukan saran mengenai teknik, melainkan lebih kepada aspek mental dalam bermain.
Beberapa waktu lalu, saat bermain dengan Shinohara, dia pernah mengatakan, "Memberikan umpan juga merupakan hal yang penting," tapi sepertinya kali ini dia memiliki pendapat yang berbeda.
"Tapi, pada akhirnya, kau juga yang mengambil tembakan, kan?"
Dalam situasi yang lebih pasti, aku memutuskan untuk bermain secara individu dan membuat gerakan yang agak dipaksakan.
Perasaan kepuasan karena berhasil melepaskan diri dari pertahanan lawan dengan kekuatan penuh masih terasa di dalam diriku.
"Memang, kalk situasinya mendesak, kau pasti akan membuat keputusan, kan? Untuk apapun itu."
"Apa yang kau maksudkan? Aku tidak begitu paham."
"Haha, maaf. Tapi tembakanmu tadi benar-benar luar biasa."
Dengan tawa ceria, Toudou mengulurkan tangan untuk memberikan high five, dan aku menyambutnya dengan ringan.
Tiba-tiba, terdengar suara lembut dari arah atas.
"Yuta-kun, kau keren sekali tadi."
Reina berkata begitu sambil menyerahkan minuman olahraga padaku.
"Terima kasih."
Setelah meletakkan teh yang diberikan oleh Toudou di dekatku, aku dengan senang hati menerima minuman yang diberikan Reina.
Toudou tidak mengatakan apa-apa tentang tindakanku dan malah membuka percakapan dengan Reina.
"Reina-san, apa ini pertama kalinya kau melihat Yuta bermain basket?"
"Ya, ini yang pertama. Yuta-kun kan tidak pernah membicarakan basket sebelumnya."
Reina menjawab sambil mengingat kembali masa-masa kami bersama saat masih berpacaran.
Kalo aku mengingat kembali kejadian yang terjadi antara aku dan Reina, rasanya bisa menjadi canggung setelah penjelasanku.
Tapi, Reina sepertinya tidak merasa canggung sama sekali, dan Toudou tetap tersenyum lebar seperti biasa, membuat suasana terasa ringan.
"Begitu. Lalu, bagaimana menurutmu tentang Yuu bermain basket?"
"Aku senang bisa melihatnya. Dia keren sekali."
Melihat Reina yang terlihat senang mengatakan itu, aku merasa sedikit canggung.
"Itu sangat memalukan, jadi hentikan."
"Kenapa? Itu kan kenyataannya."
Mendengar jawabannya, aku hanya bisa menggaruk-garuk kepalaku.
Toudou yang melihat reaksiku sepertinya merasa terhibur dan dia tertawa kecil.
"Ah, jadi kalian terlihat baik-baik saja sekarang. Senang melihatnya."
"Ya, tentu...bahkan lebih baik dari sebelumnya."
Aku menjawab dengan nada yang agak ragu.
Diketahui kalo aku memiliki masalah dengan Reina rasanya seperti membuka kelemahan diri sendiri.
Sebuah kebanggaan kecil yang seharusnya tidak ada, tapi tanpa sadar menghalangiku untuk berbicara dengan lancar.
"Toudou-kun, kau sudah mendengar semuanya dari Yuta-kun, kan?"
Reina bertanya kepada Toudou.
Semua yang dimaksud di sini pasti berkaitan dengan alasan perpisahan kami.
Toudou, sepertinya memahami apa yang ingin ditanyakan Reina, mengangguk.
"Ya, aku sudah mendengarnya. Kalo kau tidak keberatan, apa aku bisa memeriksa isi ceritanya? Kalo ada yang salah atau mispersepsi, kesempatan untuk memperbaikinya mungkin tidak akan datang lagi."
"Ah, tidak perlu. Aku percaya pada Yuta-kun."
Reina menjawab dengan tegas, tanpa ragu sedikitpun, sehingga aku merasa sedikit terkejut.
Toudou juga terlihat terkejut, tapi akhirnya dia mengangguk, seolah memahami keputusannya.
"Memang. Aku juga percaya padanya."
"...Terima kasih."
Aku mengucapkan terima kasih dengan suara pelan atas percakapan mereka.
Reina kemudian tersenyum.
"Yuta-kun tidak perlu mengatakan hal-hal yang bisa merugikan dirinya. Untuk hal-hal seperti ini, Toudou-kun sudah cukup menjadi orang terakhir yang tahu."
Mendengar kata-kata Reina, aku langsung menggelengkan kepalaku.
"Tidak, sebenarnya aku sudah mengatakan hal itu kepada beberapa teman di jurusan yang sama dengan ku. Aku akan segera mengoreksinya."
"Ah, tidak perlu. Sebenarnya, aku hanya sedikit memanfaatkan Toudou-kun karena dia adalah teman dekat Yuta-kun. Tapi kalo teman-temanmu yang lain sampai menyebarkan hal itu, dan Yuta-kun sampai dibicarakan buruk oleh orang lain, aku...aku akan menegurnya."
"Kenapa bisa sampai seperti itu?"
"...Karena kalo orang-orang melihat Yuta-kun dengan cara negatif, aku juga akan merasa sedih. Atau apa sekarang kau tidak mau mendengarkan permintaanku untuk tidak membuatku sedih?"
Reina menurunkan alisnya dan bertanya padaku.
...Itu adalah pertanyaan yang licik.
Ketika aku mendengarnya, aku tidak bisa menolaknya.
Kata-kata yang licik sekaligus penuh perhatian.
Reina benar-benar memikirkan diriku sampai sejauh itu.
"Baiklah, aku tidak akan mengatakan hal itu lagi."
"Terima kasih."
"Itu harusnya menjadi ucapanku, kan? Sampai sejauh itu baiknya."
Aku tersenyum kecut, dan Toudou setuju.
"Memang, dia sangat bijaksana. Orang seperti dia jarang ditemukan."
"Hehe. Karena di depan Yuta-kun, jadi aku ingin terlihat keren."
"Harusnya terbalik!"
Toudou melontarkan komentar kepada Reina, lalu melanjutkan.
"Mulai sekarang, sesekali datanglah ke sini. Di klub kami, suasananya cukup bebas."
"Eh, jadi meskipun aku tidak bergabung dengan klub, aki boleh datang?"
"Ya, boleh. Bahkan ada yang menjadi manajer meskipun tidak terdaftar secara resmi."
Toudou melirikku dengan tatapan nakal.
Kemungkinan besar dia sedang merujuk pada Shinohara.
Kurasa dalam beberapa bulan terakhir, Kouhai-ku itu sudah mengunjungi gymnasium ini lebih sering daripada yang bisa dihitung dengan jari tangan.
Melihat hal itu, kata-kata Toudou memang sepertinya bisa menjadi saran yang sangat realistis.
Reina terlihat berpikir sejenak, tapi akhirnya dia tersenyum dan berkata, "Mungkin aku akan memanfaatkan tawaranmu."
"Kalo begitu, aku akan bermain di pertandingan berikutnya. Yuta, istirahatlah."
Setelah berkata begitu, Toudou lalu berdiri dan mulai berjalan ke arah lapangan.
"Kalo begitu, kita harus menang. Aku juga akan ikut."
Aku berdiri, tapi Toudou langsung melambaikan tangannya dan berkata.
"Idiot, ada tamu di sini. Kurangi frekuensi membiarkan mereka merasa bosan, demi harga diri sebagai ketua klub."
"Ini untukmu, bukan untukku!"
Toudou tertawa ringan mendengar komentarku dan segera berlari ke arah lapangan.
Sepertinya, seorang Kouhai akan menggantikanku, jadi kemungkinan besar aku tidak akan mendapatkan giliran bermain dalam waktu dekat.
Ketika peluit tanda pertandingan dimulai, Toudou bergerak cepat dan segera menguasai bola.
Aku memandang jalannya pertandingan sebentar, dan Reina kemudian bertanya padaku.
"Apa kau sudah berteman dengan Toudou-kun sejak tahun pertama?"
"Ya, benar."
Toudou yang melakukan drive-in dan melepaskan tembakan itu terlihat sangat memukau, bahkan bagi sesama jenis, tanpa ada keberpihakan.
Aku merasa sedikit nostalgia mengingat saat pertama kali aku bergabung dengan 'start' dan kami berdua bekerja sama dalam pertandingan melawan klub basket lainnya, begitu banyak waktu yang telah berlalu.
2 tahun telah berlalu sejak kami bertemu. Hubunganku dengan Toudou sepertinya akan terus berlanjut bahkan setelah kami dewasa nanti.
Aku pernah mendengar kalo teman yang didapat di perguruan tinggi adalah teman seumur hidup, dan mungkin itu benar, karena kita bertemu setelah memiliki cukup banyak pemahaman tentang nilai-nilai dan perilaku.
Ketika berbicara dengan Toudou, aku merasa seperti itu.
Kalo kami bertemu saat masih di SMP, aku tidak yakin apakah kami akan menjadi teman baik.
Begitu juga dengan Reina, dan Shinohara.
"Bagaimana kalian bisa berteman?"
"Di acara penerimaan anggota baru dari klub lain. Setelah itu, kami ber-2 bergabung dengan 'start'."
"Oh begitu. Bagus ya, bisa mendapat teman di perguruan tinggi."
Reina berkata begitu lalu mengeluarkan botol plastik berisi teh dari tas tangannya. Ukurannya sedikit lebih kecil dari yang aku terima.
Reina membuka tutup botol, meminum sedikit, lalu menatapku dengan senyuman lembut di wajahnya.
"Ini memalukan, jadi jangan terlalu sering menatapku."
"Ah, maaf."
Dengan panik, aku mengalihkan pandanganku.
Sebenarnya, aku tidak sengaja menatap bibir Rena, tapi tentu saja, ini bukanlah hal yang bisa dipuji.
Tapi, meskipun berada di ruang gymnasium, Reina tetap memancarkan aura yang mencolok, dan tanpa bisa dihindari, mata ku tetap tertarik padanya.
Begitu juga dengan Shinohara, mengenakan pakaian kasual di dalam gymnasium pasti akan menarik perhatian. Terlebih lagi, kalo orang itu memang sudah memiliki daya tarik alami.
"Ngomong-ngomong, Yuta-kun, kau belum pernah ikut dengan ku ke klubku, kan?"
Dengan nada yang seolah-olah dia baru saja mengingat sesuatu, Reina bertanya, dan aku menjawab, "Belum, sih."
"Iya, ya."
Setelah mengangguk, Reina menutup tutup botol plastik tersebut dan memasukkannya ke dalam tas tangannya.
Aku memang sudah lama tahu kalo Reina mengikuti kegiatan kendo, tapi kesempatan untuk melihatnya melakukannya belum pernah datang.
Sejujurnya, aku bahkan tidak terpikir untuk datang ke klubnya.
"Kalo dipikir-pikir, sepertinya masih banyak sisi dari diri kita yang tidak kita ketahui."
"Mungkin. Selama setahun, tentu saja apa yang kita ketahui tentang satu sama lain terbatas."
Bahkan dengan keluarga yang telah bersama selama 20 tahun pun, kita tidak bisa mengetahui segalanya.
Tapi, memang benar bagi seorang pelajar, satu tahun adalah waktu yang cukup lama, dan kenyataannya, masih banyak sisi yang belum kita ketahui tentang satu sama lain menunjukkan kalo hubungan kami memiliki masalah yang belum terungkap.
"Kau juga sudah berusaha untuk mengenaliku, dan aku juga berusaha mengenalmu."
Reina melepas mantel dan menggantungnya di lengannya.
Mantel tebal itu cukup berat, jadi aku sempat berniat untuk mengambilnya, tapi aku segera menarik tangan ku kembali.
Lengan ku masih terkontaminasi dengan keringat setelah latihan, jadi itu pasti tidak nyaman baginya.
"Tapi, pasti ada bagian dari kita yang saling menghindar. Ada banyak hal yang tidak bisa kita ucapkan."
Reina menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya dan melanjutkan kata-katanya.
"Makanya, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Yuta-kun, apa saat ini kau sedang menyukai seseorang?"
Sekejap terjadi keheningan. Suara sepatu basket yang bergesekan dengan lantai dan suara pantulan bola terdengar begitu jelas.
Setelah Reina mengajukan pertanyaan, dia terus menatapku dengan tatapan serius, di tidak mengalihkan pandangannya.
Dengan sedikit kesulitan, aku mencoba untuk menjawabnya.
"Saat ini, aku tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Mungkin untuk sementara waktu, aku tidak akan mempertimbangkan untuk menjalin hubungan dengan seseorang."
"Jadi, maksudmu, kau akan berhubungan dengan banyak orang?"
"Bukan begitu!"
Aku buru-buru menyangkalnya, dan Reina pun tertawa kecil sambil sedikit menggoyangkan bahunya.
"Fufu, itu hanya bercanda."
"Jangan begitu, itu buruk untuk jantungku..."
Aku memang seharusnya lebih berhati-hati dengan jenis lelucon seperti itu, terutama dengan Reina.
Tapi, kalo itu datang darinya, aku merasa sedikit lebih tenang. Tentu saja, aku juga sepenuhnya sadar kalo aku tidak boleh melakukan hal tersebut.
Tapi, jawaban yang aku berikan kali ini mungkin akan terlihat seperti sebuah pelarian bagi Reina.
Aku tidak berbohong, tapi aku juga sadar kalo jawaban ku kurang tegas.
Karena aku tidak bisa segera memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaannya, itu memang wajar terjadi.
Reina menundukkan sedikit kepalanya, dia menatap ku sejenak, lalu tersenyum nakal.
"Sebelum kita berpacaran, Yuta-kun sudah pacaran dengan 2 orang perempuan, kan?"
"Ah, ya, itu sudah cukup lama..."
Itu terjadi saat aku kelas 3 SMP dan kelas 1 SMA.
Meskipun hubungan tersebut tidak bertahan lama, kami masing-masing berpisah kurang dari 6 bulan, aku rasa itu adalah jumlah dan durasi yang biasa bagi seorang pelajar.
"Apa kau masih berhubungan dengan mereka?"
"Tentu saja tidak. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali kami saling menghubungi."
Aku masih terhubung dengan mantan pacar waktu SMA lewat Instagram, tapi mantan pacar ku waktu SMP aku tidak punya cara untuk menghubunginya.
Aku tidak merasakan apa-apa tentang hal itu, mungkin karena hubungan tersebut terjadi hanya karena suasana di sekitar ku, tanpa ada perasaan yang mendalam.
Ada orang yang menjalin hubungan serius sejak SMP, tapi aku tidak seperti itu.
Aku baru merasakan perasaan yang begitu mendalam, yang membuat ku benar-benar jatuh cinta, hanya pada Reina yang ada di depan ku ini.
"Jadi, itu semua hubungan yang singkat, kan? Mungkin sekarang seperti tidak ada orang lain untuk dibandingkan, ya?"
Reina berbisik pelan, dan aku merasa sedikit bingung dan bertanya kembali.
"Apa maksudmu?"
"Ah, tidak, aku tahu kalk cara berpikir ini mungkin tidak sepenuhnya benar secara etika... Tapi, aku hanya berpikir...kalo tidak ada orang lain yang bisa dibandingkan, bagaimana menurutmu, Yuta-kun?"
Orang yang dibandingkan. Memang, dalam hal hubungan, satu-satunya kenanganku yang masih jelas adalah tentang Reina, tapi aku tidak merasa kesulitan karena kurangnya kenangan tentang mantan pacarku.
Membandingkan mantan pacar ku pun, rasanya tidak begitu penting.
"Sepertinya aku baru saja mengatakan sesuatu yang agak buruk. Aku sadar itu, tapi aku tidak bisa menemukan kata-kata lain."
"Aku tidak keberatan. Aku mengerti maksudmu. Memang, semakin banyak perbandingan, mungkin semakin jelas, kan?"
Memang, kalo terlalu banyak, bisa jadi malah berdampak buruk, tapi memiliki beberapa perbandingan sebagai acuan juga bisa dianggap penting.
Yang paling ideal tentu saja adalah kalo orang pertama yang kita pacari adalah orang yang disebut sebagai orang yang di'takdir'-kan.
Tapi, dalam kasus ku, hubungan pertama ku berakhir saat aku masih kelas 3 SMP.
"Tapi, rasanya tidak mungkin mencoba untuk berpacaran begitu saja."
Kalo kami berpacaran, kami harus membangun hubungan yang serius.
Tapi, karena keseriusan tersebut, untuk mencapai hubungan pacaran, kami harus mengalokasikan banyak waktu dan usaha, sehingga cukup sulit untuk memperoleh pengalaman.
Meskipun begitu, pengalaman dalam berpacaran seharusnya menjadi sesuatu yang berharga dan bernilai.
Tapi, dalam hal cinta, terkadang menambah pengalaman tidak selalu dilihat sebagai hal yang baik.
Ada orang yang mengatakan, "Kalo seseorang sudah memiliki pengalaman berpacaran sebelumnya, aku tidak bisa mempercayainya, dia pasti orang yang rusak."
Padahal, dalam banyak hal, semakin banyak pengalaman yang kita miliki, semakin tinggi tingkat keakuratan kita dalam melakukannya.
Memang, sukses pada percakapan pertama atau usaha pertama sering kali lebih sulit tercapai.
Tentu saja, yang paling ideal adalah kalo kami bisa berhasil pada percakapan pertama, tapi aku sudah berada pada tahap hubungan keempat ku.
Jadi, dalam hal ini, aku tidak bisa hanya berbicara tentang hal yang ideal.
Dalam pengertian ini, untuk menentukan standar ku sendiri, mungkin 'hubungan sementara' adalah hal yang praktis untuk dilakukan.
Syaratnya adalah, pihak lain juga tahu kalo ini adalah hubungan percakapan sementara.
Ini adalah hal yang jelas, dan kalo hanya satu pihak yang menganggap hubungan ini sebagai hubungan sementara, itu adalah tindakan yang tidak bisa diterima.
Kelemahannya adalah, pandangan masyarakat terhadap hal ini sangat buruk.
Meskipun ke-2 belah pihak menyetujui kali ini adalah hubungan sementara, sedikit sekali orang di sekitar yang akan menerima hubungan tersebut.
Masalah terbesar adalah, tidak ada orang dengan pandangan seperti ini di sekitar ku.
"Ya, memang sepertinya tidak mungkin."
Ketika aku mengatakan itu, Reina menampilkan ekspresi yang tampak kecewa, tapi pada saat yang sama, juga terlihat sedikit lega.
"Benar juga. Aku juga ingin menyarankan Yuta-kun untuk mendapatkan pengalaman seperti itu... entahlah, aku ingin merekomendasikannya, tapi ada sedikit kekhawatiran juga, rasanya seperti itu."
"Ya, tidak ada orang di sekitar kita yang sekadar ingin mencoba berpacaran begitu saja, kan?"
Begitu aku mengatakannya, gambaran beberapa bulan lalu langsung terlintas di pikiranku.
Sepertinya, aku pernah berbicara tentang hal itu pada malam Natal tahun lalu, atau mungkin tidak.
"Cerita itu, detailnya!"
"Apa?"
Suara yang terdengar dari belakang sangat familiar, membuat ku berpikir kalo mungkin memang ada kekuatan kata-kata.
Saat aku menoleh, di sana ada...
"Ah."
Reina mengeluarkan suara kecil.
Di depan kami, Shinohara terlihat dengan tangan disilangkan dan senyum lebar di wajahnya.
★★★
"Eh, tunggu dulu! Kenapa kau ada di sini?"
Setelah mengkritik Reina, Shinohara cepat beralih menatap ku.
Karena aku sudah menjelaskan semuanya pada Kouhai-ku ini, aku membalas tatapannya dengan pandangan yang memberi isyarat kalo aku tidak melakukan hal yang salah.
Pipi Shinohara perlahan-lahan mengembung, tapi pada akhirnya mengempis dengan suara pelan.
"Aku sudah punya firasat kalo ini akan terjadi..."
"Firasat seperti apa?"
Aku bertanya ringan, dan Shinohara langsung menggenggam bahu ku dengan kuat dan menggoyangnya dengan keras.
"Senpai yang membawa Reina-san ke dalam klub ini, itu yang aku rasakan!"
Setelah digoyang untuk ke-2 kalinya minggu ini, aku hampir pusing, tapi aku tetap berusaha menjawab.
"Aku bebas mau membawa siapa saja ke sini, kan?!"
"Itulah yang membuat ku kesal!"
"Tunggu, Mayu-chan."
Begitu mendengar suara Reina, Shinohara langsung melepaskan tangannya dari bahu ku.
Karena dia melepaskannya begitu mendadak, aku terjatuh ke belakang, tapi sepertinya tidak ada yang peduli.
"Ah, jadi sekarang kau ingat nama ku, ya? Ada apa, Reina-san?"
"Apa menurutmu Yuta-kun itu populer?"
"Tunggu, apa yang tiba-tiba kau tanyakan?"
Aku merespons pertanyaan Reina saat aku bangun, tapi Shinohara tetap menatap Reina dan menjawab tanpa ragu.
"Menurut ku sih, iya. Lagipula, Reina-san juga sepertinya sudah pernah pacaran dengannya."
"Ahaha, ya, begitulah. Tapi alasan awalnya bukan karena popularitas atau hal semacam itu."
"Haa."
Shinohara merespons dengan nada santai, tapi Reina tidak terlihat terganggu dan melanjutkan pembicaraannya.
"Kalo seseorang yang populer dibiarkan begitu saja, wajar saja kalo dia akan pergi ke tempat yang berada di luar jangkauan kita. Kalo tidak mau itu terjadi, satu-satunya cara adalah menjalin hubungan yang lebih dalam dengannya."
Dari tadi mereka berdua terus menyanjungku, tapi jelas kalo yang sebenarnya populer adalah Reina.
Lagi pula, aku tidak merasa pernah menjadi seseorang yang akan pergi jauh dari jangkauan mereka.
Kalo aku memang sehebat itu, tidak mungkin aku masih menjalani kehidupan yang berantakan di tahun ketiga kuliah.
Padahal waktu untuk mencari kerja semakin mendekat, tapi aku masih belum bisa menentukan arah usahaku.
Ketika memikirkan hal ini, aku merasa kosong dan hampa.
"Apa yang kau bicarakan? Aku dan Senpai itu memiliki hubungan yang sedalam Palung Mariana, loh."
"Hei, aku tidak ingat pernah masuk ke bagian terdalam seperti itu."
"Diamlah, Senpai!"
"Tunggu, ini kan sedang membicarakan diriku, kan!?"
Meskipun aku membalas seperti itu, tatapan mata iblis kecil Kouhai-ku tetap terpaku pada Reina.
"Dan sekalipun ada hal-hal yang terjadi antara Reina-san dan Senpai, tindakan ku tidak akan berubah."
Itu adalah sesuatu yang dia katakan langsung padaku sebelum kelas pertama dimulai 2 hari yang lalu.
Meskipun kata-kata itu terdengar menyenangkan bagiku, mungkin akan memberikan kesan yang berbeda bagi Reina.
"Tindakan apa maksudmu, Mayu-chan?"
"Berusaha akrab dengan Senpai!"
"Begitu ya, terima kasih."
"Hah?"
Shinohara mengeluarkan suara keheranan.
Sepertinya dia berniat melanjutkan sesuatu yang berbeda, tapi jawaban Reina membuatnya kehilangan kata-kata. Dia hanya bisa membuka mulutnya sambil terdiam.
"Terima kasih sudah bergaul dengan baik dengan Yuta-kun. Dia sebenarnya tidak terlalu terbiasa berinteraksi dengan orang yang lebih muda darinya. Aku yakin kehadiran Mayu-chan akan menjadi sesuatu yang berharga baginya di masa depan."
"Oh, ya... benar. Memang Senpai pernah bilang kalo dia tidak terlalu banyak berhubungan dengan orang yang lebih muda. Tapi aku penasaran kenapa..."
Ketika Reina memiringkan kepalanya sedikit, Shinohara berbicara dengan nada seolah sudah memutuskan sesuatu.
"Aku masih merasa kalo Reina-san terlihat seperti pacar Senpai, jadi rasanya agak aneh."
"Fufu. Aku sekarang mantan pacarnya, lho."
Setelah terdiam selama beberapa detik, Shinohara menoleh ke arahku dan berkata,
"....Senpai, kalo aku tidak salah dengar, Reina-san barusan bilang 'sekarang'...?"
"Benar."
Begitu mendengar jawaban Reina itu, Shinohara langsung menghadap Reina lagi tanpa menunggu jawabanku.
"Jadi, maksudmu, kau ingin balikan dengan Senpai sekarang?"
Meski mendapat pertanyaan langsung yang blak-blakan, bahkan seperti peluru lurus tanpa henti, Reina menjawab tanpa ragu.
"Setidaknya, tidak sekarang. Kami baru saja memulai kembali hubungan kami yang sebelumnya."
"Jadi───"
"Itulah kenapa aku berpikir, kalo dia mencoba menjalin hubungan percobaan dengan seseorang dalam waktu singkat, mungkin Yuta-kun akan lebih jelas memahami pandangannya tentang cinta. Tapi itu hanya contoh saja, kok."
"Cerita itu, tolong jelaskan lebih rinci!"
"Ya, aku sedang menjelaskannya sekarang..."
Karena antusiasme Shinohara, Reina terlihat sedikit kesulitan dan menunjukkan ekspresi bingung.
Melihat itu, aku menarik leher baju Shinohara untuk menjauhkannya dari Reina.
Shinohara, yang terlihat kesal, menatapku dengan mata penuh keluhan sambil mengerucutkan bibirnya.
"Kalo itu bukan Senpai, jari mu sudah aku gigit sekarang."
"Ah, untung aku Senpaimumu."
"Itu bukan jawaban yang aku harapkan!"
Dia meronta-ronta dengan kedua lengannya, jadi aku tidak punya pilihan lain selain melepaskannya.
Saat pertama kali aku datang ke gymnasium bersama Shinohara, aku merasa canggung untuk menyentuhnya.
Taoi sekarang, menarik kerahnya seperti ini tidak lagi menjadi masalah besar.
Dari situ, aku menyadari betapa waktu telah mengubah hubungan kami.
"Bagaimana menurutmu Senpai? Apa kau mau mencoba menjalani kehidupan pacaran denganku untuk sementara waktu?"
"Tidak."
"Langsung ditolak!?"
Shinohara menatapku dengan ekspresi terkejut, kemudian berjongkok dengan lemas.
"Kesempatan untuk lebih dekat dengan Senpai... Padahal akhir-akhir ini hubungan kita sudah mulai membaik."
"Dengar, aku tidak akan mengambil waktumu hanya untuk keuntunganku sendiri."
Kalo ini adalah hubungan profesional seperti 'rental pacar' yang melibatkan uang, itu mungkin cerita yang berbeda.
Tapi kalo itu dilakukan atas dasar kebaikan hati, ada cara lain untuk menggunakan waktu dengan lebih bermakna.
Memanfaatkan waktu orang lain tanpa menawarkan imbalan yang jelas bukanlah sesuatu yang dapat aku lakukan, bahkan kalo aku memikirkannya.
Meski begitu, aku sadar kalo aku sering menyita waktu Shinohara dengan alasan-alasan pribadi, jadi aku mungkin bukan orang yang tepat untuk berbicara soal ini.
Tapi, mengingat Shinohara juga menjadi model salon dan memiliki bakat unik, aku merasa ada banyak bidang di mana dia dapat memanfaatkan kemampuannya.
Itulah sebabnya aku yakin kalo keputusan ini adalah yang terbaik.
"Aku juga ingin mencoba banyak hal. Lagipula, aku yang menawarkan ini, jadi ini win-win, kan?"
"Tidak. Sama sekali tidak."
"Tolong jangan gunakan nada seperti kampanye anti-narkoba untuk menjawabku!"
"Untuk Yuta-kun, mungkin ini seperti narkoba. Tapi mungkin itu sudah terlambat untuk diselamatkan."
seloroh Reina, menyela pembicaraan.
Setelah Reina menyela, dia kemudian melanjutkan, "Seperti yang aku bilang tadi, ini hanya contoh. Mayu-chan, kau tidak perlu terlalu serius menanggapinya."
"Tidak, aku serius. Ini kesempatan yang sangat pas untukku."
Ada sesuatu yang aneh pada ekspresi seriusnya yang tidak seperti biasanya.
"....Ada apa?"
Shinohara terdiam, kemudian dia menundukkan kepalanya, seolah sedang ragu-ragu apakah harus berbicara atau tidak.
Keheningan itu berlangsung cukup lama hingga aku dan Reina saling bertukar pandang.
Reina akhirnya bertanya dengan hati-hati,
"Apa terjadi sesuatu?"
"Tidak, tidak ada apa-apa, hanya saja... mungkin ada perubahan dalam cara pandangku."
Shinohara akhirnya merespons, lalu dia berbicara kepada Reina, "Aku merasa belajar banyak dari mu, Reina-san."
"Dari ku?"
"Iya. Maksudku, ini bukan sindiran atau apapun. Kalo terdengar seperti itu, aku siap bersujud meminta maaf."
"Tidak, kai tidak perlu sampai bersujud. Tapi...begitu ya. Kalo aku bisa membantu Mayu-chan dalam sesuatu, aku juga senang."
Apa yang Shinohara pelajari, mungkin berkaitan dengan pengalamanku dan Reina.
Dari sikap Shinohara yang langsung meminta maaf, jelas ini adalah sesuatu yang mungkin bisa menyinggung.
Tapi, Reina, yang di luar dugaan menanggapi dengan senang hati, menunjukkan betapa lapangnya hatinya.
───Dia tetap orang yang begitu berbesar hati, seperti biasanya.
Sejak pertama kali bertemu, Reina memiliki daya tarik yang mampu menyelimuti orang lain dengan kelembutannya.
Meskipun mungkin dia akan menyangkal, dasar dari kehangatan itu adalah kelapangan hatinya.
Shinohara, setelah mendengar jawaban Reina, dia terlihat terkejut sejenak sebelum akhirnya mendekat dengan antusias.
"Reina-san, aku ingin meminta maaf soal yang waktu itu. Aku mengatakan banyak hal yang sangat tidak sopan."
"Waktu itu?"
Reina terlihat bingung, taoi aku segera memahami maksudnya.
Shinohara pernah menceritakan sendiri padaku tentang bagaimana dia tanpa basa-basi menginterogasi Reina secara sepihak.
Meskipun tindakan itu pada akhirnya memotivasiku untuk menemui Reina lagi, yang bagi diriku adalah sesuatu yang positif, aku tahu dari sudut pandang Reina, apa yang dilakukan Shinohara pasti terasa sangat tidak sopan.
Tak lama, Reina pun sepertinya mulai memahami apa yang dimaksud Shinohara.
Dia lalu menggelengkan kepalanya dengan lembut, menunjukkan kalo dia tidak mempermasalahkan hal itu.
"Tidak apa-apa. Malah, aku merasa sedikit senang, kok."
"Eh?"
"Soalnya, aku merasa tindakan itu muncul dari ketulusanmu yang benar-benar mengagumi Yuta-kun. Dari situ, aku kembali menyadari betapa menariknya Yuta-kun sebagai seseorang."
Mendengar ucapan Reina, aku hanya bisa menghela napas kecil.
"Kau selalu saja mengatakan sesuatu yang memalukan seperti itu..."
"Karena itu memang kenyataan."
Reina melirikku dan tersenyum kecil.
Tapi sepertinya kata-kata Reina belum sepenuhnya dapat diterima oleh Shinohara, karena dia kembali bertanya.
"Reina-san, kenapa kau tidak marah padaku? Meskipun ada alasannya, kalo aku ada di posisi mu, rasanya aku tidak ingin lagi berhubungan dengan orang yang pernah memperlakukanku dengan buruk, walaupun hanya sekali."
"Hmm..."
Reina sedikit memiringkan kepalanya sambil mengarahkan pandangannya ke atas.
Setelah beberapa detik berlalu, dia perlahan mulai berbicara.
"Kalo tidak ada alasan yang jelas, aku juga pasti tidak akan suka. Tapi bahkan dalam sebuah alasan, ada hal yang bisa dimaafkan dan ada yang tidak. Mengenai kejadian yang lalu, seperti yang aku bilang tadi, aku malah merasa senang."
"...Kenapa kau bisa sebegitu memahami sudut pandang orang lain?"
"Mungkin karena aku tidak ingin langsung menolak sesuatu tanpa berpikir. Aku pernah mengalami penyesalan karena tidak mempertimbangkan keadaan orang lain. Kalo saja aku waktu itu mencoba memahami lebih jauh, mungkin hasilnya akan berbeda."
—Aku merasa tahu apa yang ingin disampaikan Reina dengan kata-kata itu.
Entah itu sebuah pesan tersirat, atau sesuatu yang lebih personal.
"Reina-san yang bisa menerima orang sepertiku pasti bukan orang yang buruk."
Shinohara mengatakan itu dan melompat ke arah Reina.
Reina terkejut dan berteriak kecil, "Eh?!" saat Shinohara memeluknya.
Aku hanya bisa tertegun melihat adegan itu. Shinohara, yang kini memeluk Reina, mendongak tanpa mengatakan sepatah kata pun, lalu perlahan melingkarkan tangannya ke pinggang Reina.
Shinohara lalu mengatakan hal-hal seperti, "Di sini rasanya nyaman sekali..." membuat Reina terlihat bingung, tapi akhirnya dia mulai memebelai kepala Shinohara dengan lembut.
"Sejak pertama kali kita bertemu di kedai ramen, sebenarnya aku ingin melakukan ini..."
"Jadi kau sudah memikirkan hal itu sejak lama? Kalo begitu, kenapa kau tidak bilang saja dari awal?"
"Apa yang sedang aku saksikan ini..."
Aku menurunkan nada suara dan berbisik karena bingung harus bereaksi seperti apa.
Dari sudut pandang orang luar, keakraban antara Reina dan Shinohara mungkin terlihat manis.
Taoi, bagiku yang cukup mengenal keduanya, pemandangan itu justru membuatku merasa canggung.
Tapi yang jelas, suasana tegang yang sempat muncul dari Shinohara tadi sudah hilang.
Percakapan dengan Reina sepertinya berhasil menghapus beban di hatinya.
"Fufu. Kau terlihat seperti hewan kecil, imut sekali."
"Payudara Reina-san lembut sekali..."
"Ah, jangan! Ah, sudah, diamlah yang tenang!"
Ketika Shinohara mencoba menanamkan wajahnya di payudara Reina, Reina terlihat terkejut dan dia dengan cepat menarik diri.
Tapi, Shinohara sepertinya cukup gigih, dan akhirnya Reina pun terlihat membiarkannya.
Tindakan seperti itu mungkin bisa diterima antara sesama jenis, tapi kalo itu dilakukan oleh lawan jenis, itu bisa berujung pada masalah dengan hukum.
Aku mulai merasa tidak nyaman dengan pandangan dari anggota klub yang terasa semakin dekat.
Untungnya, tidak ada yang cukup dekat untuk mendengar percakapan kami.
"He, senpai."
Dari pelukan Reina, Shinohara mulai berbicara dengan suara agak teredam.
Aku ragu-ragu untuk merespons dalam keadaan seperti itu.
Tapi, Reina menatapku dengan tajam seolah mengingatkanku untuk tidak mengabaikan Shinohara, jadi aku terpaksa menjawab, "Apa?"
"Kalo kau hanya memiliki kenangan dengan Reina-san yang penuh pesona seperti ini, aku khawatir kau akan kesulitan dalam urusan cinta di masa depan"
"Itu adalah hal yang tidak perlu untuk diurus."
"Itu kenyataannya, kok!"
Sejujurnya, belakangan ini pikiranku lebih banyak terfokus pada apa yang terjadi dengan Reina, dan kesempatan untuk berpikir tentang masa depan dalam hal percintaan sangat sedikit.
Lingkungan di sekitarku yang selalu ada orang lain membuatku tidak merasa kesepian atau terlalu merindukan kehadiran seseorang.
Aku memang memiliki keinginan yang samar untuk memiliki pacar, tapi aku tidak pernah benar-benar memikirkan siapa atau kapan itu akan terjadi.
Kalo aku memiliki pacar, rasanya itu adalah hal yang akan terjadi di masa depan yang jauh.
Tapi, setelah berpikir lebih dalam, aku menyadari kalo masa-masa di mana aku dikelilingi oleh lawan jenis tidak akan berlangsung lama.
Aku sadar kalo aku tidak memiliki daya tarik yang bisa menarik orang untuk tetap ada di sisiku.
Meskipun begitu, aku merasa kalo aku memiliki keberuntungan karena selalu ada orang lain di sekitarku.
Kalo ini bisa dianggap sebagai kesempatan, mungkin sudah saatnya aku mulai serius untuk memiliki pacar.
Kalo dilihat dari perspektif yang lebih luas, pemikiran ini sepertinya teoritis, tapi pada kenyataannya itu bisa dibilang cukup rendah.
Tapi, pada akhirnya, aku rasa itulah sifat dasar pria.
Dalam pikiran yang tidak perlu khawatir akan pengawasan orang lain, terkadang ada pemikiran yang bisa saja menciptakan kesan buruk, tetapi itu adalah hal yang wajar.
Selama aku bisa menjaga diri dan tidak mengungkapkan pemikiran tersebut secara terbuka di tempat yang tidak tepat, aku rasa tidak ada masalah.
"Aku sih, saat ini tidak berniat untuk memiliki pacar."
Tapi, itu juga adalah perasaan jujur yang aku rasakan saat ini.
Meskipun aku ada keinginan yang samar untuk memiliki pacar, selama keinginan itu belum jelas, aku lebih memilih untuk tetap sendiri.
Saat musim Natal tiba, fakta kalo ada banyak acara yang biasanya dihadiri oleh pasangan membuatku merasa sedikit kesepian.
Ternyata, ketika suhu turun, manusia secara alami cenderung mencari pasangan lawan jenis.
Tapi sekarang, cuaca mulai menghangat, dan aku tidak memikirkan acara-acara yang akan datang.
Motivasi untuk urusan cinta menjadi menurun, dan dalam hal ini, bisa dibilang itu adalah hal yang wajar.
Kadang-kadang, cinta melintas dalam pikiranku, tapi sebagian besar waktu, aku tidak merasa perlu memiliki pacar.
Selain itu...
"Ya, itu benar kan?"
Suara Reina yang menjawab seolah mengandung sedikit perasaan lega.
Keberadaan Reina adalah salah satu alasan kenapa aku merasa tidak membutuhkan pacar.
Aku bisa memahami perasaan yang timbul ketika seseorang yang baru saja memulai hubungan lagi mendapatkan pacar dengan cepat.
Oleh karena itu, meskipun aku tidak memiliki motivasi yang kuat dalam hal percintaan, aku merasa sebaiknya aku tidak memiliki pacar untuk sementara waktu.
Mungkin ini adalah keputusan yang egois, tapi kalo ini dapat mengarah pada hubungan yang lebih harmonis, aku rasa itu adalah harga yang pantas dibayar.
"Pokoknya, itu bukan urusan kj."
Shinohara melepaskan diri dari pelukan Reina dan berbalik menatapku.
"Bagaimana bisa kau mengatakan 'bukan urusan ku' tentang pendapat orang yang terlibat?"
"Beeeh!"
Shinohara menjulurkan lidah padaku.
"Kau sedang mengolok-olokku kan?"
"Menurutku begitu!!"
"Harusnya kau membantahnya!"
Setelah Shinohara tertawa, dia kembali menyelam ke pelukan Reina.
Pada awalnya, Reina terlihat bingung dengan tindakan itu, tapi kali ini dia justru tersenyum.
Meskipun kesempatan untuk mendekatkan diri dalam waktu singkat seperti ini tidak sering terjadi bagi Reina, sepertinya dia tidak keberatan.
Sepertinya Shinohara benar-benar cocok dengan orang yang lebih tua.
Tapi, ada satu kalimat yang mengganjal di pikiranku.
── Bukan urusanku.
Apa ucapan itu hanya gurauan seperti biasa, ataukah dia benar-benar memahami situasiku?
Tapi meskipun yang terakhir, pendapatnya tidak bisa dikatakan salah.
Dari sudut pandang Shinohara, masalah kami adalah sesuatu yang terjadi di luar perhatian mereka.
"Kalo begitu, bolehkah aku mencoba terlebih dahulu, mengambil posisi sebagai pacar Senpai?"
...Pernyataan seperti itu mungkin bisa dilontarkan karena dia merasa santai.
"Apa pembicaraan ini masih berlanjut?"
Saat aku berusaha menunjukkan wajah bingung, Shinohara berkata, "Jangan seenaknya menghentikan pembicaraan ini!" sambil membuat wajah cemberut.
"Ada satu kompleks yang aku miliki."
"Tentu saja setiap orang punya satu, jadi jangan terlalu dipikirkan."
"Bukan berarti kau hanya bisa menyampaikan kebenaran saja!"
Shinohara melontarkan pernyataan itu dengan semangat, tapi karena dia sedang dekat dengan Reina, aku hanya melihatnya seperti hewan kecil yang menggemaskan.
Tiba-tiba aku merasa seperti tidak ada lagi ketegangan, dan aku menghela napas.
"Apa aku boleh menceritakan sedikit tentang masa laluku?"
Melihat ke arah jaket yang dikenakannya, pertandingan masih berada di babak pertama.
Meskipun ada kesempatan untuk tampil, itu masih beberapa waktu lagi, jadi jujur saja, aku merasa sedikit bosan.
"Baiklah, kalo begitu sampai pertandingan berikutnya."
"Sejak kapan kau begitu suka dengan bola basket, sih?"
"Tentu saja, aku sudah menjadi anggota klub bola basket sejak lama."
Saat masih di SMP dan SMA, aku selalu bermain basket, dan meskipun lingkunganku sudah berubah, terkadang aku masih ingin menyentuh bola basket di saat-saat tertentu.
Aku bergabung dengan klub basket pada awalnya karena aku bisa ikut beraktivitas saat mood ku sedang baik.
Pada awalnya, kesempatan itu terbatas karena bertemu dengan Shinohara, tapi belakangan ini aku cukup sering berpartisipasi.
"Aku juga bermain basket waktu SMP, tapi aku tidak merasa ada keinginan itu sama sekali... eh, maaf, pembicaraan jadi melenceng."
Shinohara menggelengkan kepalanya dan mulai berbicara tanpa menunggu reaksi dari ku atau Reina.
"Dulu, aku bermimpi menjadi seorang putri."
"Memang, semua gadis pasti begitu, kan?"
Reina berkata dengan senyum, dan Shinohara terlihat sedikit bingung namun hanya menjawab, "Benar, ya." Seandainya aku yang mengatakan itu, pasti Shinohara akan balik memberi komentar seperti, "Itu tidak semudah itu, tahu!"
Mungkin untuk mengatur ulang suasana hatinya, Shinohara menepuk pipinya.
Kalo ini aku pun mulai mendengarkan dengan baik.
"Pandanganku tentang cinta memang agak berbeda dari orang lain. Sebenarnya, aku sudah menyadari hal itu sejak lama."
"Oh... iya, itu pernah kau katakan sebelumnya."
Aki ingat, itu sekitar bulan Januari tahun ini. Ketika aku pulang ke apartemenku, Shinohara sedang menonton acara tentang cinta dan mengatakan kalo pandangannya tentang cinta berbeda dari kebanyakan orang.
"Ternyata, itu bukan pertama kalinya kau merasa begitu?"
"Aku sudah memikirkannya sejak lama, hanya saja dulu aku mengungkapkannya dengan hati-hati. Aku takut orang akan menjauh dariku. Tapi sekarang, aku rasa itu sudah tidak masalah lagi. Aku rasa Senpai dan Reina-san sudah bisa menerima itu."
Aku dan Reina saling berpandangan, kemudian mengangguk sedikit.
Setelah mengetahui perbedaan pandangan dalam cinta, hubungan ku dengan Shinohara tidak akan berubah.
Meskipun aku tidak bisa memastikan bahwa tidak ada kemungkinan aku merasa menjauh, aku yakin hal itu tidak akan mengubah hubungan ku dengan Shinohara.
Reina memang baru saja mengenal Shinohara, tapi aku tahu betul kalo Reina bukanlah tipe orang yang akan menghindari seseorang hanya karena pandangan mereka tentang cinta berbeda.
Shinohara mungkin merasa begitu juga, entah karena perasaan itu datang dari dalam dirinya atau karena dia percaya padaku, dia sepertinya juga menaruh kepercayaan yang sama pada Reina.
"Begitu mendengarnya, mungkin aku akan sedikit terkejut, tapi aki tidak akan menjauh sama sekali."
"Biasanya, ketika mendengar hal seperti ini, orang akan mengatakan kalo mereka tidak akan menjauh meski itu mungkin sebuah kebohongan, ya? Ini sangat 'terlihat seperti kau', Senpai!"
Meskipun Shinohara mengatakannya dengan nada yang agak tegas, ekspresi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
Mungkin dia tidak ingin suasana menjadi terlalu serius.
Dengan suara ceria seperti biasanya, Shinohara melanjutkan ceritanya.
"Aku rasa aku sudah tahu alasan kenapa pandangan ku berbeda. Sejak kecil aku memang agak berbeda dari orang lain, dan itu kadang menimbulkan sedikit masalah."
Shinohara menatap ke langit-langit gymnasium.
Langit-langit yang tinggi itu berwarna oranye, memberi suasana cerah pada ruangan itu.
Aku sempat teralihkan dengan cahaya yang mirip sinar matahari yang memantul, hingga bayangan cahaya tersebut menghalangi ku untuk melihat ekspresi wajah Shinohara.
Begitu aku mulai kesulitan melihat, Shinohara melanjutkan pembicaraannya.
"Aku ingin berubah, tapi aku terburu-buru dan gagal. Mungkin orang biasa tumbuh dari kegagalan seperti itu, tapi aki tetap tidak bisa berubah, dan aku terus berjalan dengan cara yang sama. Oleh karena itu, aku pikir kehidupan kampus ini adalah kesempatan terakhir ku untuk mengubah diri saya. Ini adalah kesempatan terakhir ku untuk berubah."
Kehidupan kampus yang relatif memberikan banyak waktu luang.
Kalo hanya dibandingkan dengan masa-masa setelah SMP yang sibuk dengan kegiatan ekstrakurikuler, kehidupan kampus ini bisa dibilang merupakan waktu yang paling bebas yang aku miliki.
Karena itu, mungkin Shinohara melihat kehidupan kampus ini sebagai batasan waktu untuk dirinya.
Tentu saja, akan ada kesempatan untuk berubah setelah menjadi pekerja, tapi kalk seseorang terus berpikir 'masih ada kesempatan berikutnya' dan akhirnya tidak berubah, mungkin memaksa diri untuk berubah akan menjadi pilihan yang perlu dilakukan.
Perasaan Shinohara untuk mengubah pandangannya tentang kehidupannya, aku terkadang bisa merasakannya.
Kalo begitu, aku ingin mendukungnya. Sebagai seorang Senpai , dan sebagai sesama manusia.
"Aku akan mendukungmu. Memang sulit untuk berubah, kan?"
Mungkin ada orang yang akan menganggapnya sebagai sesuatu yang sepele, atau bahkan dijadikan bahan tertawaan.
Mereka mungkin akan tertawa, mempertanyakan kenapa dia begitu serius dengan hal tersebut.
Tapi, setidaknya Shinohara benar-benar serius tentang hal itu.
Dan sebagai Senpainya, aku merasa penting untuk mendengarkan masalah yang dihadapi oleh seorang Kouhai dengan sungguh-sungguh.
Meskipun aku tidak sepenuhnya setuju dengan anggapan kalo seorang Senpai harus melakukan sesuatu karena posisinya, tapi dalam kasus Shinohara, aku merasa ingin melakukan sesuatu untuk membantunya.
Setelah aku membangun hubungan dengannya hingga sejauh ini, perasaan seperti itu pun muncul.
"Kalo begitu, maukah kau berpacaran dengan ku?"
"Tidak bisa."
"Tapi tadi kan kita sedang berada dalam situasi yang seolah-olah kau akan setuju!?"
Shinohara mengatakan itu sambil menginjak-injakkan kakinya dengan kesal.
Kalo pandangan penonton saat itu tidak teralihkan ke lapangan, mungkin mereka akan merasa bingung melihat apa yang sedang dibicarakan oleh ketiga orang itu.
"Kalo kita menjalani hubungan sementara, apa sebaiknya kita meminta persetujuan dari Reina-san juga?"
Shinohara bertanya sambil menatap Reina.
Reina terlihat sedikit terkejut mendengar kata-kata Shinohara, namun akhirnya dia menggelengkan kepala.
"Aku tidak punya hak untuk menghentikan itu."
...Karena kami bukan pasangan, dia memang tidak bisa menghentikan hal itu.
Meskipun itu alasan yang sangat jelas, aku tidak bisa menahan diri untuk menundukkan pandanganku.
Mungkin saat ini Reina tidak ingin aku merasa bersalah, tapi aku pasti akan merasa tertekan untuk beberapa waktu.
Tapi Shinohara sepertinya tidak terlalu memikirkannya, dan tanpa mengubah nada suaranya, dia bertanya pada Reina.
"Kalo begitu, berapa lama yang diinginkan? Rasanya kalo terlalu lama, itu tidak terlalu baik, kan?"
"...Sekitar 2 hari saja."
"Begitu singkat!?"
Shinohara terkejut, tapi aku terkejut dengan alasan yang berbeda.
"Tunggu, kenapa kita bisa melanjutkan pembicaraan ini tanpa mendengarkan pendapat orang yang bersangkutan? Biasanya kan harus mendengar pendapatku dulu. Eh, bukankah aku sudah bilang kalo itu tidak mungkin?"
"Sepertinya tidak."
"Aku pasti sudah bilang!"
Aku langsung menginterupsi setelah melihat kalo ingatan Kouhai tersebut sepertinya sudah hilang dalam beberapa detik terakhir.
Tidak mungkin ada ingatan yang begitu selektif!
"Kalo misalnya 2 hari dengan sentuhan fisik tanpa batas, mungkin bisa dipertimbangkan."
"Dengarkan aku!"
"Yuta-kun, tidak apa-apa."
Reina dengan tenang mengucapkan satu kata.
Baik aku maupun Shinohara tanpa sadar langsung menatap Reina.
"Apa, apa yang kalian lakukan?"
"Reina-san... Terima kasih! Dengan ini, senpai pasti akan bergerak!"
Shinohara membuka tangannya dengan gerakan dramatis, lalu kembali memeluk Reina.
"Tunggu sebentar, kenapa seperti itu!"
"Yuta-kun."
Dipanggil dengan tenang sekali lagi, aku menelan kata-kata yang hampir keluar dari mulutku.
Pada saat itu, orang yang memiliki pengaruh terbesar di ruangan ini adalah Reina.
Baik Shinohara maupun aku, menunggu kata-kata Reina dengan penuh perhatian.
"Tadi, tentang masa percobaan sementara yang aku bilang ke Yuta-kun. Mungkin terdengar seperti candaan, tapi sebenarnya aku cukup serius."
"Kenapa harus serius? Reina kan──"
──Itukah yang seharusnya? Aku hendak bertanya, tapi aku mengurungkan niat itu.
Perasaan peduli terhadap Reina dan pertanyaan itu tidak seharusnya dikaitkan.
Tidak seharusnya aku yang bertanya.
Apa pun jawaban yang keluar, pasti aku tidak bisa menyelesaikannya.
"Ya."
Reina tersenyum kecil dan mengangguk, seolah-olah dia bisa memahami pemikiran yang ada di kepalaku.
Shinohara melepaskan pelukannya dari Reina dan langsung menggenggam lenganku dengan erat.
"Ayo, Senpai, ayo pergi."
"Tunggu dulu, aku harus tetap ikut pertandingan berikutnya. Setelah itu baru kita bicara."
"Baiklah, kalo begitu aku akan ganti ke jersey seperti biasanya!"
Shinohara mengatakan itu dan dengan mudah melepaskan lenganku.
Tas besar yang biasa digantungkan di bahunya yang ramping terlihat sedikit membesar, menandakan bahwa dia sudah mempersiapkan sesuatu sebelumnya.
Aku tidak memberitahunya kalo aku akan ikut kegiatan klub hari ini, tapi mungkin dia sudah memeriksa jadwalku melalui kalender di kamar.
Shinohara mengucapkan selamat tinggal kepada setiap anggota klub yang ada di dekatnya, termasuk Toudou, sebelum berlari menuju ruang ganti.
Melihat punggung Shinohara yang berjalan, Reina berbisik pelan.
"....Tadi aku sempat berpikir kalo mulut bisa jadi masalah."
"Kalo begitu, aku akan menolaknya sekarang."
"Tidak boleh."
"Kenapa?"
"Aku hanya berpikir...apa yang harus kulakukan agar kau bisa mempertimbangkan aku lagi dalam pilihanmu. Itu yang membuatku berpikir seperti ini."
Langkahku yang hendak mengejar Shinohara terhenti tiba-tiba.
──Kembali bersama.
Sebagian besar pasangan akan berpisah, tapi terkadang ada yang kembali bersama.
Aku sudah tahu sejak lama kalo Reina ingin kembali berpacaran denganku.
Tapi, baru kali ini dia mengatakannya dengan jelas, dan aku tidak tahu harus menjawab apa.
Meski otakku berputar kencang, sepertinya aku tidak bisa menemukan jawaban yang memadai.
"Maaf ya, aku tahu ini membuatmu bingung."
Reina mengatakan itu sambil menurunkan alisnya.
Dulu, aku dan Reina saling bertabrakan karena kami tidak mengungkapkan perasaan kami.
Tapi, meskipun begitu, mungkin ada kalanya lebih baik tidak mengungkapkan semuanya.
"Memilih kata-kata itu memang sulit, ya."
"....Ya, itu memang sulit."
Saat aku menjawab, Reina mengangkat bahunya dan berkata,
"Mau bagaimana lagi."
Akan sangat mudah kalo kami bisa memvisualisasikan keseimbangan yang tepat──pemikiran seperti itu muncul dan kemudian menghilang.
Suara peluit yang menandakan berakhirnya pertandingan terdengar lebih keras dari biasanya.
★★★
"Apa kau akan benar-benar menerima permintaan dari Mayu-chan untuk berpacaran sementara?"
Saat kami dalam perjalanan pulang dari kegiatan klub, Reina bertanya sambil memegang 2 taiyaki di kedua tangannya.
Dia menawarkan taiyaki rasa custard dan aku menerimanya dengan senang hati.
"Memang, taiyaki yang rasa custard itu yang paling enak."
"Biasanya sih yang berisi anko, tapi custard juga cukup populer, kan? Kau kan tidak bisa makan anko, ya?"
Reina menambahkan, "Walaupun rasanya enak sekali", sambil memakan taiyaki dengan mulut kecilnya.
Sebenarnya, aku bukan tidak bisa makan anko, tapi kalo aku harus membeli sendiri, aku lebih memilih custard.
Perpaduan antara adonan dan rasa manis ala Barat itu sangat cocok.
Rasa taiyaki itu sangat bervariasi, jadi bisa dinikmati dengan berbagai cara.
Saat aku hendak berbicara tentang hal itu, Reina dengan hati-hati menaruh telapak tangannya di mulutku.
"Hush, jangan sampai pembicaraan kita teralihkan lagi."
"Mm... "
Baru saat itu aku sadar kalo pembicaraan kami sudah teralihkan.
Aku merasa sudah menjawab dalam hati, tapi sepertinya aku sudah mengucapkannya secara lisan.
Setelah rasa manis dari custard mulai menghilang, aku akhirnya membuka mulut.
"Sebenarnya aku ingin menolak, tapi apa aku benar-benar harus menuruti permintaannya?"
Setelah diminta untuk menjalani hubungan sementara, aku sempat fokus kembali pada kegiatan klub.
Alasan kenapa saat ini Shinohara tidak ada di sini adalah karena aku berbohong dengan mengatakan kalo kami ber-2 sudah memesan tempat di restoran.
Mengenai hal ini, kalo Shinohara ada di sini, pembicaraan yang sedang berlangsung mungkin tidak akan maju, atau malah mengarah ke hal yang tidak diinginkan.
Meskipun awalnya Shinohara bersikeras untuk ikut, akhirnya dia menyerah pada kekuatan kata 'reservasi' dan akhirnya dia ikut bergabung dalam kegiatan klub untuk mempererat hubungan dengan anggota lainnya.
Sambutan dari anggota klub juga sangat hangat, yang mencerminkan kemampuan komunikasi Shinohara yang sangat baik.
Kalo dibandingkan dengan Ayaka yang lebih berhati-hati dalam bersosialisasi, kehangatan Shinohara dalam bergaul terasa sangat alami.
Hal inilah yang terkadang bisa berisiko, tapi di antara orang-orang yang pernah aku kenal, tipe seperti Shinohara ini benar-benar baru bagiku, sehingga meskipun sudah berbulan-bulan sejak kami saling mengenal, perasaan segar itu masih ada.
Ternyata Reina juga memikirkan hal yang sama, dan sambil tersenyum dia berkata, "Mayu-chan bisa langsung akrab dengan semua orang, itu luar biasa ya."
"Memiliki tipe yang jujur seperti Mayu-chan yang mengagumi itu memang benar-benar berharga," tambah Reina.
Dengan enggan aku mengangguk pada kata-kata Reina.
Mengakui hal tersebut terasa sedikit menyakitkan, tapi memang benar kalo kehadiran Shinohara menjadi sesuatu yang penting bagiku.
Sejak aku mulai akrab dengan Shinohara, aku langsung merasa berterima kasih padanya.
Itulah alasan kenapa aku memberinya hadiah dompet meskipun itu merupakan pengeluaran yang cukup besar.
Tapi saat itu, aku memberikan hadiah sebagai bentuk terima kasih atas bantuannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tapi, belakangan ini perasaan terima kasihku terhadap Shinohara mulai berubah sedikit, dengan perasaan yang lebih dalam, yaitu terima kasih karena dia selalu ada di sisiku.
Kehadiran Shinohara selalu ada di sudut pikiranku.
Itu bukan hanya karena kami menjadi lebih dekat, tapi juga karena aku sering melihat sisi-sisi dirinya yang tidak aku miliki.
Dia selalu menyatakan apa yang dia rasakan dan pikirkan dengan jujur, baik melalui kata-kata maupun tindakan.
Meskipun kepribadiannya sangat berbeda dengan ku, dia juga memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan orang lain, dan waktu yang kami habiskan bersama begitu melekat dalam keseharianku.
Sejak aku hidup sampai sekarang, mungkin karena belum pernah menjalin hubungan yang dalam dengan tipe seperti Shinohara, aku sering kali merasa ada sesuatu yang baru dan segar, dan entah kenapa perasaan itu terasa nyaman.
"Tapi, itu cukup berat juga. Sepertinya dia juga sempat gegabah dengan Reina... Maaf ya, saat itu."
"Hehe, kenapa malah kau yang minta maaf, Yuta-kun?"
Reina sedikit tersenyum sebelum meremas kertas tempat taiyaki tadi menjadi bola.
"Seperti yang aku katakan tadi, aku senang melihat Mayu-chan marah untukmu, Yuta-kun."
Sambil berkata begitu Reina lalu mulai menyisir rambutnya.
Rambut abu-abu ash-nya tergerai dengan lembut dan terselip di telinga.
Anting di telinga kirinya bergoyang perlahan terkena sinar matahari.
"Tapi, apa seorang Senpai itu harus meminta maaf atas kesalahan yang dibuat oleh Kouhai-nya? Aku rasa itu luar biasa."
"Benarkah?"
Dengan nada suara yang seolah iri, aku merasa agak terkejut.
Reina memang bergabung dengan klub panahan dan seharusnya dia juga pernah terlibat dalam klub selama SMA, jadi pastinya ada 1 atau 2 Kouhai yang ada di sekitarnya.
"Melihat sikap Shinohara, aku rasa Reina juga tipe yang disukai oleh Kouhai-mu. Kau punya aura yang berbeda, yang mungkin tidak dimiliki oleh teman seumur, aku rasa."
Aku mengatakannya dengan mempertimbangkan kedekatannya dengan juniornya, tapi Reina langsung menggelengkan kepalanya.
"Aku bukan tipe orang yang terlalu peduli dengan Kouhai-ku. Tentu aku berusaha untuk menyayangi mereka, tapi ada faktor kecocokan juga... dan di klub olahraga, senpai yang ceria itu memang yang paling dihormati."
"Benarkah... ya, mungkin memang seperti itu."
Setelah dipikirkan, aku bisa sedikit mengerti.
Memang benar kalo Reina lebih cocok dengan klub budaya dibandingkan dengan klub olahraga.
Meskipun panahan adalah klub olahraga, orang-orang yang bergabung cenderung lebih tenang, tapi sepertinya klub panahan tempat Reina bergabung tidak seperti itu.
"...Lagipula itu bohong.. Lupakan yang tadi."
"Hah?"
"Aku akan mengaku, alasan yang kukatakan tentang tidak punya aku yang tidak punya Kouhai yang dekat dengan ku itu hanyalah alasan yang dibuat-buat. Aku cuma ingin terlihat lebih baik."
Reina berkata sambil dengan ringan mengetuk kepalanya sendiri.
Gerakan itu menyimpan pesona yang begitu imut hingga membuat para siswa laki-laki di sekitar tak sengaja menoleh dua kali, namun untungnya tak ada yang melihat.
"Kalo aku tidak bilang itu tadi, aku rasa kau tidak akan pernah tahu."
Aku mengatakan itu dengan jujur, dan Reina tersenyum kecil.
"Memang bisa jadi begitu. Tapi aku sudah memutuskan. Tadi aku agak terbawa suasana dan membuat percakapan berjalan begitu saja... tapi, kecuali kalo ada hal yang sangat besar, aku ingin lebih sering mengungkapkan apa yang aku pikirkan dengan jelas kepada Yuta-kun."
"...Begitu ya."
Reina sejak peristiwa itu berusaha untuk berubah.
Berusaha untuk mengubah perilakunya secara sadar memerlukan kekuatan mental yang cukup besar, dan aku tahu bahwa itu tidak bisa dicapai dalam waktu singkat.
Seharusnya aku merasa bersalah karena keputusannya untuk berubah ini berhubungan dengan kejadian yang melibatkan aku.
Tapi, meskipun begitu, aku...
"Hei, Yuta-kun."
"Hmmm. A-ada apa?"
"Kau kelihatan sedikit senang, ya."
Setelah mengatakan itu, Reina menyentuh pipiku dengan jarinya.
Seharusnya aku merasa tidak enak, tapi Reina tetap tersenyum lembut seperti biasanya.
"Reina kau itu benar-benar penuh semangat, ya."
"Ya, tergantung situasinya. Untuk ku, ini adalah momen yang penting. Kalo aku tidak berubah sekarang, kapan lagi? Sama seperti Mayu-chan."
Reina berkata dengan nada ringan, kemudian melanjutkan.
"Sudah kuduga, Yuta-kun, kenapa kau tidak pacaran dengan Mayu-chan selama dua hari?"
"Hah, kenapa bisa jadi begitu?"
Aku kebingungan mengikuti arah pembicaraan yang tiba-tiba berubah, dan Reina tertawa kecil.
"Begini, aku memutuskan untuk bertaruh. Meskipun aku terlihat seperti ini, aku paham betul posisiku. Aku rasa aku tahu seberapa besar aku berarti untukmu saat ini Yuta-kun."
"Apa maksudmu? Menakutkan sekali."
"Apa itu menakutkan? Kalo begitu, itu agak menyakitkan."
Reina mengerutkan alisnya dan menunduk dengan wajah murung.
Aku buru-buru menggelengkan kepala.
"Maaf, maaf, bukan itu maksudku. Tadi aku hanya ingin mencoba menyembunyikan rasa maluku."
Meskipun mengakui kalo aku sedang merasa malu adalah hal yang sangat memalukan, aku tahu aku tidak bisa berdiam diri.
Ketika aku berniat untuk meluruskan kesalahpahaman itu, Reina mengangkat wajahnya, dan kali ini dengan senyum yang luar biasa indah.
"Ya, aku mengerti. Maaf, aku jadi ingin menggodamu."
"...Kau benar-benar seperti iblis kecil. Dari mana kau belajar itu?"
"Sepertinya Mayu-chan akan melakukan hal seperti itu."
──Memang benar, Shinohara bisa melakukan hal seperti itu. Bahkan, aku yakin pernah mengalami percakapan serupa sebelumnya.
"Jadi, ternyata itu bisa dilakukan dengan sengaja, ya?"
"Tentu saja, bagi wanita, ini adalah bagian dari komunikasi yang biasa. Tapi, kalo itu tidak dalam situasi berdua saja, itu bisa beresiko."
"Resiko?"
"Kalo ada wanita lain, mereka mungkin akan menganggapnya sebagai tindakan yang berlebihan atau membicarakannya di belakang. Di zaman sekarang, tipe wanita yang lebih santai dan tidak terlalu menonjol lebih dihargai."
"Dan, meskipun tidak diminta, tetap saja bisa membuat pria jatuh cinta."
Aku menambahkan kalimat itu setelah mendengar perkataan Reina.
Kalo seorang pria mendengar tindakan seperti itu, kemungkinan besar dia bisa salah paham dan mengira ada perasaan cinta di balik sikap tersebut.
Meski kalo dilihat dari sudut pandang yang lebih objektif, kita bisa tahu kalo itu bukanlah perasaan cinta, tapi sebagai orang yang terlibat, kita cenderung membuat penafsiran yang menguntungkan diri sendiri, yaitu 'apa mungkin tindakan ini menunjukkan adanya perasaan cinta terhadapku?'
Perilaku seperti iblis kecil bisa membuat pria terpesona meskipun si wanita tidak bermaksud begitu.
Terlebih lagi kalo yang melakukannya adalah seseorang seperti Shinohara atau Reina.
Tapi, kalo orang yang bersikap seperti iblis kecil tersebut tidak menyadari hal itu, kita bisa menebak bagaimana salah paham itu akan berakhir.
"Mayu-chan juga kelihatannya banyak mengalami kesulitan, ya."
"Apa kau telah mendengar sesuatu?"
"Hanya sebagian kecil. Aku tidak terlalu bertanya banyak."
"Ya, memang begitu."
Shinohara tidak terlalu suka membicarakan masa lalunya.
Dulu, aku juga tidak pernah membicarakan masa laluku, dan aku tidak terlalu memikirkan kenyataan bahwa Shinohara enggan berbicara tentang masa lalunya.
Aku berpikir kalo suatu saat dia ingin membicarakannya, dia akan melakukannya.
Kalo tidak, yah tidak masalah juga kalo dia tidak membicarakannya sama sekali.
Tapi sekarang, aku merasa ingin lebih mengenal Shinohara.
Dia pernah mengatakan kalo dia merasa senang kalo dia dipercaya, dan perasaan ingin mengenalnya lebih dalam juga berakar dari hal yang sama.
Aku ingin lebih memahami Shinohara sebagai individu, bukan hanya saat ini, tetapi juga apa yang membentuk dirinya.
Aku mengenal Shinohara yang sekarang, dan masa lalunya tidak begitu penting.
Tapi, masa lalu yang membentuk Shinohara saat ini juga menjadi bagian darinya.
Aku menyukainya sebagai manusia, itulah sebabnya aku juga ingin tahu tentang masa lalunya.
Aku tidak ingin dianggap mengganggu, jadi aku tidak mengungkapkan perasaan ini, tapi inilah perasaan jujurku.
"Ini permintaan dariku, tolong dengarkan. Tolong penuhi permintaan Mayu-chan, ya?"
"Aku rasa itu hanya candaan saja, tapi kalo itu—"
"Sudahlah!"
Reina mencubit pipiku dengan lembut.
Tidak terasa sakit, tapi sedikit sensasi halus dari ujung jarinya terasa.
"Uh!"
"Apa kau mengerti?"
...Bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan hal seperti itu dengan senyum yang begitu manis, meminta agar aku berpacaran dengan gadis lain dalam suatu hubungan sementara?
Dengan tatapan yang seolah ingin memastikan jawabanku, suaranya seolah yakin aku akan mengangguk.
"...Apa itu benar-benar oke?"
"Karena aku yang memintanya."
Apapun jawaban mengenai hubungan percakapan ini, Shinohara pasti akan datang ke rumahku.
Pada saat itu, aku berniat untuk menolaknya dengan tegas.
Shinohara adalah tipe orang yang tidak akan melangkahi batas yang jelas kalo aku mengatakan secara langsung.
Dia memahami jarak antara kami, dan itulah yang membuat hubungan aneh ini bisa terjalin.
"Yuta-kun, ini permintaanku,"
"Aku paham, aku paham."
Akhirnya aku menyerah dan mengangkat ke-2 tanganku.
Meskipun proposal hubungan sementara ini jelas menunjukkan kurangnya rasa etika, tapi tidak ada yang akan tahu.
Kalo hanya dalam waktu singkat, seharusnya tidak ada masalah yang terlalu besar.
[TL\n: flag masalah udah berkibar.]
"Jadi, apa yang akan Reina pertaruhkan?"
Saat aku bertanya, Reina berjalan ke tempat sampah di pinggir jalan untuk membuang kertas.
Aku pun mengikuti dan menuju ke tempat sampah.
"Rahasia,"
Reina menjawab dari belakang dengan suara yang ceria.
Tapi, dalam nada cerianya, aku merasa ada perasaan lain yang terselip di situ.