> CHAPTER 6

CHAPTER 6

 Kamu saat ini sedang membaca  Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu  volume 4,  chapter 6. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw

  

DAUN SAKURA



".....Seriusan?"


2 hari setelah Reina mendorongku untuk menjalin hubungan palsu dengan Shinohara.


Aku menghela napas sambil menatap termometer.


—38,2 derajat.


Jelas sekali kalo aku sedang tidak enak badan, itu terlihat dari rasa lemas yang menyelimuti tubuhku.


Begitu menyadari hal itu, perasaan lelah yang berkali-kali lipat lebih berat langsung menyerangku.


Sejak bangun tidur sebelum alarm berbunyi, yang jarang terjadi, aku sudah merasa ada firasat buruk. 


Semalam, aku terus menonton anime yang sedang populer melalui layanan on-demand sampai aku tidur pukul 3 pagi.


Tapi, bangun jam 7 pagi adalah hal yang tidak biasa untuk orang seperti saya yang biasanya ingin banyak tidur.

 

Aku berdiri dari tempat tidur, entah bagaimana menjaga tubuhku yang gemetar tetap tegak.


Sekarang pukul 7.20. Perkuliahan hari ini dimulai pada jam pelajaran kedua, jadi aku masih punya waktu sekitar 2 jam sebelum bisa keluar apartemen ku.


"....Tidak mungkin, normalnya sih aku tidur lagi. Tapi itu tidak mungkin..."


Setelah menyela pikiranku sendiri dengan lemah, aku langsung terjatuh kembali ke tempat tidur.


Hari ini ada 3 kuliah pertama yang dijadwalkan, tapi sepertinya aku tidak bisa menghadiri semuanya. 


Bahkan, dengan demam seperti ini, besok pun belum tentu aku bisa pergi ke kampus.


Untungnya, hanya sedikit kuliah yang memberikan poin kehadiran sejak minggu pertama setelah liburan musim semi berakhir. 


Alasannya adalah karena periode pendaftaran mata kuliah untuk mahasiswa juga belum berakhir.


Meskipun begitu, tetap saja aku tidak bisa mencatat.


Aku baru saja naik ke tahun ketiga dan berniat untuk hadir sebanyak mungkin, tapi aku malah tiba-tiba jatuh sakit.


Sambil merasa sial, aku mulai mengetik di Hp-ku. Penerimanya adalah Ayaka.


『Maaf, aku demam. Tolong catatkan untukku.』


......Apa dia akan percaya?


Hanya dari pesan teks, tidak aneh kalo dia mengira kalo aku hanya ingin tidur lagi seperti biasa. 


Ini adalah konsekuensi dari kebiasaanku sehari-hari, tapi untuk hari ini saja, aku berharap dia bisa mempercayaiku.


Aku meletakkan Hp-li di sebelah bantal dan perlahan menyelipkan diriku ke dalam selimut.


Begitu aku berbaring setelah menyadari demamku, aku merasa seperti gravitasi meningkat beberapa kali lipat.


Hidup sendirian memiliki banyak keuntungan dan cocok dengan kepribadianku.


Tapi, saat sakit, itu lain cerita.


"Bangsat, ini sangat menyakitkan...anjing lah."


Kata-kata yang keluar dari mulutku terdengar sampai ke telingaku sendiri. 


Suara serak itu terdengar seperti bukan milikku.


──────Mungkin ini pertama kalinya aku sakit di musim semi.


Dengan kepala yang pusing, aku berpikir begitu sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.


★★★


Ketika aku bangun, aku mulai merasa lelah dan kepala ku mulai sakit.


Meskipun tidak terlalu parah, rasa tidak nyaman itu tetap meningkat.

Untuk membasahi tenggorokan yang kering, aku perlahan mengangkat tubuhku.


Secara fisik, aku ingin berbaring lagi, tapi untuk orang yang sedang demam, minum air adalah masalah hidup dan mati.


Aku berjalan lambat ke kulkas dan akhirnya berhasil membuka pintunya.


".......Wanjir..."


Di dalam kulkas, ada satu botol plastik berkapasitas dua liter. Tapi air yang tersisa di dalamnya hanya cukup untuk 2 atau 3 teguk.


Aku melihat beberapa kaleng bir di belakang, tapi minum alkohol dalam kondisi seperti ini jelas bukan pilihan.


Sebenarnya, aku bisa minum air keran, tapi untuk membuatnya dingin atau mendidihkannya butuh usaha.


Tapi pergi ke minimarket terdekat untuk membeli air juga sangat sulit mengingat kondisiku.


...Pada akhirnya, minum air keran langsung adalah pilihan termudah.


Selama ini aku menghindarinya karena aku khawatir dengan kebersihannya, tapi dalam kondisi seperti ini, aku tidak bisa pilih-pilih.


Aku lalu menuangkan air ke dalam gelas dan meminumnya.


Aku menelan air yang suam-suam kuku itu, dan ternyata itu tidak seburuk yang aku khawatirkan.


Tentu saja, kalo dibandingkan dengan kesegaran air dingin, ini jauh di bawahnya, tapi itu sudah termasuk kemewahan, bukan?


Di dalam freezer, hampir tidak ada makanan karena aku tidak pernah menimbun persediaan. 


Kalo begini, nanti sore aku harus keluar untuk berbelanja, tapi dalam kondisi seperti ini, rasanya aku sangat malas.


──────Saat aku sedang memikirkan hal itu.


Ding dong.


Suara bel pintu membuatku menoleh ke arah pintu masuk.


Hari ini adalah hari di mana Shinohara bilang dia ada pekerjaan sebagai model salon, jadi kemungkinan Kouhai si iblis kecil itu datang sangat kecil.


Tapi, aku juga tidak ingat memesan apa pun untuk diantar.


Sambil berpikir bagaimana kalo ini adalah sales yang menjual sesuatu, aku berjalan ke pintu.


Dengan tenaga yang melemah, aku membuka pintu dan langsung terkejut.


"Pagi. Reaksimu berlebihan banget."


──────Yang berdiri di hadapanku adalah Ayaka, sahabatku.


Ayaka mengerutkan kening dan dia terlihat tidak puas dengan reaksiku.


"Kenapa kau di sini?"


"Kau yang bilang kalo kau lagi demam, kan?"


Ayaka berkata begitu sambil menunjukkan tas belanjaan dari supermarket yang dia gantung di sikunya.


Di dalamnya ada beberapa bahan makanan, jelly, air, dan sebagainya.


"Boleh aku masuk? Ini lumayan berat, lho."


"Ah, ya. Eh, tunggu dulu, mungkin agak ini berantakan───"


Aku berkata begitu sebelum berbalik.


Aku hanya ingat beberapa kali mengundang Ayaka ke dalam apartemen ku.


Beberapa kali itu pun hanya sampai pintu masuk, atau saat dia masuk ke dalam kamar, itu pun setelah janji sebelumnya, jadi aku hanya menunjukkan kamar yang bersih.


Belakangan ini seharusnya kamarku cukup rapi, tapi karena masih ada keinginan untuk pamer kamar yang bersih, aku memastikan dengan melirik sekeliling.


"Hee, kamarmu rapi ya."


"Wah!?"


Dari tepat di belakangku, suara itu terdengar, dan tubuhku melengkung seperti huruf ku.


[TL\n: maksudnya kek gini ク]


Seketika, kepalaku terasa pusing, mungkin karena anemia atau sesuatu yang lain. 


Salah satu kakiku tersandung, dan tubuhku yang lebih lemah dari biasanya dengan mudah kehilangan keseimbangan.


"Hey!!"


Ayaka berusaha mencegahku jatuh dengan mencoba menyangga bagian belakang leherku dengan tangannya.


Tapi, ini antara pria dan wanita.


Karena perbedaan berat badan, pada akhirnya kami berdua terjatuh ke tempat tidur.


Aku di bawah, Ayaka di atas.


Leher putihnya ada tepat di depan mata dan hidungku.


"Hei. Bukannya seharusnya ini terbalik?"


"...Iya. Aku juga baru memikirkannya."


Dalam adegan yang terlihat seperti aku sedang didorong, aku menggerakkan mulutku dengan gelisah.


Wajah Ayaka yang ada begitu dekat di depan mataku juga jarang sekali kulihat dari jarak sedekat ini.


Aku merasakan ilusi seolah bulu matanya yang panjang terlihat basah, dan hatiku berdebar kencang.


"Jangan terlalu lama melihatku."


Saat dia menggumamkan itu, Ayaka menjauh dariku dan berdiri. 


Saat dia menjauh, dari balik sweatshirt-nya, sedikit payudaranya terlihat, dan tanpa sengaja aku menutup mataku rapat-rapat.


"Ah, maaf. Apa kau melihatnya?"


Dalam kegelapan, aku mendengar suara Ayaka bertanya. 


Karena ini tidak disengaja, nada suaranya sama sekali tidak mengandung kemarahan.


"Ah, mustahil untuk tidak melihat dari jarak sedekat itu."


"Hanya bra saja, kenapa kau sampai panik begitu?"


"Coba panggil pria yang sama sekali tidak terganggu melihat bra-mu ke sini sekarang."


"...Padahal di penginapan kau sudah melihat yang lebih dari itu."


Mendengar kata-katanya, aku membuka mataku dengan paksa.


"Aku tidak melihat!!"


Dari protes yang keluar dari mulutku yang hampir sekarat, Ayaka tersenyum dengan santai.


"Benar juga, makanya aku bisa datang ke sini dengan pakaian santai tanpa khawatir. Sepertinya kau masih punya cukup tenaga untuk membantah, aku lega."


Rupanya, ucapan tadi adalah cara Ayaka mengukur seberapa kuat kondisiku.


Aku langsung melepaskan semua tenaga di tubuhku dan membaringkan kepalaku di bantal.


"Jangan menguji orang sakit..."


"Maaf, maaf. Aku akan segera memberimu kompensasi."


Ayaka dengan mudah meminta maaf dan kemudian menuju ke dapur.


Dia membuka lemari dapur dan melihat isinya.


Bahkan hanya dari belakang, proporsi tubuh Ayaka yang baik terlihat jelas.  


Tapi, karena kondisi tubuhku yang sedang tidak fit, pikiran-pikiran liar seperti saat perjalanan ke pemandian air panas tidak muncul.


Lebih dari itu, yang lebih kuat adalah perasaan lega karena Ayaka ada di sini dalam kondisi fisik dan mentalku yang lemah.


Meskipun jarang ada kesempatan untuk mengundangnya ke apartemen ku, perasaan seperti ini muncul tidak lain karena pengalaman yang telah kami lalui bersama.


"...Terima kasih sudah datang."


Ketika aku bergumam pelan, Ayaka menoleh ke arahku.


Dia mengikat rambut belakangnya dengan karet rambut sambil tersenyum kecil.


"Seharusnya dari awal kau bilang begitu."


...Benar juga.


Ucapan pertamaku saat melihat wajahnya adalah "Kenapa kau di sini?", wajar saja dia membuat wajah tidak puas.


Sambil mendengar suara Ayaka memasak, aku menutup mataku dengan tenang.


★★★


Aroma bubur menggelitik hidungku, dan aku membuka mata.


Sambil mengerutkan kening karena rasa sakit seperti ditusuk-tusuk langsung di dalam kepala, aku mengangkat tubuhku.


"Hm, apa kau sudah bangun?"


Suara Ayaka yang tenang terdengar dari samping tempat tidur, dan aku menurunkan pandanganku.


"Berapa lama aku tidur?"


"Sekitar 20 menit. Sebaliknya, kau bisa bangun juga, Kau pasti merasa mual."


Ayaka, yang sedang duduk bersandar di tempat tidur, menjawab tanpa menatapku.


Di tangannya ada manga yang sepertinya dia ambil dari rak buku, dan dia membacanya sampai aku bangun.


Bagaimanapun juga, aku sama sekali tidak ingat kapan aku tertidur.


Sepertinya aku tertidur hampir bersamaan dengan melihat Ayaka berdiri di dapur.


Ini adalah pengalaman pertama sejak kami mengenal satu sama lain, di mana Ayaka memasak untukku di rumahku sendiri. 


Tapi, aku tertidur seperti biasa, apa karena kondisi tubuhku yang tidak fit, atau karena perasaan lega. Atau mungkin──────


"Kalo begitu, aku pergi dulu."


"Hah?"


Aku mengeluarkan suara konyol dan mengikuti gerakan Ayaka yang berdiri dengan mataku.


Ayaka, yang menoleh ke arahku, memiringkan kepalanya sedikit saat melihat wajahku.


"Ada apa dengan wajah aneh itu."


"Tidak...tidak, bukan apa-apa."


Aku menggelengkan kepalaki untuk mengusir pikiran yang sempat terlintas di benakku.


"Aku meminta temanku untuk membuatkan catatan untukku sekarang. Meskipun sudah terlambat, kalo aku pergi sekarang, aku bisa bergabung saat istirahat makan siang."


"Ooh, maaf. Terima kasih sudah datang."


Aku menyatukan kedua tangan ku dan berkata, "Aku telah diselamatkan."


Membantu berbelanja saja sudah sangat membantu, apalagi dia juga membuatkan makanan yang mudah dimakan, ini adalah hutang budi yang besar.


Saat aku mencoba menasihati diriku sendiri yang hampir membuat pernyataan yang tidak perlu, Ayaka mengerutkan alisnya.


"...Kau terlihat kesepian."


"Guh..."


...Hidup sendirian saat sakit benar-benar merusak mental lebih dari apa pun. 


Meskipun biasanya aku menganggap kesendirian sebagai ruang yang paling ideal, saat-saat seperti inilah yang membuatku merasa sulit. 


Yah ini memalukan, tapi Ayaka benar.


"Setidaknya aku akan menemanimu sampai kau selesai makan. Kebetulan juga ada beberapa hal yang ingin kutanyakan."


Ayaka menghela napas kecil dan meletakkan bantal di depan meja rendah, lalu perlahan duduk.


Aku merasa wajahku memerah karena rasa malu yang dalam telah terbaca. 


Pasti itu akan menjadi bahan candaannya saat aku sudah pulih.


"Aku tidak bisa menahannya kalo aki sedang tidak enak badan."


Aku mencoba memberikan alasan, dan Ayaka membalas dengan suara yang lembut.


"Tidak perlu malu. Saat sakit flu, aku juga begitu."


"Ayaka juga?"


"Yah, kurasa aku bisa mengalihkan perhatianku dengan membaca manga tanpa memikirkan apa pun."


Setelah mengatakan itu, Ayaka mengetuk-ngetuk meja rendah dengan jarinya. 


Di ujung jari-jarinya yang ramping ada bubur yang masih mengepul.


Dia pasti ingin aku memakannya sebelum dingin.


Aku pindah ke depan Ayaka yang duduk di seberang meja rendah dan duduk.


"Silakan, makanlah."


"Serius, terima kasih banyak... selamat makan."


Aku menundukkan kepalaku dan mengambil bubur dengan sendok. 


Butiran nasi yang jatuh dari sendok bersinar berbeda dari nasi yang biasa kumakan.


"...Apa kau menambahkan sesuatu?"


Ketika aku bertanya, Ayaka mengedipkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya tertawa.


"Bodoh, aku tidak akan melakukan hal seperti itu pada orang sakit."


"Ya, ya. Kalo begitu───"


Saat aku menyuapkan bubur ke mulut, rasa bahagia langsung membanjiri hatiku. 


Rasa asin yang sempurna, bahkan bisa dirasakan oleh indra perasa yang tumpul karena flu. 


Aku bisa merasakan garam yang hilang karena keringat mulai terisi kembali.


Aku meletakkan sendok sejenak dan mengeluarkan suara.


"Enak..."


Mendengar itu, Ayaka mengangguk dan berkata, "Begitu ya."


"Aku senang. Ini pertama kalinya aku membuat bubur untuk orang selain keluargaki, jadi aku agak khawatir."


"Tidak, ini benar-benar enak. Kalo kondisiku sehat, pasti aku akan minta tambah."


"Kalo kondisimu sehat, aku tidak akan membuatkanmu bubur."


Jawaban yang masuk akal itu membuatku tersenyum.


Meskipun jatuh sakit adalah hal yang sangat tidak kuinginkan, kalo ini yang terjadi, aku merasa terbayar.


Untuk orang-orang yang menyukai Ayaka di kampus, kalo mereka tahu bahwa dia akan membuatkan bubur untuk ku, mungkin mereka akan berharap untuk terkena flu.


Kata-kata Nazuki "Kau dikelilingi oleh orang-orang yang baik" semakin terasa nyata sekarang.


Dalam menjalani kehidupan kampus, aku tidak memiliki keahlian khusus dalam hal apa pun. 


Mungkin aku bisa bermain basket dengan cukup baik, tapi itu pun akan terlihat biasa saja kalo dibandingkan dengan tim basket kampus kami yang terkenal kuat.


Hubunganku dengan Ayaka terbentuk dari pengalaman yang telah kami lalui bersama, dan tidak diragukan lagi kalo peristiwa masa lalu telah membentuk hubungan kami.


Tapi Ayaka bukanlah orang yang baik hati sampai-sampai dia akan mengunjungi apartemen ku hanya karena peristiwa masa lalu.


Hubungan kami yang baiklah yang membuatnya datang merawatku seperti ini.


Fakta itu sekali lagi membuatku merasa sangat nyaman dan membiarkan diriku dimanjakan.


Saat aku mengalihkan pandanganku dari bubur ke arah Ayaka, dia sudah kembali membaca manga.


Aku teringat kalo Shinohara juga sangat tertarik dengan manga yang sama.


Mungkin karena sedang populer belakangan ini, manga itu menarik minat banyak orang tanpa pandang bulu.


Beberapa detik kemudian, Ayaka menyadari tatapanku dan mengedipkan matanya.


"Apa kau sudah selesai makan?"


"Terima kasih atas makanannya."


Aku membungkuk dalam-dalam.


Bubur itu berisi bayam dan telur dengan rasa asin yang sempurna, dan aku merasa sudah sedikit pulih hanya dengan memakannya.


Ini pasti akan membuatku harus membalas budi dengan sesuatu yang mahal setelah sembuh.


"Tidak perlu. Sebagai gantinya, hmm..."


Ayaka memandang sekeliling ruangan.


Ini dia.


Mungkin makan siang yang mahal, atau prasmanan seperti waktu itu. 


Atau, karena dia melihat sekeliling ruangan, mungkin...


"Bisakah kau memberitahuku? Apartemen mu ini sering dikunjungi seseorang, kan?"


──Keheningan menyelimuti ruangan kecil ini.


Suara jarum jam terdengar sangat keras.


Aku tanpa sengaja mengedipkan mataku beberapa kali dan mengulangi pertanyaannya.


"Seseorang?"


Ayaka mengangguk ringan padaku, lalu dia membawa piring kosong ke dapur.


Suara air mengalir mulai terdengar dari wastafel.


"Aku tahu kau tidak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga."


Sambil mencuci piring dengan spons yang diremasnya, Ayaka berkata.


"Setidaknya biarkan aku yang mencuci piring."


Saat aku berdiri, Ayaka langsung menolak dengan berkata, "Tidak perlu."


Nadanya sedikit lebih tegas dari biasanya.


"Duduk saja. Aku akan melakukan ini untukmu."


"Tapi──"


"Membiarkanmu yang sedang sakit membantu adalah hal yang memalukan bagiku. Duduklah."


...Dengan kata-kata seperti itu, aku tidak punya pilihan selain duduk.


Aku kemudian dengan enggan duduk di dekat dapur dan menatap wajah Ayaka dari samping.


Ayaka mencuci noda di piring dengan tatapan serius dan gerakan yang cekatan. 


Dia sepertinya juga bingung bagaimana melanjutkan pembicaraan, sehingga suasana hening berlangsung beberapa saat.


Aku tahu apa yang akan Ayaka bahas selanjutnya. 


Tapi aku tidak bisa memikirkan kata-kata yang tepat untuk merespons. 


Pikiranku yang lebih tumpul dari biasanya seolah mengatakan kalo berpikir hanya sia-sia.


Suara air yang mengalir di kamarku akhirnya terputus-putus dan berhenti setelah beberapa menit.


"...Terima kasih."


Mendengar ucapan terima kasihku, Ayaka melirik ke arahku sejenak, lalu tersenyum kecut sambil berkata, "Kenapa kau duduk di sana?"


Kemudian dia meninggalkan dapur sejenak dan berjalan ke samping tempat tidur.


Aku mengucapkan sesuatu ke arah punggungnya.


"Aku merasa tidak enak kalo harus bersantai."


"Biasanya mungkin tidak masalah, tapi kali ini tidak apa-apa. Kau sedang demam, kan?"


"Iya, tapi..."


Mendengar jawabanku, Ayaka berkata, "Nah, kan."


Dia mengambil bantal yang tergeletak di samping tempat tidur dan melemparkannya ke arahku.


Tanganku yang terulur merasakan sentuhan lembut.


"Terima kasih."


"Sama-sama. Jadi, tentang pembicaraan tadi..."


Ayaka, yang kembali berdiri di depan dapur, mengeringkan tetesan air di piring dan membuka lemari di bawah lututnya.


──Di sana, piring-piring tertata rapi berjajar.


Piring-piring itu disimpan dalam wadah yang cantik agar mudah diatur, tapi aku merasa agak sulit untuk mengklaim bahwa itu milikku.


Area sekitar dapur sudah menjadi wilayah Shinohara, dan di dalam lemari bahkan ada peralatan yang tidak aku kenal.


"Ini pasti bukan milikmu."


"Itu..."


Jujur, aku tidak bisa memikirkan alasan untuk membela diri.


Bahkan, aku merasa lebih baik jujur saja di sini.


Hubungan antara Ayaka dan Shinohara tidak terlalu baik, jadi mungkin aku harus berhati-hati, tapi berbohong dengan jelas juga terasa seperti langkah yang buruk. 


Bahkan kalo aku bisa berbohong dengan baik, Ayaka pasti tidak akan tertipu.


Dalam kondisi tubuhku saat ini, aku sama sekali tidak yakin bisa merangkai kata-kata yang begitu rumit.


"Kau bisa bilang ini milik ibumu. Atau jawaban apa pun yang bisa membuatku mengerti."


Ayaka, yang telah melepas karet rambutnya dan kembali ke gaya rambutnya yang biasa, mendekatiku.


"Nah, silakan."


Ayaka menatapku dengan tajam. 


Jaraknya begitu dekat hingga seolah aku bisa melihat setiap helai bulu matanya yang panjang.


Aku sedikit menyandarkan tubuhku ke belakang dan menghindari tatapannya.


Aku bertanya-tanya bagaimana perasaannya tentang fakta kalo Shinohara sering berada di rumahku.


Aku dan Ayaka tidak sedang berpacaran, jadi mungkin tidak perlu aku merasa bersalah tentang hal itu.


Mungkin hubungan kami bukanlah jenis hubungan di mana kami saling ikut campur dalam komunitas masing-masing.


Tapi, kalo dipikir secara emosional, pasti Ayaka tidak akan merasa senang.


Dengan mengetahui hal itu, apa boleh aku mengatakan jawaban yang sebenarnya?


"Apa kau tidak bisa mengatakannya?"


Ayaka bertanya dengan lembut. 


Ekspresinya mengingatkanku pada suatu hari di masa lalu. 


Mungkin itu adalah musim semi yang cerah.

 

Ruang kelas setelah sekolah, di mana kami menghabiskan waktu berdua. 


Justru karena kami tidak berpura-pura, hubungan kami menjadi begitu dekat.


──Haruskah aku jujur?


Aku memutuskan.


Kalo ini adalah harga yang harus dibayar untuk bubur itu, maka Ayaka pasti mengharapkan jawaban yang jujur.


"Jadi, um──"


Saat aku menarik napas, tiba-tiba tangan Ayaka meraih ke arahku.


Dengan jari-jarinya yang ramping, dia mencubit pipiku.


"Hei. Kau boleh berbohong, kok."


"Hah?"


"Sudah kubilang. Kalo ada alasan yang masuk akal, itu sudah cukup."


"Tapi, itu tidak ada artinya."


"Ada, kok. Selama aku bisa menerimanya."


Tidak ada nada mengejek di mata Ayaka.


Kata-katanya barusan bisa diartikan kalo dia ingin aku memberikan jawaban yang tidak jujur.


...Ini mengejutkan.


Karena kami tidak berpura-pura, kami bisa sampai sejauh ini. 


Karena aku menerima Ayaka apa adanya, dan dia menerimaku apa adanya, kami bisa menjadi seperti sekarang.


Tapi, Ayaka bilang aku boleh berbohong.


Apa fakta kalo Shinohara sering berada di rumah ini begitu sulit diterima? Atau...


Tidak ada keraguan kalo kami saling menerima satu sama lain apa adanya.

 

Tapi, juga benar kalo kami tidak tahu segalanya tentang satu sama lain.


Bagian yang tidak diketahui, biarlah tetap tidak diketahui. 


Aku yakin aku pernah sampai pada kesimpulan itu. 


Aku juga pernah mengatakan padanya kalo aku akan menunggu sampai dia sendiri yang menceritakannya.


Itu berarti mempertahankan status quo hubungan yang nyaman. 


Bahkan dalam perjalanan ke pemandian air panas, aku memilih jawaban yang sama.


Jawaban untuk mempertahankan status quo, yang telah aku pilih dua kali.


Mungkin itulah kenapa Ayaka juga tidak berusaha mengetahui bagian yang tidak kuketahui.


Dari luar, hubungan ini mungkin terlihat aneh. 


Aku menyadari bahwa orang lain mungkin melihatnya seperti itu.


Tapi selama kami, yang terlibat di dalamnya, memahaminya, itu sudah cukup.


...Begitulah pikiranku.


Tapi hubungan kami ternyata lebih rumit daripada yang pernah kubayangkan dulu──


"Hei."


Aku tersentak dan mengangkat wajahku, melihat Ayaka dengan ekspresi bingung. 


Aku menyadari kalo keringat mulai mengucur di dahiku.


Aku merasa kalo aku tidak boleh menarik kesimpulan dari pikiran yang baru saja berputar-putar di kepalaku.


"Apa kau baik-baik saja?"


Ayaka berkata begitu sambil mengusap keringatku dengan lengan bajunya.


Keringat yang meluap dari ujung lengan bajunya masuk ke sudut mataku, dan secara refleks aku menutup mata.


Melihat keadaanku, Ayaka tersenyum sedikit sebelum bertanya lagi.


"Beri tahu aku jawabannya."


Kalo dia benar-benar ingin mendengar kebohongan, mempersiapkan momen seperti ini justru kontraproduktif.


Dalam suasana seperti ini, apalagi di depan Ayaka, aku bukanlah orang yang cukup terampil untuk berbohong dengan baik. 


Kalo aku mencoba berbohong, pasti akan terasa tidak natural.


Tapi, kalo itu yang Ayaka inginkan, tidak ada pilihan lain.


"Orang tuaku...kadang datang untuk mengecek keadaanku. Mungkin itu sebabnya semuanya teratur."


"Begitu ya, orang tuamu baik sekali."


Mendengar kebohonganku yang jelas-jelas terlihat, Ayaka menjawab singkat sebelum berdiri.


"Kalo begitu, aku pergi dulu."


"Apa kau benar-benar tidak masalah dengan itu?"


"...Entahlah. Yah, untuk hari ini, segini saja sudah cukup!"


"Bruk."


Bantal kedua yang diambil Ayaka melayang ke arahku dan mendarat tepat di wajahku.


Meskipun serangan itu tiba-tiba, kecepatannya tidak cukup untuk kuhindari.


"Tadi kau bilang aku sedang sakit!"


"Hahaha, dengan semangat seperti itu, sepertinya kau akan cepat sembuh."


Sambil berkata begitu, Ayaka mengenakan mantel cokelatnya.


Aku perlahan berdiri dan mengikuti Ayaka yang menuju ke pintu.


"Tidurlah. Kau sedang sakit."


"Mulut siapa yang bilang begitu?"


"Mulut ini, mulut ini. Bibir yang bisa menipu banyak orang."


"Wow, luar biasa."


"Oke, sudah diputuskan. Begitu kau sembuh, aku akan memukulmu."


Mendengar nada datarku, Ayaka mengetuk pintu dengan tinjunya dengan lembut. Sangat seperti Ayaka untuk menepati janjinya.


"...Hee. Saat datang tadi aku tidak menyadarinya, tapi dari sini bisa melihat bunga sakura, ya."


Ayaka, yang baru saja keluar dari pintu, membuka mulutnya melihat pemandangan yang terbentang di depannya.


Beberapa meter dari koridor apartemenku, beberapa pohon sakura berdiri berjajar.


Saat mekar penuh, pemandangannya begitu indah bahkan aku yang tidak terlalu tertarik dengan bunga pun merasa bersemangat.


Tapi sekarang, daun hijau sudah mulai bercampur, dan bunga sakura pun sudah mulai berguguran.


"Seharusnya aku datang saat mekar penuh."


"Waktu itu, aku sedang sehat-sehatnya."


"Benar juga."


Ayaka tersenyum kecil sebelum mengetuk dahiku dengan jarinya.


Suara 'tok' terdengar, dan bagian yang diketuk terasa panas.


"Sakit, tahu."


"Haha. Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin melihat wajahmu seperti itu."


"Apa-apaan sih?"


Ketika aku mengeluarkan suara yang terdengar keheranan, Ayaka perlahan mulai berjalan.


"Terima kasih, sudah datang."


Saat aku memanggilnya dari belakang, Ayaka menoleh ke arahku.


Kemudian, dengan berkata "Jaga dirimu baik-baik", Ayaka meninggalkan apartemen ini.


Aku menatap punggung Ayaka yang perlahan menjauh sambil menggenggam erat lengan bajuku.


───Ini sudah cukup. Untuk saat ini, ini sudah cukup.


Kalo pemandangan di balik batas yang disebut 'teman' adalah hubungan sahabat seperti sekarang.


Maka, pemandangan di balik batas yang disebut 'sahabat' juga merupakan hal yang wajar.


Tapi, melampaui batas itu tidak selalu membuat hubungan kita lebih baik. 


Tidak ada jaminan untuk itu, dan tidak ada yang bisa menjaminnya.


Itulah kenapa aku terus berputar dalam pikiran yang berulang-ulang.


Akankah Ayaka, yang berada di balik batas 'sahabat', tetap tersenyum seperti biasa? Akankah dia tetap di sampingku, seperti sekarang?


Angin yang dingin untuk musim semi menerpa tubuhku, dan aku segera kembali ke kamarku.


Ruangan yang kini sepi terasa lebih sunyi dari biasanya.



Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال