Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 4, chapter 7. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
KENCAN GAYA BARAT
Pin pin pin!
Pada siang hari seminggu setelah pembicaraan tentang pacaran palsu muncul.
Bel apartemen ku terus menerus ditekan, dan sebelum deringnya selesai, aku sudah mengangkat gagang telepon.
Seperti yang diduga, di monitor terlihat wajah Shinohara.
Si Kouhai setan kecil itu membuat ekspresi bingung karena bel tidak berbunyi lagi meskipun sudah ditekan.
"Apaan sih?"
Shinohara mengembungkan pipinya menanggapi kata-kata kasarku.
"Senpai, kasar sekali sih!"
"Maaf. Sampai jumpa"
"Eh, tunggu—!"
Aku mengabaikan Shinohara yang ingin mengatakan sesuatu dan memutuskan panggilan.
Tiba-tiba bel apartemenku berbunyi lagi, dan monitor menyala.
Kali ini yang terlihat di layar adalah kunci dengan gantungan berbentuk macan tutul salju.
"Senpai, aku bawa kunci nih."
Sepertinya dia ingin bilang kalo dia bisa membuka pintu kapan saja.
Aoi menghela napas dan berbicara dengan suara datar.
"Kau, itu sudah di garis batas, lho."
"Aku tahu, makanya aku cuma mengancam saja, kan?"
"Kau sadar kalo itu ancaman?! ...Maksudku, aku akan makan sekarang. Aku tidak punya apa-apa untukmu, kau baik-baik saja?”
"Bisakah kau mengizinkan ku masuk sekarang?!"
"Hah───"
"Senpai, oleh-oleh hari ini adalah cokelat GODIVA."
"Oke. Kau boleh masuk."
Sayangnya, sebagai orang yang hidup sendirian, aku tidak bisa menolak daya tarik cokelat premium.
Suara kunci yang terbuka terdengar, diikuti oleh suara ceria Shinohara.
"Senpai───, boleh aku masuk?"
"GODIVA!"
"Oke───"
Aku memberikan jawaban sembarangan bersamaan dengan tertutupnya pintu depan.
Tak lama kemudian, Shinohara muncul dengan mengenakan sweater merah muda pucat dan anting-anting emas muda───sesuatu yang jarang dia pakai.
Hatiku berdebar sebentar, mungkin karena naluri alami pria yang selalu mengikuti gerakan yang bergoyang.
"Hai, Senpai! Aku akan mengganggumu lagi minggu ini,"
Shinohara mengatakan itu sambil menyodorkan tas belanja elegan kepadaku.
Di dalamnya benar-benar terdapat cokelat GODIVA, membuatku berseru, "Wahhh!"
Bagi seorang mahasiswa yang hidup sendiri, cokelat mewah seperti ini hampir tak terjangkau.
Uang sisa setelah dipotong biaya hidup biasanya kuhabiskan untuk hal-hal sepele.
Sebelum pacaran dengan Reina, uang itu kugunakan untuk top-up game gacha, yang sebagian besar berakhir sia-sia.
Andai uang itu masih ada sekarang, pasti bisa kugunakan untuk banyak hal.
Tapi, mengeluh pun tidak ada gunanya.
Yang menjadi masalah sekarang hanyalah kenyataan memalukan kalo aku sepenuhnya telah dijinakkan oleh cokelat ini.
"Tapi memang tidak bisa dipungkiri, hadiah seperti ini selalu menyenangkan!"
"Dengan ini, suasana hati Senpai bisa terjaga selama seminggu. Murah sekali, bukan?"
"Aku memang mudah sekali diprediksi..."
Kadang-kadang, Shinohara memang cerdik dengan membawakan oleh-oleh yang menyenangkan seperti ini. Kecuali kalo aku benar-benar mengantuk, biasanya aku mengizinkannya masuk ke apartemen ku.
"Senpai, ini hari Sabtu, tapi apa kau tidak punya kerja paruh waktu?"
"Hari ini tidak. Aku memutuskan untuk bersantai menikmati GODIVA."
"Kata kerja seperti itu tidak ada..."
Shinohara menjawab dengan nada sedikit kesal sebelum melanjutkan,
"Kalo begitu, Senpai, sudahkah dipikirkan? Masalah pacaran percobaan itu."
"Ah, baiklah."
"Benar, kan? Aku juga setelah pulang kemarin merenung dan menyadari kalo permintaanku mungkin terlalu mendadak. Aku tidak mempertimbangkan perasaan Senpai───"
"Tidak apa-apa."
"───Eh? Tidak apa-apa... Hah?"
Shinohara mengedipkan matanya beberapa kali sebelum tangannya bergerak gelisah.
"Tolong katakan lebih cepat! Karena terlambat, aku jadi mengeluarkan berbagai alasan kekalahan yang memalukan!"
"Sudah kukatakan sejak tadi!"
Ini sudah kedua kalinya Reina memohon padaku. Meski keraguan masih tersisa, karena sudah kuterima, tidak ada jalan untuk mundur lagi. Tapi, Shinohara sendiri sepertinya sudah mengantisipasi dan menerima kemungkinan penolakanku, sehingga bisa saja keputusanku menerima hubungan percobaan ini merupakan pilihan yang salah.
Seandainya penolakan bisa menyelesaikan segalanya dengan damai, itu pasti menjadi solusi terbaik.
"Sudah kuduga───"
"Tidak ada 'sudah kuduga' lagi. Aku sudah mendapatkan janji resmimu."
"Hak asasiku kemana hilangnya?"
"Mulutmu adalah sumber malapetaka! ...Siapa yang bilang aku malapetaka?!"
"Jangan asal menyela sendiri!"
Ketika aku membentak, Shinohara terkikik.
"Kalo begitu, kita sepakat ya? Aku pun banyak hal yang ingin kukonfirmasi dengan senpai."
"Apa saja yang ingin kau konfirmasi?"
Sambil bertanya, aku sudah bisa menebak jawaban Shinohara.
Di saat yang sama, aku merasa periode hubungan percobaan ini akan sangat melelahkan.
"Itu adalah───"
Shinohara mengucapkan itu lalu duduk. Saat itulah, garis leher bajunya sedikit terbuka, memperlihatkan kaus dalam hitam yang sesuai dengan pakaian musim semi, memaksaku untuk mengalihkan pandangan.
Ini sama sekali bukan keberuntungan. Karena───
"Senpai, hari ini boleh kok dilihat. Aku kan sekarang pacarmu!"
"Diamlah, jangan mendekat!"
"Kekerasan verbal!"
Pameran sekilas ini sebenarnya adalah bagian dari strategi fashion yang terencana.
Mengingat pakaian dalam yang terlihat ini memang dimaksudkan untuk dilihat, seharusnya Shinohara sendiri tidak merasa malu. Pada dasarnya, yang disukai pria adalah pakaian dalam asli───jenis yang akan membuatnya dimarahi kalo terlihat.
"Bisakah kau meminta maaf kepada pakaian dalam asli itu?"
"Aku tidak begitu mengerti maksudmu. Tapi tidak masalah, kan? Sebelum sampai di sini, aku juga memakai kardigan dengan rapat."
"Eh, itu kan pakaian dalam yang sengaja dipamerkan?"
Aku menatap tablet dengan kaku sambil membalas pertanyaannya. Di layar tablet, pertandingan bela diri yang tadi kutonton masih berjalan tanpa suara.
"Ini pameran khusus untuk Senpai. Aku tidak sembarangan memperlihatkannya pada orang lain. Meskipun... yang asli memang ada di balik ini. Apa Senpai ingin melihatnya juga?"
"Akan kusuruh kau pergi."
"Sudah kuduga."
Sepertinya jawabanku sesuai dengan ekspektasinya, membuatnya menyipitkan mata dengan ekspresi nostalgia.
"Suatu hari nanti, ketika kita menghabiskan malam bersama, Senpai juga mengatakan hal yang sama, kan?"
"Tidak salah, tapi cara kau mengatakannya bisa menimbulkan kesalahpahaman."
Shinohara pertama kali menginap di rumah ini sekitar akhir Januari.
Aku masih ingat dengan jelas───malam itu, Reina menelepon dan berkata, "Aku tidak berselingkuh."
Situasi sekarang sangat berbeda dengan masa itu.
Perasaanku terhadap Shinohara juga telah berubah.
"Bukankah kita sudah saling mengenal selama sekitar setengah tahun, Senpai?"
"Ah, maksudmu baju Santa itu ya?"
Sambil mengucapkan itu, aku sedikit menyunggingkan sudut bibirku.
Awalnya berniat sedikit menggoda, tapi itu di luar dugaan, Shinohara justru menunjukkan ekspresi bangga.
"Itu sangat cocok dipakai olehku, kan? Orang biasa tidak akan bisa terlihat sebagus itu."
"Kalo dipikir-pikir, kau memang tipe seperti itu ya..."
"Hah, itu terdengar sangat tidak sopan!"
Shinohara menunjukkan ekspresi tidak puas. Aku segera meminta maaf dengan berkata, "Maaf, maaf," sambil menghela napas.
"Jadi intinya, kau ingin mencoba menjadi seperti pasangan dengan seseorang yang sudah nyaman bersamamu, begitu?"
"Benar. Tidak seperti saat dengan Yudo-senpai dulu, kali ini Senpai sudah menyetujui. Jadi aku pikir tidak akan ada kesalahpahaman yang aneh!"
"Bahkan tanpa kesalahpahaman pun, orang waras tidak akan melakukan hubungan percobaan."
Meskipun istilah hubungan percobaan sering terdengar dalam manga dan sejenisnya, dalam kehidupan nyata sebagai mahasiswa yang normal, hampir mustahil menemukan orang yang benar-benar melakukannya.
Situasi di mana seseorang harus melakukan hubungan percobaan karena hubungan antar orang tua memang sering muncul dalam cerita fiksi, namun hal seperti itu sangat kecil kemungkinannya terjadi di dunia nyata.
Setidaknya, untuk orang biasa sepertiku, hal tersebut jelas bukan sesuatu yang lumrah.
"Bahkan orang waras pun mungkin ada yang melakukan hubungan percobaan, lho?"
"Di mana? Kita sudah hampir dewasa ini."
Dalam kebanyakan manga yang menampilkan konsep hubungan percobaan, latarnya biasanya di SMP atau SMA.
Itu karena di usia remaja yang masih kurang dalam hal kemampuan mengambil keputusan, hubungan ambigu seperti hubungan percobaan masih bisa terjadi.
Tapi jelas itu tidak cocok untuk kami yang sudah berada di usia dimana segala sesuatu harus diputuskan sendiri.
Berbeda dengan hubungan percobaan ala remaja, hubungan percobaan di kalangan mahasiswa lebih mengarah pada hubungan yang tidak sehat.
Ketika pemikiranku ini kusampaikan sepenuhnya, Shinohara justru tertawa terbahak-bahak.
"Justru karena kemampuan mengambil keputusan kita sudah meningkat, hasilnya adalah hubungan percobaan ini."
"Bagaimana bisa? Jelaskan maksudmu."
Karena pendapatku ditertawakan, aku sedikit kesal saat menanyakan itu. Tapi Shinohara sama sekali tidak terganggu, malah mengangkat telunjuknya dengan lurus.
"Untuk mereka yang sedang dalam proses mencari pasangan hidup, bukankah wajar jika berpacaran sementara dengan beberapa orang saat omiai (pertemuan perjodohan)? Meskipun ada beberapa calon yang baik, pada akhirnya harus memilih satu orang. Dalam arti tertentu, hubungan percobaan justru memaksa kita untuk membuat pilihan yang paling krusial, bukan?"
"...Dari mana kau mendapatkan pengetahuan seperti itu?"
"...Dari acara TV tentang percintaan."
Sebuah keheningan singkat terjadi.
Kami saling bertatapan, lalu pandangan Shinohara perlahan mulai mengarah ke samping.
"Kita ini masih pelajar!"
"Ta-tapi pelajar pun bisa menikah! Maksudku, bukan berarti aku ingin menikah dengan senpai atau semacamnya!"
Shinohara berteriak dengan ucapan yang kurang sopan. Bukankah seharusnya dia mengatakan sesuatu yang positif meskipun itu dusta? Atau mungkin, kalo dia benar-benar mengatakannya, justru akan membuatku merasa tidak nyaman. Bagaimanapun juga, tetap saja terasa tidak memuaskan.
Awalnya aku hampir setuju karena argumennya lebih masuk akal dari yang kuduga, tapi mengingat status kami sebagai pelajar, situasi yang disebutkan Shinohara tidak relevan.
"Tetap saja, hubungan percobaan di kalangan mahasiswa terkesan tidak serius, kan?"
"Senpaaai... Kumohon, berbagai hal ini, sungguh..."
Shinohara menyatukan kedua tangannya dan melirik ke arahku dengan pandangan dari bawah.
Menghadapi ekspresinya yang sangat dibuat-buat, aku memberikan tepukan ringan di dahinya.
"Kekerasan dalam rumah tangga..."
"Eh, ini sudah termasuk?"
"Jadi pada akhirnya ini pemerasan ya!"
Sambil membalas demikian, kembali aku merasakan keanehan.
Sungguh, ada aura yang berbeda dari Shinohara kali ini. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi sepertinya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.
Meski aku tidak bisa membayangkan hal apa yang hanya bisa disampaikan melalui hubungan percobaan.
Apapun itu, kenyataan kalo dia masih kesulitan mengungkapkannya secara langsung meninggalkan rasa sedih yang samar.
"Apa aku pernah bertindak layaknya seorang yang lebih dewasa?"
Tiba-tiba penasaran, aku pun bertanya. Shinohara segera menyunggingkan bibirnya.
"Iya, bahkan sampai sekarang kadang masih begitu. Hanya saja tidak kelihatan di wajah, tapi sesekali membuat ku berdebar."
"Benarkah?"
"Yah, iya. Kemungkinan itu memang tidak bisa dipungkiri."
"Kau tidak perlu memaksakan diri untuk menyemangatiku, itu malah jadi menyakitkan."
Dukungan yang dipaksakan justru akan melukai perasaan. Mendengar jawabannya yang setengah hati itu, aku hanya bisa menghela napas lelah.
"Kalo begitu, cukup satu hari saja."
"Seminggu!"
"Tidak mungkin!"
Tanpa ragu aku menggelengkan kepalaku. Bahkan dalam keadaan sekarang, aku dan Shinohara belum pernah menghabiskan waktu bersama selama seminggu penuh.
Shinohara biasanya hanya datang 2 atau 3 kali dalam seminggu, dan kalo lebih dari itu mungkin akan menimbulkan stres.
Aku merasa kondisi saat ini sudah berada dalam keseimbangan yang tepat bagi kami berdua.
"Tidak mungkin kita terus bersama selama seminggu penuh."
Ketika aku mengulangi pernyataannya, Shinohara mencibir, "Tidak perlu diulang berkali-kali."
──Sebenarnya, ada satu alasan lagi.
Saat ini, aku tidak memiliki perasaan romantis terhadap Shinohara.
Memang perasaanku padanya berbeda dengan perasaanku pad Kouhai biasa, tapi aku belum bisa mendefinisikannya dengan kata-kata.
Tapi, kalo kami menghabiskan waktu bersama secara intens selama seminggu, perasaanku mungkin akan berubah.
Untuk pria pada umumnya, mungkin tidak menjadi masalah apakah hubungan ini berkembang menjadi cinta atau tidak.
Bahkan, berpacaran dengan Kouhai seperti Shinohara tentu merupakan hal yang membanggakan untuk seorang pria.
Tapi untukku, dan untuk saat ini, aku merasa masih terlalu dini untuk mengembangkan perasaan romantis terhadap Shinohara.
Aku baru saja memulai kembali hubunganku dengan Reina.
Meskipun kali ini permintaan untuk hubungan percobaan datang dari Reina sendiri, aku menyadari sepenuhnya kalo sebenarnya ini adalah hal yang tidak seharusnya terjadi.
Meskipun semuanya berjalan lancar, mungkin seharusnya aku menolak dengan tegas.
Lingkungan saat ini memang menghargai pendapatku, tapi kalo terlalu terbiasa dengan hal ini, pola pikirku mungkin akan kembali menjadi egois tanpa disadari.
Aku takut perubahan tersebut akan mengarah pada kesalahan tertentu.
"Tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin. Kalo kaj menolak sekeras itu, setidaknya berikan alternatif lain. Hanya mengatakan 'tidak' bisa dilakukan oleh siapa saja."
"Apa yang kau katakan tidak salah, tapi posisiku sedang dimintai tolong di sini. Aku akan kesulitan jika dimarahi."
"Aku tidak marah. Hanya mengajukan permintaan yang tidak masuk akal."
"Kalo sudah sadar, seharusnya berhenti!"
"Hahaha..."
Shinohara tertawa riang, lalu seakan teringat sesuatu, dia menepukkan tangannya.
Suara tepukan yang ringan bergema di ruangan kecil ini.
"Kalo begitu, Senpai, bagaimana dengan uji coba dari uji coba?"
"Maksudmu?"
"Hari ini kita berkencan sehari dulu. Kalo setelahnya terasa memungkinkan, perpanjang masa hubungan percobaannya menjadi seminggu!"
"Baik."
"Kenapa di bagian ini justru kau langsung setuju!?"
Shinohara berseru dengan ekspresi paling terkejut sepanjang hari ini.
Alasanku menyetujui adalah karena hak memilih sepenuhnya ada di tanganku.
Bahkan kalo hari ini menjadi hari yang indah, aku tetap bisa menolak dengan alasan tertentu.
"Aku sudah mendapatkan janjimu."
"Ya, hanya dalam ingatanmu."
"Tidak, aku merekamnya."
Shinohara mengangkat Hp-nya tepat di depan mataku.
Tanda ikon mikrofon memenuhi seluruh layar ponsel.
"Da-dasar kriminal!"
"Fufu. Senpai, coba perhatikan layarnya lebih baik."
Mengikuti perkataannya, aku menyipitkan mataku untuk melihat lebih teliti.
Ternyata tidak ada data rekaman dengan tanggal hari ini yang tersimpan. Aku menghela napas lega.
Meskipun kecil kemungkinannya tersebar ke orang lain, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman mengetahui ucapan spontanku terekam.
"Sudahlah, jangan menakut-nakutiku seperti itu. Jadi semua tentang rekaman tadi hanya candaan?"
"Tidak, sku serius. Hanya saja aku belum sempat merekam."
"Seharusnya kau bilang itu hanya canda!"
Aku menghela napas panjang menyadari niatnya untuk merekam tetaplah nyata.
Mengingat suasana hari ini, bahkan untuk satu hari saja sudah cukup mengkhawatirkan.
"Senpai, menurutmu apa hal terpenting pertama dalam sebuah hubungan asmara?"
"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu? Apa ini lagi-lagi pengetahuan dari acara televisi tentang percintaan?"
"Bu-bukan! Jawab saja dengan cepat—!"
...Tepat sekali tebakanku.
Dari sikap Shinohara, aku yakin itulah sumbernya, tapi lebih baik tidak kuungkapkan.
Alih-alih menanyakannya, aku mencoba menebak jawabannya, namun yang terlintas justru jawaban yang cukup keras.
"Penampilan wajah?"
"Ya, selain itu mungkin uang? Intinya yang ingin aku sampaikan adalah, sejak usia kita sekarang ini, sebagian besar hubungan asmara selalu melibatkan berbagai pertimbangan status."
"Ah...sungguh dunia yang kejam."
Meskipun telah sering kupikirkan, hubungan asmara di kalangan mahasiswa memang sedikit berbeda bentuknya dengan masa SMA. Dan hubungan antara pekerja dengan mahasiswa tentu memiliki jarak yang lebih besar lagi.
"Tapi pada akhirnya, kepribadian seseorang tetap sama pentingnya, bahkan lebih. Hanya saja urutan penilaiannya agak tertunda───kalo kepribadian tidak cocok, mustahil hubungan bisa bertahan."
"Kalo begitu, apa kau dengan Motosaka sebenarnya cukup cocok? Setidaknya di awal hubungan?"
"Status sosial bisa dinilai oleh siapa pun yang memiliki sedikit akal sehat, meski tidak berpengalaman dalam percintaan. Yang sulit adalah menilai kepribadian seseorang───di situlah pengalaman dalam berpacaran diperlukan. Dengan berpacaran denganku, Senpai bisa menambah pengalaman untuk bekal di masa depan. Tentu aku pun demikian."
"Hei!"
"Bisalah!!"
"Tiba-tiba saja!?"
Aku terkejut hingga mengeluarkan suara yang tidak karuan.
Kemungkinan besar ini lagi-lagi pendapat pribadinya yang didasarkan pada hasil survei acara Tv tentang percintaan.
Tapi, karena pandangan tentang cinta berbeda pada setiap orang, aku tidak terlalu tertarik.
Setidaknya, kalo tujuannya adalah menguji kebenaran pendapat umum melalui hubungan percobaan, aku sama sekali tidak berminat.
Aku merasa waktu berharganya tidak pantas dihabiskan untuk hal semacam itu.
Waktu yang kumiliki mungkin tidak bernilai besar di mata orang lain, namun bagiku, itu adalah hal yang paling utama untuk diutamakan.
Tapi di saat yang sama, aku pun memiliki keinginan untuk membantu jika tujuannya adalah memahami pemikiran Shinohara sendiri.
Permintaan ini datang langsung darinya, bukan dari orang lain.
Mengingat selama ini aku jarang menunjukkan sikap layaknya orang yang lebih dewasa, mungkin inilah kesempatan untuk menebusnya.
Selain itu, meski tadi aku mengabaikannya, bisa jadi apa yang dikatakan Shinohara benar—hubungan ini mungkin bisa menambah pengalamanku.
"Hey, menurutmu sendiri, apa hal terpenting dalam sebuah hubungan asmara?"
"Eh, aku?"
Shinohara terlihat terkejut, sepertinya tidak menyangka akan ditanya balik.
"Pembicaraan tadi kan rangkuman dari acara Tv. Aku hanya tertarik pada pendapatmu. Kalo itu untukmu, hubungan percobaan pun tidak masalah."
Shinohara membuka mulutnya lebar-lebar, lalu bangkit dari tempat tidurku.
"...Kenapa kau bisa dengan mudahnya mengatakan hal memalukan seperti itu! Mesum!"
"Aku bukan mesum. Jadi, jawabannya?"
Ketika kutanyakan kembali, Shinohara menunduk beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat wajahnya.
"...Itulah sebabnya aku meminta bantuan Senpai. Karena aku tidak tahu jawabannya."
"Oh, begitu rupanya?"
Ketika aku menjawab dengan santai, Shinohara mengedipkan matanya.
"Apa kau tidak merasa kecewa?"
"Tidak juga. Lagipula dari awal memang sudah begitu, kan?"
Ketidakterlibatannya dalam hubungan asmara sudah kuketahui sejak hari pertama kami bertemu.
Dia menjalin hubungan dengan pacar pertamanya hanya dengan alasan 'ingin merasakan seperti apa berpacaran', yang akhirnya berujung pada perselingkuhan dan perpisahan dalam waktu singkat. Jarang sekali menemukan kisah seunik itu.
Tapu di sisi lain, hal itu justru menunjukkan kenaifan Shinohara sendiri, yang bahkan terasa menyentuh hati.
Meskipun tentu dari sudut pandangnya sendiri, hal tersebut pasti sangat memalukan.
"Kalo itu masalahnya, baiklah, aku akan menemanimu satu hari saja. Lagipula ini sudah menjadi janji."
"Wah, moralitas Senpai benar-benar dipertanyakan!"
"Lebih baik pulang saja kau."
"Maaf! Itu hanya kebohongan untuk menutupi rasa maluku. Aku sudah menunjukkan sisi imutku, jadi maafkanlah. Senpai kejam sekali!"
"Jangan tiba-tiba membalikkan situasi dalam 5 detik! Kenapa akhirnya kau yang marah?!"
Aku merasa seperti menjadi korban penipuan jenis baru. Hampir saja aku meminta maaf karena terbawa suasana.
"I-ini hanya candaan! Maaf, tapi bagian tentang rasa malu itu benar, lho."
"Ah, begitu?"
Meski perkataannya sulit dipercaya di saat seperti ini, kalo terus diperdebatkan, pembicaraan tidak akan maju-maju.
Aku menarik napas pendek lalu menggaruk belakang kepalaku.
"Kalo begitu, ayo kita mulai kencan sekarang juga."
Mendengar itu, Shinohara mengedipkan matanya dan terdiam sejenak.
"──Eh, sekarang juga?! Aku tidak bermaksud untuk hari ini!"
"Aku hari ini benar-benar luang. ...Tapi, kalo kita berangkat dari apartemen ini seperti biasa, apa itu tidak akan terasa sama saja?"
Ketika aku bertanya, Shinohara menaruh jari di dagu kecilnya dengan ekspresi serius.
"Eh, bagaimana ya? Memang sepertinya lebih terasa seperti kencan kalo kita bertemu di suatu tempat terlebih dahulu, dan itu mungkin yang diidamkan kebanyakan perempuan. Tapi ada juga yang berpendapat kalo pasangan yang sudah akur justru terlihat lebih mesra ketika berangkat dari rumah yang sama, malah mungkin justru itu yang lebih diidamkan──"
"Shinohara kau lebih suka yang mana?"
"Aku suka keduanya!"
"Bukannya pertanyaannya pilihan ganda!?"
Ketika aku merespons begitu, Shinohara mendengus kecil.
"Tidak apa-apalah, kalo kita berangkat bersama dari rumah sekarang juga tidak merepotkan... Tolong jangan katakan 'merepotkan'!"
"Apa, hari ini kau sedang senang bercanda seperti ini?"
"Da-dan tolong hentikan komentar pedasmu itu. Jadi, YES or OK, pilih yang mana?"
...Sepertinya aku tidak diberi hak untuk menolak.
Dengan menghela napas pendek, akhirnya aku membuka mulut.
"Oke."
"Mengerti! Yey, Senpai jadi pacarku~!"
"Gaya bicaramu benar-benar kekanak-kanakan!"
Meski mengeluh, aku bisa merasakan kalo aku juga menikmati ini.
Sungguh, Shinohara selalu mengekspresikan perasaannya tanpa reserve.
Terutama ketika perasaan positif seperti kegembiraan, sepertinya dia menyampaikannya dengan sepenuh hati.
"Aku sangat bersemangat! Aku suka hal-hal yang pertama kali dialami!"
Shinohara tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang putih.
Entah kenapa, sikapnya itu menular dan membuatku merasa berenergi.
──Aku juga ternyata cukup sederhana.
Dulu, ketika berbicara dengan Shinohara, terkadang aku khawatir apakah aku telah tumbuh menjadi pribadi yang sinis.
Tapi belakangan ini, aku justru mendapat stimulasi positif.
Kurasa dengan tulus mengejar hal menyenangkan seperti yang dilakukan Shinohara akan membuat hidup lebih berwarna.
Meski kini sudah hampir dewasa, terkadang sulit untuk bersikap jujur pada diri sendiri.
"Kalo begitu, mumpung ada kesempatan, ayo kita pergi ke tempat yang tidak biasa kita kunjungi."
"Siap!"
──Di hadapan Shinohara, aku bisa tetap menjadi anak kecil. Kembali ke sifat kekanak-kanakan. Bahkan nanti ketika sudah bekerja dan harus hidup mengikuti aturan tak jelas bernama 'tuntutan masyarakat', selama bersama Shinohara, aku yakin bisa tetap seperti ini.
"Ayo, kita pergi."
Aku mengenakan jaketku lalu memasukkan dompet ke saku belakang.
"Hari ini Senpai terlihat lebih dapat diandalkan daripada biasanya."
"Akan kutunjukkan sisi asliku sebagai seorang Senpai setelah sekian lama."
Dengan jawaban itu, aku membuka pintu depan.
Tiba-tiba, dari bawah lenganku yang terentang, Shinohara menyelinap keluar dengan lincah. Tubuhnya lentur bak kucing.
"Mode pacaran, mode pacaran!"
"Jangan diucapkan, itu memalukan..."
Aku melangkah keluar dan mengunci pintu. Ada kehangatan lembut yang terasa di punggungku.
"Kalo begitu, Senpai, sampai nanti!"
"Ya, sampai nanti."
Shinohara tersenyum lebar sebelum berlari menuju stasiun terdekat.
Dari koridor, aku bisa melihat punggungnya yang semakin mengecil dalam sekejap.
──Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku pergi untuk berkencan?
Musim dingin yang menusuk tulang telah berakhir, digantikan oleh hangatnya sinar matahari yang membungkus tubuh.
Sambil merasakan pergantian musim dari hal-hal kecil seperti itu, aku mengayunkan lagi langkahku.
★★★
Tempat pertemuan yang telah kupilih adalah bangunan bergaya Eropa bernama 'Clubhouse'.
Tempat ini pernah kujadikan sebagai salah satu lokasi kencan yang ingin kukunjungi bersama Reina ketika kami masih berpacaran.
Dari berbagai pilihan yang ada, tempat inilah yang ku kira paling akan disukai Shinohara.
Waktu pertemuan ditentukan pukul 13.00. Mengingat kami juga bisa menikmati makan siang di sana, waktu tersebut terasa tepat.
"Dia belum datang juga..."
Aku bergumam sambil menatap jam tanganku.
Sudah pukul 13.10───10 menit melewati waktu yang ditentukan.
Meski harus menaiki kereta dari rumah, seharusnya dia tidak akan tersesat karena aku sudah memberikan pin lokasi melalui LINE.
Lagipula, aneh rasanya kalo dia yang berangkat lebih dulu justru belum tiba.
Dengan gelisah, aku membuka aplikasi LINE, tapi tidak ada pesan masuk.
Kalo dipikir-pikir, pertemuan di luar kampus bersama Shinohara terakhir kali terjadi pada Malam Natal tahun lalu.
Saat itu dia datang tepat waktu.
Mungkinkah terjadi sesuatu?
Saat kegelisahan itu melintas di pikiranku, suara riang yang lantang memanggilku.
"Senpaaaiii!"
Andai ini di pegunungan, mungkin akan ada gema yang membalasnya.
Tapi lokasi ini adalah area datar, suara Shinohara justru membuat beberapa pasangan yang lewat menoleh.
"Senpai, maaf membuatmu menunggu! Sudah lama?"
"Suaramu keras sekali! Pelankan sedikit!"
"Begitukah sapaan pertamamu!?"
Shinohara terlihat terkejut hingga sedikit menjauh.
Interaksi kami disambut tawa kecil dari sekitar, tapi itu bukanlah ejekan melainkan tatapan penuh kehangatan.
Di tempat yang didominasi pasangan, toleransi terhadap sekitar terasa lebih longgar. Seolah muncul rasa kebersamaan kecil ketika menyadari semua orang datang bersama pasangan masing-masing.
Meski begitu, aku mempersilahkan mereka lewat sambil sedikit membungkuk.
Seorang wanita yang terlihat lebih tua tersenyum sambil berkata, "Maafkan dia ya", sebelum melanjutkan langkah.
Pria yang merupakan pasangan wanita tadi mengacungkan jempol kepadaku sebelum kembali ke percakapan mereka.
Tidak mungkin aku mengatakan kalo ini hanyalah hubungan percobaan.
"Maafkan aku, Senpai. Aku terlambat."
"Hanya itu yang ingin kau katakan?"
"Eh, apa aku akan dibunuh?"
Shinohara menutup mulutnya dengan tangan, akhirnya membungkuk meminta maaf.
"Maaf, aku sengaja ketinggalan kereta."
"Yah, tidak apa───apa katamu?"
"Ayo kita pergi!"
"Tunggu dulu!"
Aku menggenggam erat lengan atasnya, menghentikan langkah Shinohara yang hendak berjalan duluan.
"I-ini pembatasan kebebasan..."
"Bukan itu yang kumaksud, bodoh. Kau bilang tadi 'sengaja', kenapa?"
Ketika aku menanyakan itu dengan nada tajam, Shinohara menggelengkan kepalanya dengan cepat sambil mengangkat kedua tangannya.
"Ja-jangan marah, aku benar-benar minta maaf. Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kucoba."
"Yang ingin kau coba?"
Ketika aku mengulangi pertanyaannya, Shinohara mengangguk seperti boneka merah.
"Aku ingin terlambat kencan dan bertanya, 'Apa kau sudah lama menunggu?'. Karena ini hal yang biasa dilakukan pasangan, bukan?"
"Ah, begitu rupanya."
Aku akhirnya mengerti dan melepaskan genggamanku pada lengan atasnya.
Shinohara sambil mengusap lengannya bergumam, "Itu tdai terlalu kasar untuk sekadar sentuhan."
"Tidak ada pilihan lain, kau terlambat biasa lalu mencoba kabur."
"Interpretasi Senpai terlalu menakutkan! Seharusnya kau lebih santai. Ini terlalu jauh dari respons yang kubayangkan!"
"Oh? Seperti apa respons yang kau harapkan?"
Ketika aku menanyakan itu, Shinohara membusungkan dada dengan bangga.
Aku sama sekali tidak mengerti kenapa dia terlihat begitu percaya diri.
"Tentu saja, 'Aku sama sekali tidak menunggu!'"
"Aku sama sekali tidak menunggu."
"Bukankah sudah terlambat untuk mengatakan itu sekarang!?"
Shinohara berkata demikian lalu memalingkan mukanya dengan kesal.
"Dulu saat aku berpacaran dengan Yudo-senpai, aku tidak pernah terlambat atau absen. Aku selalu berusaha penuh perhatian, tidak ingin dianggap remeh, dan tidak ingin menunjukkan kelemahan."
"Oh?"
"Jadi hari ini aku sengaja terlambat, tapi Senpai kejam!"
"Bukankah itu argumen yang keterlaluan!?"
Sepertinya dia ingin mengatakan, 'Ini bukti aku merasa nyaman bersamamu', tapi kali itu menjadi alasan untuk terlambat, tentu bukan hal yang patut dibanggakan.
Meskipun alasannya sangat khas Shinohara sehingga justru membuatku tersenyum daripada marah, aku memilih untuk tidak mengungkapkannya karena khawatir akan membuatnya semakin bersemangat.
"Wah, di mana pun kita berfoto pasti akan terlihat bagus sekali! Luar biasa!"
Shinohara berseru gembira sambil memandang sekeliling.
Saat memasuki bangunan bergaya Eropa ini, langit-langit yang sangat tinggi seolah menatap kami dari atas.
Yah ini lebih menyerupai istana kecil daripada sekadar rumah bergaya Eropa.
Sepanjang koridor terpajang lukisan dan berbagai ornamen yang berjajar rapi, semakin memperkuat kesan terpisah dari dunia luar.
Sambil mengamati berbagai benda tersebut, kami berjalan di atas karpet merah tua yang mewah hingga akhirnya tiba di kafetaria yang luas.
"Ada kafe di bagian dalam seperti ini sungguh menakjubkan..."
"Konon ini satu-satunya area istirahat di bangunan ini."
"Oh? Ternyata Senpai juga cukup menyukai kafe?"
"Aku menyukai tempat yang menenangkan. Rumah adalah yang paling nyaman, tapi setelah itu pasti kafe."
Sebenarnya, kafe yang ada di depan kami ini adalah pengecualian.
Kafe yang ramai dan dipenuhi pasangan tentu sulit disebut sebagai tempat yang menenangkan.
Kafe dengan beberapa pengunjung yang sedang bersantai sendirian lebih sesuai dengan preferensiku.
"Luar biasa, sungguh luar biasa!"
Tapi, untuk dikunjungi bersama Shinohara, kafe ini ternyata tepat. Melihatnya melompat-lompat kecil di sampingku, tanpa kusadari aku pun merasakan hal yang sama.
Dan ketika menyadari wajahku sendiri tanpa sengaja telah tersenyum, aku menepuk pipiku dengan cepat.
"Ayo, kita masuk."
"Eh? Tapi tempat duduknya───"
Ketika Shinohara hendak bertanya, seorang pelayan telah mendekat dan berkata, "Izinkan saya mengantar Anda ke meja yang telah dipesan."
Shinohara terlihat agak terkejut sebelum akhirnya menyenggol lenganku dengan sikunya.
"Senpai yang hebat, sungguh mengagumkan."
"Berisik."
"Ini pujian, tahu!?"
Mengabaikan protes kecil Shinohara, aku menatap interior antik di sekeliling.
Bahkan kalo hanya disebut sebagai antik, interior ini memancarkan kesan mewah yang jauh melampaui kafe-kafe di sekitar kampus.
Meski interior seperti ini biasanya akan dipadati penggemar wisata kafe, karena masih sebelum jam dua siang dan sistem tiket di bangunan bergaya Eropa ini, pengunjungnya jarang sehingga nyaman untuk berbincang.
Respon Shinohara yang antusias membuktikan bahwa usahaku mencari tempat ini tidak sia-sia.
Kami diantar ke semi-ruang privat yang persis seperti gambar di laman reservasi.
Banyak tempat yang mengunggah foto hasil editan di laman reservasi web, tapi kafe ini jelas tidak memerlukan upaya pemasaran semacam itu untuk menarik pelanggan.
Memasuki semi-ruang privat, kami duduk berhadapan di meja. Saat aku duduk di sofa, tubuhku perlahan tenggelam dan berhenti di posisi yang sempurna.
"Ini bisa untuk tidur..."
Saat aku bersandar dan meletakkan kepala di sandaran, Shinohara menyentak lenganku untuk menarikku kembali.
Karena terlalu kuat, dahiku menghantam meja. Suara keras terdengar dan aku tak bisa menahan erangan kesakitan.
"Aduuuuh!"
"Senpai, kita sedang berkencan! Tidur dilarang!"
"Tadi itu reaksi 'nyaman sampai bisa tidur'! Aku tidak benar-benar berniat tidur!"
Setelah menjelaskan kesalahpahaman itu, Shinohara mengedipkan matanya. Kemudian, tanpa diduga, dia mengalihkan pandangannya.
Meski aku memandangnya dengan penuh kekesalan, Shinohara menolak untuk menatapku kembali.
Akhirnya, seolah tak terjadi apa-apa, dia mengambil menu yang terletak di sampingnya.
"Ah, jadi ini salah pahamku? Kalo begitu, Senpai kau ingin memesan minuman apa?"
"Jangan kira ini bisa dilewatkan begitu saja?"
"Senpai ini... Aku benar-benar tersentuh. Ya, karena dibawa ke tempat yang begitu indah! Bukankah kencan hari ini baru direncanakan tadi pagi? Meski begitu, Senpai langsung mencari tempat dan membuat reservasi. Mulai dari persiapan hingga semuanya... Sungguh, aku semakin mengagumi Senpai."
"Banyak sekali bicaramu."
Ketika aku tersenyum, Shinohara langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam seolah tak tahan.
"Maafkan aku."
Rambutnya yang setengah diikat pun terjuntai.
Kalo senyumanku bisa memancing permintaan maaf, itu pun sebenarnya tidak kuinginkan. Tapi sebagai pria yang sudah berusia 20-an, aku memutuskan untuk memaafkannya dengan kata-kata yang lapang. Saat aku hendak berbicara, seorang pelayan memasuki semi-ruang privat kami.
"Tuan, pesanan Anda— Oh, maaf."
"Tunggu! Ini bukan seperti yang kau pikir—Dua café au lait, please!"
Shinohara mengangkat wajahnya dengan cepat dan memesan dengan panik, tapi sayangnya pelayan tersebut sudah bergegas pergi.
Di mata pelayan itu, pastilah aku terlihat sebagai penjahat yang kejam. Rasa sakit di dahiku terasa semakin menjadi, dan aku pun menundukkan kepalaku.
★★★
"Ah, syukurlah kesalahpahaman telah terklarifikasi. Bukankah Senpai hampir saja dilaporkan?"
"Menurutmu ini salah siapa?"
Dengan wajah lesu, aku mengambil pisau di hadapanku.
Di atas meja terletak pancake berukuran besar dengan penampilan yang unik, miring dengan keseimbangan sempurna seperti Menara Pisa.
Pancake yang tersusun tiga lapis ini memiliki warna berbeda di setiap lapisannya, sepertinya dirancang untuk memberikan variasi rasa.
Di sekeliling pancake terdapat ilustrasi yang digambar dengan sirup, pastinya akan membuat wanita bersemangat. Bahkan aku sebagai pria pun merasa tergugah.
"Senpai, bolehkah aku memfoto ini?"
"Silakan, silakan."
Sambil berkata demikian, aku mengambil menu yang tersedia.
Setelah membacanya, ternyata pancake dan cangkir kopi yang unik ini memang ditujukan untuk target pasar wanita dan pasangan.
Terdapat tulisan 'Lebih dari 300 unggahan di Instagram!' yang menunjukkan strategi promosi melalui media sosial.
Aku mengagumi strategi pemasaran melalui media sosial ini yang mampu menarik pelanggan tanpa perlu mengeluarkan biaya iklan besar, ketika terdengar bunyi shutter kamera beruntun.
Ketika aku mengangkat pandangan, lensa kamera jelas-jelas mengarah ke wajahku.
"Kau memotret apa tadi? Pasti objeknya aku, kan?"
"Tapi ekspresimu bagus, lihat."
Shinohara menyodorkan Hp-nya kepadaku.
Dengan enggan aku memeriksa layar, dan menemukan foto saat aku sedang melirik ke samping─── terlihat 50 kali lebih baik dari biasanya.
"Wah, aku ingin foto ini!!"
Tanpa kusadari aku memohon, membuat Shinohara tersenyum.
"Baik, nanti akan kukirimkan. Terkadang foto yang diambil secara spontan justru hasilnya bagus───yang ini pasti cocok untuk foto profil."
Pemikiran kalo aku tidak terlalu memperhatikan foto profil ternyata belum berubah.
Seperti biasa, foto profil ku di SNS masih menggunakan maskot lokal yang lucu tapi aneh, dan aku cukup puas dengan itu. Tapi setelah melihat foto ini, muncul keinginan untuk mengubahnya.
"Memang pantas disebut gramer!"
"...Apa itu singkatan dari Instagrammer? Istilah itu sama sekali tidak umum, lho."
"Tapi kau paham, kan? Jangan meremehkan kemampuan komunikasiku."
"Ini karena daya pemahamanku yang tinggi!"
Shinohara mendengus kecil lalu mulai menyantap pancakenya. Aku pun tersenyum sebelum mencicipi pancake tersebut, dan rasa manis yang berkualitas langsung memenuhi mulut.
Meskipun kafe di kampus universitas juga cukup baik untuk harganya, pancake seharga 2000 yen ini jelas berbeda kualitasnya.
Saat kami berdua menikmati kelembutan adonannya, Shinohara mengeluarkan napas bahagia.
"Makanan ini menarik ya. Cukup membayar sedikit lebih mahal, kita langsung merasakan perbedaannya. Seperti mendapatkan nilai lebih."
Mendengar perkataan Shinohara, aku meletakkan garpuku sebentar dan mengangguk.
"Benar, perbedaan 1000 yen saja sudah terasa pada rasanya. Kalo pakaian, selisih harga segitu terasa seperti margin error biasa."
[TL\n: btw konver sendiri ya, gua kalo konver sendiri suka gak tega ngeliat nilai tukar rupiah yang makin hari makin rendah.]
Bahan yang sama bisa bernilai jauh lebih tinggi hanya dengan menambahkan logo merek terkenal.
Baik makanan maupun fashion sama-sama tentang kepuasan pribadi, tapi untukku makanan jauh lebih masuk akal.
Meskipun tentu saja, selalu ada yang lebih baik di atasnya───yang mungkin tak akan pernah saya ketahui.
Tiba-tiba, kilau perhiasan menarik perhatian ku ke tangan Shinohara.
Sebuah cincin yang terlihat mahal menghiasi jari telunjuknya yang ramping.
Sungguh mengagumkan bagaimana sesuatu bisa begitu memikat tanpa terkesan norak.
"Senpai?"
"Kau tipe yang bisa punya patron kaya raya, ya?"
"Sebenarnya aku cukup populer, tapi tidak memiliki patron. Cincin ini aku beli dari gaji sendiri."
"Model salon, ya? Tidak tertarik untuk menekuni bidang itu lebih serius?"
Berdasarkan cerita Shinohara, pekerjaan sebagai model salon jauh lebih menguntungkan dibanding pekerjaan paruh waktu lainnya.
Dengan kemampuan yang dimilikinya, sangat mungkin tawaran sebagai model di bidang lain akan datang di masa depan.
Setidaknya selama masih menjadi mahasiswa, ia bisa mendapatkan penghasilan dengan mudah.
Namun, Shinohara langsung menggelengkan kepala.
"Meskipun cukup menyenangkan dan bayarannya tinggi, aku lebih ingin menggunakan waktu untuk hal-hal yang benar-benar menarik minatku. Waktuku sebagai mahasiswa sangat terbatas."
"Oh."
Aku menjawab singkat dengan perasaan kagum yang tulus.
Di balik sikapnya yang sering bercanda, Shinohara memiliki prinsip yang kuat───itulah salah satu kelebihannya.
Kalo posisi kami terbalik, aku ragu bisa memiliki pemikiran yang sama. Bahkan mungkin tidak akan memilikinya sama sekali.
"Shinohara, apa kau punya bidang yang benar-benar kau minati?"
"Saat ini minat ku adalah Senpai."
"Kembalikan rasa kagumku tadi!"
Tanpa sadar aku hampir menjatuhkan garpuku. Ini bukan hal yang pantas diucapkan dengan wajah serius.
"Tidak, aku sungguh-sungguh."
"Ah, sudahlah, jawab dengan serius."
Ketika aku tersenyum kecut sambil menjawab, Shinohara mengerutkan dahinya.
"Aku sungguh-sungguh. Lebih tepatnya bukan kepada Senpai, melainkan kepada asmara. Tapi, sosok yang paling dekat dengan perasaan asmara itu adalah Senpai."
"Kenapa kau bisa mengucapkan hal yang begitu mengejutkan dengan santai? Apa ini pengakuan cinta?"
Awalnya kukira ini hanyalah ucapan memalukan yang bisa kuhiraukan, namun dari sudut pandang orang lain, perkataannya mengandung makna yang luar biasa.
Pemilihan kata yang bisa disalahartikan seandainya yang mengatakannya bukan Shinohara.
Aku menggerakkan jari di Hp untuk membuka halaman web untuk mencari tempat kencan di sekitar wilayah.
Saat menelusuri daftar bookmark, muncul sebuah situs kolektif yang terasa familiar.
Situs itu sering kugunakan ketika masih berpacaran dengan Reina.
Tempat-tempat rekomendasi untuk pasangan dikategorikan dengan rapi, mulai dari lokasi terdekat hingga yang jauh.
Situs ini rutin diperbarui dan memiliki halaman berformat peringkat, sehingga kita bisa langsung melihat rute kencan yang paling direkomendasikan.
"Tadi kau bilang kalo kau ingin pergi ke tempat yang tidak biasa, tapi jangan-jangan nanti kau malah ke gymnasium lagi?"
"Tentu tidak. Aku akan memimpin dengan baik."
Merencanakan rute kencan hingga detail terkecil untuk menyenangkan pasangan ternyata memiliki tingkat kesulitan yang tak terduga.
Dalam kencan, kita harus bisa memberikan kebahagiaan yang berbeda dari sekadar kebersamaan biasa. Dan aku agak kesulitan dalam hal ini.
Dulu aku selalu dibantu Reina, dan pada akhirnya rute kencan yang direncanakannya justru lebih menyenangkan untuk kami berdua.
Kalo memang harus menjalani hubungan percobaan ini, aku ingin menjadikannya waktu yang bermakna bagiku juga seperti kata Shinohara.
Memutuskan rute kencan di hari yang sama memang menantang, tapi justru itulah nilainya.
"Bagaimana dengan museum digital?"
"Mu...museum apa?"
Shinohara terlihat bingung dan bertanya kembali.
"Tempat yang instagramable tapi tetap menyenangkan meski dikunjungi secara normal. Bukanya sampai malam juga."
Di peringkat online tertulis tempat ini menempati posisi pertama favorit mahasiswi.
Mengingat sifat Shinohara yang mudah tertarik pada tren media percintaan, pasti dia akan senang.
Tapi bertentangan dengan dugaanku, wajah Shinohara justru berubah muram.
"Oh... kelihat... kelihatannya menarik ya."
"Hei, jelas-jelas kau tidak berminat."
Tidak ada reaksi yang lebih jelas dari ini.
Entah apa alasannya, tapi sepertinya dia sama sekali tidak tertarik.
Padahal kami sudah menghabiskan banyak waktu bersama, tapi usulanku ternyata meleset.
Entah kemana, hal itu membuatku merasa sangat tidak puas, sehingga aku mencoba mencari lagi tempat yang lebih tepat.
Tapi, mungkin karena pilihan kata kunci yang kurang baik, sulit menemukan artikel yang memuaskan.
"Aku ingin pergi ke taman hiburan."
"Tidak boleh."
"Kenapa!?"
Aku ingin membawa Shinohara ke tempat yang sedikit lebih bermartabat.
Alasan resminya adalah untuk menjaga wibawa sebagai orang yang lebih tua───tapi sebenarnya ini hanya masalah harga diri sebagai pria.
Dulu saat berpacaran dengan Reina pun, aku selalu berpikir seperti ini.
Pergi ke tempat-tempat mewah yang sebenarnya di luar jangkauan memberi ilusi seolah levelku sebagai pria telah naik, yang justru membuatnya dua kali lebih menyenangkan.
Aku tidak pernah memikirkan bagaimana pola pikir seperti ini dirasakan oleh wanita.
Tapi setidaknya, untuk Shinohara hal itu sepertinya tidak penting.
Sebab sejak tadi, dia terus melayangkan pandangan menyalahkan ke arahku.
Ketika aku akhirnya menyerah dan mengalihkan pandangan dari Hp, Shinohara mengembungkan pipinya dengan jelas.
"Kalo Senpai memang punya tempat yang ingin dikunjungi, itu lain cerita. Tapi kalo alasannya 'untuk pacar', maka seharusnya mengikuti keinginan pacarnya adalah yang terbaik!"
"Grr... Tapi taman hiburan itu rasanya kekanak-kanakan..."
"Sudah jelas kalo kau ingin menunjukkan kekuatan sebagai orang yang lebih dewasa, jadi hari ini ayo kita pergi ke taman hiburan. Aku sedang ingin kembali ke masa kanak-kanak hari ini."
Seolah-olah dia bisa membaca pikiranku tadi.
Bersama Shinohara, aku bisa kembali ke masa kanak-kanak.
Meski seharusnya aku menyadari hal itu, tanpa kusadari aku kembali berusaha terlihat lebih dewasa.
Ketika aku terdiam, Shinohara melanjutkan perkataannya.
"Senpai yang santai, Senpai yang berantakan. Aku sudah melihat semua itu selama ini. Aku juga menyukai sisi dewasa mu, tapi justru sisi yang berantakan itulah yang membuatku terus datang ke rumah Senpai. Kau tidak perlu berubah. Tetap seperti ini saja sudah baik."
"...Tetap seperti ini, kah."
Aku tidak berpikir salah untuk berusaha menjadi pria yang lebih dewasa.
Tapi, tindakanku saat ini lebih didasari oleh kekhawatiran akan penilaian orang lain.
Memprioritaskan diri sendiri tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain.
Aku sudah mengalami sendiri bagaimana hal itu bisa berujung pada konsekuensi yang tidak bisa ditarik kembali.
Meski begitu, tanpa disadari aku mengulangi pola yang sama.
Memang manusia tidak bisa berubah dengan mudah, tapi aku bahkan tidak menyadarinya sampai Shinohara mengatakannya.
Aku menggigit bibir dalam hati.
Tapi sekarang sedang kencan. Kalo suasana menjadi terlalu serius, itu justru tidak adil untuk Shinohara.
Aku mengatur napas dan mengangkat wajah.
Tapi, Shinohara yang terlihat di hadapanku justru terlihat sangat serius.
"...Tolong jangan berubah, Senpai."
"Eh?"
Tanpa sadar aku bertanya kembali. Shinohara mengedipkan mata beberapa kali sebelum menutup mulutnya dengan tangan.
"Ma-maaf. Tidak apa-apa."
"Begitu, ya?"
Shinohara tersenyum dan mengangguk.
Mungkin dia mengira aku tidak mendengar ucapannya tadi.
Aku bertanya bukan karena tidak mendengar, tapi karena secara tidak sadar menilai kata-katanya tidak nyaman bagiku.
Dengan bertanya, justru membuat Shinohara mengurungkan niatnya.
Sekarang dia sudah kembali fokus pada pancake.
Aku masih ragu apakah akan menanyakan maksud perkataannya tadi, ketika tiba-tiba saku kananku bergetar.
Awalnya kukira itu notifikasi pesan, tapi getarannya terus berlanjut. Pasti ada yang menelepon.
Aku menekan tombol power melalui saku.
Getaran berhenti, dan keheningan kembali ke ruangan semi-privat kami.
"Apa tidak apa-apa tidak diangkat?"
"Siapa yang mau menerima telepon saat sedang berduaan?"
"Aku senang mendengarnya, tapi mungkin ini darurat. Setidaknya lihatlah siapa yang menelepon."
"Hmm..."
Memang, meski tidak ingin memikirkannya, kemungkinan itu ada.
Aku tidak akan membalas teleponnya, tapi setidaknya akan memeriksanya.
Dengan pemikiran itu, aku mengeluarkan Hp-ku dan menyalakannya.
『Panggilan Tak Terjawab: Ayaka.』
"──Tidak apa-apa."
Ketika aku mencoba tersenyum, Shinohara menyipitkan matanya.
"Sepertinya... ada firasat perselingkuhan."
"Tidak, sama sekali tidak."
Aku menggelengkan kepala. Aku dan Ayaka tidak pernah memiliki hubungan seperti itu sama sekali.
Aku bisa menjelaskan hal itu dengan percaya diri, tapi aku juga menyadari kalo menyebut nama Ayaka kepada Shinohara justru akan menjadi bumerang.
Mengingat kepribadian Ayaka, panggilan itu mungkin hanya sekadar iseng.
Bagaimanapun, itu pasti bukan hal yang mendesak, jadi untuk sekarang aku akan memprioritaskan Shinohara.
Lagipula, ini adalah hubungan percobaan. Pikiran akan lelucon konyol bahwa ini 'hanya percobaan' melintas di benakku, membuatku mengerutkan kening.
Aku sempat ingin menanggapi pernyataan Shinohara "Tolong jangan berubah", tapi kesempatan itu hilang karena panggilan dari Ayaka.
Dengan enggan, aku mengalihkan pandangan dari Shinohara dan memandang ke area utama.
Di area utama, banyak pasangan sedang bercengkerama dan menikmati waktu mereka masing-masing.
Pemandangan itu terasa terlalu menyilaukan bagiku saat ini.
Kekasih adalah seseorang yang paling memahami dirimu. Itulah kenapa keberadaan seorang kekasih tak tergantikan dan sangat berharga.
──Aku telah menyakiti kekasih seperti itu.
Sebagai manusia, menyakiti orang lain adalah hal yang wajar.
Karena setiap orang memiliki cara berpikir yang berbeda dan hidup dalam lingkungan yang berbeda, mungkin hal itu memang tak terhindarkan.
Bahkan ada aspek yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari.
Tapi, ceritanya berbeda kalo yang disakiti adalah orang terdekat.
Dalam hubungan di mana kita berusaha saling memahami, hal itu sebenarnya bisa dihindari.
Aku yang pernah gagal sekali ini, harus berubah.
Kalo tetap seperti sekarang, aku pasti akan kembali menyakiti orang terdekat di masa depan.
Ketika konsekuensinya berbalik menghampiriku nanti, akan sudah terlambat jika aku sudah menjadi anggota masyarakat yang bekerja.
Banyak aspek dalam diriku yang hanya bisa dimaklumi karena statusku sebagai pelajar saat ini.
Dengan sisa waktu kurang dari dua tahun sebelum menjadi pekerja, batas waktunya sudah sangat dekat.
Kegelisahanku seharusnya adalah hal yang wajar. Secara objektif, berusaha menjadi dewasa tidak mungkin salah.
Tapi, keraguan muncul kenapa Shinohara menolak perubahanku.
"Ekspresi Senpai memang berbeda saat memikirkan hal-hal rumit ya."
Shinohara menyapaku, membuatku mengalihkan pandangan.
"Kurang ajar. Kau sendiri dengan ekspresi wajah itu."
"Itu sudah dari sananya. Aku memang sudah imut dari sananya."
"Aku tidak bilang kau imut."
"Secara tidak langsung kan sama saja!"
"Bagaimana pun juga tidak!"
Ketika aku mengeluarkan nada suara yang kesal, Shinohara tersenyum dengan sopan.
Ekspresi yang biasa. Ekspresi yang sudah begitu menyatu dalam keseharianku dan perlahan menjadi sesuatu yang tak terpisahkan.
Hal-hal yang harus berubah, dan hal-hal yang ingin tetap sama.
Mungkin segala sesuatu akan terasa lebih jelas jika dibagi dalam dua kategori itu.
Keberadaan Shinohara bagiku termasuk dalam kategori yang kedua.
Mengingatkanku akan hal itu, tanpa kusadari aku merangkai kata:
"Terima kasih."
"Sama-sama, Senpai. Domba kecil yang tersesat ini memang menggemaskan."
"7 kata itu tidak perlu."
Aku mencibir.
Untuk mengalihkan rasa malu, aku mengayunkan garpuku───tapi itu hanya mengudara.
Ketika aku melihat ke bawah, piring cantik di hadapanku sudah kosong.
"...Apa aku sudah menghabiskan pancake-ku?"
"Iya, Senpai terus makan kecuali saat berbicara. Sungguh kau sangat cepat menghabiskannya."
"Lalu pancake kedua di piringmu tiba-tiba muncul begitu saja?"
"Begitulah. Dunia ini penuh dengan misteri."
Pandangan kami bertemu. Kami sama-sama terdiam, beberapa detik dalam kesunyian.
"—Kembalikan!!"
"Eii!"
Tanganku meraih piring Shinohara, tapi dihindari dengan gesit. Tak sepotong pun pancake seharga dua ribu yen per piring itu mau dia berikan.
Permainan kejar-kejaran melintasi meja berlangsung beberapa detik, sebelum Shinohara akhirnya menyerah, "Baiklah, baiklah!"
Aku megambil potongan terbesar dari piring yang disodorkannya dengan garpuku.
"Eh!?"
Kali ini Shinohara yang terkejut.
Pancake yang kutungging sebenarnya adalah bagian yang sedang dia nikmati pelan-pelan.
"Kalo Senpai mengambil pancake-ku, kau harus siap dengan konsekuensi dan kompensasinya. Kompensasinya yaitu Senpai harus—"
"Sudah, ku kembalikan."
"Biarkan aku menyelesaikan kalimatku!!"
Shinohara mengayunkan lengannya protes, lalu memalingkan wajah dengan kesal.
Pancake yang kembali ke piring sudah hancur, tak tersisa lagi keindahannya yang semula.
Tapi tetap terlihat lezat, mungkin karena aku sungguh menikmati waktuku bersama Shinohara.
Dengan senyum tipis, kuambil pancake milik Shinohara itu.
Tepat saat itulah—
"—Hai, kelihatan sehat ya."
Suara tak dikenal tiba-tiba terdengar dari atas.
Atau lebih tepatnya, suara yang sepertinya pernah kudengar di suatu tempat.
Suara yang telah kusimpan di bagian paling tidak penting dalam ingatanku.
Melihat ekspresi Shinohara terlebih dahulu, kusadari firasatku benar.
Ketika aku mengangkat pandanganki ke arah suara itu, ternyata memang tidak salah.
Mantan pacar Shinohara, Motosaka Yudo.
Motosaka yang menyeringai itu memiliki mata yang dipenuhi kebencian.
★★★
Shinohara memegang kepalanya dengan ekspresi tidak percaya, lalu perlahan membuka mulut.
"...Eh, apa maksud kedatanganmu? Sungguh tidak pantas."
"Hei, aku cuma ingin menyapa karena kebetulan melihat kalian. Jangan berlebihan."
"Aku bilang tidak pantas karena kau dengan santainya menyapa mantan pacarmu yang sedang berduaan dengan lawan jenis."
Shinohara mengatakannya dengan nada kesal.
Mendengar itu, Motosaka akhirnya menatap ke arahku.
"Hey, maaf mengganggu waktumu. Kau... aku lupa namamu, tapi kita pernah bertemu beberapa kali, kan?"
Motosaka mengajakku bicara.
Dengan raut wajah enggan, aku menjawab.
"Saat acara kencan Natal dan pesta Valentine."
"Ah iya iya. Si pengikut Ayaka."
Ucapannya kasar, tapi maksudnya sebagai 'pengikut' cukup jelas. Aku justru merasa sedikit nostalgia.
Setelah kejadian di tahun kedua SMA dan naik ke tahun ketiga, beberapa siswa membicarakanku seperti itu.
Aku sama sekali tidak memperdulikannya karena kebahagiaan melihat Ayaka kembali menjadi primadona sekolah lebih besar daripada ketidaknyamanan dibicarakan orang.
Tak kusangka ucapan Motosaka bisa mengingatkanku pada hal itu.
"Senpai, apa maksudmu?"
Shinohara bangkit dari tempat duduknya dan melayangkan tatapan tajam ke Motosaka.
Motosaka tampak sedikit ciut dan mundur setengah langkah, tapi segera kembali dan bertanya pada Shinohara.
"Kau sedang apa dengan dia?"
Shinohara menjawab, "Jangan bilang 'dia' seperti itu," lalu menatapku.
Aku tidak tahu bagaimana hubungan mereka berakhir, tapi kalo Motosaka masih memiliki perasaan, tentu dia membenciku.
Lebih baik tidak memberikan provokasi yang tidak perlu.
Dengan pemikiran itu, aku menggelengkan kepala pelan-pelan ke arah Shinohara agar tidak terlihat Motosaka.
"Seperti yang kau lihat, kami sedang berkencan."
Ternyata pesanku sama sekali tidak tersampaikan.
Aku bisa melihat Motosaka menggigit bibir bawahnya mendengar kata-kata Shinohara.
"Setelah menolakku, kau memblokir semua akun SNS-ku. Lalu tak lama kemudian kau sudah berkencan dengan dia?"
"Aku, Hasegawa Yuta. Senang berkenalan dengan mu."
"Waktu memperkenalkan diri yang paling buruk! Bisa rasakan suasana hati orang!"
Motosaka menyergap dengan nada kasar, membuatku mengangkat bahu.
"Karena kalo begini terus, kau akan terus memanggilku 'dia'. Itu mengganggu, jadi panggil saja Hasegawa."
"Kalo begitu kau juga bida memanggilku Motosaka. Aku juga tidak suka dipanggil 'kau'."
"Oke, Motosaka."
"Kalo begitu aku akan memanggilmu Hasegawa."
"Ya, senang berkenalan dengan mu."
[TP\n: bisa-bisanya mereka kenalan di waktu kek gini jir, tapi jujur gua salat, berarti pemikiran mereka masih dingin.]
Motosaka mengangguk puas. Melihat pemandangan itu, Shinohara tak kuasa menyela.
"Tunggu sebentar, kenapa kalian tiba-tiba akur?"
"Kami tidak akur," kata Motosaka, dan aku mengangguk diam.
Aku hanya ingin menciptakan lingkungan dasar untuk berkomunikasi.
Stres yang tidak perlu hanya akan menghambat pembicaraan.
"Lagipula, dia cukup pandai berkomunikasi."
Dari belakang Motosaka, terdengar suara yang familier.
Aku segera mendorong Motosaka, dan di sana berdiri Ayaka.
Ketika pandangan kami bertemu, Ayaka menghela napas kecil.
"Makanya aku meneleponmu tadi."
"Eh, tadi itu telepon untuk hal ini?"
Kukira itu hanya telepon iseng, ternyata itu satu-satunya kesempatan untuk menghindari situasi ini.
Dalam hati, aku menyesal telah melewatkannya.
"Kami dari 'Green' dan 'Ocean' sedang survei lokasi untuk acara bersama. Dari kejauhan aku melihatmu dan Shinohara-san, jadi aku buru-buru meneleponmu."
"4 orang?"
Ketika aku melihat ke belakang Ayaka, di area utama ada perwakilan klub 'Green', Ki-san, sedang berbincang dengan seorang wanita bertubuh langsing.
Dari perkataan Ayaka, wanita itu pasti perwakilan 'Ocean'.
'Ocean' adalah salah satu klub outdoor di kampus kami. Hanya 'Ocean' yang seukuran dengan 'Green' tempat Ayaka menjadi wakil ketua.
"Jadi Motosaka dari 'Ocean' itu? Wakil ketua?"
Aku menanyakan itu karena melihatnya bersama Ayaka, tapi Motosaka menggeleng.
"Tidak, aku ketuanya."
"Haah!?"
Terkejut, Motosaka tersenyum puas.
"Jangan terlalu terkejut, itu tidak terlalu mengejutkan kan?"
"Itu sangat mengejutkan! Apa kau bisa menjalankannya?"
"Kubunuh kau!"
"Tolong ada yang mau membunuhku!"
Ketika aku berusaha menjauh dari Motosaka, Shinohara menepukkan tangannya.
Keheningan kembali menyelimuti ruang semi-privat kami.
"...Senpai, kita sedang berkencan. Cukup sampai di sini."
Nada suaranya yang lebih tegas dari biasanya membuatku tanpa sadar terdiam.
Aku merasakan suasana yang mulai mencair tiba-tiba menjadi tegang kembali.
"Berkencan?"
Dalam suasana tegang itu, Ayaka adalah yang pertama menunjukkan kebingungan.
Motosaka mengangguk mendengar pertanyaan Ayaka.
"Mereka sedang berkencan, katanya."
Motosaka menatap Shinohara dengan pandangan penuh kebencian.
...Sepertinya aku salah menilai Motosaka.
Kukira kebenciannya hanya tertuju padaku, tapi sepertinya justru lebih besar kepada Shinohara.
Buktinya, meski awalnya menghinaku, setelah saling memanggil nama keluarga, kami bisa bercakap dengan normal.
Itu jelas karena kemarahannya lebih tertuju pada Shinohara.
Shinohara pun tanpa menyembunyikan ketidaksukaannya, langsung membalas Motosaka.
"Apa aku perlu izin mantan pacarku untuk berkencan dengan Senpai? Sudahlah, jangan terlalu ikut campur."
"Aku perlu minta izin. Aku hanya tidak suka melihat orang yang sangat hati-hati sampai memblokir semua kontak setelah putus, tiba-tiba sudah punya pacar baru."
Rupanya pemblokiran itu sangat melukai harga dirinya. Seandainya ini pasangan biasa, aku mungkin akan sedikit bersimpati.
Dibayangkan saja sudah menyakitkan ketika mantan pasangan menghapus semua kontak.
Tapi kasus Motosaka berbeda.
Ayaka sepertinya berpikir sama, dia pun berbicara.
"Bukannya itu salah Motosaka yang berselingkuh?"
Meski kata-katanya menegur, nada suaranya tetap cerah. Mungkin karena di depan Motosaka, dia berusaha menjaga kesan baik seperti biasa.
Saat Ayaka mengucapkan itu, aku tidak melewatkan perubahan ekspresi Shinohara yang sedikit berubah.
Reaksi itu muncul bahkan terhadap pernyataan yang membelanya.
Aku bisa merasakan dengan jelas hubungan mereka atau lebih tepatnya, kebencian sepihak Shinohara.
Untungnya, Ayaka terlihat tidak menyadari perubahan ekspresi Shinohara yang hanya sekejap itu, dan melanjutkan:
"Tidak semua perempuan berpikir seperti orang-orang di sekitarmu. Pemikiran 'yang penting sekarang bahagia' memang bagus, tapi setelah menyakiti orang, kau tidak punya hak untuk mengkritik tindakan mereka setelahnya."
Mungkin karena nada Ayaka yang lembut, perkataannya sedikit mempengaruhi Motosaka. Motosaka tersenyum kecut dengan wajah agak canggung.
"Hmm... yah, selingkuh itu juga ada alasannya..."
"Tapi kenyataannya kau berselingkuh, kan?"
"Itu... iya. Maaf, jangan marah."
"Aku sama sekali tidak marah."
Ayaka tersenyum pada Motosaka sebelum mengalihkan pandangannya padaku.
"Jadi, apakah kalian benar-benar sedang berkencan dengan Shinohara-san?"
"Makanya, aku—"
"Shinohara-san, aku sedang bertanya padanya."
Ayaka mengatakannya tanpa menatap Shinohara.
Matanya menatapku lurus, dan aku hampir tidak pernah bisa menghindari tatapan ini. Biasanya aku langsung terbaca.
Tapi sekarang, ini adalah hubungan percobaan atas permintaan Reina.
Aku ragu sejenak apakah harus mengatakan yang sebenarnya.
Di depan Motosaka yang terkenal luas pergaulannya, aku tidak ingin mengatakan hal yang sembarangan.
Meski rumor tidak akan menyebar secepat dan seluas di SMA, aku tetap tidak ingin fakta tentang hubungan percobaan ini tersebar.
Untuk saat ini, lebih baik mengikuti perkataan Shinohara agar situasi ini bisa diselesaikan dengan baik.
Salah paham bisa dijelaskan nanti.
Ayaka pasti akan mengerti meski aku tidak menjelaskan semuanya sekarang.
Ketika pemikiran itu muncul secara alami di kepalaku, aku menggigit gigiku.
—Pemikiran pasrah seperti inilah yang membuatku gagal waktu itu.
Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Bukankah itu yang paling harus diprioritaskan sekarang?
Kalo dengan menyembunyikan kata-kata malah mengulangi kegagalan, aku tidak bisa menghadapi Reina.
Kalo ingin mempertimbangkan reputasi Shinohara, pilihannya bukan dengan tidak mengatakan apa-apa pada Ayaka, tapi dengan memilih kata-kata yang bisa meyakinkan mereka berdua.
Aku dan Shinohara tidak berpacaran.
Untuk menyampaikan itu, aku membuka mulut.
Tapi yang pertama berbicara justru Ayaka.
"Ah, sudahlah. Aneh juga kali aku terlalu memperhatikan ini. Motosaka, ayo pergi."
Terkejut, aku mengangkat wajah.
Ayaka tersenyum dan mengerakkan bibirnya tanpa suara, "Traktir aku sesuatu."
Aku hanya bisa terdiam dengan mulut menganga.
Ayaka terlalu peka.
Bahkan sebelumnya, saat berkunjung ke apartemen ku, dia sudah merasakan kehadiran Shinohara.
Justru lebih normal kalo dia mengira kami berpacaran, tapi Ayaka mengerti segalanya tanpa perlu kujelaskan. Dia berusaha untuk memahami semuanya.
Biasanya, aku hanya akan berterima kasih. Merasa beruntung memiliki orang seperti itu, menikmati kebahagiaan itu saja.
Tapi kata-kata Nazuki terngiang di kepalaku.
───Kalo kau terus bergantung pada Ayaka, tidak aneh jika kau mengulangi kesalahan yang sama. Hubungan kalian bertahan hanya karena kemampuan Ayaka yang luar biasa.
...Meski sudah menyadarinya, apakah boleh aku tetap bergantung pada Ayaka?
"Tunggu sebentar, ada yang ingin kusampaikan pada Mayu."
Ucapan Motosaka menarikku kembali ke realita.
Ketika aku bersiap menghadapi kemungkinan komentar pedas, ternyata sasaran Motosaka hanyalah Shinohara.
"—Mayu, jadi Hasegawa itu..."
"...Itu yang sedang kukonfirmasi sekarang."
"Aku tidak akan mendukungmu."
"Tidak usah."
Saat Shinohara sedikit tersenyum, Motosaka mendengus kesal.
Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan saat masih berpacaran dulu.
Tapi jelas dari percakapan tadi bahwa Motosaka mengenal sisi Shinohara yang tidak kuketahui.
Bohong kalo kukatakan kalo aki tidak merasakan apa-apa.
Tapi yang lebih mengejutkan adalah Motosaka ternyata bisa bercakap dengan normal.
"Rupanya Motosaka bisa bicara layaknya orang normal."
"Kau meremehkanku? Di pesta Valentine aku cukup populer."
"Ah, benar juga."
Sejak pesta itu, kusadari dia lebih pandai bergaul daripada aku.
Meski bisa berubah jadi bencana seperti di Natal saat mabuk, mungkin dia memang punya kepribadian yang mudah disukai orang.
"Motosaka, Ki-san dan Yuki sudah menunggu. Ayo kita pergi?"
Ayaka mengajak Motosaka keluar dari ruang semi-privat.
Saat pergi, dia berbisik, "Jangan menatapku seperti itu."
Bingung, aku menoleh dan melihat Shinohara sedang cemberut menghadap dinding.
"Dadah, Mayu."
"Jangan panggil aku dengan nama depanku!"
"Haha, kau kesepian ya."
Motosaka tertawa lalu mengikuti Ayaka.
Saat aku melihat mereka, Ki-san melambai dari kejauhan.
Setelah membalasnya dengan anggukan, aku memandang Ayaka tapi dia tidak sekali pun menoleh, keempatnya meninggalkan Cafe.