Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 4, chapter 8. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
PANDANGANKU TENTANG CINTA ~POV MAYU~
"Cinta atau uang. Mana yang kau lebih suka, Mayu?"
Itu adalah pertanyaan yang diajukan oleh ibuku yang mengenakan kostum Santa saat Natal waktu aku duduk di kelas 5 SD.
Di sebelahnya, ayahku yang mengenakan janggut Santa sedang menunggu jawabanku.
Kedua orang tuaku adalah sosok yang ceria dan penuh semangat.
Mereka menganggap kesenangan sebagai hal yang paling penting dalam hidup, sehingga sering kali terlihat lebih muda dari usia mereka.
Aku masih ingat betul betapa bangganya aku saat melihat mereka di acara kunjungan kelas.
Aku menerima banyak kasih sayang dari mereka, sampai-sampai dielus kepalaku saja sudah terasa seperti hadiah. Aku sangat menyayangi mereka.
Karena itulah, aku bisa menjawab pertanyaan yang tiba-tiba itu tanpa ragu sedikit pun.
"Cinta!"
Tentu saja. Di SD kami diajarkan tentang cinta, tapi tidak tentang uang.
Ditambah lagi, tayangan di TV membuatku percaya kalo menyukai uang adalah sesuatu yang rendah.
Maka dari itu, aku menjawab dengan penuh keyakinan.
Aku yakin akan dipuji. Aku yakin akan dielus kepalaku.
Tapi yang kudapatkan hanyalah jawaban "Begitu ya" dari ibuku yang terlihat senang, dan senyum kesepian dari ayah yang duduk di sebelahnya.
──Keesokan harinya, kedua orang tuaku bercerai.
Belakangan aku tahu, perceraian mereka berlangsung secara damai.
Selama beberapa tahun mereka telah berdiskusi mengenai berbagai hal, dan akhirnya mencapai kesepakatan bersama.
Aku merasa seolah dipukul keras dengan benda tumpul ketika mengetahui kalo di balik keluarga yang terlihat bahagia, percakapan semacam itu telah berjalan lama.
Saat aku membayangkan perasaan apa yang tersembunyi di balik senyuman mereka, aku merasa kenanganku telah dinodai.
Kebahagiaan yang selama ini kupercayai mulai runtuh dengan suara gemuruh.
Hak asuh anak diputuskan jatuh ke tangan ibu, sesuai kesepakatan.
Tapi ayahku masih sesekali datang ke rumah, dan suasana yang terjalin antara mereka terasa begitu hangat seolah tidak pernah terjadi perceraian.
Tapi kini aku tahu, semua itu palsu.
Dalam suasana yang terlihat hangat itu, aku pun ikut menampilkan senyum palsu.
★★★
Sejak mulai tinggal berdua dengan Ibu, Ayah tetap datang mengunjungi kami sebulan sekali.
Sudah menjadi semacam kesepakatan tidak tertulis kalo kami akan makan malam bersama di akhir bulan, termasuk Ayah.
Terus terang, aku merasa jenuh dengan kebiasaan itu.
Tapi di saat yang sama, aku juga merasa dipenuhi oleh rasa bahwa Ayah pun masih menyayangiku.
Dan perasaan itu justru membuatku merasa marah tanpa tahu harus kemana melupakannya.
Kebiasaan kunjungan bulanan Ayah berlangsung lebih dari 2 tahun, tetapi sejak sekitar musim dingin di tahun pertama SMP, dia berhenti datang selama beberapa bulan.
Tanpa peringatan apa pun, dia tiba-tiba berhenti datang ke rumah, dan Ibu pun tidak pernah membicarakan hal itu.
Aku merasa heran dengan sikap Ibu, lalu mencoba menyinggung soal Ayah.
"Akhir-akhir ini Ayah tidak datang, ya."
Aku jarang membicarakan Ayah, jadi awalnya Ibu terlihat sedikit terkejut.
Tapi dia segera kembali bersikap seperti biasa.
"Iya, mungkin dia sedang sibuk."
Jawaban yang samar. Aku tahu Ibu sering berbagi kabar tentangku kepada Ayah.
Karena itu, tidak mungkin dia tidak tahu alasan kenapa Ayah tidak datang.
──Dengan kata lain, Ibu memang tidak ingin memberitahukan alasannya kepadaku.
Orang tuaku mungkin saling bertukar informasi di balik layar demi menjaga perasaanku, tapi justru hal itu semakin membuatku merasa terasing.
Dan mereka berdua tidak menyadari hal tersebut.
Aku pun, sebagai anak SMP, merasa malu untuk mengungkapkannya secara langsung.
"Ibu, apa kau masih mencintai Ayah?"
Ibu tertawa dan berkata, "Ada apa, tiba-tiba?" Tapi setelah melihat wajah seriusku, dia tersenyum dengan sedih.
"Kurasa, iya."
"'Kurasa', lalu...bagaimana dengan aku?"
"Tentu saja Ibu menyayangimu.
Kali ini jawabannya disampaikan dengan sedikit rasa malu.
Jawaban yang langsung diucapkan itu membuatku sedikit senang, dan aku merasa lega karenanya.
Rupanya dalam diriku masih tersisa perasaan polos yang bahagia ketika disayangi orang tua.
"Tapi, cinta ini dan cinta kepada Ayah adalah 2 jenis yang berbeda."
"Maksudnya bagaimana?"
Ketika aku bertanya sekali lagi, Ibu meletakkan tangannya di dagu.
"Mayu adalah keluargaku yang terikat oleh darah. Anak kandung yang lahir dari rahimku, anakku sendiri. Sedangkan Ayahmu memang keluarga, tapi tidak ada ikatan darah, kan?"
"Apa ikatan darah itu benar-benar sepenting itu?"
Di dunia drama dan film, sering terdengar ungkapan seperti 'Ikatan darah bukanlah segalanya, itulah cinta yang sejati'.
Aku pun berharap akan mendapat jawaban yang serupa dari Ibu.
Walaupun sesaat sebelum dijawab, harapan itu mulai berubah menjadi keinginan samar.
Karena aku adalah anak kandung Ibu, aku bisa menebak jawabannya hanya dari ekspresinya.
"──Penting. Mungkin nanti saat Mayu sudah dewasa, akan mengerti."
"...Begitu ya."
Ilusi kalo keluarga dibentuk oleh cinta sudah lama sirna. Dulu aku percaya kalo cukup dengan menyebut seseorang sebagai keluarga, maka di antara mereka pasti akan ada cinta tanpa syarat.
Tapi entah kenapa, aku tetap percaya kalo di antara kedua orang tuaku ada ikatan istimewa.
Tapi kalo dipikir lagi, Ibu dan Ayah awalnya adalah orang asing. Mereka adalah 2 orang yang sama sekali tidak saling mengenal.
Justru karena itu, pertemuan mereka terasa seperti sebuah keajaiban, sekaligus rapuh.
Keluarga kami hanyalah keluarga yang memperlihatkan kerapuhannya. Itu saja.
"Tadi Ibu bilang kalo Ibu masih mencintai Ayah, tapi boleh Ibu koreksi sedikit?"
"Eh?"
"Perasaan cinta itu, tidak berkembang menjadi kasih yang sejati."
Mungkin karena kami belum pernah membicarakan hal semacam ini sebelumnya, Ibu merasa ini adalah kesempatan yang tepat dan mulai bicara dengan gamblang.
"Orang dewasa itu, ya...punya banyak hal yang membebani."
"Contohnya?"
"Yang paling besar mungkin...masalah uang. Akhir-akhir ini Ayahmu tidak datang ke rumah, kan?"
Ucapan itu membuat wajahku seketika membeku.
"Kenapa belakangan ini Ayah tidak datang?"
Aku menanyakan hal yang sama seperti sebelumnya.
Aku berusaha menampilkan ekspresi selembut mungkin, walaupun aku tidak tahu apakah itu berhasil.
Ibu terdiam sejenak, lalu perlahan membuka mulutnya.
"Akhir-akhir ini, Ayahmu sering menunggak pembayaran biaya nafkah, jadi syarat yang kami sepakati tidak terpenuhi."
"Syarat?"
"Itu hal yang kami putuskan saat bercerai. Ayahmu...kurang bisa diandalkan, ya. Jadi, kami sepakat...kalo setiap bulan dia membantu, maka kami akan berkumpul bersama seperti keluarga."
"Jadi kalian membicarakan hal seperti itu."
"Iya. Meskipun kami sudah berpisah, kami tetap terhubung lewat dirimu, Mayu. Ayahmu juga berusaha keras demi bisa bertemu denganmu. Jadi, dukunglah dia, ya."
...Bahkan untuk datang ke rumah ini pun, ternyata ada syaratnya.
Kata-kata itu disampaikan dengan indah, tapi bukankah pada dasarnya hubungan mereka sekarang hanya sebatas urusan uang?
Waktu yang kuanggap sebagai momen kebersamaan keluarga, meskipun terasa palsu, ternyata hanyalah sesuatu yang dibentuk demi uang?
Apa Ayah, bagi Ibu, sudah bukan lagi bagian dari keluarga?
Aku ingin melontarkan berbagai pertanyaan seperti itu, tapi aku urungkan.
Karena uang itu, kemungkinan besar, dibutuhkan demi membesarkanku.
Tapi—tetap saja. Betapa menyedihkannya kenyataan kalo bahkan waktu kebersamaan keluarga yang palsu pun tidak bisa terwujud tanpa uang.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Ibu saat memberitahuku semua itu. Apa untuk mempersiapkanku dalam menghadapi pilihan bernama pernikahan suatu hari nanti? Ataukah hanya sekadar ingin meluapkan isi hatinya yang selama ini tertahan?
Apa pun alasannya, Ibu kurang mempertimbangkan akibatnya.
Meski aku sudah SMP dan cukup dewasa untuk bisa menunjukkan empati, aku tetap hanya seorang anak yang mencoba mendengarkan dengan serius saat itu.
Nilai-nilai tentang pernikahan dan cinta masih belum terbentuk jelas dalam diriku.
Dengan kata lain, aku masih bisa terwarnai oleh pandangan apa pun.
Untuk diriku, cerita perceraian orang tuaku adalah pengalaman yang terlalu kuat dalam membentuk cara pandangku.
Pernikahan, pada dasarnya, mungkin memang mengandung risiko seperti ini.
Semua orang hanya percaya kalo masa depannya akan cerah, tapi nyatanya ada sebagian yang, seperti orang tuaku, berpisah di tengah jalan.
Dan kalo ada anak di antara mereka, maka anak itu akan terseret, tanpa bisa menolak—seperti aku.
Keputusan di tangan orang dewasa yang punya uang, dan anak hanya bisa diam menerima keputusan mereka.
Saat kecil dulu, aku memandang kata 'cinta' dengan penuh impian.
Tapi cinta yang kulihat langsung justru sarat dengan rapuhnya, dan ketika cinta itu berkembang, bisa menjadi sesuatu yang mempengaruhi kehidupan orang lain seperti senjata yang tajam.
Setelah berpikir seperti itu, cinta mulai terasa sangat berbahaya.
Aku merasa tidak akan mampu melihat cinta dengan perasaan positif lagi.
Padahal aku masih termasuk beruntung karena setelah perceraian pun, keluargaku masih bisa terlihat harmonis meskipun hanya sebatas kepura-puraan.
Tapi kalo suasana itu menjadi lebih buruk, aku pasti tidak sanggup bertahan.
Luka di hati mungkin bisa membaik, tapi tidak akan pernah benar-benar sembuh.
Karena aku menyadari hal itu, cinta yang menyimpan potensi untuk menyakiti, tertanam kuat sebagai sesuatu yang berbahaya dalam pikiranku. Sangat kuat, dan terus membekas.
Pakaian Santa yang disimpan di lemari penyimpanan itu, sejak saat itu tidak pernah kulihat lagi.
★★★
Pandangan negatif terhadap cinta tetap bertahan bahkan setelah aku naik ke kelas 2 SMP.
Menurutku, cinta itu tidak ada untungnya.
Terlebih lagi kalo hubungan tersebut tidak berujung pada pernikahan, maka itu hanya buang-buang waktu.
Pacaran di masa SMP hampir semuanya tidak akan berhasil. Paling lama bertahan 2 atau 3 tahun.
Kalo tidak berakhir di pelaminan, maka cinta itu tidak ada artinya—itulah pemikiran yang tumbuh dalam diriku.
Karena itu, aku sering berkata pada teman dekatku.
"Orang yang jatuh cinta itu, sebenarnya sedang memikirkan apa?"
Untukku, itu adalah pertanyaan yang sangat jujur, tanpa maksud lain.
Semua orang sedang berada dalam masa pubertas, usia di mana perasaan mudah berubah.
Alasanku tidak tertarik dengan urusan cinta adalah karena kedua orang tuaku, tapi tidak ada satu pun yang mengetahuinya. Jadi, mereka menggolongkanku sebagai tipe gadis yang 'ceplas-ceplos dan blak-blakan'.
Anehnya, tipe ceplas-ceplos seperti itu sering kali justru menjadi tempat curhat urusan cinta.
Meski aku tidak tertarik pada cinta, aku selalu berusaha memikirkan teman-temanku dengan sungguh-sungguh.
Mungkin karena itu, mereka pun merasa nyaman berbagi denganku.
"Padahal aku sama sekali tidak pernah pacaran, kenapa mereka tetap mau cerita, ya."
Saat aku mengutarakan rasa heran itu, Mino-senpai yang duduk di sebelahku menjawab sambil mengikat tali sepatu basketnya.
"Mungkin karena orang yang tidak tertarik dengan cinta, kesannya lebih bisa dipercaya untuk menjaga rahasia."
"Begitu, ya."
Dalam aroma khas gedung olahraga, aku pun ikut menggosok sol sepatu basketku.
Dalam percakapan santai seperti ini, aku selalu merasa bersemangat.
Menurut kabar, Mino-senpai juga sama sepertiku—tidak tertarik pada cinta.
Beliau adalah kakak kelas yang menjadi sosok panutan dan idola seluruh anggota tim basket perempuan dari kelas satu sampai dua.
Fakta kalo sosok seperti itu memiliki pandangan yang sama denganku memberiku kepercayaan diri yang besar.
Selama ini, di antara teman-temanku tidak ada yang serupa denganku yang tidak tertarik dengan cinta, jadi perlahan aku mulai merasakan sedikit kesepian.
Karena itu, aku semakin menyukai momen-momen seperti ini.
"Shinohara-san dipercaya, mungkin karena itu."
"Begitu, ya."
Mendengar hal itu dari Mino-senpai membuatku benar-benar senang.
Rasanya tidak buruk menjadi seseorang yang dipercaya.
Karena itulah, aku pun mulai berpikir untuk lebih aktif mendengarkan cerita cinta teman-temanku, meskipun aku sendiri tidak tertarik.
"Rasanya menyenangkan, ya, bisa dipercaya."
"Begitukah?"
"Eh?"
Karena aku yakin akan mendapat persetujuan, perasaan ini cukup mengejutkanku.
Aku belum pernah bertemu orang yang begitu dihormati oleh semua orang seperti Mino-Senpai.
Kalo orang seperti Mino-Senpai sendiri merasa tidak nyaman karena dipercaya oleh banyak orang, maka aku pun seperti kehilangan pijakan.
Karena itu, demi meyakinkan diriku sendiri, aku sedikit bersikeras.
"Pasti akan sangat baik!"
Begitu aku berkata begitu, Mino-Senpai tampak berkedip tak percaya.
Entah sejak kapan aku sudah berdiri, dan buru-buru duduk kembali di sampingnya.
Mino-Senpai adalah kapten tim basket putri yang memimpin puluhan anggota.
Kalo aku, yang bahkan bukan pemain inti dan hanya seorang junior, berbicara lancang, bisa-bisa menimbulkan ketidaksenangan dari orang lain.
Tapi Mino-Senpai terlihat tidak terlalu memedulikannya dan malah bertanya padaku.
"Kenapa kau pikir itu baik?"
"Kenapa ya... soalnya, rasanya tidak buruk saja. Kalo aku yang mengalaminya."
Karena tidak bisa menemukan alasan yang tepat, aku pun menjawab seperti itu.
"Begitu ya. Tapi, menurutku pendapatku agak berbeda."
Setelah selesai mengikat tali sepatunya, Mino-Senpai menghela napas sebentar.
Lalu, dia menyandarkan punggung ke laci di samping panggung dan menatap langit-langit.
Aku mengikuti arah pandangnya, dan melihat di balok langit-langit ada bola voli serta kok bulu tangkis yang tersangkut.
Aku pun bertanya-tanya bagaimana benda-benda itu bisa sampai di tempat seperti itu.
"Kepercayaan dari orang yang tidak terlalu dekat tidaklah diperlukan. Kalo terlalu banyak orang berharap padaku, rasanya tubuhku jadi berat."
Setelah mengatakan itu, Mino-Senpai memutar-mutar bahunya, memperagakan gerakan orang yang kelelahan.
"Mino-Senpai memang diharapkan oleh banyak orang, ya."
"Kelihatannya begitu?"
"Iya, jelas sekali."
Saat aku mengangguk, Mino-Senpai tersenyum kecut dan tetap menatap ke langit-langit.
Aku sempat mengira dia akan menjawab sesuatu, tapi ternyata tidak, itu membuatku sedikit kecewa.
Tidak tahan dengan keheningan yang berlangsung, aku pun memutuskan mengganti topik.
"Ngomong-ngomong, Mino-Senpai katanya kai sempat ditembak sama teman sekelasmu waktu itu, ya?"
"Iya."
Mino-Senpai menjawab dengan nada yang tidak begitu tertarik.
Sepertinya dia lebih tertarik pada sepatu basketku, karena wajah cantiknya mendekat ke arahku.
"Shinohara-san, itu sepatu baru ya? Keren sekali."
"Ah, iya. Ini dibelikan Ibuku."
"Begitu ya, enaknya. Aku juga───"
Begitu mengucapkan itu, Mino-senpai menggelengkan kepalanya.
"Ada apa?"
"Bukan apa-apa. Ayo, kita mulai latihan."
Ucap Mino-senpai sambil mengayunkan tubuh bagian atasnya seperti bandul, lalu bangkit berdiri sambil melompat ringan.
Gerakan itu saja sudah menunjukkan betapa tinggi kemampuan fisiknya. Aku pun segera menyusul di belakangnya.
Begitu masuk ke lapangan, para siswa kelas 3 langsung berlari mendekati Mino-senpai, dan aku pun secara alami menjauh dari kerumunan itu.
Sirkel yang dipenuhi kakak kelas membuatku merasa tidak nyaman berada di dalamnya.
──Hebat sekali.
Mino-senpai selalu dikelilingi banyak orang.
Aku pun ingin menjadi seseorang yang bisa memimpin orang-orang di sekitarnya seperti itu suatu hari nanti.
Memiliki sosok panutan seperti beliau sebagai Senpai adalah suatu keberuntungan.
"Hei Mayu, apa yang kau bicarakan dengan Mino-senpai?"
Teman datang mendekat dan bertanya padaku.
"Rahasia."
"Enaknya, bisa berbicara berdua dengan Mino-senpai."
Aku pun berpikiran yang sama. Mino-senpai memiliki aura yang begitu anggun hingga terasa sulit didekati.
Untuk kami para junior, hanya untuk menyampaikan pesan penting pun sudah membutuhkan keberanian besar.
Tapi entah karena kesamaan pandangan terhadap cinta, aku merasa dekat secara sepihak dan bisa dengan mudah mengajak Mino-senpai berbicara.Di dalam klub, akulah satu-satunya junior yang bisa sering berbicara dengan Mino-senpai, dan hal itu menjadi kebanggaan tersendiri untukku.
Klub yang dipimpin oleh Mino-senpai adalah tempat yang memberikan banyak rangsangan untukku.
Di klub basket putri, ada banyak teman yang berbagi suka dan duka bersama.
Ada juga ketegangan khas yang tidak pernah kurasakan dalam hidupku sebelumnya, dan aku sangat menantikan apa yang bisa kupelajari di tempat ini.
Aku yakin, ke depannya akan ada kesenangan baru yang menantiku.
Aku yakin, akan ada pelajaran baru yang akan kudapatkan.
──Tapi pelajaran yang kudapat dari klub basket putri bukanlah tentang ikatan atau kerja keras.
Melainkan kali menerima curhat tentang cinta bukanlah sesuatu yang seharusnya kulakukan.
Kalo tidak mengenal cinta bisa membuat hidup menjadi sulit.
Kalo menyesuaikan diri dengan pendapat mayoritas membuat hidup menjadi lebih mudah.
Melalui berbagai pengalaman itulah, ketika aku masuk SMA dan waktu pun berlalu, perlahan-lahan nilai-nilaiku kembali mengalami perubahan.
★★★
──Apa cinta benar-benar sesuatu yang seindah itu?
Bahkan setelah menjadi siswi SMA, aku tetap belum bisa menganggap cinta sebagai sesuatu yang indah secara jujur.
Tapi, kesulitan hidup yang muncul karena tidak mengenal cinta terlihat begitu nyata, membuatku mau tifak mau harus memikirkannya.
Kalo aku terus diam saja, akan semakin sulit untuk mengikuti pembicaraan teman-teman.
Aku tahu alasan kenapa cerita cinta terasa membosankan bagiku adalah karena aku belum pernah menjadi pelakunya.
Aku sadar kalo diriku yang tidak menjalani cinta ini adalah pengecualian.
Meski aku tahu, bayang-bayang orang tuaku terus terlintas di benakku, membuatku tidak bisa bergerak, dan situasi ini pun tak pernah berubah.
Sambil mengangguk seperti boneka Akabeko, aku hanya berharap waktu cepat berlalu.
Saat mengobrol dalam kelompok dan topiknya adalah hal yang tidak kuketahui, waktu terasa berjalan sangat lambat.
Waktu seperti itu adalah yang terburuk.
Seolah-olah ada seseorang yang terus-menerus memberitahuku kalo aku tidak normal.
...Aku tidak mau terus seperti ini.
Aku menyukai hal-hal yang menyenangkan.
Tapi karena tidak mengenal cinta, pembicaraan dengan teman-teman mulai terasa membosankan.
Kehidupan sehari-hariku pun perlahan kehilangan warnanya.
Pemandangan yang tadinya penuh warna berubah menjadi hitam putih.
Bukan cinta itu sendiri yang kuinginkan, melainkan nilai tambah yang dibawa oleh cinta.
Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda tentang bagian mana dari cinta yang dianggap penting, tetapi yang kuinginkan hanyalah perasaan menyenangkan.
Karena hidup hanya sekali, tentu saja lebih baik kalo dipenuhi dengan kesenangan.
Aku teringat kalo kedua orang tuaku pun selalu mencari kesenangan, dan meskipun aku agak kesal karena ternyata aku mirip dengan mereka, pada akhirnya beginilah diriku dan aku tidak bisa mengubahnya.
──Kalo begitu, tindakan apa yang harus kuambil?
Kalo perbedaan dengan orang lain menjadi penyebab kurangnya kesenangan, maka aku hanya perlu menjadi sama seperti mereka.
Sejak kesadaran itu muncul, aku mulai berusaha bersikap dan bertindak dengan mempertimbangkan lawan jenis.
Setelah mengubah sikap dinginku yang selama ini kutunjukkan, aku mulai memiliki banyak teman laki-laki.
Aku yakin, di antara mereka pasti ada seseorang yang bisa kusukai.
...Tapi, kenyataan tidak semanis itu.
Tidak ada satu pun laki-laki yang terasa bisa kusukai, dan aku tidak pernah menerima satu pun pernyataan cinta.
Pada musim panas di tahun kedua SMA, pertanyaan yang entah sudah keberapa kalinya kembali dilontarkan oleh temanku, Yuuko.
"Hey, Mayu, apa benar kau belum pernah pacaran? Itu sebabnya kau menolak Tatsu-senpai?"
"Bukan, kok. Soalnya kami belum terlalu dekat, jadi aku malah jadi takut."
"Padahal dia kelihatan begitu baik, lho?"
"Laki-laki itu serigala! Kau juga hati-hati, Yuuko. Jangan-jangan pacarmu nanti—"
Aku mengelak dengan nada bercanda.
Dengan berkata seperti itu, biasanya mereka akan tertawa dan menghentikan topiknya.
Karena aku berada dalam kelompok teman yang cukup menjaga norma, pembicaraan tentang seksualitas yang terlalu gamblang masih terasa jauh, penuh rasa ingin tahu namun juga takut.
Lingkungan SMA masih dipenuhi laki-laki yang memandang perempuan dengan angan-angan, dan kami para perempuan, lebih banyak merasa takut daripada tertarik.
Tapi, keseimbangan itu tiba-tiba saja runtuh.
Setelah mendengar jawabanku, wajah Yuuko memerah, dan teman-teman lain saling bertukar pandang.
"Eh? Jadi akhirnya?"
Ketika aku bertanya, Yuuko memalingkan wajah.
"...Su-Sudahlah, kita hentikan pembicaraan ini!"
Dengan satu kalimat itu, teman-teman yang lain segera membanjiri Yuuko dengan pertanyaan.
Yuuko pun, meski malu, menjawab satu per satu.
Timbangan semua orang mulai miring, dari rasa takut ke rasa ingin tahu.
Sementara timbangan milikku tidak bergeming.
Ah, aku ditinggal lagi.
Teman-teman dekatku mulai melangkah ke dunia yang berbeda. Dunia dewasa yang tidak kukenal. Aku belum pernah merasa ingin punya pacar. Aku belum pernah menjalani cinta yang sebenarnya.
Taoi, perasaan terdesak karena hanya diriku yang belum tahu dunia itu semakin membesar.
Apa aku akan terus berjalan di jalan yang berbeda dari mereka?
Tentu, kalo aku punya pandangan hidup yang menerima hal itu, tidak akan jadi masalah.
Tapi aku menginginkan kebahagiaan yang setara dengan kebanyakan orang. Dan dalam bayanganku tentang kebahagiaan yang wajar itu, cinta juga termasuk.
Itu sebabnya aku jadi semakin cemas.
Meskipun aku tidak tertarik pada cinta, rasa terpaksa untuk harus menjalaninya justru tumbuh subur.
Nilai yang kuterima dari orang tuaku—'menambah waktu yang menyenangkan'—justru kini menjadi sesuatu yang menyakitkan untukku.
Meski aku menyadari kalo semua ini adalah kebalikan dari tujuan awal, aku tetap tidak bisa menyerah.
Aku ingin seseorang menghancurkan nilai-nilai yang selama ini kujunjung tinggi.
"Apa tidak ada seseorang yang baik, ya..."
Ucapan yang tanpa sadar keluar dari mulutku di rumah itu, adalah ungkapan yang sangat umum, terdengar hampir setiap hari.
Tapi, mungkin ini pertama kalinya keluar dari mulutku sendiri.
Tentu saja, makna yang kumaksud mungkin sedikit berbeda.
Orang baik yang dimaksud oleh kebanyakan orang adalah sosok yang mampu melampaui standar yang mereka tetapkan sendiri.
Sosok yang sesuai dengan harapan.
Sedangkan orang baik menurutku adalah──
★★★
Aku cukup giat belajar untuk ujian masuk, dan berhasil melanjutkan pendidikan ke kampus ternama.
Untuk menikmati masa-masa terakhir sebagai pelajar, tidak ada lingkungan yang lebih ideal daripada ini.
Di tempat ini, ada banyak hal yang ingin kulakukan.
Aku ingin belajar. Aku ingin kembali bergabung dalam kegiatan klub. Aku ingin mengenal banyak orang dan menyerap beragam pandangan. Lalu──aku ingin jatuh cinta. Aku ingin punya kekasih dan merasakan hal-hal khas pasangan.
Itulah sebabnya, tanpa memberi tahu teman-temanku, aku ikut serta dalam acara perkemahan gabungan mahasiswa tahun pertama dan ke-2.
Kalo aku tetap bersama teman-teman, segalanya pasti akan berjalan seperti biasanya.
Aku merasa kalo aku tidak jatuh cinta selama masa kuliah ini, mungkin aku tidak akan pernah mendapat kesempatan lagi.
Karena itu, aku benar-benar bersemangat mengikuti perkemahan yang dianggap sebagai simbol kehidupan kampus yang cerah.
Orang bilang cinta datang secara tiba-tiba, tapi itu berlaku untuk mereka yang sudah beberapa kali jatuh cinta.
Untukku yang bahkan belum pernah merasakannya sekali pun, kata-kata itu jelas tidak berlaku.
Ini berbeda dengan hanya sekadar 'belum pernah punya pacar'.
Perkemahan ini adalah kesempatan pertama dan terakhirku.
Aku harus menghadapinya dengan kesungguhan seperti itu.
Karena itu, aku sengaja tidak bergabung dalam kelompok perempuan, dan memilih untuk menunggu.
Menunggu hingga ada laki-laki yang menyapaku. Sampai harus melakukan hal seperti ini, mungkin memang cara pandangku sudah berbeda dari orang pada umumnya.
Tapi kali aku tetap menjalani hidup dengan cara yang biasa, aku tidak akan pernah merasakan cinta. Karena itu, aku harus melakukan sesuatu yang berbeda.
"Apa kau sendirian?"
Suara ceria yang menyapa membuatku mengangkat wajah.
──Akhirnya datang.
Meski terkesan menyombongkan diri, aku tahu kalo aku ini menarik.
Aku tidak hanya mengandalkan penampilan alami yang telah dianugerahkan padaku, tapi juga aku berusaha keras dalam hal riasan dan penampilan.
Karena itu, bukan sekali atau 2 kali aku mendapat perhatian dari laki-laki, bahkan aku telah beberapa kali menerima pernyataan cinta.
Tapi, karena aku tidak bisa membayangkan diriku menyukai mereka, aku selalu menolak semuanya.
Tapi kali ini, aku telah memutuskan.
Kali ada yang menyatakan perasaan padaku, siapa pun orangnya, aku akan mencoba untuk menjalin hubungan dengannya.
"Aku sendirian. Namaku Shinohara Mayu."
Aku mengatakan itu sambil berdiri, dan pemuda dengan gaya rambut wolf cut itu tersenyum malu-malu.
"Wah, langsung memperkenalkan diri begitu, lucu juga! Aku Motosaka Yudo. Bagaimana kalo kau gabung dengan kelompok kami sekarang?"
Dengan nada santai dan raut wajah yang penuh keinginan untuk bersenang-senang, dia menyampaikan ajakannya.
Wajahnya cukup tampan dan tampaknya cukup disukai oleh para perempuan.
Mungkin karena aku selalu memandang cinta dari sudut pandang yang agak objektif, aku tidak langsung terbawa oleh suasana yang diciptakan Yudo-senpai.
Melihat wajahnya yang tergolong tampan, aku bisa langsung merasakan bahwa dia adalah seseorang yang cukup percaya diri.
Mungkin itu sebabnya dia mengulangi ucapannya dengan suara lantang.
Tapi, dalam situasi seperti ini, kehadiran orang seperti dia sangat membantu untuk mencairkan suasana.
Dia pasti menjadi sosok yang dapat diandalkan ketika berada dalam kelompok orang-orang yang belum saling mengenal.
Karena dia dengan sadar mengambil peran tersebut, Yudo-senpai pasti mengetahui banyak hal yang belum aku ketahui.
Orang dengan kepercayaan diri tinggi memang menyenangkan untuk dilihat.
Jauh lebih menyenangkan daripada orang yang hanya bisa mengeluh saat bersama.
Acara perkemahan gabungan yang bersifat tidak biasa ini dengan cepat memperpendek jarak antara aku dan Yudo-senpai.
Lebih tepatnya, pendekatan Yudo-senpai menjadi semakin jelas, dan aku tidak menolaknya.
Suasana luar biasa dari menyewa seluruh kawasan pegunungan untuk lebih dari seratus orang mahasiswa, membuat kami semua merasa lebih berani dari biasanya.
Perkemahan ini berlangsung selama 4 hari 3 malam.
Aku memang tidak pernah menunjukkan diriku yang sebenarnya kepada Yudo-senpai, tapi waktu yang kami habiskan bersama cukup menyenangkan.
Dan pada malam terakhir, akhirnya aku dipanggil oleh Yudo-senpai ke balkon pondok.
"Mayu-chan, apa kau sekarang punya pacar?"
"Tidak. Kalo pun aku punya, mungkin aku tidak akan ada di sini sekarang."
Aku menjawab demikian sambil melirik ke dalam ruangan.
Di dalam pondok, berjejer banyak kotak pendingin, dan beberapa mahasiswa sedang berbaring untuk menetralkan efek alkohol.
Seluruh pondok yang terletak di kaki gunung telah disewa, dan pondok tempat kami berada difungsikan sebagai tempat penyimpanan minuman.
Di bak mandi yang diisi air dingin, puluhan kaleng bir dan chūhai yang tidak muat dalam kotak pendingin dibiarkan mengapung.
"Apa kau kurang puas minumnya?"
Yudo-senpai tampaknya menangkap arah pandanganku dan bertanya dengan nada penuh harap.
"Tidak, saya masih di bawah umur."
"Haha, kau serius sekali."
"Bukan begitu." Jawabku dalam hati.
Sebenarnya, minum minuman keras meski masih di bawah umur adalah hal yang cukup sering terjadi di banyak kampus, jadi aku tidak terlalu mempermasalahkannya.
Yang jadi sorotan karena minum di bawah umur biasanya hanya kalangan selebriti.
Aku sendiri mengikuti perkemahan ini dengan pemikiran kalo situasinya memungkinkan, aku mungkin akan minum.
Aku memang sempat membayangkan suasana di mana semua orang duduk bersama sambil minum dan berbicara dari hati ke hati.
Tapi, pemandangan di hadapanku sangat berbeda dari yang kubayangkan.
Beberapa orang muntah ke dalam kardus yang telah disiapkan, lalu tanpa membilas mulut mereka, kembali minum alkohol dan muntah lagi.
Permainan yang menjadikan minum dalam sekali tegukan sebagai hukuman hanyalah ajang keributan.
Gambaran tentang minum yang ada dalam benakku sangat jauh berbeda dari kenyataan ini, sehingga aku sama sekali tidak merasa ingin ikut minum.
Mungkin menyadari hal itu, Yudo-senpai mengangkat sudut bibirnya.
"Aku tidak akan memaksa orang minum secara berlebihan."
"...Keluargaku memang tidak kuat minum alkohol."
"Kalo begitu, apa kau mau ikut menari? Ada kakak tingkat yang bawa peralatan DJ, katanya sedang bikin acara seru di pondok seberang."
"Aku lebih memilih untuk tidak ikut."
Nada dingin dalam suaraku membuat Yudo-senpai tampak bingung dan sedikit memiringkan kepalanya.
Itu wajar, karena selama 3 hari ini aku belum pernah bersikap seperti ini.
Aku kemudian teringat pada tujuan awal dan memaksakan diri untuk tersenyum.
"Jadi, Yudo-senpai. Sebenarnya, kau ingin bicara soal apa?"
"Mayu-chan, kau tidak sedang memaksakan senyum, kan?"
Ucapan Yudo-senpai itu membuat wajahku seketika menegang.
Selama 3 hari ini, aku menyadari kalo meskipun Yudo-senpai tampak ringan dan santai, dia sangat memperhatikan ekspresi orang lain.
Pada hari kedua, ketika dia mabuk berat, memang tidak ada yang bisa dibanggakan darinya.
Tapi saat sadar, aku bisa memahami kenapa dia mendapatkan begitu banyak perhatian dari para perempuan.
"Kadang, aku memang memaksakan senyumku."
Itulah pertama kalinya aku mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya.
Aku tidak bisa mengatakan hal ini kepada teman-temanku.
Bahkan kepada orang tua pun aku tidak ingin mengatakannya.
Tapi entah kenapa, aku bisa mengatakannya kepada Yudo-senpai.
Mungkin karena kami baru saling mengenal, dan mungkin juga karena suasana perkemahan ini turut mempengaruhiku.
Yudo-senpai tersenyum kecil, lalu mengusap hidungnya yang mancung.
"Lanjutkan ceritamu. Aku ingin mendengarnya."
Sebenarnya aku tidak menginginkan tanggapan apa pun, jadi aku merasa agak berat.
Tapi karena aku sendiri yang membuka percakapan ini, mungkin sudah menjadi kewajibanku untuk melanjutkannya.
"Aku punya teman dekat, tapi aku sering sekali tersenyum hanya demi menjaga suasana. Mungkin semua orang juga melakukannya, tapi...frekuensiku mungkin lebih banyak dibanding orang pada umumnya."
"Begitu. Menurutmu kenapa bisa begitu?"
"Mungkin karena aku tidak punya kekasih."
Ketika tidak berada dalam situasi yang sama dengan orang lain, sulit untuk bisa benar-benar merasa terhubung.
Karena itulah aku ingin menjadi orang yang 'normal', dan itulah alasan aku mengikuti perkemahan ini. Dan kini, tujuan itu tampaknya sudah hampir tercapai.
"Mayu-chan, selama ini kau sudah pernah pacaran dengan berapa orang?"
"...Belum pernah."
"Serius?"
Dengan nada suara yang terkejut, aku sedikit menundukkan kepala.
Kalo reaksinya seperti ini hanya karena aku belum pernah memiliki kekasih, bagaimana kalo aku mengatakan bahwa aku bahkan belum pernah merasakan jatuh cinta?
"Begitu, jadi itu alasanmu. Hmm, kalo begitu masalah itu bisa cepat teratasi, kan?"
Yudo-senpai menatapku dan tersenyum lebar.
Ternyata, firasatku tadi benar.
"Mayu-chan, apa kau mau pacaran denganku?"
Dari semua pengakuan cinta yang pernah aku terima seumur hidup, ini adalah yang paling ringan cara penyampaiannya.
Dia pasti sudah sangat terbiasa dengan kalimat itu.
Bagaimana bisa tahu seseorang suka pada orang lain, padahal belum pernah berkencan? Aku ingin bertanya demikian, tapi akhirnya aku membatalkan niat itu.
"Tentu."
Kalo ada yang menganggap pengakuan cinta ini sangat berarti, maka dengan cara seperti ini, aku bisa menebak bahwa pengalaman berpacaran Yūdō-senpai pasti cukup banyak.
──Aku juga ingin mencoba merasakan hal-hal seperti itu, seperti pasangan pada umumnya.
Aku rasa dia bisa memimpin hubungan ini.
Meskipun aku tidak begitu tertarik dengan cinta, aku yakin dia akan mengajarkan banyak hal.
Berpikir begitu, aku akhirnya menerima pengakuan cinta pertama kali dalam hidupku.
Aku sedikit terkejut dengan diriku sendiri yang merasa senang bisa membuat Yudo-senpai bahagia, dan tanpa sadar aku mengangkat pandanganku sedikit ke atas.
Sepertinya untuk Yudo-senpai, ini adalah jawaban yang sudah diperkirakan, karena reaksinya tidak terlalu besar.
Di sudut pandanganku, tirai bintang yang berkilauan tidak bergerak sedikit pun.
★★★
Setelah mulai berpacaran, kami sering berkencan.
Pilihan tempat kencan yang dipilih Yudo-senpai sangat bagus, memenuhi standar 'pasangan sejati' menurutku, dan setiap kencan selalu memberikan perasaan yang baru dan menyegarkan.
Berkencan dengan lawan jenis memang banyak memberikan keuntungan.
Ada tempat-tempat dengan tarif lebih murah untuk pasangan, dan aku bisa masuk ke restoran ramen yang tadinya terasa canggung.
Acara-acara untuk pasangan yang bisa ditemukan lewat pencarian internet pun banyak, dan aku bisa mendapatkan pengalaman yang hanya bisa didapatkan setelah memulai hubungan.
Yudo-senpai sendiri memiliki kemampuan untuk memimpin para gadis, sehingga kami hampir tidak pernah merasa bosan saat berkencan.
Aku merasa senang bisa mengejar perasaan orang-orang di sekitar kami yang tampaknya menikmati kencan seperti ini.
Tapi, selalu ada satu hal yang terasa berat dalam setiap kencan.
"Eh, Mayu."
"Ya?"
"Kenapa kau tidak datang ke rumahku lagi hari ini?"
Di akhir kencan, Yudo-senpai mengajakku ke rumahnya.
Karena aku bukan anak kecil lagi, aku tahu betul apa arti ajakan itu.
Kami sudah menjadi pasangan, jadi tentu saja, hal seperti itu akan terjadi suatu saat nanti.
Aku paham itu. Sejak aku menjadi pacarnya, aku sudah mempersiapkan diri untuk hal itu, dan aku pun ingin tahu dunia itu suatu saat nanti.
Tapi, saat itu benar-benar terjadi, aku merasa ragu.
Ada ketakutan untuk melakukannya, tetapi ada alasan lain juga.
Kalo aku melakukannya sekali, pasti setelah itu, hambatan untuk melakukannya akan semakin rendah.
Suatu hari, hal itu akan menjadi hal yang biasa, dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah hampir 3 bulan sejak kami berpacaran. Aku merasa mungkin masih terlalu cepat, dan ada ketidaknyamanan dalam pikiranku tentang berhubungan tubuh dengan orang ini.
Untuk pasangan di usia universitas, berhubungan fisik juga menjadi bagian dari apa yang dianggap 'romantis'.
Aku seharusnya sudah tahu kalo hal itu termasuk dalam apa yang aku cari, tapi entah kenapa aku merasa ragu.
Yudo-senpai dan aku hanya pernah berpegangan tangan sebentar.
Setelah itu, aku merasa tidak nyaman kalo disentuh, jadi aku selalu menghindari kontak fisik.
Padahal, aku tidak pernah punya gambaran tentang apa itu hubungan romantis.
Aku menyukai diriku sendiri.
Karena itu, aku berpikir apakah aku bisa mempercayakan tubuhku kepada seseorang yang mungkin tidak menyukaiku lebih dari diriku sendiri.
Tapi, kalo aku terus berpikir seperti itu, kesempatan untuk melakukannya mungkin tidak akan datang.
Aku akan terus menjadi tidak dewasa, dan tidak bisa mengejar orang lain.
"Kenapa kau tidak mau datang?"
"...Ya. Aku masih, sedikit ragu."
Aku sudah beberapa kali menolak ajakannya, dan aku tidak tahu sudah berapa kali.
Pada awalnya, Yudo-senpai tertawa, tapi belakangan ini aku merasa sedikit ketegangan dalam sikapnya.
"Hei, Mayu. Kau ingin berubah, kan?"
"Ya. Aku benar-benar senang kau menjadi pacarku. Berkatmu, aku bisa menjadi orang yang lebih normal."
"Kalo begitu, kenapa tidak sekarang?"
Di akhir kencan, dia selalu mengajakku ke rumahnya, tapi ini pertama kalinya dia menunjukkan ketidaknyamanannya.
Aku juga sudah menyadari bahwa restoran yang selalu dia pilih selalu dekat dengan hotel.
"Yudo-senpai, kenapa kau menembakku?"
"Karena aku pikir akan menyenangkan kalo kita pacaran."
"Ya, itu memang benar."
Ketika sudah menjadi mahasiswa, ada sebagian orang yang menganggap kalo perasaan cinta dalam hubungan antara pria dan wanita akan datang setelah hubungan itu berjalan. Dan pasti, ketika sudah menjadi pegawai, jumlah orang seperti itu akan semakin banyak.
Ada juga orang yang berpacaran setelah melakukan apa yang harus dilakukan.
Orang yang mampu melewati batasan dalam dirinya sendiri, pasti ada yang tidak akan menolak lawan jenis.
Aku pun mungkin saja termasuk orang yang seperti itu, pikirku saat itu.
"Ayo, kita pergi."
Yudo-senpai dengan lembut mengelus kepalaku.
"Tidak!"
Aku tanpa sadar menjauh dari Yudo-senpai.
Sensasi yang terasa di atas kepalaku bukanlah sesuatu yang terasa aneh, melainkan lebih tepat disebut sebagai perasaan tidak nyaman.
"Hah, kenapa?"
"Aku... rasa itu masih terlalu cepat."
Aku sadar kalo alasan itu terdengar seperti alasan yang dipaksakan.
Mengelus kepala seperti itu pasti dilakukan oleh pasangan mana pun.
Batasan yang ada dalam diriku seharusnya mudah dilalui, bahkan dalam beberapa bulan kedepan, semua orang pasti akan melampauinya dengan mudah.
Aku tahu cara menolaknya seperti ini bukanlah sikap pacar.
Tapi, justru dari situlah aku menyadari bahwa aku ingin menjalani hubungan yang menghargai perasaan.
Meskipun aku dulu tidak tertarik dengan cinta, aku bahkan menjalin hubungan hanya dengan keinginan untuk merasakan hal-hal romantis, aku ternyata menginginkan cinta yang murni.
"...Maaf, Yudo-senpai."
"Jangan minta maaf. Itu malah membuatku merasa lemah."
Kali ini, Yudo-senpai benar-benar mengerutkan keningnya dan mengeluarkan desahan kecil.
Karena rasa bersalah telah melukai harga dirinya, aku kembali membungkukkan kepala.
Aku sudah bersikap ambigu, menerima pengakuan cintanya, tapi kemudian menolaknya dengan alasan yang samar. Ini sungguh cerita yang buruk menurutku.
"Maaf."
Aku kembali meminta maaf dan tanpa sadar menutup mulutku dengan tangan.
Melihat gerakan itu, Yudo-senpai mengerutkan bibirnya.
"Setelah semua sikap sok manismu, kenapa kwi malah menolak ajakan ku untuk melakukan itu."
"Apa?"
Aku mengeluarkan suara bodoh dan menatapnya.
Yudo-senpai merapikan poni yang sudah diatur dengan wax, dengan ekspresi tidak senang.
"Ini sudah seperti penipuan. Setiap hari, dengan tatapan menggoda dan segala macam..."
Aku tidak langsung mengerti maksud kata-katanya dan hanya bisa berkedip bingung.
──Dia pasti salah paham.
Untuk ku, tatapan ke atas memang hal yang bisa dilakukan dengan mudah kalo disadari, tapi sebaliknya, kalo tidak disadari, hal itu menjadi sulit dilakukan.
Meskipun ada kesempatan untuk melakukan tatapan ke atas dengan teman sejenis, aku selalu berusaha menghindarinya dengan lawan jenis.
Kalo aku melakukan hal itu tanpa niat memiliki hubungan, itu pasti akan dianggap sebagai penipuan, dan saya juga berusaha untuk tidak terlihat terlalu manis di mata Yudo-senpai.
Karena aku, sebenarnya, belum benar-benar bisa mencintai Yudo-senpai sebagai pacar.
Bahkan, akhir-akhir ini, aku merasa sedikit ragu apakah aku menyukainya sebagai seorang manusia.
Tapi, Yudo-senpai tidak menyadari pemikiran ku dan terus melontarkan kata-kata tanpa ragu.
"Aku tahu kau mungkin tidak sadar, tapi itu bagaimana perasaan kita yang lain. Ini benar-benar penipuan."
Alasan kami berpacaran adalah karena aku ingin melakukan hal-hal yang pasangan lakukan.
Tapi, meskipun dalam kondisi seperti ini, pernyataan Yudo-senpai tetap mengejutkan ku.
Apapun alasannya, dia adalah pacar pertama ku.
Apa ini hukuman dari Tuhan karena aku menjalin hubungan dengan alasan yang mudah?
Tapi Tuhan, kalo itu benar, maka kau juga bertanggung jawab memberikan ujian yang tidak perlu ini.
Kau yang menciptakan lingkungan yang menanamkan nilai-nilai yang berbeda padaku.
Ketika pemikiran ini muncul, aku tidak bisa menahan rasa ketidakpuasan terhadap keadaanku.
Kenapa hanya aku yang tidak bisa menjalani hubungan cinta dengan cara yang biasa? Apa karena orang tua ku bercerai dan mengubah nilai-nilai ku?
Aku berjuang untuk mengubah nilai-nilai tersebut.
Tapi, meskipun prosesnya bagaimana pun, memulai hubungan dengan alasan yang egois sepertinya bukanlah hal yang benar.
Aku melibatkan orang lain dengan alasan yang egois.
Tanpa sadar, aku melakukan hal yang sama seperti orang tua ku, dan aku tidak bisa menahan tawa sinis.
"Apa yang kau suka dari ku?"
Aku sudah lama ingin tahu.
Yudo-senpai selalu membuat ku senang saat kencan. Tapi, aku selalu merasa seperti sedang dinilai.
"Wajah."
Yudo-senpai berkata begitu lalu terdiam.
Aku yang mengira akan ada kelanjutan, justru merasa terkejut dan tanpa sadar menatapnya.
"Apa itu saja?"
"Ya, sekarang. Aku tipe yang suka dari wajah dulu, baru kemudian melihat kepribadiannya."
Setelah itu, Yudo-senpai menarik napas sejenak dan melanjutkan.
"Tapi sekarang, jujur, itu sudah tidak cukup lagi untuk kita."
"Begitu... ya?"
Aku berusaha memperbaiki penampilan ku. Jadi, senang rasanya kalo penampilan yang aku usahakan disukai.
Tapi kalo jawabannya hanya itu saja, aku merasa sangat sedih, dan aku langsung menyadari hal itu.
Yudo-senpai, meskipun dengan caranya sendiri, pasti tahu kalo dia juga menarik bagi banyak wanita.
"Tadi kau bilang ingin menjadi normal, tapi cara berpikirmu sudah salah. Kau berpikir ingin pacaran karena ingin menjadi normal, padahal itu sudah melenceng. Sejak awal kau sudah salah. Aku sudah berpikir begitu sejak kita berangkat camping."
Yudo-senpai kembali berbicara tanpa basa-basi. Mungkin ini adalah perasaan sebenarnya.
Seperti halnya aku yang tidak sepenuhnya membuka hati, dia pun menyembunyikan perasaannya dari ku.
Memang, kali dilihat dari luar, itu adalah hal yang wajar, tapi sebagai orang yang terlibat, aku tidak bisa tidak merasa terkejut. Mungkin otak ku yang bermasalah.
"Usia di mana perasaan suka menjadi segalanya sudah lama berlalu. Keinginan pria untuk berpacaran itu dipengaruhi banyak hal, seperti nafsu atau pandangan masyarakat. Perempuan juga, meskipun dengan proporsi yang berbeda, hampir sama."
"Memang ada tipe hubungan seperti itu, tapi aku───"
"Kita sudah mahasiswa, kapan lagi berhenti bicara seperti anak kecil?"
Suara Yudo-senpai terdengar marah. Mungkin dia sengaja menunjukkan emosinya. Dia mungkin sedang menunggu ku untuk meminta maaf, dan ingin membangun kembali hubungan dengan posisi yang lebih unggul. Aku tidak yakin, tapi itu yang aku rasakan.
Tapi kali ini aku yang memulai masalah. Meskipun sikap dan kata-katanya tidak menyenangkan, mungkin ada juga kebenaran dalam apa yang dia katakan.
Kalo ditelusuri, sebenarnya Yudo-senpai adalah korban dari keinginan egois ku untuk pacaran.
Aku paham itu dengan baik.
Tapi aku bukanlah orang yang bisa diam begitu saja dalam situasi seperti ini.
"Kau terlalu berlebihan."
"Eh?"
Yudo-senpai terlihat terkejut dengan respons ku. Padahal dia yang pertama kali melontarkan kata-kata tajam, tapi sepertinya dia tidak menyangka akan ada balasan.
"Aku tidak tahu bagaimana wanita-wanita yang pernah kau temui, dan aku juga tidak tahu siapa saja orang-orang di sekitarmu. Mungkin di sekitarmu memang banyak orang seperti itu."
Lingkungan setiap orang berbeda. Tapi, kenapa dia bisa dengan begitu saja mengatakan kalk dirinya benar hanya karena pendapat orang di sekitarnya sama?
"Aku berbeda. Aku menghargai diriku sendiri. Aku mencintai diriku sendiri. Jadi, wajar kalo aku tidak ingin disentuh oleh orang yang tidak aku sukai."
Pernyataan ku mungkin akan dianggap sebagai pembelaan diri.
Tapi aku sudah memutuskan sekarang.
Kali tempat itu tidak memungkinkan saya menjadi diriku sendiri, aku tidak akan pergi ke sana.
Setidaknya, dalam hubungan pacaran, aku ingin tetap menjadi diri saya sendiri.
Setelah mengungkapkan semua yang ingin aku katakan, Yudo-senpai menjelaskan kalo itu bukan maksudnya, lalu meminta maaf.
Bukan karena dia benar-benar suka padaku dan merasa perlu meminta maaf, tapi lebih karena dia merasa kalk kami berpisah sekarang, itu tidak akan menguntungkan baginya.
Itu terdengar seperti kata-kata yang diucapkan dalam keadaan frustrasi.
──Betapa menyedihkannya aku.
Mengingat kembali perilaku ku sebelumnya, aku merasa benar-benar terpuruk.
Aku sudah terbangun dari mimpi.
Seorang yang belum pernah jatuh cinta sebelumnya, tiba-tiba berpacaran dengan seseorang yang tidak cocok, dan harapan agar perasaannya bisa menyusul tentu saja tidak mungkin.
Tapi, aku sudah memutuskan.
Aku akan menemukan tempat di mana akh bisa menjadi diri ku sendiri.
Aku akan mulai dengan mengubah lingkungan ku menjadi tempat di mana aku bisa menjadi diri saya sendiri.
Aku percaya itu akan membawa ku menuju kebahagiaan ku.
"Pada malam Natal, aku akan memesan tempat di restoran."
Mendengar kata-kata ku, Yudo-senpai terlihat bingung.
Malam Natal yang akan datang, hari di mana pasangan-pasangan merayakannya.
Tidak ada pacar yang merasa keberatan dengan ajakan seperti ini.
Mungkin karena ajakan ku, Yudo-senpai memutuskan untuk mengubah suasana hatinya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, dia akhirnya membuka mulut.
"Ah, tentu. Aku akan membuat Mayu-chan jatuh cinta padaku."
... Jawabannya terdengar seperti omong kosong.
Perasaanku sudah benar-benar dingin, meskipun dia tetap tersenyum dengan ceria.
Aku pun membalas senyumnya dengan malu-malu.
★★★
"── Eh?"
Dengan informasi dari temanku, aku mencari akun Instagram-nya.
Di foto yang baru saja diunggah oleh Yudo-senpai, ada seorang wanita yang aku tidak kenal.
Kalo hanya itu, aku mungkin tidak akan terlalu peduli, tapi temanku menyarankan agar aku melihat akun wanita tersebut.
Wanita itu terlihat berpose dengan Yudo-senpai di sampingnya, memegang kaleng minuman dan mengedipkan mata.
Aku mengetuk foto tersebut, dan aku bisa langsung masuk ke akun wanita itu.
Postingan-postingan sebelumnya berisi tentang barang-barang yang baru dibeli dan foto-foto perjalanan.
Tidak ada yang mencurigakan, namun aku merasa ada yang aneh dan memutuskan untuk mengecek cerita (story) akun tersebut.
Story adalah fitur yang menghilang setelah 24 jam, berbeda dengan postingan yang tetap ada.
Karena story sering digunakan untuk berbagi hal-hal sehari-hari, aku ingin melihat lebih lanjut.
Setelah memeriksa story-nya, jari saya berhenti.
『Kunjungan ketiga ke Unishyland! Terima kasih banyak untuk dua hari ini, Yudo-kun ♬』
Foto itu menunjukkan tiket dengan tanggal kemarin yang terlampir dengan rapi.
Sejak Yudo-senpai memberi tahu kalo dia akan pulang kampung minggu ini, aku sudah merasakan ada yang tidak beres, tapi ternyata dia sangat ceroboh dalam menyembunyikannya.
Aku marah karena dia berselingkuh, tapi yang lebih membuat ku kesal adalah betapa cerobohnya dia sehingga akhirnya ketahuan.
Setelah mengirim pesan terima kasih kepada teman ku, aku langsung menelepon Yudo-senpai tanpa ragu.
Kami pernah beberapa kali berbicara lewat telepon, tapi suara dering kali ini terdengar begitu dingin dan tidak ada perasaan.
『Hallo?』
Suara Yudo-senpai sedikit ceria, sepertinya dia senang karena saya yang menelepon. Aku sedikit tersenyum masam.
Meskipun dia berselingkuh, sepertinya dia masih suka pada saya.
"Yudo-senpai, apa masih yang kau sukai dari ku hanya wajah ku?"
『Tidak, sekarang aku suka semuanya!』
"Begitu ya. Yudo-senpai, apa kau berselingkuh?"
Suara ku datar saat aku bertanya seperti itu, dan dari telepon terdengar 『Eh, kenapa?』
Aku sebenarnya tidak ingin tahu lebih banyak tentang Yudo-senpai, tapi dari sikapnya, aku sudah bisa menebak.
『Tidak, tidak, itu bukan apa-apa. Aku kan pulang kampung minggu ini.』
"Apakah kau senang saat kencan di taman hiburan dengan Yuki-san?"
Aku menahan diri untuk tidak menambahkan kalo mereka juga menginap bersama. Aku yakin dengan pertanyaan ku, dia akan segera sadar.
Tapu, berbeda dengan dugaan ku, Yudo-senpai sepertinya belum sepenuhnya menyadari apa yang sedang terjadi.
『Kenapa tiba-tiba nama Yuki muncul? Dan, kenapa kau tahu tentang Yuki?』
"Di Instagram Yuki-san, dia baru saja update story. Apa kau tidak menyuruhnya diam?"
Dengan kata-kata itu, sepertinya dia baru menyadari, dan ada beberapa detik keheningan.
Aku mendengar suara napasnya yang sangat pelan, dan itu hanya membuat ku semakin tidak nyaman.
『Aku rasa itu tidak perlu.』
"Maaf?"
Aku hampir tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Apa yang sedang dia katakan?
『Memang benar kami pergi ke taman hiburan, tapi kami hanya bermain bersama, itu saja.』
"Apa kalian juga menginap bersama?"
Setelah aku mengucapkan itu, aku menyesal. Pasti dia tidak tahu kalo aku sudah tahu sejauh itu.
Mungkin lebih baik kalo dia membela diri dengan mengatakan kalo itu hanya perjalanan sehari.
Meskipun kali ini dia ceroboh, biasanya Yudo-senpai cukup cerdas.
Itu sudah jelas terlihat dari cara dia merencanakan kencan dan percakapan sehari-hari.
Tapi kalo dia sudah minum, kecerdasannya menurun drastis dan dia hanya berpikir tentang dirinya sendiri. Tapi kali ini, aku yakin dia sedang sadar.
『Kami hanya bermain bersama 2 hari berturut-turut, kami tidak menginap bersama. Tentu saja tidak, karena Mayu-chan ada di sini.』
"Di foto yang diunggah oleh Yuki-san, ada struk hotel yang terlihat."
『Hah?』
Suara pendek keluar dari mulutnya, dan keheningan kembali menyelimuti.
Aku menghela napas dalam hati, merasa dia memang orang yang mudah terbaca.
"Aku hanya menggoda saja. Tapi, dari reaksi tadi, akh sudah tahu."
『...Su-sudahlah, jangan memaksakan kesimpulan seperti itu! Aku tidak berselingkuh!』
"Bagaimanapun kenyataannya, aku merasa diselingkuhi setelah melihat Instagram Yuki-san. Standar mu tidak ada hubungannya."
『Ya, tapi bagaimana pun, kami tidak berciuman──』
"Yang penting adalah bagaimana perasaan ku."
『Memangnya, ada batasnya juga!』
Yudo-senpai berkata begitu, lalu melanjutkan dengan nada agak memaksa.
『Pasangan suami istri saja, ketika kesempatan untuk berhubungan intim hilang, itu bisa jadi alasan perceraian. Hubungan kita memang berbeda, tapi mungkin ada kesalahan juga dari pihak Mayu.』
"Sudahlah."
Sungguh, sudah cukup. Mungkin Yudo-senpai punya teori sendiri, tapi nilai-nilai kami terlalu berbeda.
Bersama orang ini, aku rasa tidak akan ada hari di mana aku bisa menjadi diri ku sendiri.
Kalo dilanjutkan, kami hanya akan membuang waktu satu sama lain.
『....Baiklah, tapi tunggu sedikit lagi. Beri aku satu kesempatan lagi.』
"...Terserah kau saja. Tapi hubungan ini mungkin akan segera berakhir."
『Untuk sekarang, itu yang terbaik. ...Tapi, bagaimana dengan malam Natal? Kau kan sudah reservasi restoran.』
"Akan aku batalkan. Sejujurnya, aku tidak bisa lagi merasa seperti itu."
『Y-ya, benar. Jadi, sampai nanti.』
Setelah kata-kata yang agak ragu itu, telepon terputus.
Mungkin Yudo-senpai menghentikan kata-kata perpisahan ku karena dia takut aku benar-benar akan mengakhiri hubungan ini.
Itu bukan karena dia masih menyukai ku, tapi lebih karena harga dirinya.
Dulu dia bilang, "Aku tidak pernah kehilangan pacar," jadi aku rasa aku hanya menjadi pengisi sementara baginya.
Dia tidak ingin kehilangan ku sampai dia mendapatkan calon pacar yang baru.
Aku sebenarnya merasa jijik dengan pemikirannya, tapi aku tidak menghentikan itu karena aku juga memiliki keuntungan dari situasi ini.
...Aku ingin membalasnya.
Aku tidak suka kalo berakhir hanya dengan pasrah begitu saja.
Setidaknya, pada akhirnya, aku ingin mengakhiri hubungan ini dengan cara ku sendiri.
Menjadikan 'balas dendam' sebagai ciri khas diri ku mungkin bisa dipertanyakan dari segi kepribadian, tapi kalo tidak memulai sekarang, aku akan kehilangan jati diri ku di masa depan.
Ini mungkin dimulai dengan cara yang canggung, tapi kalo aku ingin berubah, maka hari ini adalah saatnya.
──Betul, aku mungkin bisa coba kerja paruh waktu.
Pekerjaan model salon sudah berjalan lancar dan uang cukup, tapi mungkin akh bisa mendapatkan stimulasi baru dari arah yang berbeda.
Aku melihat-lihat lowongan pekerjaan dan akhirnya mata ku tertuju pada satu perusahaan.
'Warnai musim Natal Anda dengan kostum Santa yang menarik.'
Kalo dibandingkan dengan iklan lainnya, iklan ini jelas terlihat berbeda.
Foto yang tertera hanya menunjukkan pasangan-pasangan. Dan kostum Santa yang sangat mencolok.
Pekerjaannya adalah membantu dekorasi, memberi informasi tentang pesta, dan membagikan selebaran.
Meskipun pakaian yang sangat terbuka jelas bukanlah sesuatu yang biasa, aku sama sekali tidak merasa terganggu.
Mungkin ini adalah cara berpikir yang tidak biasa. Kalo perempuan pada umumnya melihat iklan seperti ini, pasti mereka tidak akan tertarik.
Tapi, untuk menemukan tempat di mana aku bisa menjadi diri ku sendiri, aku harus berani menunjukkan sisi yang tidak biasa, dan itu adalah satu-satunya hal yang bisa aku yakini.
Lagipula, entah bagaimana, sekarang ini adalah musim Natal.
Ibu ku dan ayah ku──telah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Natal ku menyenankan.
Mereka berdandan sebagai Santa dan membuat ku bahagia. Perasaan itu, hanya itu yang asli.
...Mungkin aku bisa mulai dari sini.
Meskipun pakaiannya agak memalukan, sepertinya memberi semangat Natal kepada orang lain bisa memberikan kepuasan tersendiri.
"Keberuntungan Natal juga ingin aku bagi."
Aku bergumam pelan dan mengambil Hp-ku.
Sambil menyentuh layar, aku berpikir.
Kalo aku mengenakan simbol Natal, mungkin aku sedikit lebih beruntung dalam urusan cinta. Mungkin ini hanya harapan yang konyol dan naif.
"Aku juga ingin mendapat hadiah."
Aku melamar pekerjaan sambil berharap dalam hati.
...Semoga aku bertemu orang yang baik.
Orang baik untuk ku adalah──seseorang yang menerima aku apa adanya.
★★★
Sekarang, di sampingku, ada Senpai. Senpai yang sedang menjalin hubungan sementara denganku selalu berinteraksi denganku dengan sikap yang hampir tidak berbeda dari biasanya. Itulah sebabnya aku suka pada Senpai.
Karena sikapnya yang sama meskipun hubungan kami bersifat sementara, itu membuktikan kalo meskipun hubungan kami berubah, Senpai akan tetap menjadi dirinya yang sama.
Aku bisa percaya kalo tempat di mana aku bisa menjadi diriku sendiri akan tetap ada, tanpa terpengaruh oleh perubahan hubungan.
Aku sudah lama ingin memastikan hal itu, dan hanya dengan mendapatkan kepastian tersebut, hubungan sementara ini terasa memiliki arti.
Sudah hampir setengah tahun sejak aku bertemu dengan Senpai.
Akhir-akhir ini, terutama, aku merasa kalo hal-hal sebelum aku bertemu dengan Senpai terasa seperti masa lalu yang jauh.
Setengah tahun ini sangat berarti dan penuh dengan kebahagiaan bagiku.
Meskipun Senpai yang duduk di sampingku sekarang tengah memandang churros dengan tatapan serius mungkin tidak akan setuju, aku merasa sangat senang setiap hari berkat Senpai.
Senpai adalah sosok yang menerima diriku apa adanya. Dalam percakapan kami, aku tidak pernah merasa tertinggal seperti dulu di masa SMA.
Itu mungkin karena aku sedikit lebih dewasa sekarang, tapi juga berkat kepribadian Senpai.
Senpai sering bercanda tentang aku yang belum tahu apa-apa tentang cinta, tapi dia tidak pernah mengucapkan hal-hal yang membuatku merasa tidak nyaman.
Itulah yang membuat percakapan kami sangat nyaman.
──Apa aku sedang jatuh cinta?
Senpai tidak pernah berusaha untuk mengubah hubungan kami menjadi hubungan pacaran.
Dia tidak pernah berusaha mendekatiku dengan cara yang tidak tepat.
Bahkan ketika kami menghabiskan waktu bersama dengan minum alkohol, dia tidak mencoba untuk menyentuhku.
Jadi, hubungan baik yang terjalin antara kami bukanlah karena alasan seperti yang dilakukan Senpai yang lain.
[TL\n: maksudnya si Yudo. Btw sorry nih hasil Tl nya gak maksimal, soalnya gua gak suka ama chapter ini sumpah, si Mayu kesanya kaya jadi wanita murahan jir.]
Senpai tidak pernah menunjukkan sifat posesif terhadapku, dan meskipun hal itu sedikit membuatku merasa tidak puas, justru karena itulah aku merasa aman untuk menunjukkan diriku yang sebenarnya.
Dan Senpai pun, seakan merespon itu, banyak membuka diri dan menunjukkan sisi asli dirinya.
Meskipun dia tidak mengucapkan kata-kata lembut atau penghiburan, dia menerima diriku yang merasa terasing dalam hal cinta.
Ketika Senpai jatuh cinta, dia lebih memilih untuk mempercayai perasaannya sendiri daripada mempertimbangkan pandangan orang lain.
Karena itulah, merasa disukai oleh Senpai menjadi hal yang semakin membuatku bahagia. Aku baru menyadari kalo inilah yang disebut cinta.
"Tapi itu tidak mengubah fakta kalo aku menyukaimu, Senpai."
"Diam."
Tanpa melihat ke arahku, Senpai memasukkan churros kedalam mulutnya dan memakannya.
Aku merasa begitu nyaman dengan gerakan sederhana seperti itu. Ini membuatku semakin mencintai ruang ini. Aku pasti menyukai Senpai sebagai manusia, itu sudah pasti.
Aku merasa, perlahan, perasaan suka yang tulus ini akan berkembang ke arah yang lebih jelas, dan aku yakin akan itu.
──Suatu saat nanti, aku pasti akan memastikannya.
Mempertahankan keadaan seperti ini mungkin merupakan cara berpikir yang baik kalo aku merasa puas dengan keadaan saat ini.
Tapi, aku merasa kalo aku terjebak dalam cara berpikir seperti itu, suatu saat aku akan menyesal.
Aku sudah tahu betul kalo kebahagiaan bisa menghilang tiba-tiba.
Karena itu, aku berusaha untuk melakukan sesuatu demi menjaga hubungan ini.
Aku jadi penasaran, kira-kira bagaimana reaksi Senpai kalo aku berkata padanya kalo mungkin aku akhirnya bertemu dengan orang yang menjadi takdirku....