Kamu saat ini sedang membaca Unmei no hito wa, yome no imōtodeshita. volume 1 chapter 5. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
MUNCULNYA SANG JUARA (LAWAN LEMAH)
Chiko Towa tersenyum lemas sambil duduk bersila di apartemenku.
"Ini situasi cinta segitiga? Apa ini yang disebut Japanese love triangle?"
"Lin. Rekam ini. Ambil handphone-mu."
Linget dan Si Han mengintip dari luar kamar. Aku segera menutup pintu. Lin, apa yang dia lakukan? Baru saja dia bekerja di bar, sekarang dia sudah bersantai di sini.
"...Nah, Onee-sama!"
Shishino menatap Towa dengan tajam. Towa berkeringat dingin dan menghindari pandangannya.
"Daigo-kun. Kau punya Switch, kan? Ayo main Splatoon lain kali."
Dia bersikap santai. Apa dia serius?
"Onee-sama!"
Towa mencoba menghindar dengan santai. Shishino marah.
(Aku mulai mengerti hubungan antara mereka berdua...)
Sepertinya Shishino sudah cukup dibuat pusing olehnya.
"Menipu orang lain, lalu kabur begitu saja. Sungguh kau sangt memalukan bagi keluarga Chiko."
"...Bukankah kau juga manis hari ini Shiihi?"
Pandangan Shishino membeku.
Dingin seperti suhu absolut.
"Daigo-san. Apa kau punya tongkat panjang? Lebih baik lagi kalo ada duri di ujungnya."
"Tenanglah."
Tongkat berduri? Sudah pasti aku tidak punya. Kalo ada, itu menakutkan.
"Shishino. Bisakah kau membiarkan aku dan Towa berbicara berdua saja?"
Mungkin seharusnya aku lebih marah dan memarahi Towa. Tapi melihat Shishino yang marah seperti singa, aku justru merasa tenang.
"Ah, baiklah. Kalo begitu, aku akan menyiapkan mobil jenazah."
"Jangan bunuh aku!!"
Towa berteriak, sementara Shishino menatapnya dengan tatapan seperti binatang buas.
"Ini hanya candaan, Onee-sama. ...Tapi jangan lupa kalo aku sangat marah."
Shishino pergi.
(...Shishino yang marah benar-benar menakutkan.)
Aku kembali menghadap Towa dengan serius.
(Payudaranya besar...!?)
Pikiranku hampir teralihkan, tapi aku menampar pipiku untuk mengusir pikiran kotor itu.
"Ah. Daigo-kun, kau baru saja melihat payudaraku, ya?"
"Aku baru saja mencoba mengusir pikiran kotorku, jadi bisakah kau tidak membahas itu?"
Towa mengedipkan mata sambil menekankan payudaranya.
Betapa santainya gadis ini.
"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Hmm..."
"Aku tidak percaya kau akan melompat dari gedung setinggi itu..."
"Ah, maksudmu yang itu?"
"Ya, tentu saja itu."
"Mungkin ada hal lain." gumam Towa sebelum melanjutkan.
"Apa kau tidak ingin membahas bagaimana aku menipumu? Aku kabur dari calon suami yang membosankan itu..."
"Ah. Ya, ada juga cerita itu."
"Aku secara hukum adalah istrimu, tapi aku menolak dan kabur..."
"...Kalo dipikir-pikir lagi, itu benar-benar cerita yang buruk."
Aku mungkin bisa menang di pengadilan kalo aku mau. Tapi tentu saja aku tidak akan melakukannya. Mungkin aku tidak suka menghabiskan energi untuk hal-hal seperti itu. Aku lebih suka melakukan hal-hal yang tidak penting.
"Tapi pertama-tama, ayo kita bahas tentang lompatan itu. Apa Towa terlibat dalam sesuatu yang buruk?"
"Eh?"
"Sepertinya kau sedang melarikan diri dari seseorang. Apa kau baik-baik saja?"
"............"
Towa menatapku dengan seksama, seolah-olah dia sedang mengamati ekspresiku. Pandangannya sangat tenang, dan aku tidak bisa membaca apa yang ada dalam pikirannya. Matanya sedikit mirip dengan kuda poni di kebun binatang yang bisa disentuh.
"...Kau benar-benar Daigo-kun."
Dia terlihat sangat bahagia dan tersenyum.
"Eh? Apa ini!?"
"Tidak, tidak. Hanya saja, kau benar-benar seperti orang yang aku ajak bicara melalui telepon."
Itu juga yang aku rasakan. Sikap Towa yang terkesan santai dan sedikit menggoda. Senyumnya yang lemas, sikapnya yang santai, dan perasaan seolah-olah dia sedang menyembunyikan sesuatu di balik kabut.
───Semua itu persis seperti 'Towa' yang aku ajak bicara melalui telepon.
"Alasan aku melompat itu, yah... hanya karena aku melihat halusinasi aneh."
"Hah?"
"Akhir-akhir ini, aku sering melihat halusinasi seperti putri duyung yang memakai seragam perawat. Aku mencoba melarikan diri dari itu."
Benarkah? Sungguh tidak masuk akal.
"...Kau benar-benar istri yang bermasalah."
Halusinasi? Aku lebih tenang kalo kau bilang kau sedang melarikan diri dari penagih utang atau semacamnya.
"Ah, aku tidak menggunakan obat-obatan aneh atau jamur, kok. Mungkin ini hanya kelelahan."
Dia terlihat tidak terlalu memikirkannya. Tapi aku sangat khawatir. Bahkan kalo itu hanya kelelahan, bukankah itu situasi yang cukup serius? Tapi sepertinya dia ingin membicarakan hal lain.
"Jadi—"
Towa menghindari pandanganku dan bergumam dengan wajah yang terlihat kesulitan.
"Apa kau mau bercerai?"
"Apa?"
"Karena, kan... kau pasti sudah membenciku, kan? Aku manusia yang sangat buruk. Kau pasti tidak ingin melihat wajahku lagi. Atau mungkin kau lebih suka menuntutku karena penipuan dan membatalkan pernikahan ini? Lakukan apa pun yang kamu mau."
"Ah—"
Memang benar ada masalah itu. Aku mengingatnya lagi, dan perasaanku menjadi berat, tapi kita pasti perlu membicarakannya. Aku menghindari pandangannya sambil menggaruk kepala.
"Kita butuh itu, kan? Surat nikah."
"Eh?"
"Kita bisa membahasnya setelah semuanya selesai. Masalah itu. Aku juga tidak akan bisa punya pacar dalam waktu dekat."
"............"
"Hanya saja, tolong berhenti menolakku. Aku tidak membencimu atau semacamnya. Aku tidak berpikir seperti itu."
Aku bergumam dan melihat wajah Towa. Dia menatapku dengan wajah yang hampir menangis. Aku sama sekali tidak menyangka dia akan membuat ekspresi seperti itu. Aku pun terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
"Kenapa..."
Dia mengerutkan wajahnya, seolah-olah sedang berusaha mengumpulkan kata-kata.
"Kenapa... kau bisa begitu baik hati..."
Aku tersenyum sedikit. Entah kenapa, aku merasa senang. Ternyata dia memang───'Towa'. Orang yang sama seperti yang aku kenal. Ratusan jam yang kita habiskan untuk mengobrol tidak sia-sia.
"Aku akan mengganggu—"
Tiba-tiba, SiHan masuk ke dalam kamar. Towa terkejut dan gemetar, sementara aku hanya menghela napas karena sudah merasa dia akan datang. Tidak pernah ada rahasia yang bisa disembunyikan darinya.
"Sudah waktunya pergi, bodoh."
SiHan memegang bahuku dan memaksaku untuk berdiri.
"Eh? Apa? Mau pergi ke mana?"
Menanggapi pertanyaan wajar dari Towa, SiHan mengerutkan kening dengan kesal.
"Tulang orang ini patah. Aku harus membawanya ke rumah sakit secepatnya."
"Hah?"
"Wajahmu pucat, berkeringat deras. ...Hah. Kau benar-benar harus berhenti bersikap keras kepala."
Ini tentang saat aku menangkap Towa yang melompat. Mungkin tulang kakiku patah, dan pinggangku juga terasa sakit. Aku ingin berbicara dengan Towa dengan tenang terlebih dahulu, lalu diam-diam pergi ke rumah sakit nanti... Tapi ini memang sudah waktunya, dan rasa sakitnya semakin parah. Jujur saja, aku bahkan tidak bisa berjalan sendirian.
"Aku sudah memanggil taksi di bawah. Ayo pergi."
Aku berjalan sambil bersandar pada bahu SiHan.
"Ah. Uh... eh..."
Towa mengulurkan tangannya dengan suara yang penuh kekhawatiran.
"Tidak apa-apa. Ini bukan masalah besar. Ayo kita bicara dengan tenang lain kali."
Ini hanya perasaan, tapi aku yakin dia akan berhenti menolakku. Setelah berbicara dengannya dan melihat wajahnya, entah mengapa aku merasa yakin akan hal itu. 'Towa' adalah 'Towa'. Hanya itu yang perlu aku ketahui.
"Sampai jumpa."
Di kamar kecil itu, Towa ditinggalkan sendirian.
★★★
Aku───Chiko Shishino, sedang gelisah sendirian di kamarku.
(Apa yang akan terjadi pada Onee-sama dan Daigo-san?)
Aku tidak berpikir mereka akan bertengkar hebat. Mengingat kepribadian mereka. Daigo-san terlalu santai untuk suka bertengkar, dan Onee-sama terlalu penakut untuk tidak melarikan diri sebelum hal itu terjadi.
(...Apa akhirnya mereka akan bercerai?)
Keputusan yang paling moderat adalah itu.
(Kalo begitu... Daigo-san akan menjadi lajang lagi, kan?)
Dia akan bebas untuk berpacaran dengan siapa pun. Kalo begitu, aku juga...
(Tunggu, apa yang sedang aku pikirkan?!)
Melihat pria yang baru saja bercerai dengan kakakku dengan pandangan seperti itu benar-benar tidak pantas. Ini masalah moral sebagai manusia. Lagipula, aku tidak merasakan apa pun terhadap Daigo-san.
(Memang benar, mimpi itu menggangguku—)
Aku di tahun 1960-an. Bekerja sebagai pelayan, dengan senjata api tersembunyi di lengan, dan merangkak di lorong-lorong kotor bersama AI yang terlihat seperti putri duyung berbalut seragam perawat. Mimpi yang sangat kacau dan tidak masuk akal. Tidak ada koherensi, dan itu sangat khas.
(Daigo-san kecil di mimpi itu... Dia imut sekali.)
Tuan kecilku. Meskipun usiaku sudah cukup dewasa, aku tertarik padanya. Aku yakin, mungkin, aku menyukainya. Perasaan cinta itu, bahkan setelah aku bangun, masih menempel aneh di hatiku, dan setiap kali aku melihatnya, jantungku berdebar tidak terkendali.
(Ini pasti salah paham. Aku tahu. Aku mengerti. Aku mengerti, tapi—)
—Lumpia dan bánh xèo. Ditambah phở daging sapi. Makanan yang sering aku buat untuk tuanku di tahun 1960-an. Aku yang tidak pernah memasak sebelumnya, berusaha keras mengingat rasa yang pernah kurasakan di masa kecilku dan mencoba memasaknya. Daigo-sama menyukainya dan selalu makan dengan senang hati, aku ingat itu.
(Padahal di kenyataannya, aku tidak pernah memasak masakan Vietnam.)
Kenapa aku bisa memasak dengan begitu lancar? Jangan-jangan itu...
(Itu hanya mimpi. Pasti... hanya mimpi...)
Karena kalo tidak begitu—itu akan merepotkan.
(Bagaimana kalo itu adalah 'kehidupan masa lalu' kita? Bagaimana kalo orang yang 'takdir'-kan untuk ku adalah Daigo-san?)
Daigo-san sudah menikah dengan Onee-sama. Bahkan kalo itu hanya formalitas. Bahkan kalo tidak ada perasaan di dalamnya.
"Shii-shii~. Boleh aku masuk sekarang~?"
Aku mendengar suara di balik pintu dan aku mengintip melalui lubang pengintip untuk memastikan siapa orang itu.
"Onee-sama."
Ketika aku membuka pintu, seorang wanita jangkung yang aku kenal sedang berdiri di sana. Seperti biasa, kecantikannya begitu mencolok bahkan bagi sesama perempuan seperti ku, seolah-olah gravitasi di sekitarnya berubah hanya karena dia berdiri di sana.
(...Tidak mungkin ada peluang untuk menang melawan ini.)
Sementara aku, pendek dan kecil. Kulit, rambut, dan mata ku memiliki warna yang aneh dan menyeramkan.
"Apa ada tempat makan di sekitar sini? Bahkan minimarket juga tidak apa-apa."
Onee-sama, perutnya berbunyi 'guu'.
Onee-sama sedang menaburkan banyak keju bubuk di atas doria gaya Milan. Sangat tidak sehat.
"Jadi, bagaimana dengan situasimu? Apa tidak ada masalah?"
Dalam suasana khas Saizeriya, aku membasahi bibir ku dengan kopi yang aki ambil dari bar minuman. Meskipun Chinatown Yokohama penuh dengan restoran, karena ini adalah area wisata, banyak yang tutup lebih awal. Hanya sedikit tempat yang masih buka pada jam segini, jadi kami memutuskan untuk mengunjungi Saizeriya terdekat.
"Daripada itu."
Aku menatapnya. ...Lebih tepatnya, melotot.
"Tolong jangan menyusahkan Daigo-san terlalu banyak."
"Hah?"
Dengan mata besar yang berkedip-kedip, Onee-sama terkejut.
"Ada apa? Jarang sekali kau mengatakan hal seperti itu."
"Benarkah?"
"Iya. Kan biasanya, Shiishi tidak tertarik dengan orang lain."
Mendengar itu, aku sedikit kehilangan kata-kata. Memang benar. Biasanya, aku memang tidak peduli dengan apa yang Onee-sama lakukan terhadap orang lain. Aku berbeda dengan Daigo-san. Aku tidak mudah terlalu jauh terlibat dengan orang lain.
"Aku hanya merasa berhutang budi pada Daigo-san. Hutang budi atas tempat tinggal dan makanan."
Aku mengeluarkan alasan yang terdengar dipaksakan untuk menutupi perasaanku. Aku—Chiko Shishino—adalah orang yang paling dipahami oleh Onee-sama, Chiko Towa. Dan hal yang sama juga berlaku sebaliknya.
"Kau masih saja sangat menjunjung tinggi rasa kewajiban."
"Aku tidak sembrono seperti Onee-sama."
Tidak banyak saudari yang sebertolak belakang seperti kami. Rambutku yang putih bersih, dan rambutnya yang hitam pekat. Aku yang perfeksionis dan bersih-bersih, dan dia yang hidup sesuka hati dan santai. Selera acara TV, penyanyi favorit, dan semuanya berbeda.
Kami terlalu berlawanan, sehingga tidak pernah saling memahami. Tapi, kami menghargai perbedaan itu. Hal yang tidak bisa dipahami, tidak selalu berarti buruk.
"...Orang macam apa Daigo-kun itu?"
Onee-sama mengaduk-aduk melon soda hijau dengan sedotannya.
"Kalo ditanya dia seperti apa..."
Kami baru bertemu 2 atau 3 hari yang lalu. Kami juga belum melakukan percakapan yang mendalam. Aku merasa terlalu sedikit tahu tentangnya untuk bisa berbicara banyak. Terlalu banyak bicara akan terasa tidak sopan.
(Padahal, tentang dirinya di tahun 1960-an, aku tahu banyak sekali.)
Dengan senyum getir karena kesalahpahaman yang tidak penting itu, aku mulai berbicara.
"Dia orang yang serius. Bahkan bisa dibilang terlalu serius."
"Ya."
"Dia terlalu baik. Terlalu mudah percaya pada orang."
"Begitu ya."
"Dan, kadang aku berpikir apa dia agak bodoh..."
Aku sedikit terbata-bata. Entah kenapa, aku tidak ingin mengatakan hal itu pada Onee-sama. Ada keinginan untuk menjaga perasaan itu hanya untuk diriku sendiri. Tapi kalo aku mengakuinya, aku merasa akan hancur, jadi aku berusaha keras untuk melanjutkan kata-kataku. Aku harus melanjutkannya. Itu seperti sebuah kewajiban.
"...Dia baik."
Daigo-san selalu baik padaku. Itu satu hal yang pasti.
"Kok ada sedikit kritiknya, ya?"
Onee-sama tertawa. Memang tidak bisa dipungkiri. Di hadapannya, aku tidak ingin membicarakan sisi baiknya.
"Lalu, Onee-sama, kau mau bagaimana setelah ini?"
Dia membuat wajah yang sedikit bingung. Langka sekali. Biasanya dia selalu tersenyum lepas dan tidak menunjukkan emosi di depan orang lain. Sepertinya dia benar-benar khawatir untuk orang lain.
"Onee-sama, apa ada yang salah?"
"Bisa dibilang ada, bisa dibilang tidak."
Aku memiringkan kepala. Dia melanjutkan.
"...Aku kira, kalo aku bertemu dengan Daigo-kun, mungkin aku akan ditampar atau semacamnya."
"Itu terlalu naif. Kalo hanya sampai di situ, itu sudah untung. Ini bisa jadi urusan pengadilan, lho."
Onee-sama tertawa sambil berkata, "Shiishi, kau terlalu keras." Mungkin, aku memang belum bisa memaafkan apa yang telah dia lakukan. Tapi, perasaanku masih belum teratur, dan sulit untuk mendefinisikan emosi ini dengan tepat.
"Tapi, dia tidak melakukan apa-apa. Dia hanya tersenyum seperti orang yang kebingungan,"
dia berbisik dengan suara yang tenang.
"...Aku harap dia memukulku saja."
Aku merasa kalo Onee-sama mungkin akan berpikir seperti itu. Dia bukan tipe orang yang takut pada rasa sakit fisik. Tapi, dia adalah orang yang terlalu penakut, selalu lari dari perasaan orang lain.
"Onee-sama. Jangan mendekati Daigo-san lagi."
"Hah?"
"Kau juga tidak mau menimbupkan masalah lebih lanjut, kan? Onee-sama kau tidak punya keberanian untuk melangkah lebih jauh, kan?"
Daigo-san adalah orang yang baik. Dia juga adalah orang yang berjasa padaku. Aku tidak ingin menyusahkannya lebih dari ini.
"Ada apa, Shiishi? Kau benar-benar tidak seperti dirimu biasanya."
Kami adalah 2 orang yang berlawanan, dan sama sekali tidak saling memahami. Justru karena itu, kami tidak pernah mengeluh tentang apa yang dilakukan masing-masing. Itu adalah bentuk rasa hormat kami, dan jarak yang nyaman bagi kami.
"Kali ini Onee-sama benar-benar keterlaluan. Kai mengerti itu, kan?"
Ketika aku bertanya, Onee-sama tertawa.
"Serius, kenapa? Hahaha. —Jangan-jangan kau jatuh cinta pada Daigo-kun?"
Dia tertawa seolah-olah baru saja melontarkan lelucon kuno yang tidak lucu. Seperti sedang menceritakan legenda urban nonsense tentang UFO yang menculik seekor sapi.
[TL\n: Legenda urban nonsense tentang UFO adalah cerita-cerita yang benar-benar tidak masuk akal atau terlalu absurd untuk dipercaya, tetapi tetap menyebar dalam budaya pop dan teori konspirasi liar. Misalnya Alien Tukang Reparasi, Pesawat UFO Berbahan Dasar Keju, UFO sebagai Kendaraan Wisata Alien, UFO Dapat Dikendalikan dengan Pikiran Manusia, Alien Memanen Rambut Manusia.]
"Ada apa, Shiishi?"
".....Apa maksudmu?"
"Karena tatapanmu, tentu saja. Kau melihatku seolah-olah ingin membunuh seseorang."
Aku tertawa kecil, sedikit getir.
"Onee-sama kau terlalu berlebihan."
"Jangan bicara seolah aku ini seorang paranoid."
"Tapi nyatanya, bukankah kau memang begitu? Onee-sama itu penuh rahasia dan sangat tidak percaya pada orang lain."
"Ahaha. Dan kau mau mengkritikku? Kau sendiri si manusia dingin yang tak punya seorang teman pun."
Kami saling melempar kata-kata tajam, dan tak lama kemudian kami berdua terkikik. Kami penuh dengan kekurangan, itulah sebabnya aku merasa aman saat kami bersama. Itu sebabnya aku mencintainya, dan aku yakin dia pun merasa demikian.
"Hei, Onee-sama. Ada sesuatu yang selalu membuatku penasaran."
"Apa?"
"Onee-sama, memang berniat menipu Daigo-san, kan? Kau hanya ingin memanfaatkannya, kan?"
"Yah, begitulah."
"Kalo begitu...kenapa setiap malam Onee-sama selalu meneleponnya?"
Onee-sama yang pemalas. Onee-sama yang licik dan cerdas. Onee-sama yang selalu menghindari keterlibatan dengan orang lain.
Dia hanya menoleh sedikit, wajahnya tetap tenang, lalu dengan ekspresi tak tertarik, dia menyendokkan sepotong Doria ala Milan dengan sendoknya.
Melihatnya seperti itu, aku kembali diingatkan kalo kami ber-2 memang saudara.
★★★
Di dalam taksi saat perjalanan pulang, aku menghela napas.
"Rasanya terlalu berlebihan harus memakai gips seperti ini."
"Bagaimanapun juga, ada retakan kecil di tulangmu, Daigo. Jadi tidak ada pilihan lain."
SiHan menjawab sambil sibuk mengetik di Hp-nya. Saat aku melirik layarnya, dia sedang bermain game gacha—yang belakangan ini sering muncul di iklan, tentang gadis-gadis bersenjata yang bertarung.
"Terima kasih sudah menemaniku."
Kini giliran dia yang menghela napas.
"Kau ini... Serius deh. Kalo aku tidak ikut turun tangan, apa rencanamu?"
"Satu-satunya pilihan, menahan rasa sakit!"
Aku mendapat jitakan ringan di kepala. Meski aku sudah meminum obat pereda nyeri, kakiku yang membiru masih terasa berdenyut. Tapi sekarang, ada hal lain yang lebih penting untuk kupikirkan.
"....Mulai sekarang, aku harus bagaimana?"
Aku mengeluh pada sahabatku, dan dia hanya terkekeh.
"Kalo mau bicara soal cinta, tanyalah Lin. Dia pasti akan memberimu saran yang sepenuhnya salah."
"Jangan begitu! Kau satu-satunya yang bisa kuandalkan!"
SiHan menatapku dengan ekspresi malas.
"Kalo aku, aku akan menyelesaikan semuanya. Anggap saja seperti digigit anjing, lalu segera lanjutkan hidup."
"....Iya. Seharusnya memang begitu, ya."
Dia mengamati tatapan mataku dan berbisik, seakan tak percaya.
"Kau masih belum bisa melupakannya, ya?"
"Uh..."
"Aku sudah menduganya! Itu memang tipe wanita yang kau suka. Kau selalu tertarik pada perempuan dengan kepribadian buruk!"
"Itu... itu berlebihan! Lagipula, Akane (mantan istriku) bukan orang seperti itu."
Dia mengerutkan kening.
"Itu memang benar, tapi... Kau selalu punya keinginan untuk dipermainkan, kan? Dasar masokis."
"Diamlah!"
"Aku masih ingat waktu kita mahasiswa dulu. Kau pernah membeli mainan di toko dewasa, alat untuk menyiksa kepala—"
"Tu-tunggu! Itu cuma hadiah ulang tahun untuk teman! Itu bukan punyaku!"
Inilah yang merepotkan punya teman masa kecil. Mereka selalu ingat kejadian memalukan dari masa lalu.
"Sudahlah, yang penting sekarang, beri aku nasihat atau apa pun yang bisa membantuku."
"Hmm... Baiklah, akan kuberitahu sesuatu yang kupelajari di New York."
Dia menatap gemerlap malam Yokohama dari jendela taksi.
"Orang sering berkata, 'Ikuti kata hatimu' atau 'Lebih baik menyesal karena mencoba daripada tidak mencoba sama sekali'."
"Ya."
"Itu omong kosong."
"Apa? Apa kau menyesali sesuatu?"
"Tentu saja. Pada akhirnya, keputusan untuk bertindak atau tidak hanya bisa kau buat sendiri. Tidak ada jawaban yang benar. Kau akan gagal, kau akan menyesal. Tapi tak ada yang mewawancarai orang-orang yang gagal, jadi seolah-olah mengambil risiko itu selalu benar. Padahal, bahkan anak kecil pun tahu, hidup ini jauh lebih rumit dan tak sesederhana kata-kata bijak murahan itu..."
[TL\n: yup seperti yang di katakan Søren Kierkegaard (seorang filsuf eksistensialis dari Denmark) "Marry, and you will regret it. Do not marry, and you will also regret it. Marry or do not marry, you will regret it either way." Dalam kutipan ini, dia menyoroti bahwa setiap keputusan besar dalam hidup, termasuk pernikahan, akan membawa konsekuensinya sendiri—baik kepuasan maupun penyesalan.]
Yan SiHan tersenyum sinis, lalu dia menundukkan pandangannya ke layar Hp-nya.
"Tunggu sebentar. Jadi, itu saja? Sebenarnya, apa yang ingin kau sampaikan?"
"Aku hanya ingin mengatakan kalo memberi nasihat kepada orang lain—dan meminta nasihat dari orang lain—sama-sama omong kosong."
Ucapan yang begitu kejam hingga sulit dipercaya kalo kami ini teman.
"Hidup sesukamu, mati sesukamu. Pada dasarnya, kita memang tak bisa melakukan hal lain selain itu."
Sebuah logika sinis yang begitu khas dirinya. Keyakinan yang tak pernah kumiliki. Tapi aku tidak membenci teman dekatku ini. Justru karena itu, aku terus berada di sisinya lebih lama dari siapa pun.
"Mungkin, karena hidup ini rumit dan tidak mudah, aku ingin memiliki seseorang di sisiku."
"Dasar lemah."
Dia tersenyum tipis, lalu mulai mengetuk layar Hp-nya.
Saat aku kembali ke apartemenou dan masuk ke kamar. Di ruangan yang sudah begitu akrab, aku menghela napas.
(Dari pagi hingga malam, banyak hal terjadi... Sungguh hari yang melelahkan.)
Tanpa pikir panjang, aku melepas celana dan mengambil sekaleng bir dari kulkas.
"Kya!"
Terdengar suara di belakangku. Aku menoleh—dan di sana berdiri Towa.
"....Jadi, Daigo-kun lebih suka pakai bokser, ya?"
"Kyaaa!"
Kini giliran ku yang berteriak. Dengan panik, aku segera mengenakan kembali celanaku.
"Kau...kau masih di sini?! Kupikir kau sudah pulang!"
Dia mengibaskan rambut hitam legamnya dan menatap ke luar jendela.
"Kita ini, bagaimanapun juga, suami-istri sekarang, kan?"
"....Ya, itu benar."
"Saat kita bicara di telepon, kita memang tidak pernah membahas soal tinggal bersama, kan?"
"Itu benar juga."
"Kakimu patah karena mencoba menolongku, kan?"
"Apa maksudmu? Kenapa kau tiba-tiba membahas itu?"
"Hmm... mungkin aku sedang menyusun rencana?"
Towa tersenyum lembut dengan cara yang terlihat ramah, tapi sulit ditebak. Berbeda dengan Shishino yang selalu cemberut, tapi ekspresinya justru lebih mudah dipahami.
"──Aku berpikir untuk menginap di kamar ini malam ini."
Dia mengatakannya dengan begitu santai, seolah itu hal yang wajar. Aku, sebaliknya, langsung membeku seperti patung.
(Apa? Apa maksudnya ini? Kenapa dia tiba-tiba berubah pikiran?)
Bukankah tadi malam dia bahkan memblokir nomorku? Kupikir aku sudah tertipu, dan pernikahan kami benar-benar sudah berakhir. Tapi tunggu dulu...dia ingin tinggal di sini? Di kamar sempit ini? Bersama wanita secantik ini? Ini...bagaimana menjelaskannya...terlalu mendadak!
"Aku...sama sekali belum siap secara mental untuk ini."
Dia hanya terkekeh ringan.
"Aku juga~"
(Jadi kau juga belum siap?!)
"Aku belum pernah menginap di kamar laki-laki sebelumnya. Aku juga belum pernah punya pacar. Jujur saja, aku gemetar ketakutan sekarang. Lagipula, aku masih perawan."
"Bagaimana bisa kau mengatakan itu dengan ekspresi sepolos itu?"
Betapa kuatnya mentalnya...
"...Tapi bagaimanapun juga, aku masih istrimu. Aku punya kewajiban, atau mungkin lebih tepatnya, hak?"
"Uh...maksudmu ini semacam...bentuk penebusan?"
"Umm...─── kalo harus dibilang begitu...yah, mungkin sesuatu seperti itu...?"
Kau sama sekali tidak terlihat percaya diri. Lalu, sebaliknya, kenapa begitu? Aku benar-benar tidak mengerti. Saat melihat ekspresi bingungku, Towa akhirnya merasa malu dan mengalihkan pandangannya.
"Karena... Daigo-kun bilang kalo...kau tidak membenciku."
"Y-ya, aku memang bilang begitu..."
"Kalau begitu...kau masih menyukaiku?"
Aku terkejut mendengar pertanyaannya yang begitu langsung. Baru kusadari sekarang, aku memang sangat menyukai kepribadian dan wajahnya. Sejujurnya, aku masih memiliki perasaan yang kuat. Kalo ada kesempatan, aku ingin bergantung padanya, meskipun aku tahu itu tidak terlihat jantan.
Tapi...tapi! Apa ini benar-benar boleh? Apa aku bisa membiarkan diriku terbawa begitu saja di sini?
"...Jadi, Towa masih ingin menjalani kehidupan pernikahan denganku?"
Ekspresinya tiba-tiba menjadi tenang.
"Aku tidak pernah bilang ingin bercerai."
"Tapi, kau memblokir nomorku."
"Itu...karena...ada banyak hal yang terjadi..."
Banyak hal? Apa maksudnya? Aku penasaran, tapi yang harus kutanyakan sekarang adalah sesuatu yang lebih mendasar.
"Towa...apa kau masih menyukaiku?"
Ekspresi tenangnya...bukan itu. Pipi Toha memerah sepenuhnya. Dia hanya berusaha keras untuk menyembunyikannya.
Sekarang setelah kupikirkan lagi, dia memang selalu seperti itu. Selalu berpura-pura tenang.
"Po-pokoknya! Tidak masalah, kan!? Kita ini suami istri! Atau Daigo-kun tidak mau tinggal denganku!?"
Kenapa dia malah marah sekarang? Aku benar-benar kebingungan. Apa yang harus kulakukan!? Tapi, ada satu hal yang mulai kupahami.
(Jadi...mungkin ini bukan berarti dia benar-benar tidak memiliki perasaan untukku...?)
Selama ini, aku pikir dia hanya mempermainkanku dan tidak memiliki perasaan apa pun. Tapi melihat reaksinya, sepertinya tidak demikian. Aku masih belum benar-benar mengerti isi hatinya.
(Apa pernikahanku dengannya bukan hanya alasan untuk berpisah dari 'tunangannya'...?)
Aku tidak mengerti apa pun. Tapi, menolaknya di sini terasa seperti keputusan yang salah.
"Baiklah. Kita ini suami istri, jadi tidak masalah. Tinggallah sesukamu."
Dengan suara pelan, Towa berbisik, "Oke." Nada suaranya tenang, ekspresinya juga tenang. Tapi, pipinya tetap saja memerah. Sisi dirinya yang seperti itu...aku menyukainya.
"Kalo begitu, Daigo-kun. Ayo segera..."
"Apa?"
"Kita mandi bersama."
Istriku ini...benar-benar gila.
Kapoon—suara khas yang sering muncul di anime atau drama saat adegan mandi. Sebenarnya, suara itu berasal dari mana, sih? Aku gemetar di ruang ganti, sementara Towa berdiri di sana dengan ekspresi tenang, seolah ini hal yang wajar.
"Baiklah, Daigo-kun. Aku akan mulai dari atas. Angkat tanganmu~"
"Hei, hei. Apa kau serius? Apa kau serius dengan ini, Towa!?"
Dia memiringkan kepalanya seperti anak kelinci.
"Karena aku yang membuatmu patah seperti ini. Kalo kau mandi sendirian lalu terpeleset, itu akan berbahaya."
"Uhm...ini benar-benar memalukan, tahu?"
Towa tersenyum lembut.
"Aku juga~"
Apa dia ini tak terkalahkan?
"Sejujurnya...bukankah ini agak cabul? Aku hampir mati karena rasa malu. Jantungku berdebar kencang."
"...Padahal wajahmu terlihat cukup tenang."
"Itu tidak benar. Aku bahkan selalu mempercepat adegan dewasa di film karena tidak nyaman menontonnya."
Meski dia berkata begitu, dia tetap tersenyum lembut. Aku benar-benar tidak bisa memahami wanita ini.
"Ah, tapi Daigo-kun, ada satu hal yang ingin kuminta selama kita tinggal di kamar yang sama."
"Apa itu?"
"Jangan melakukan hal-hal mesum."
"Eh?"
"Apa reaksi itu? Jangan-jangan, kau memang sudah berniat macam-macam?"
Bukan, bukan begitu. Tapi kalo dibilang tidak berharap sama sekali, tentu saja ada. Aku ini laki-laki, jadi itu wajar saja, kan?
"...Soalnya...aku belum siap secara mental."
Dia berbisik dengan wajah yang memerah. Saat aku melihatnya begitu, aku tiba-tiba menyadari sesuatu.
"Jangan-jangan, Towa kau itu..."
"Apa?"
"Sebenarnya penakut?"
"Hah? Aku bukan orang lemah."
"Boleh aku meremas payudara mu?"
"A-a-a-a-a-apa—!!"
Towa langsung mundur dengan wajah merah padam.
"...Ayo, coba saja. Begitu kau menyerangku, aku akan menghancurkan rahangmu dengan Jolt Blow."
Aku mengulurkan tangan seperti biasa.
"Nyaa─────!!"
Towa lari sambil menangis.
(....Betapa lemahnya dia sebagai manusia.)
Melihat ini sebagai kesempatan, aku segera melepas pakaian dan masuk ke dalam bak mandi.
"Fuu..."
Saat merendam diri dalam air hangat, akhirnya aku bisa menghela napas lega. Karena gipsku tidak boleh basah, aku mengeluarkan satu kaki dari bak mandi.
Tapi, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dengan suara keras, dan rambut hitamnya berayun di sudut pandangku.
"....Kau sengaja menakutiku agar aku pergi, kan?"
"Gyah! Tu-tunggu, jangan masuk!?"
"Apa maksudmu mengusir istrimu seperti binatang liar? Apa aku ini rakun bagimu?"
"Seorang istri yang memblokir nomor suaminya tak berhak bicara begitu."
Dia berbisik, "Tunggu sebentar", lalu kembali ke wastafel. Apa yang dia lakukan?
Tidak butuh waktu lama sebelum aku menyadari—ada suara kain bergesekan dari arah sana.
Serius? Jangan-jangan dia sedang melepas pakaiannya?
(Tunggu, tunggu! Aku sama sekali belum siap untuk ini!)
Pintu kamar mandi terbuka lagi dengan suara garari.
"Setidaknya, biarkan aku mencuci punggungmu, Daigo-kun."
"....Kenapa kau berpakaian seperti itu?"
"Oh, ini? Pakaian selam. Ini cepat kering, lho."
Kenapa dia memakai itu? Setidaknya, kenapa bukan pakaian renang? Aku punya banyak hal yang ingin kukatakan, tapi pada akhirnya, aku hanya bisa tenggelam ke dalam air dengan pasrah.
Kalo berbicara tentang tempat tidur, semua orang pasti langsung terpikir futon.
"Mulai dari sini sampai sini adalah wilayahku. Kalo kau melewati batas ini, itu berarti perang."
Towa, yang mengenakan piyama lucu, menggeram dengan waspada.
"....Kalo kau setegang ini, kenapa kau repot-repot menginap?"
"Ka-kalo begitu...karena aku masih seorang istri... Dan suami-istri itu seharusnya tidur bersama..."
Jadi, aku ini memang suaminya. Dia benar-benar menyebut dirinya sebagai istriku.
"Tapi, kurasa seorang istri tidak akan mengklaim wilayah tempat tidur seperti itu."
Apa sebenarnya yang ada di pikirannya sampai memutuskan untuk menginap di sini? Aku benar-benar tidak mengerti. Meskipun, aku harus mengakui bahwa dia sangat berdedikasi dalam merawatku, dan aku menghargainya untuk itu.
"Hanya ingin mengingatkan, Towa. Saat ini, kalo kau sampai diserang, kau tidak bisa mengeluh, lho."
"A-a-aku akan menelepon polisi!"
"...Dan apa yang akan kau katakan? 'Suamiku menyerangku saat tidur'?"
"Auuuh..."
Dia terlihat kebingungan. Orang ini benar-benar tidak kuat dalam adu argumen.
"Tenang saja. Aku tidak akan melakukan hal seperti itu. Aku tidak akan menakutimu sampai kau benar-benar yakin dengan perasaanmu."
"....Daigo-kun."
Dia menatapku lekat-lekat.
"—Benar-benar tergila-gila padaku, ya?"
"Hah?"
"Maaf ya, aku ini perempuan yang begitu berdosa. Aku memang terlalu menggemaskan... Aku mengerti."
"......"
"Kau tetap begitu baik meskipun aku memperlakukanmu dengan seenaknya. Bahkan setelah aku memblokirmu dan berusaha melarikan diri seumur hidup, kau masih tetap lembut padaku. Pasti karena kau benar-benar menyukaiku, ya? Kasihan sekali..."
Aku mulai berpikir, mungkin aku memang harus benar-benar 'menaklukkan' istriku ini suatu saat nanti.
"Tapi aku masih bingung dengan perasaanku sendiri! Aku masih takut dengan kenyataan bahwa kita benar-benar menikah! Jadi biarkan aku menggodamu sedikit lagi, ya? Tolong!"
"Permintaan macam apa itu?"
Tunggu dulu. Apa maksudnya dengan 'Kita ini sudah benar-benar menikah, Apa aku benar-benar akan melakukan ini?'
"Kita sudah menikah Secara hukum. Aku menikah secara sah denganmu!!"
"....Y-ya. Memang...begitu. Aku ini...istrimu."
Towa memainkan poni rambutnya dengan gelisah. Gerak-geriknya yang seperti hewan kecil itu terlihat begitu menggemaskan hingga aku kehilangan kata-kata. Pada akhirnya, dia memang benar.
"....Untuk sekarang, aku akan mematikan lampunya."
"Mm", gumamnya pelan.
Kami ber-2 berbaring di futon, membelakangi satu sama lain. Sesaat, ujung jari kaki kami bersentuhan, dan aku bisa merasakan tubuhnya gemetar. Dari suara napasnya yang tidak teratur dan dangkal, jelas kalo dia gugup. Mungkin ini pertama kalinya dia tidur satu kamar dengan seorang pria.
(Kalo dia setakut ini, kenapa dia malah memutuskan untuk menginap di sini?)
Semakin aku memikirkannya, semakin aku tidak memahami situasinya. Tapi setelah mempertimbangkannya dengan serius, sebuah kemungkinan muncul di benakku.
"Towa..."
"Hm?"
"Setidaknya...aku boleh menganggapmu sebagai istriku, kan?"
Tidak ada jawaban. Keheningan menyelimuti kami, hanya suara mabuk-mabuk di luar yang terdengar samar. Satu menit berlalu, tapi dia tetap diam. Lalu, akhirnya, dia berbisik pelan.
"Kalo itu yang kau rasakan..."
Hubungan kami masih sulit dipahami. Ada begitu banyak hal yang harus kami bicarakan dan putuskan.
Tapi, mungkin...setidaknya arah yang kami tuju masih sama.