> CHAPTER 6

CHAPTER 6

 Kamu saat ini sedang membaca   Unmei no hito wa, yome no imōtodeshita.  volume 1 chapter 6. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw


RABBIT DOWN THE HOLE



──Nama ku adalah Senko Towa.


Seorang JK2 yang sedang naik daun. 


[TL\n: JK2 adalah singkatan dari Joshi Kōsei 2-nen (女子高生2年), yang berarti siswi sekolah menengah atas (SMA) tahun kedua.]


Pada dasarnya, aku tidak pernah masuk sekolah dan hidup sesuka hati dengan menghabiskan warisan orang tua. 


Motto hidup ku adalah 'Kalo aki mati, maka aku akan mati'. 


Makanan favorit ku adalah cumi-cumi kunang-kunang. 


Hobi ku adalah bertahan hidup. 


Keahlian ku adalah menumpuk batu di tepi sungai. 


Hal yang tidak aku sukai adalah membelai anjing (aku takut digigit).


Aku ingin menceritakan tentang pertemuan ku dengan seorang pria bernama Mido Daigo. 


Tapi, untuk menceritakannya, aku perlu menjelaskan beberapa situasi yang rumit, jadi mohon maaf kalo ceritanya menjadi agak panjang.



Pada dasarnya, hari ini bukanlah pertama kalinya aku dan dia bertemu.



Setidaknya, itulah yang dia pikirkan. Sebenarnya, aku sudah mengenalnya sejak lama. 


Meskipun begitu, tidak ada kenangan yang istimewa. 


Itu terjadi 10 tahun yang lalu, saat aku masih duduk di kelas 3 SD.


Ada festival budaya di sebuah SMA terkenal di prefektur, dan aku pergi ke sana sendirian. 


Dari sudut pandang anak kelas 3 SD, itu adalah petualangan besar, tapi kalo dilihat dari sudut pandang ku yang sekarang, itu hanyalah eksplorasi yang cukup lucu.


Sejak saat itu, aku sudah diawasi dengan ketat oleh para pelayan seperti butler dan maid, dan aku sangat memberontak terhadap hal itu.


Dengan perasaan seperti pahlawan yang memasuki istana iblis, aku memasuki 'dunia SMA' yang seperti wilayah berbahaya. 


Aku terkesima dengan dunia yang penuh warna di sana. 


Kakak-kakak yang bukan orang dewasa itu mengelola stan mereka atau mengenakan kostum karakter, dan mereka terlihat sangat menikmati aktivitas mereka. 


Aku merasa sangat iri melihatnya.


"Apa kau, tidak apa-apa?"


Mungkin karena merasa khawatir melihat aku yang masih duduk di kelas 3 SD sendirian, seorang kakak laki-laki menghampiri dan menyapa ku. 


Aku sempat ketakutan dan ingin lari, tapi karena dia menawarkan krep yang terlihat enak, aku akhirnya memutuskan untuk berbicara dengannya. ...Sekarang ketika aku mengingatnya, keputusan para pelayan untuk tidak membiarkan ku keluar ternyata sangat tepat. 


Anak yang tidak tahu apa-apa seperti ku waktu itu bisa saja menjadi sasaran empuk bagi penculik.


"Anak SMA itu hebat, ya!"


Sambil menatap ku yang makan krep dengan mata berbinar-binar, dia───Mido Daigo───tersenyum dengan lembut. 


Aku menceritakan segalanya padanya. 


Tentang bagaimana aku merasa terkurung di rumah besar itu. 


Tentang keinginan ku untuk bebas. 


Tentang bagaimana hari ini aku datang untuk berpetualang.


Dia memuji ku dengan mengatakan kalo aku hebat, dan aku masih ingat betapa bangganya aku saat itu.


"Bolehkah aku ikut dalam petualanganmu itu?"


Aku sangat senang dan langsung menjawab, "Tentu saja!" Kami berdua berkeliling festival budaya, dan di tengah kerumunan orang di panggung, dia bahkan mengangkat ku ke pundaknya. 


Itu adalah kenangan paling menyenangkan yang pernah aku alami sejak lahir hingga saat itu.


"...Hiks..."


Ketika aku mulai menangis saat sore hari tiba, dia bertanya, "Ada apa?"


"Kalo pulang...aku pasti akan dimarahi. Aku takut."


Dia berkata, "Oh begitu", sambil membelai kepala ku, lalu dia mengantarkan aku pulang ke rumah besar itu. 


Ternyata dia sudah menelepon terlebih dahulu. 


Sang butler memeluk ku erat saat aku kembali, dengan wajah yang hampir menangis. 


Saat itulah aku baru menyadari betapa buruknya hal yang telah aku lakukan.


"Onii-san, bisakah kita bermain lagi?"


Ketika aku bertanya, dia tersenyum dan berkata, "Tentu saja," sambil kembali membelai kepala ku. 


Para pelayan tidak memarahi ku berkat dia yang telah menjelaskan semuanya. 


Dia berulang kali meminta maaf sambil menundukkan kepalanya dan memohon agar mereka tidak memarahiku. 


Sekarang ketika aku mengingatnya, dia memang selalu seperti itu sejak dulu.




Nah, dengan begitu, perasaan cintaku pun mulai tumbuh padanya───tapi manusia adalah makhluk yang rumit, tidak sesederhana itu. 


Dia adalah kakak laki-laki yang aku kagumi dan tinggal jauh. 


Itulah dia. Karena pada dasarnya aku selalu terkurung di rumah besar itu, sejak kecil aku sudah mahir menggunakan komputer. 


Bisa dibilang aku adalah anak kecil yang sudah akrab dengan teknologi. 


Saat itu, aku hanya bermain Minecraft.


Aku mencari namanya di internet dan menemukan SNS-nya. 


[TL\n: SNS adalah singkatan dari Social Networking Service, yang berarti layanan jejaring media sosial.]


Aku mengikutinya tanpa berpikir panjang dan sesekali melihat-lihat profilnya untuk bersenang-senang.


Beberapa tahun kemudian, aku memasuki fase remaja. 


Singkatnya, kita hidup di era di mana kita menghindari hal-hal yang yang berbau maskulin. 


Aku juga tidak terkecuali, dan tanpa alasan yang jelas, aku menjadi tidak nyaman dengan laki-laki. 


Meskipun begitu, aku tetap membaca BL (Boys' Love) dengan biasa saja. 


Saat SMP, aku tidak terlalu tertarik pada lawan jenis, dan meskipun beberapa kali ada yang mengungkapkan perasaannya pada ku, aku merasa tidak nyaman dan menolaknya.


Tentu saja, Onii-san itu───Mido Daigo───juga hanya menjadi seseorang yang sesekali aku lihat di SNS. 


Ngomong-ngomong, aku sesekali membalas tweet-nya.



Masalahnya dimulai dari sini. Ini terjadi ketika aku masuk SMA.



Bibi buyut ku, yang biasanya tidak pernah muncul, mengundangku untuk makan malam di hotel dengan alasan merayakan kelulusan ku. 


Aku sebenarnya ingin menolak karena, meskipun tidak ada masalah dengan suka atau tidak suka, pada dasarnya aku tidak nyaman dengan manusia. 


Tapi, dia adalah orang yang akan menjadi penerus ku, jadi aku tidak bisa menolak dengan sembarangan.


"Sudah waktunya kita membicarakan masa depanmu." 


Di sebelahnya saat itu adalah seseorang bernama Kudo Jin. 


Usianya mungkin awal 30-an? Jauh lebih tua dari Daigo. 


Bibi buyut ku mengatakan, "Orang ini adalah tunanganmu."  


Aku merasa sangat tidak nyaman. 


Saat itu, aku masih merasa agak tidak nyaman untuk berpacaran dengan laki-laki, apalagi harus menikah dengan pria yang tidak aku kenal. 


Itu benar-benar tidak mungkin.


Bibi buyut ku benar-benar orang yang sangat kuat karakternya...dia sangat ahli dalam berdebat... Apa pun yang aku katakan, dia tetap tenang dan hanya memberikan keputusan dengan kata-kata yang penuh wibawa. 


Ada orang seperti itu, kan? Kalo kau tidak terlalu paham, bayangkan saja seperti Tetsuko Kuro○. Kira-kira seperti itulah dia.


[TL\n:Tetsuko Kuroyanagi adalah seorang aktris, penulis, dan aktivis kemanusiaan asal Jepang. Ia dikenal luas sebagai penulis buku "Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela", yang mengisahkan pengalaman masa kecilnya di sekolah Tomoe Gakuen. Buku ini menjadi bestseller internasional dan sering digunakan dalam pendidikan anak-anak.]


Dia lahir di era perang dan berhasil melewati zaman Showa sebagai seorang wanita tangguh. 


Bagaimana mungkin aku, yang hanya seorang siswi SMA biasa, bisa menang melawan orang seperti itu!


Jadi, aku mulai ketakutan karena semuanya akan diputuskan tanpa aku sadari, tapi kemudian bibi buyut ku memberikan satu syarat.


"Yah, kalo kau sudah menemukan seseorang yang benar-benar kau cintai, mungkin itu lebih baik."


Oh, begitu rupanya. Pokoknya, hari itu aku pulang ke rumah dalam keadaan lelah setelah dihujani semangat yang berlebihan dari bibi buyut ku. 


Aku berbaring di tempat tidur putih bersih dan mulai memikirkan tentang 'cinta' dan 'pernikahan'. 


Mencintai seseorang. Menikah dengan seseorang.


(Kalo dipikir-pikir, orang yang pernah aku cintai dalam hidupku ini adalah...)


───Mido Daigo. Onii-san yang lebih tua, seorang siswa SMA. 


Itu adalah kenangan samar dari saat aku masih duduk di kelas 3 SD.


Entah kenapa, aku jadi penasaran dan memutuskan untuk melihat SNS-nya setelah sekian lama.


"....Eh? Dia bercerai."


Aku tahu dia pernah menikah. Saat aku mengetahuinya dulu, aku merasakan sakit yang menusuk di dadaku.


"Pencarian pasangan hidup."


Di SNS-nya, dia sedang bersemangat menyatakan kalo dia akan mencari pasangan hidup! 


Dari postingan biasa di SNS-nya aku tahu dia tinggal di Chinatown, Yokohama. 


Pencarian pasangan hidup. 


Dia juga sedang mencari cinta dan kasih sayang. Sungguh kebetulan yang tepat.


Awalnya, itu hanya sedikit kenakalan dalam hati.


Aku mencari orang yang tinggal di Chinatown satu per satu di aplikasi kencan utama. 


Dia ternyata lebih mudah ditemukan daripada yang aku kira. 


Karena literasi internetnya rendah, untuk ku yang memiliki sifat net-stalker, ini bukanlah hal yang sulit.


(Kalo menikah, lebih baik dengan orang yang disukai, kan?)


Aku tertawa kecil. Pada dasarnya, itu sama seperti dulu. 


Saat aki masih di kelas 3 SD, ketika aku menyusup ke festival budaya SMA. 


Jantung ku berdebar-debar, tapi itu bukan debar cinta, melainkan debar saat melakukan kenakalan.


『Se-senang bertemu denganmu. Aku Daigo Mido.』


Setelah mengobrol dengannya beberapa kali, kami segera beralih ke komunikasi melalui telepon. Mendengar suaranya yang tegang dan tinggi, saya hampir tidak bisa menahan tawa.


"...Se-senang be-bertemu denganmu...namaku 'Towa'."


Tapi aku malah mengeluarkan suara yang lebih memalukan, dan wajah ku memerah sendirian.


(Daigo-san ternyata seperti ini ya.)


Panggilan pertama itu membuat jantung ku berdebar kencang, seolah-olah akan melompat keluar dari mulutku. 


Sejak kecil, aku selalu mengagumi Onii-san itu. 


Berbicara dengannya sebagai pria dan wanita yang setara. 


Itu menyenangkan, membuat ku merasa ringan, tapi yang paling mengejutkan adalah──percakapan kami sangat lancar.


"Tidak, Daigo-san. Itu aneh. Apa kau sebenarnya cukup bodoh?"


『Bukankah buruk diperlakukan seperti orang bodoh di percakapan pertama kita?』 


Kami langsung berbicara panjang lebar, dan sebelum aku menyadarinya, saat itu sudah larut malam dan saat kami akhirnya memutuskan untuk menutup telepon dengan rasa enggan, jantung ku berdegup kencang. 


Awalnya, kami hanya menelepon sekitar sekali setiap 3 hari. Karena aku pikir kalo terlalu sering, mungkin akan mengganggu.


Tapi, segera saja panggilan telepon menjadi sekali sehari. Kalo aku melihat sesuatu yang menarik di siang hari, aku akan berpikir, "Aku harus menceritakan ini nanti." Aki merasa senang, dan pada malam hari, aku duduk bersila di depan Hp-ku hingga tiba waktu yang telah kami janjikan.


Terkadang, aku terlalu sering meneleponnya, bahkan sejak siang hari. Dia tertawa dengan gelisah dan berjanji untuk menelepon pada malam hari.


Debar yang awalnya muncul karena kenakalan, perlahan berubah menjadi debar karena cinta.


『Towa. Bagaimana kalo...kita makan bersama...bagamana?』


"I-itu..."


Suatu hari, dia mengungkapkan itu. 


Sebenarnya, dia sudah beberapa kali menyarankan hal itu. 


Biasanya aku akan menghindarinya dengan santai, tapi kali ini sudah mencapai batas.


(Daigo-kun sedang mencari pasangan untuk menikah.)


Seberapa pun menyenangkannya berbicara melalui telepon, itu tidak cukup berarti. 


Aku merasa bingung. Sangat bingung. Aku ingin terus berbicara dengannya. Tapi aku takut untuk benar-benar bertemu dengannya. 


Bagaimana kalo dia mengingat wajah ku? Bagaimana kalo dia tahu kalo aku masih seorang siswi SMA? Kalo kami bertemu, pasti dia akan meninggalkan ku.


"Belakangan ini, ada tren yang disebut 'kencan buta' untuk pernikahan."


Jadi, aku mengatasinya dengan kebohongan yang terdesak.


『Apa itu?』


"Kita mengajukan surat nikah tanpa pernah bertemu sebelumnya. Kita memilih pasangan hanya berdasarkan perasaan dan... kecocokan. Bukankah itu cinta sejati? Cinta yang murni dari jiwa."


『...Towa, apa kau tipe orang yang percaya dengan hal seperti itu?』


"Anehnya ada sisi seperti itu juga dalam diriku."


Meski terlihat tidak sepenuhnya yakin, saat itu dia memaafkanku. 


Aku menarik napas lega. Aku tidak ingin mengakhiri hubungan ini. Hubungan yang hangat dan membahagiakan seperti air suam-suam kuku ini.


Karena, setiap hariku benar-benar menjadi lebih berwarna. 


Aku menganggapnya sebagai orang yang ditakdirkan untukku. 


Tanpa kusadari, selama aku bersamanya, semuanya terasa baik-baik saja. Hanya itu saja.



『Towa. Tolong menikahlah denganku.』



Setelah sekitar 6 bulan sejak kami mulai menelepon, dia mengatakannya padaku. 


Aku menangis dan menjawab, "Ya." Mendengar pria yang sangat kusukai mengatakan kalo dia ingin bersamaku selamanya. Itu membuatku sangat bahagia.


Padahal, aku yang penuh kebohongan ini bahkan tidak bisa menemuinya.




──Dan itulah kenapa sekarang aku berada di kamar Daigo-kun, tegang dan membungkus diri dengan selimut.


(Hiiiin. Daigo-kun dekat. Dia terlalu dekat!)


Pengalaman hidupku sangat minim, dan meski terpengaruh oleh internet, aku bahkan belum pernah menggenggam tangan seorang pria. 


Aku merasakan rasa bersalah yang luar biasa, tapi di sisi lain aku ingin bersamanya, membuatku hampir menangis.


(Pastinya dia mengira aku wanita yang aneh~~!!)


Dari mana semuanya mulai salah dan berakhir seperti ini? 


Ketika aku memikirkannya, sebenarnya semuanya sudah salah dari awal, tapi satu titik baliknya mungkin karena aku menolaknya.


"Apa kau membohongiku dengan alasan pernikahan buta hanya untuk melarikan diri dari tunanganmu?" Prediksinya benar-benar meleset. Tapi, aku tidak punya bisa menyangkalnya.


Tentu saja itulah alasan kenapa aku mendekatinya. Aku menyembunyikan fakta kalo aku yang masih seorang JK, jadi aku memilih pernikahan buta—aku tidak bisa mengungkapkan kebenaran itu. Bagaimanapun, dia masih belum menyadarinya.


(Aku takut dimarahi dan dibenci oleh Daigo-kun.)


Aku mengambil jarak darinya. Secara fisik, aku melarikan diri. Itu kebiasaan burukku. 


Aku punya kebiasaan melarikan diri dan tidak bisa menghadapi sesuatu dengan langsung. 


Aku masih terikat dengan masa lalu, kemarin aku hampir seharian menangis.


(Tapi sekarang, aku ada di sini.)


Di sampingnya. Di bawah selimut yang sama. 


Suara detak jantungku sendiri begitu berisik hingga aku tidak pernah bisa tidur.


"...Towa."


Aku mendengar suaranya, dan jantungku melompat seperti kelinci yang melihat serigala.


"Apa kau sudah tidur?"


"... Sudah."


"Kau jelas masih bangun."


Suara Daigo-kun. Suara orang yang kusukai. 


Apa karena mengantuk, suaranya terdengar serak, itu sedikit seksi, dan membuat jantungku berdebar kencang hingga rasanya aku hampari mati. 


Karena—seperti yang dia katakan—aku tidak bisa protes kapan pun dia memelukku. Aku sekarang adalah istrinya. Aku bersembunyi di bawah selimut. Hanya kami berdua.


"Towa, apa kau ada rencana besok?"


"Eh? Tidak...tidak ada."


Sebenarnya ada. Aku harus sekolah seperti biasa. Tapi karena aku sering bolos, jadi tidak masalah.


"Aku akan menyelesaikan pekerjaan ku sore nanti. Kalo begitu..."


"Ya."


"Apa kau mau pergi ke suatu tempat?"


Itu artinya...


"....Kau mengajakku kencan?"


"Ah, jangan langsung bilang begitu."


Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak mengerti. Ini sulit. Aku ini gadis remaja.


"Tidak apa-apa."


Aku berbisik dengan suara datar, tanpa emosi. Di dalam hati, aku sudah panik dan aku merasa sangat binging. Ternyata dia tidak meninggalkanku.


(.....Kau terlalu baik, Daigo-kun.) 


Tapi itulah yang kusuka darinya. Dia sangat baik dan sedikit bodoh. Tampan dan imut, itu membuatku ingin memeluknya erat-erat. 


───Kencan. Kencan pertamaku dengan Daigo-kun. 


Aku tidak tahu berapa kali aku berfantasi tentang ini. Aku sangat senang. Tapi aku sangat gugup hingga aku merasa seperti akan mati.


"Ngomong-ngomong, pekerjaan apa yang dilakukan Towa?"


"Eh? ..........Eh──────"


Aku berpikir keras.


"Pengangguran."


Dengan jawaban itu, aku berpikir kalo aku bisa terus bersamanya! 


Tapi sekarang, setelah aku tenang, aku menyadari itu adalah keputusan yang buruk. 


Di zaman sekarang, wanita yang sejak awal menargetkan menjadi ibu rumah tangga pasti dianggap seperti 'bom waktu'.


"Ah, tidak. Maksudku...membantu pekerjaan rumah. Semacam...sedang belajar. Seperti itu."


"Oh, jadi apa kau sedang mencoba mendapatkan sertifikasi atau semacamnya?"


"Iya, benar. Itu. Sertifikasi."


Begitulah, seseorang kembali menumpuk kebohongan. Rasa bersalah membuatku hampir muntah. Aku berbohong kepada orang yang sangat kucintai. Rasa sakit itu seperti ditusuk dengan pahat es, menusuk jantungku.


"Selamat tidur, Towa."


".....Ya."


Tapi ketika dia memanggil namaku dengan lembut, aku menyadari kalo rasa sakit itu sepadan.


(Maafkan aku. Aku wanita yang buruk. Maafkan aku.)




Malam itu, aku bermimpi.


Sebenarnya, aku heran bisa tidur nyenyak dalam situasi seperti itu. 


Mungkin ini saatnya memuji diriku sendiri. 


Aku menyadari itu mimpi karena batasannya yang kabur. Batasan antara diriku dan dunia. Batasan antara kulit dan udara.


"Apa ini?"


Ada sepatu-sepatu yang berjajar. Sepatu dengan berbagai warna dan jenis.


Sepatu sneaker, high heels, sepatu kulit, sepatu seperti yang dipakai badut yang berbunyi 'pafu pafu', sandal, sepatu olahraga, kaki palsu, sepatu besi yang berat, sepatu kuda, sepatu salju, sepatu tradisional Jepang (tabi), sepatu dengan roda yang belum pernah kulihat dan mengambang di udara, huarache (sandal Meksiko), sepatu kungfu, sepatu loafers, sepatu berbahan bulu, sepatu balet, sepatu pumps, sepatu yang mengeluarkan lava dari solnya, sepatu kaca berlumuran darah.


Mereka berbaris dengan indah, bergerak perlahan seolah-olah ada orang yang memakainya. 


Di atas sepatu-sepatu itu ada meja kecil, seperti mesin cetak yang digunakan untuk membuat surat kabar di zaman dahulu, dengan stempel kecil yang disusun untuk menulis huruf. 


Mereka menulis sesuatu dengan penuh semangat. Dengan sungguh-sungguh.


"Mimpi yang aneh."


Ketika aku bergumam, sesuatu membasahi pipiku. 


Saat aku menoleh, seekor putri duyung berdiri dengan wajah yang hampir menangis, menepuk-nepuk permukaan air. 


Putri duyung yang setengah transparan, mengenakan pakaian perawat. Siripnya bergerak dengan lentur.


"jadi muncul lagi, kau...!!"


Ini adalah halusinasiku yang sering kulihat belakangan ini. 


Dia muncul di etalase toko, cermin, atau layar TV, dia selalu berusaha berteriak sesuatu padaku. 


Putri duyung berbaju perawat. Dia menatapku tajam dan bergumam.


『』──Kamu adalah pecundang.’


Aku tertegun sejenak karena ucapannya yang sangat kasar.


『Kau bukanlah orang yang ditakdirkan untuknya. Kau hanya pengganti sementara. Saat kau jatuh cinta padanya, semuanya sudah jelas. Pecundang. Kau tidak lebih dari itu.』 


"....Dia? Maksudmu Daigo-kun?"


『Orang yang ditakdirkan untuknya adalah Chiko Shishino. Itu sudah ditentukan sejak lama sekali.』


Shishino? Eh. Shi-shi? Aku terkejut mendengar nama yang tak terduga. 


Memang benar, dia terlihat dekat dengan Daigo-kun, dan itu membuatku sedikit tidak nyaman. 


Tapi dia bukan tipe yang mudah dekat dengan orang lain. 


Bagaimanapun, dia adalah singa yang mandiri. Dia bisa mencari makanannya sendiri. Dia tidak perlu bergantung pada siapa pun.


"Apa yang kau bicarakan? Ini hanya mimpi."


『Tidakkah kau berpikir kalo kau adalah mimpiku?』


Perawat itu tertawa. Dia seperti hologram, terdistorsi dan mengeluarkan suara z-zz dari waktu ke waktu.


『Kau adalah pecundang. Pengganti sementara. Pemeran pendukung. Orang bodoh yang ditendang kuda. Anjing malang yang hanya jadi pelengkap. Orang luar. Pengganggu yang tidak memiliki keberadaan. Hambatan yang tidak berarti. Tokoh sampingan yang membosankan. Pelengkap yang bodoh.』


[TL\n: 'Orang bodoh yang ditendang kuda' menggambarkan seseorang yang terus mengejar cinta yang jelas-jelas tidak bisa dimiliki, hingga akhirnya 'tertendang' oleh kenyataan pahit.]


"......"


Karena kesal, aku melemparkan pukulan lurus ke kanan sekuat tenaga, tapi pukulan itu hanya melewati hologramnya.


『Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu marah.』 


"Kalo begitu, seharusnya ada cara lain untuk mengatakannya!"


『Kami hanya──』


Sepatu-sepatu yang bergerak tidak teratur kini tiba-tiba berhenti.


『Kami hanya ingin kau mengatasi takdirmu.』


Dengan wajah yang hampir menangis. Dengan ekspresi penuh penyesalan. Dia menatapku. 


Hologramnya semakin tidak stabil, bahkan suaranya terputus-putus. Merasakan emosi yang begitu intens, aku menjadi sangat gelisah.


"Tunggu. Kau siapa? Apa yang ingin kamu katakan!?"


『Kau bukan orang yang ditakdirkan untuknya. Karena kau bahkan tidak terikat dengan kenangan tahun 1960-an. Jadi, suatu hari nanti kau pasti akan kalah. Itu sudah ditentukan sejak awal. Tapi justru karena itu──』  


Dia meraih lenganku. Genggamannya kuat.


『Kita mungkin pecundang, tapi kita tidak akan menyerah dan berhenti. ──Benar, kan?』


Putri duyung perawat itu pecah, berhamburan seperti kelopak bunga sakura.


"Wah!?"


Itu melesat ke dalam dadaku bersama dengan angin yang kencang. 


Aku kaget dan mundur. Sepatu-sepatu itu melompat. Menciptakan ritme. Indah seperti tuts piano. 


Stempel-stempel kecil dari mesin cetak berputar seperti tornado. 


Pada akhirnya, semuanya berbaris dengan rapi. Ga, ga, ga, ga, terdengar suara. Itu adalah suara huruf-huruf yang saling terhubung. 


Saat barisan huruf itu terbalik, berubah menjadi layar monitor raksasa.


Di dalam layar hitam putih, sepasang pria dan wanita saling menggenggam tangan.


『Karena kita dihubungkan oleh takdir. Bahkan kalo kita mati hari ini, suatu hari nanti kita akan bertemu lagi.』


Di atas bukit yang dihujani komet raksasa, seorang pelayan dan seorang anak kecil berdiri.


(Apa itu Shi-shi dan── Daigo-kun!?)


Keduanya terlihat sedikit berbeda dari penampilan yang kukenal. 


Tapi aura dan tatapan mereka jelas-jelas menunjukkan kalo itu adalah mereka. 


Mereka saling memandang dengan penuh kasih sayang, lalu mendekatkan wajah mereka.


『Jadi...』


Pelayan berwarna putih bersih—Chikako Shishino—tersenyum dengan wajah yang hampir menangis.


『Ketika kita bertemu lagi nanti, tolong jadikan aku istrimu.』 


Sebelum aku sempat bergumam "jangan", bibir mereka hampir bersentuhan. Seperti pasangan utama dalam film.


Aku hanya berdiri di depan layar itu, tidak bisa melakukan apa pun.



Aku terbangun dengan tubuh berkeringat.


(Mimpi tadi—apa itu—)


Daigo-kun dan Shi-shi adalah orang-orang yang ditakdirkan. Dan aku hanya seorang pecundang. Itu pasti hanya mimpi. 


Tapi itu adalah mimpi yang terasa sangat nyata dan menakutkan. 


Aku menarik napas lega di bawah sinar matahari pagi yang cerah.


"Bodoh sekali."


Mimpi hanyalah mimpi. Sesuatu yang terjadi hanya dalam pikiran, tanpa massa atau substansi. 


Hatiku tidak cukup lemah untuk terpengaruh oleh hal seperti itu. 


Satu-satunya yang membuatku takut adalah orang lain yang nyata.


"Su...su..."


Di sebelahku, seseorang yang seperti anjing besar sedang tidur.


(Benar. Ini kamar Daigo-kun.)


Ketika aku melihat sekeliling lagi, ruangan itu cukup rapi. 


Tapi karena ruangannya sempit, barang-barang berantakan di mana-mana. 


Ada bola karet terjatuh di samping futon. Untuk apa itu?


(...Meskipun tidur, dia tetap tampan.)


Kemejanya menempel pada kulit karena keringat tidur, dan itu terlihat agak mesum. Jantungku berdebar.


(Apa karena aku menyukainya, aku berpikir dia tampan? Secara objektif, seharusnya tidak sampai segitanya.)


Kenapa perempuan merasa jantungnya berdebar-debar saat bersama dengan laki-laki yang disukainya? Apa laki-laki juga merasakan hal yang sama? Aku mencoba menyentuh pipinya yang sedang tidur, tapi aku takut dan menarik tanganku.


"Fuah."


Tubuhnya bergerak. Apa dia akan bangun? —Ah, ini buruk.


(Aku baru bangun tidur.)


Rambutku mungkin acak-acakan, wajahku mungkin bengkak, atau mungkin ada kotoran mata. 


Kalo aku mengurangi 'keimutan' dari diriku yang dianggap imut, yang tersisa hanyalah perempuan aneh yang merepotkan. 


Aku buru-buru mencoba melarikan diri dari situ, tapi suara gesekan pakaian semakin keras.


".....Selamat pagi, Towa."


".......Selamat pagi."


Dia menatapku dengan pandangan yang masih mengantuk.


(Imut sekali.)


Bodoh, bodoh, bodoh, aku bodoh. 


Hanya karena melihatnya baru bangun tidur, jantung ku berdebar kencang. 


Apa aku masih gadis remaja? Ini bukan cinta anak SMP. —Aku segera menyembunyikan wajahku.


"Ada apa?"


"Ti-tidak. Tidak ada."


Jantungku berdebar kencang, aku merasa ingin muntah. Aku ingin muntah. Tapi setidaknya, wajahku ini tidak boleh dia lihat. 


Aku tidak ingin dia melihat sisi yang tidak imut dariku. 


Kalo dia melihatnya, aku akan mati. 


Sambil masih setengah tidur, dia memegang lenganku.


"Aduh!"


"Apa kau baik-baik saja?"


Daigo-kun memegang lenganku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku.


(Dekat, dekat, dekat, dekat, dekat, dekat, dekat, dekat!)


—Aku tidak bisa. Aku benar-benar tidak punya kekebalan terhadap hal seperti ini. 


Aku sendiri tidak menyangka aku bisa segitu lemahnya.


"Tidak, tidak ada apa-apa..."


Aku mencoba melepaskan genggamannya dengan sekuat tenaga—


—Puuu.


Suara kecil yang melengking terdengar. Seperti suara udara yang bocor.


"Hah?"


Tidak. Itu adalah suara tanganku yang meremas bola karet. Tapi dalam situasi seperti ini, pasti terdengar seperti aku yang sedang mengejan...mengeluarkan udara dari, uh, pantatku. 


Aku buru-buru mencoba memberikan alasan, tapi rasa malu membuat kepalaku kosong dan tenggorokanku tercekat.


"Tida-tidak apa-apa. Semua orang melakukannya. Saat baru bangun tidur, perut memang agak sensitif, dan aku tidak mencium bau apa pun...! Kau tidak perlu khawatir sama sekali...!"


Kata-kata penghiburan Daigo-kun menusuk hatiku. Jadi, dengan sepenuh tenaga aku—


"Bukan ituuuuuuuuu!!"


Dengan wajah memerah, aku berlari keluar dari kamarnya.



Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال