> CHAPTER 7

CHAPTER 7

 Kamu saat ini sedang membaca   Unmei no hito wa, yome no imōtodeshita.  volume 1 chapter 7. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw

INI ADALAH KOMEDI ROMANTIS, TAHU



Aku—Chiko Shishino menemukan Daigo-san yang sedang murung ketika aku datang mengajaknya sarapan jam 8 pagi.


"Ah. Ada ulat di sini."


Dia sedang duduk menunduk di depan pintu, sambil meniup-niup mainan bola karet yang berbunyi 'puu-puu'.


"Jadi, Towa-san itu..."


"Ya?"


"Apa dia sangat pemalu?"


Ah. Aku pun mengangguk mengerti.


"Dia punya mental seperti Menara Trump. Meski punya harga diri tinggi, tapi karena tidak pandai, dia mudah runtuh dan kabur. Itu kebiasaan buruknya. Sejak kecil, dia selalu seperti itu."


"...Begitu ya. Kau benar-benar memahaminya."


"Kami ini saudara, kan."


Onee-sama selalu berusaha terlihat kuat dengan sikap tegang dan ekspresi tenang. 


Tapi kebiasaannya, kalo ditekan, dia akan melemparkan semuanya dan kabur. Aku tidak membenci dia yang seperti itu.


"Jadi, ada apa?"


"Ah. Kemarin, Towa menginap di apartemen ku."


"...Hah?"


Tunggu. Onee-sama menginap di kamarnya? Menginap berarti—itu? Eh───────────tunggu. Tidak, tidak. Pikiran ku kosong dan tidak bisa berkonsentrasi.

 

(Kira-kira dia sudah pergi dari apartemen ini, kan?! Kemarin malam saat kita berpisah di Saizeriya, dia bilang 'Aku harus mampir ke toko diving'!)


Aku pikir dia sedang melakukan perjalanan sendirian ke daerah Izu sekarang.


"Kami akur semalam, tapi pagi ini aku melakukan kesalahan. Dia kabur."


'Akur' maksudnya apa?! 'Melakukan kesalahan' maksudnya apa?! Apa yang terjadi antara Onee-sama dan Daigo-san?!


"Daigo-san."


Pokoknya, tidak bisa dibiarkan seperti ini. Mungkin aku harus melakukan sesuatu.


"Eh, apa?"


"Jangan lagi berurusan dengan Onee-sama ku. Kau sedang ditipu. Pasti dia masih merencanakan sesuatu."


"Wow, kau bisa langsung mencurigai kakak kandungmu sendiri..."


Karena Onee-sama memang seperti itu. Dia yang diam-diam memasukkan koin arcade ke dalam 'Celengan sampai 1 juta yen' yang aku simpan dengan penuh semangat, lalu menertawakan aku yang senang melihat celenganku sudah penuh.


"Aku menyukai Onee-sama. Dia keluarga. Aku mencintainya. Tapi itu hal yang berbeda."


"Itu dan ini"


"Dia adalah—penyihir."


Daigo-san terdiam. 'Penyihir' adalah julukan yang aku berikan diam-diam padanya sejak kecil. 


Aku juga tidak ingin mengatakannya, tapi aku tidak bisa membiarkan orang ini terus menjadi mainannya.

 

"Onee-sama adalah orang yang bertindak berdasarkan impuls, membuat semuanya berantakan dan terikat erat, lalu kabur sendirian saat melihat semuanya sudah tidak bisa diperbaiki. Dia punya semangat bertindak, tapi sebenarnya penakut."


"...Aku tahu dia punya kebiasaan kabur. Sampai-sampai dia ditolak untuk bertunangan."


"Daigo-san. Kau tidak boleh lagi menjadi mainan Onee-sama."


Aku menatap matanya dengan tajam. Pandangannya yang lembut. Dia tersenyum sedikit kebingungan.


"Karena... kau..."


Kau begitu baik. Kau begitu serius. Kau orang yang sangat jujur. 


Terlalu kejam melihatmu ditipu dan diejek oleh penyihir itu hanya untuk kesenangan semata. 


Perlahan-lahan, aku mulai merasa marah.


"Kalo aku melihat Onee-sama itu lagi, aku akan menghajarnya..."


"Te-tenang, Shishino-chan, tenanglah."


Aku sangat mencintai Onee-sama. Aku mencintai kelemahan dan kekuatannya. Tapi ini sudah keterlaluan. Lagipula, dia mendekati Daigo-san di situs perjodohan hanya untuk bersenang-senang, kan? (※ benar).


"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Shishino-chan."


"!"


Dia tersenyum pahit dan dengan lembut mengelus kepalaku.


(Dia memperlakukan ku seperti anak kecil lagi...!)


Perasaan tangan besarnya yang membungkusku. Lembut, nyaman, dan membuat hatiku berdebar kencang.


"Tapi aku masih akan berusaha."


"Eh?"


"Memang, aku tidak mengerti perasaan Towa. Tapi... aku pikir dia sedang berusaha mendekatiku."


"..."


"Jadi aku harus berusaha. Kami suami istri."

 

Itu hanya kata-kata belaka. Padahal kemarin adalah pertama kalinya kalian bertemu. Padahal dia hanya menipumu karena menginginkan surat nikah. 


Tapi, melihat ekspresi lembutnya, aku tidak bisa mengeluarkan keluhan seperti itu.


"──Daripada itu. Sampai kapan kau mau mengelus kepalaku? Itu sebabnya, ini pelecehan seksual, tahu."


Sebagai gantinya, aku menepis tangan Daigo-san dengan pena, dan dia membuat wajah yang menunjukkan dia melakukan kesalahan.


"Kalo bukan aku, kau sudah kugugat, tahu."


Itu bohong. Sebenarnya aku senang. Jantungku berdebar-debar tidak berhenti karena disentuhnya. Tapi, ini salah, kan. Tidak boleh... kan. Aku tidak punya hak seperti itu.


(Daigo-san. Kau memutuskan untuk berusaha bersama Onee-sama, ya.)


Kalo begitu, aku harus mendukungnya. Benar, kan? Sudah pasti begitu, kan?


Hari ini juga, kami menikmati bubur Tionghoa di Huang Long Ting, sebuah restoran di gang kecil di Chinatown. 


Awalnya, suasana khas Chinatown dan aroma obat tradisional yang samar-samar tercium terasa asing, tapi sekarang kami mulai terbiasa sedikit demi sedikit.


"Shishino-chan, selamat pagi!"


Linggeit-san dan Yen-san. Semua orang di Maison de Shanghai juga bersemangat seperti biasa.


"Eh? Ngomong-ngomong."


Yen-san menggerakkan ekor kuda kecilnya sambil menatapku.


"Shishino-chan, kau masih SMP, kan? Apa kau tidak apa-apa tidak sekolah?"


"Aku akan cuti sekolah untuk sementara waktu. Masih ada banyak masalah di rumah yang harus diselesaikan."

 

Yah, kalo bibi besar sudah sembuh, keributan ini pasti akan berakhir. Sementara itu, aku akan tinggal di apartemen Daigo-san. Daigo-san bergumam.


"Aku kan pernah bilang kalo kau tidak perlu bayar sewa."


"Tidak bisa seperti itu."


Aku sudah membayar sewa untuk beberapa bulan ke depan. Meskipun begitu, posisiku yang memanfaatkan kebaikannya tetap tidak berubah.


"Haaa~~. Shishino-chan memang anak yang bertanggung jawab, ya. Waktu aku berumur 16 tahun..."


"Apa yang kau lakukan, Lin?"


"Terpengaruh pemikiran New Age dan bekerja paruh waktu di McDonald's di India Utara~"


Kami saling bertukar pandangan dan sepakat untuk tidak menggali lebih dalam. 


Yen-san sambil melirik Hp-nya (apa dia sedang bermain game? Dia memang lihai), bergumam.


"Maksudku, Shishino-chan, apa yang kau lakukan sepanjang hari?"


"Aku membaca buku atau belajar."


"Haa. Itu pasti membosankan. Daigo, kau harus mengajaknya pergi ke suatu tempat. Misalnya ke Enosui."


Enosui? Saat aku bertanya, Linggeit-san menunjukkan layar Hp-nya.


Enosui adalah Akuarium Enoshima yang baru, ternyata tempat wisata yang cukup terkenal. 


Dari sini naik kereta sekitar satu jam. Sepertinya akuarium besar, dan ada kapibara juga. Kapibara! Di akuarium!


"Ah, tapi aku ada kerjaan hari ini."


"Berani sekali kau bilang begitu di depan anak yang matanya sudah berbinar-binar ini!"


Linggeit-san menunjukku dengan jarinya. Ah, tidak. Mataku tidak berbinar-binar atau apa. 


Aku tiba-tiba merasa sangat malu dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

 

"...Akuarium, apa kau mau pergi lain kali?"


"Ka-kalo Daigo-san mau pergi? Aku ini wanita dewasa, jadi tidak terlalu tertarik dengan ikan atau semacamnya."


"Ada penguin juga lho."


"Penguin!?"


Tanpa sadar aku berseru dan bersandar ke depan. 


Melihatku seperti itu, Daigo-san tersenyum bahagia. Aku merasakan pipiku memanas dan segera duduk tegak sambil batuk kecil.


"...Terserah. Boleh saja kalo kau mau pergi."


"Oke oke. Janji ya."


Dia mengaitkan kelingkingnya dengan wajah lembut. Aku diperlakukan seperti anak kecil lagi. 


Itu agak menyebalkan, tapi akuarium membuatku senang. Penguin dan kapibara. Aku juga ingin melihat ubur-ubur. Yen-san bergumam.


"Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan manajer?"


"Itu di tempat bos. Katanya mereka tidak memiliki cukup tenaga saat ini."


"Ah, itu toh. Kerja paruh waktu."


'Kerja paruh waktu.' Yen-san bilang begitu. Aku penasaran dan mencoba mendengarkan.


"Gaji untuk seorang manajer dimulai dari 150.000 yen per bulan. Meskipun ini pekerjaan tetap, akan sulit kalo kau tidak memiliki pekerjaan sampingan."


"Kenapa kau tahu? Hentikan."


"Iwas, dewa peramal, bisa meramalkan apa saja!"


Daigo-san menatap Linggeit-san dengan tatapan ketakutan. Yen-san bertanya padanya.


"Ngomong-ngomong, apa kakimu tidak apa-apa?"


"Aku punya kruk. Jadi berjalan tidak masalah."


Kerja paruh waktu? Kalau bos, maksudnya bos properti di sini—Tn. Tamanoi Masakatsu? Pertama kali melihatnya, aku terkejut karena mengira dia idol atau semacamnya, dia sangat tampan dan tinggi.


"Kerja di sana mudah, tapi pembayarannya terlalu baik sampai membuat ku takut."


"Bos itu orang aneh. Dia tidak bisa bergaul dengan orang normal, idiot."


"Bisa jadi dia tidak tahu harga pasar. Dia tipe orang yang hanya berjalan di jalannya sendiri..."

 

Dari sudut pandang ku, para penghuni Maison de Shanghai ini sudah cukup aneh, tapi sepertinya bos ini adalah orang yang ditakuti bahkan oleh mereka yang aneh sekalipun. Meskipun penampilan luarnya terlihat seperti orang biasa.


(Daigo-san, apa tidak apa-apa dia melakukan 'kerja paruh waktu' padahal kakinya patah...)


Mungkin seseorang harus menemani dia. Dan aku sendiri sedang sangat-sangat-sangat luang. E-book yang aku baca juga sudah hampir selesai, dan aku benar-benar tidak ada kegiatan. Jika orang yang berjasa pada ku sedang dalam kesulitan, aku harus membantunya. Aku pikir itu adalah jalan yang benar sebagai manusia.


"Kalo kau tidak keberatan, bolehkah aku ikut membantu?"


Daigo-san bergumam kalo sebaiknya aku tidak melakukannya, sementara 2 orang lainnya tertawa dengan tatapan yang terlihat menyenangkan.




Saat memasuki kantor, aroma wangi menyentuh hidung ku.


"Selamat datang. Oh? Bahkan Shishino-san ikut?"


Duduk dengan anggun di sofa sambil menyilangkan kaki adalah sang bos.


"...Aku sudah mencoba menghentikannya."


Plang kantor bos hanya bertuliskan 'Tamanoi Real Estate', sangat sederhana. 


Interiornya juga sederhana namun elegan, meskipun ada target tembak berlubang dan jaket klub berburu yang dipajang, membuatnya sedikit tidak serasi.


"Aku datang karena mendengar kau sedang kesulitan mencari orang."


Aku, seorang gadis yang selalu dilindungi, aku belum pernah melakukan 'kerja paruh waktu' sebelumnya. Tapi seperti yang bibiku katakan, dalam hidup, penting untuk mencoba segala sesuatu. Semuanya dimulai dari sebuah tantangan.


"Begitu ya. Terima kasih atas bantuannya."


"Terima kasih? Kau ini, dia masih SMP lho."


Bos tersenyum dengan tatapan yang menyaingi seorang idol, lalu dia menunjuk ke bagian belakang ruangan.


"...Ah, benar-benar tidak ada yang bisa dilakukan dengan kakak yang bodoh ini."


Yui-chan sedang bekerja dengan sibuk, dikelilingi oleh tumpukan dokumen.

 

"Bahkan anak SD pun direkrut?"


Daigo-san terlihat kaget, sementara Yui-chan menghela napas dengan penuh pesona.


"Sebelumnya, ada seorang Yamashita-san, kan?"


"Ah, yang cantik itu."


"Dia mengaku cinta pada kakak bodoh ini. Tapi dia ditolak. Lalu karena sakit hati, dia menyebarkan rumor yang tidak-tidak, dan semua staf mengundurkan diri."


".........Oh."


"Sekarang sedang kacau. Semua karena kakak bodoh itu. Aku bekerja untuk biaya sekolahku sendiri."


Yui-chan tersenyum dengan senyuman wanita dewasa. Dia jauh lebih dewasa daripada aku.


"Bagaimana kalo kalian ber-2 minum teh dulu? Teh semi yang baru dipetik pagi ini."


"Jangan memaksakan makanan anehmu pada orang lain, kakak bodoh."


"Kata 'makanan aneh' itu kurang tepat, Yui-chan. Aku hanya ingin menikmati makanan enak. Intinya, aku seorang pecinta kuliner."


"Teh yang terbuat dari larva serangga, mana ada yang enak?"


Ternyata bos seperti ini, ya. Aku tidak menyangka. Tapi aku senang melihat dia akur dengan Yui-chan, dan merasa sedikit hangat di hati. Dan aku menolak teh serangga itu dengan sepenuh hati. Tidak mungkin aku meminumnya.


"Jadi, pekerjaannya apa?"


Menjawab pertanyaan Daigo-san, bos tersenyum dengan sedikit rasa bersalah.


"Sama seperti biasa."


"...Bisnis detektif?"


Kata 'detektif' yang sangat menarik membuat telinga kucing dalam hatiku langsung berdiri. 


Tapi ini kan perusahaan real estate? Kenapa ada pekerjaan detektif yang masuk ke sini?


"Tempat ini dulunya adalah kantor detektif. Yang berhubungan dengan real estate. ...Dulu, sih."


Melihat ekspresi bingungku, Yui-chan menjelaskan.


"Detektif yang berhubungan dengan real estate?"


"Lihat, meskipun perusahaan manajemen mengelola properti, tetap perlu investigasi, kan? Masalah hak kepemilikan, masalah tanah, informasi penghuni sebelumnya. Dulu, manajemennya lebih sembarangan."


"Begitu ya."


"Ini adalah perusahaan yang didirikan ayah kami. Dulunya adalah kantor detektif. Tapi seiring waktu, pengetahuan terkumpul, dan kami menyadari kalo bisnis real estate lebih menguntungkan."


"Jadi sekarang fokus utama adalah bisnis real estate, ya?"


Ketika aku bergumam, bos tersenyum dan mengangguk seperti guru yang melihat murid yang baik.


"Tapi masih ada permintaan dari pelanggan lama atau orang yang mendengar kabar dari suatu tempat."


"Haa. Aku sudah bilang untuk menolaknya. Kita sudah cukup dengan bisnis real estate, kan?"


"Tapi detektif itu menarik."


"Haa..."


Bos tersenyum cerah, sementara Yui-chan menghela napas dalam-dalam.


(Bos ini, beberapa kali lebih aneh dari yang aku bayangkan!)


Dia tampan, tapi sepertinya pepatah "Tuhan tidak memberikan 2 hal sekaligus" berlaku di sini.


"Kalo begitu, apa aki boleh lihat data permintaannya? Apa pekerjaannya bisa dimulai dari hari ini?"


"Ya. Seperti biasa, karena dibayar per jam, tolong isi kartu waktu."


Belakangan aku tahu kalo detektif biasanya dibayar per jam. Aneh. Daigo-san bergumam, "Mengerti", dan Yui-chan menyerahkan dokumen dengan enggan. Bos kemudian bergumam.


"Katanya malam ini akan ada badai. Sebaiknya bawa payung."


Mari jelaskan misinya. Kliennya adalah perusahaan manajemen dari kota sebelah. 


Ada properti yang 'penghuninya selalu pindah setelah sekitar satu bulan', dan mereka ingin alasan di baliknya diselidiki.

 

"Serius, Shishino-chan, kau tidak perlu ikut membantu, tahu."


Daigo-san dengan cekatan menggunakan tongkat ketiaknya. Tapi kita tidak boleh lengah.


"Apa Daigo-san merasa terganggu dengan kehadiranku?"


"...Kau selalu memojokkanku seperti itu, ya."


Kami berjalan di bawah langit yang sedikit mendung, melewati distrik perbelanjaan di Kannai. 


Properti yang akan kami selidiki, 'Mansion Crowley', terletak di ujung Kannai, di daerah yang disebut Fukutomi-cho.


(Rasanya... sedikit seperti kencan.)


Hanya ber-2. Berjalan di distrik perbelanjaan. 


Dalam jarak yang cukup dekat hingga tangan kami hampir bersentuhan.


(Apa yang sedang aku pikirkan?!)


Bodoh sekali. Aku terlalu berkhayal. Aku hanya ingin membantu dia. Jangan sampai salah paham. Serius dan fokus. 


Penting untuk menyelesaikan pekerjaan dengan hati yang dingin.


"Bagaimana kalo kita makan siang dulu sebelum ke lokasi?"


"Ah, baik."


"Apa di sana boleh?"


Dia menunjuk ke sebuah gerai kebab.


(Apa... apa boleh makan seperti ini?)


Sementara aku ragu-ragu, dia membeli 2 kebab.


"Mmm... Hmm!?"


Roti yang lembut dan daging yang gurih. Ini enak. Sausnya juga luar biasa.


"Munch munch."


Saat aku asyik makan, dia tersenyum dan mendekatkan jarinya ke wajahku.


"Makan pelan-pelan, oke? Lihat, ada sausnya."


"Hmm."


Dia membersihkan sudut mulutku dengan jarinya. Sentuhannya lembut, menyentuh bibirku. 


Aku merasa malu, jantungku berdebar, dan aku tidak bisa bergerak sama sekali.


(Ini kencan.)


Ini jelas-jelas kencan. Aku pernah melihatnya di manga shoujo. 


Aku seperti tokoh utama dalam manga yang sering kubaca, wajahku memerah, bingung, dan menatapnya sambil dia tertawa dan melanjutkan makannya.


(Bersikaplah tegas. Tegas, diriku!!)


Aku datang untuk membantu pekerjaan! Daigo-san sudah memutuskan untuk berusaha bersama Onee-sama!


Jangan menatapnya dengan mata seperti gadis kecil yang memimpikan pangeran. Lagipula, itu tidak cocok untukku.


"Nah. Ayo kita pergi, Shishino-chan... Kenapa kau mencubit pahamu sendiri?"


Daigo-san memandangku dengan heran saat aku mencoba mengusir khayalanku dengan rasa sakit.

 



Ketika kami tiba di Fukutomi-cho, khayalan romantisku telah hilang jauh. 


Papan reklame berwarna-warni dengan tulisan besar 'Soapland' yang berkilauan. 


Hotel-hotel yang penuh warna. Toko obat dengan poster bertuliskan 'Obat Kuat'. 


Iklan-iklan tentang istri orang atau amatir berbaris seperti mantra.


(A-apa ini... yang disebut distrik hiburan dewasa?!)


Orang-orang yang terlihat tidak terlalu baik berjalan di sekitar. 


Ada juga yang duduk di pinggir jalan sambil merokok. Daigo-san tersenyum mencoba menenangkanku yang sibuk melihat ke sekeliling.


"Memang mengejutkan, ya, daerah ini. Suasananya sangat berbeda."


"...Yokohama selalu memiliki citra yang mewah."


"Daerah ini adalah kawasan orang asing. Berbeda dengan Chinatown, tidak terlalu banyak dikembangkan untuk pariwisata."


Memang, melihat sekeliling, tulisan di papan reklame lebih banyak menggunakan bahasa asing daripada bahasa Jepang. 


Awalnya tidak menyadarinya, tapi ada banyak izakaya dan warnet untuk orang asing.


"Meskipun suasana beragam, ada banyak tempat makan enak di sini. Ada daya tarik yang tidak ditemukan di tempat lain."


Sambil mendengarkan kata-katanya, aku menatap sebuah pemandian umum dengan gambar wanita cantik.


(Apa Daigo-san juga datang ke tempat seperti ini?)


Katanya pria sering datang ke tempat seperti ini. Tapi, mungkin Daigo-san tidak. Dia tidak terlihat seperti orang yang menyukai hal-hal seperti ini. Dia terlihat damai dan tidak berbahaya, sepertinya dia juga tidak membaca buku-buku mesum. Mungkin. Aku pikir dia tidak membaca hal-hal kotor seperti itu. Ya.


"Tentang apartemen kali ini, sepertinya hanya penghuni kamar 204 yang sering pindah dengan cepat."


"Penghuni lantai lain tidak ada masalah?"


"Sepertinya begitu. Pertama-tama, kita harus mulai dengan wawancara."


Frasa 'wawancara' membuat jiwa SMP-ku bergelora.


Detektif dan wawancara. Ini adalah hal yang membuatku bersemangat. Mansion Crowley adalah apartemen 3 lantai yang kecil dan ramping. 


Itu terletak di ujung Fukutomi-cho, dikelilingi oleh hotel dan bar.


"Permisi~ Kami dari perusahaan manajemen~"


Kami mewawancarai penghuni apartemen. Apakah ada hal aneh yang terjadi belakangan ini. Apakah ada masalah kebisingan. Apakah ada konflik dengan tetangga, dan sebagainya.


"Maaf, aku tidak tahu. Terima kasih atas kerja kerasnya. Oh, apa kau mau air minum?"


Ada penghuni yang ramah dan sudah berumur yang memberikan kami air mineral dalam botol.


"Tetangga sebelah? Ah... Entahlah. Kami tidak banyak berbicara."


Di depan pintu masuk yang dipenuhi dengan banyak jimat, ada yang berkata seperti itu.


Semua penghuni sepertinya tidak tahu apa-apa, dan wawancara kami tidak membuat kemajuan.


"Hmm. Apa yang sebenarnya terjadi?"


Daigo-san menggaruk-garuk kepalanya. Lokasi Mansion Crowley sebenarnya tidak buruk. Sewanya juga standar. Meskipun berada di tengah distrik hiburan, tidak ada alasan yang jelas kenapa banyak orang yang pindah.


(Ngomong-ngomong, Daigo-san sangat terbiasa dengan wawancara...!)


Dia sama sekali tidak takut berbicara dengan orang asing dan dengan lancar mengajukan pertanyaan.


(...Sepertinya. Dia memang sudah dewasa.)


Dia terlihat seperti pria yang sedang bekerja. Ada sesuatu yang entah bagaimana, agak keren tentangnya.


"Bagaimana kalo kita periksa kamarnya?"


"Oke."


Kami memasuki kamar yang bermasalah, yaitu 'Kamar 204'.


"Wow."


Kamar yang baru saja ditinggalkan, belum dibersihkan oleh petugas kebersihan. 


Katanya hanya ditempati selama satu bulan, jadi itu tidak terlalu kotor, tapi ada suasana kehidupan yang aneh dan terasa sangat nyata.


"Aku akan memeriksa kantong sampah, bisakah kau memeriksa kamarnya, Shishino-chan?"


"Me-meriksa kantong sampah?"


Daigo-san mulai memeriksa kantong sampah di sudut kamar dengan gerakan yang terampil. Apa ini juga bagian dari pekerjaan detektif? Aku merasa seperti anak kecil yang melihat identitas asli Santa, sambil membuka lemari pakaian di kamar.


"Oh. Apa ini?"


Aku menemukan kotak dengan kemasan yang mencurigakan, dan Daigo-san bergumam "Apa?" sambil mendekat.


Aku menunjukkan padanya kotak tipis yang bertuliskan '0,02 mm'.


"Ini..."


"Apa ini? Aku belum pernah melihat kotak dengan bentuk aneh seperti ini. Ada apa di dalamnya?"


"Tunggu, tunggu, tunggu! Se... serahkan itu padaku."


Dia terlihat agak tidak nyaman dan menghindari kontak mata dengan ku.


"Daigo-san apa kau tahu apa ini?"


"Ya, aku tahu... atau bagaimana mengatakanya ya..."


"?"


"Pokoknya, ini bukan sesuatu yang seharusnya dipegang oleh gadis kecil... Sebenarnya lebih baik dipegang untuk berjaga-jaga, tapi ini bukan waktunya untuk membicarakan itu, serahkan saja itu padaku!"


"Meskipun aku tidak terlalu mengerti, bukankah itu diskriminasi?"


Aku pikir tidak baik membedakan antara anak laki-laki dan perempuan. Semua harus setara. 


Aku mengabaikan kegelisahannya dan membuka kemasannya, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil yang mirip kantong.


"...Permen?"


"Bukan. Meskipun terlihat seperti permen lolipop, tapi bukan itu."


"Lalu apa ini?"


Aku menatap wajahnya yang terlihat tidak nyaman dengan tajam.


(Dia menyembunyikan sesuatu! Wajahnya seperti orang yang punya rasa bersalah.)


Aku pikir menyembunyikan sesuatu itu tidak baik. Kejujuran adalah dasar dari hubungan antar manusia.


"Aku akan terus menatapmu sampai kamu menjelaskan apa ini."

 

Daigo-san menghela napas.


"Sebentar, dengarkan."


Dia meletakkan tangannya di dekat telingaku. Wajahnya sangat dekat, dan aku merasakan dadaku berdebar kencang. 


Aku bisa merasakan napasnya yang hangat, aku mendengarkan penjelasannya tentang apa yang ada di dalam kotak itu. Eh. Kondom?


"Pinya!?"


Kotak itu jatuh dari tanganku dengan suara berisik, dan wajahku memerah karena malu.


"...Ya, itu dia."


Dia juga terlihat malu-malu, sambil diam-diam menjauh dariku dan kembali memeriksa kantong sampah.


(Apa yang baru saja aku pegang di depan pria ini tanpa rasa malu!?)


Chiko Shishino, ini adalah kesalahan seumur hidup. Aku pasti akan merasa malu di malam hari dan tidak bisa tidur karena ini.


"Hmm? Apa ini?"


Dia menemukan sesuatu di dalam kantong sampah dan menggaruk-garuk kepalanya. Aku juga mengintip ke dalamnya. Yang ada hanyalah potongan-potongan kain yang dipotong kecil-kecil. 


Itu terlihat seperti kain kimono atau pakaian tradisional Jepang. Tapi jumlahnya hanya sekitar satu sapu tangan? 


Kami lalu saling memandang dan sama-sama bingung.




Kami terus menjelajahi kamar, memeriksa toko-toko di sekitarnya, dan pergi ke perusahaan manajemen untuk melakukan wawancara. 


Setelah sibuk melakukan berbagai hal, tanpa kami sadari hari sudah sore.


"...Hmm."


Daigo-san terlihat sedang berpikir keras. Apa dia menemukan sesuatu? Aku sendiri benar-benar tidak tahu. Tapi sepertinya dia merasa ada sesuatu.


"Mari kita kembali ke kantor. Kita harus mencatat waktu."


Kami mulai berjalan dari perusahaan manajemen di Fukutomi-cho menuju kantor.


──Tapi saat itu, hujan mulai turun.


"Sial. Payungnya ketinggalan di kamar 204."


"Ah."


Di tanganku hanya ada satu payung plastik transparan. Secara refleks, aku bergumam.


"Kalo begitu. Ayo kita berbagi."


"Terima kasih. Kau menyelamatkanku."


"...!"


Dia memegang payungnya. Seperti seorang pria sejati. Dalam jarak yang cukup dekat hingga bahu kami bersentuhan. Aku bersandar padanya. Hujan yang turun perlahan tertahan oleh payung. Dalam jarak seperti ini, aku bisa mendengar detak jantungnya, dan itu membuatku takut.


(Tunggu, dia pakai kruk!?)


Aku segera menyadarinya dan merebut payung darinya. Daigo-san bilang tidak apa-apa, tapi aku menatapnya dengan tajam. Tentu saja, bagian tengah payung adalah miliknya. Aku tidak masalah kalo aku basah.


(...Jaraknya benar-benar dekat, ini berbahaya.)

 

Entah ini perasaan berdebar-debar atau deg-degan, ini benar-benar tidak baik. 


Jantungku berdegup kencang sampai-sampai aku merasa akan pingsan. Aku ini adiknya Onee-sama. Aku bukanlah orang yang ditakdirkan untuk Daigo-san.


(Andai saja hujan ini... terus... berlangsung selamanya...)


Sementara aku berkhayal seperti gadis remaja, hujan gerimis tiba-tiba berubah menjadi badai.


"Gwoooh!? Tulang payungnya patah semua!?"


"Kyaaa!! Daigo-san, ini agak berbahaya, ya!?"


Hujan seperti ember yang ditumpahkan. Angin yang terlalu kencang hampir membuat kami terbang. Keadaan romantis tadi hilang begitu saja! Aku merasa bodoh karena tadi berpikir tentang berbagi payung. Di hadapan kekuatan alam, perasaan gadis remaja seperti sampah kertas.


"Shishino-chan, hati-hati!"


Daigo-san berteriak dan memelukku. Pada saat yang sama, terdengar suara gedebuk. Papan reklame besar bertuliskan 'Harga Murah' yang menabraknya terbang ke belakang kami karena badai.


"Aduh... sakit!"


"Daigo-san!"


"Ah, tidak, aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja! ...Tapi, kalo terus begini, ini tidak baik!"


Daigo-san memegang bahunya yang terluka sambil mengerutkan wajah kesakitan.


(Dia melindungiku dan malah terluka.)


Itu benar-benar tidak boleh terjadi. Aku harus melakukan sesuatu dan melihat sekeliling.


"Daigo-san, di sana! Mari kita masuk dulu!"


"Di sana... eh!?"


Tulisan 'Istirahat 5 jam 3000 yen'. Pencahayaan dengan warna-warna mencolok. Pintu masuk yang terlalu stylish. Aku menarik tangan Daigo-san yang wajahnya pucat dan membawanya masuk ke hotel.


★★★


Di benakku, 3 kata 'UU Perlindungan Anak' melintas.


"Ah, ternyata dalamnya cukup bagus."


Shishino-chan berkata sambil memandang ke sekeliling ruangan mewah yang diterangi lampu biru. 


Aku, adik ipar yang masih SMP, datang ke hotel cinta bersamanya. Kalo ini ketahuan polisi, mungkin aku akan ditangkap. Petugas resepsionis sempat ingin mengatakan sesuatu saat melihat Shishino-chan yang bertubuh kecil, tapi setelah melihatku yang basah kuyup dan menggunakan kruk, dia membiarkan kami masuk tanpa berkata apa-apa.


"Kalo begitu, Daigo-san. Tolong lepaskan bajumu."


"Eh!?"


"Tadi kan bahumu terbentur papan reklame. Mungkin ada luka."


Ah, jadi itu maksudnya. Tapi tetap saja. Apa aku boleh melepas bajuku di hotel cinta bersama adik iparku? ...Meskipun ini keadaan darurat dan tidak ada niat buruk.


(Terlalu memikirkannya malah berbahaya.)


Badai di luar semakin ganas, menampar kaca jendela dengan keras. Aku berusaha keras menjaga ketenangan sambil melepas baju atasku. Aku menggantung kemeja basahku di dekat jendela.


".............."


Shishino-chan sejenak diam, menatapku dengan tajam.


"Eh, apa?"


"Tidak ada."


Dia mengalihkan pandangannya dan menyentuh bahuku. Aku terkejut dengan telapak tangannya yang kecil, dingin, dan lembut.


"...Merah dan bengkak."


Sambil membuka kotak P3K yang dipinjam dari resepsionis hotel, Shishino-chan lalu menatapku.


"Daigo-san, kau benar-benar bodoh."


"Eh? Apa yang terjadi tiba-tiba?"


"Karena. Kakimu sudah terluka. Tapi sekarang kau malah terluka lagi."

 

Dia marah. Emosi kemarahannya lebih kuat daripada rasa terima kasih atau belas kasihan. Aku merasa melihat keanggunan Shishino-chan di sana. Gadis yang cantik, pikirku. Setiap kali berbicara dengannya.


"Kau selalu melindungi orang lain, dan kau sendiri yang terluka. ...Bodoh. Bodoh sekali."


"Aku tidak melindungi siapa-siapa. Hanya saja aku lamban dan tidak bisa menghindar."


"........"


Dia menatapku dengan pandangan dingin seperti es.


"Apa kau pikir aku masih anak kecil sehingga alasanmu bisa diterima?"


Menakutkan. Aku gemetar tanpa bisa membalas. Dia menghela napas lalu menyentuh tubuhku.


"Bahumu harus dikompres. Dan mungkin juga perlu dibalut."


Dia dengan hati-hati dan penuh dedikasi memberikan pertolongan pertama. Dia menambahkan bahwa nanti harus pergi ke rumah sakit.


Sore itu terasa sangat sunyi. Di luar badai, tetesan hujan menghantam kaca jendela dengan keras. Tapi, napas Shishino-chan terdengar sangat jelas. 'Peringatan hujan lebat telah dikeluarkan untuk seluruh wilayah Prefektur Kanagawa. Harap perhatikan informasi cuaca selanjutnya.' Saat menyalakan TV, pembawa acara berbicara dengan suara serius. Menurut ramalan cuaca, hujan lebat akan berlanjut sepanjang malam.


"Bagaimana, apa kita harus melanjutkannya?"


"Bagaimana ya?"


Kami berdua menyadari kalo tidak ada pilihan lain. Hujan di luar terlalu deras, dan air menggenang di jalanan. Taksi juga tidak beroperasi. Gips-ku basah kuyup, dan tidak mungkin kami berjalan dalam badai ini.


"......."


Tapi, apa ini baik-baik saja? Aku punya istri, tahu. Meskipun ini adik iparku, apa boleh menginap di hotel cinta bersamanya? Aku tahu itu satu-satunya pilihan—tapi aku tidak bisa mengatakannya.


"Mari kita menginap di sini malam ini."


Dengan suara lembut, Shishino-chan bergumam.


"Aku akan menjelaskan semuanya kepada Onee-sama. Jadi, jangan khawatir."


"...Kau yakin?"


Shishino-chan tersenyum lembut. Aku akhirnya menyadari kalo dia sedang berusaha membuatku nyaman.


"Daigo-san, apa kau berencana melakukan sesuatu padaku?"


"Ti-tidak! Tentu saja tidak!?"


"...Benar juga."


Sejenak, aku merasa dia terlihat seperti ingin menangis.


Aku memutuskan untuk menganggapnya sebagai perasaanku saja.


★★★


 Ternyata, aku sedang sangat panik.


(Berada di ruangan yang sama dengan Daigo-san selama satu malam.)


Sejak menyadari hal itu, kepalaku kosong, dan aku bahkan tidak tahu apa yang aku katakan.


(Aku bahkan tidak menyadari kalo tubuhku basah kuyup karena badai, dan malah memberikan pertolongan pertama padanya.)


Sungguh bodoh. Aku sendiri merasa sangat kesal. Tidak boleh membiarkan tubuh yang dingin begitu saja. Aku panik dan mencoba memaksanya masuk ke kamar mandi, lalu bingung saat menyadari bahwa kamar mandi itu seluruhnya terbuat dari kaca, dan dia malah mengatakan bahwa tidak baik membiarkan seorang gadis kedinginan, dan kami pun berdebat sengit.


Pada akhirnya, dia tidak mau mengalah. Pada akhirnya, aku mandi sendiri di bak mandi berkaca, dengan air panas.


(Kalo dia sedikit saja datang ke koridor, semuanya akan terlihat.)


Siapa sih orang bodoh yang merancang kamar mandi ini? Sangat tidak masuk akal.


(Aku harus segera menghangatkan tubuh Daigo-san juga.)


Dia bisa masuk angin. Dia yang telah menolongku. Aku tidak bisa melakukan hal yang tidak adil seperti itu.


"Daigo-san, aku sudah selesai. Silakan masuk!"


"Oke... eh, Shishino-chan!? Kenapa kau berpakaian seperti itu!?"


Rambutku masih basah, dan hanya handuk mandi yang melilit tubuhku. Aku juga tidak ingin terlihat seperti ini. Dadaku datar dan menyedihkan. Tapi sekarang, aku lebih menghargai kepraktisan daripada rasa malu.


"Sudah! Mandilah dulu!"


Aku berbalik ke punggungnya yang terlihat malu dan mendorongnya ke kamar mandi. Ini benar-benar memalukan. Aku merasa ingin mati. Jantungku berdegup kencang seperti bass drum.


(Berpakaian seperti ini di depan Daigo-san...!)


Sambil mencari piyama hotel atau sesuatu yang bisa dipakai, aku mendinginkan pipiku yang panas dengan punggung tanganku.


(...Tapi. Daigo-san. Sepertinya dia sedikit melihat tubuhku.)

 

Bagian payudara. Garis pinggul. Aku merasakan pandangannya sesaat. Pandangan yang agak lengket. Pandangan mesum. Dia bahkan mengarahkannya padaku. Padahal dia selalu memperlakukan aku seperti anak SMP, seperti anak kecil.


"...Pinya~~~~!!"


Ah, benar-benar tidak bisa. Kepalaku kosong. Aku merasa akan hancur. Suara berdebar-debar yang keras tidak berhenti. Aku memutuskan untuk mengenakan bathrobe yang disediakan hotel.


(Bagaimana dengan pakaian dalam?)


Pakaian dalam yang basah dan menjadi berat karena hujan. Basah dan tidak nyaman, aku tidak bisa memakainya.


(Tapi, aku tidak memakai apa-apa sama sekali...!!)


Itu, tentu saja, tidak boleh, kan? Tidur satu malam di kamar yang sama dengan pria, dan tidak memakai pakaian dalam. Apa tidak ada toko di hotel ini? Dengan harapan kecil, aku membuka peta hotel. Eh, apa ini?


(Penyewaan pakaian? Mereka menyediakan ini juga. Seragam perawat, kostum kelinci. Bahkan ada seragam maid.)


Semuanya terlihat seperti cosplay. Kenapa mereka menyewakan ini?


(...Ah. Sepertinya ada. Mesin penjual otomatis?)


Ternyata ada mesin penjual otomatis di ujung koridor yang menjual pakaian dalam. Apa itu? Aneh. Terlalu kebetulan. Meski curiga, aku memakai pakaian basahku sebentar dan buru-buru keluar dari kamar.


"Ini mungkin."


'Mesin penjual otomatis' itu segera ditemukan. Mesin kecil dengan warna yang agak kusam, sangat berbeda dengan mesin penjual minuman yang biasa kita lihat. Terlihat sedikit retro dan lucu.


(Ah. Ada juga camilan. Bahkan mie cup.)


Gunting kuku, pembalut, stoking. Di antara semuanya, ada 'Pakaian Dalam Wanita'.


(Apa itu 'skin gratis'?)


Penasaran, aku mengintip ke dalam wadah bertuliskan 'Skin', dan menemukan barang yang tadi ada di kamar 204. Itu, yang dipakai pria dan wanita saat, eh, melakukan itu.


"Pinya."


Aku tidak menyangka mereka menjual barang seperti ini. Pasti ini etiket untuk orang dewasa, tapi ini terlalu dini untuk anak SMP. Dengan mata berkaca-kaca, aku buru-buru membeli apa yang ku perlukan dan kembali ke kamar.


"Ah, tiba-tiba kau menghilang, aku kaget, Shishino-chan."


Daigo-san sudah selesai mandi dan masih mengeluarkan uap hangat. Dia menyambutku di depan pintu, hanya mengenakan bathrobe di atas kulitnya. ...Artinya, Daigo-san juga sekarang, pakaian dalam—


(Apa dia tidak memakainya? Dadanya terlihat jelas dari bathrobe.)

 

"Pinyaa..."


"Eh. A-ada apa, Shishino-chan? Wajahmu seperti orang yang mau mati."


Aku menyerahkan mie cup dan camilan padanya.


"Ini. Aku membelinya. Silakan dimakan."


"Eh."


"Aku sudah basah lagi, jadi aku akan mandi lagi."


Aku masuk ke kamar mandi sambil melarikan diri, wajahku masih merah, dan melepas pakaianku. Kekacauan hari ini benar-benar buruk. Aku akan merasa malu sampai tidak bisa tidur. Aku harus segera membilasnya dengan air panas.


"Ah."


Aku mendengar suara dari belakang.


"Eh?"


Aku bertatapan dengannya yang baru saja kembali dari pintu masuk.


"........"


Aku benar-benar lupa. Kalo pintu kamar mandi terbuat dari kaca. Kalo saat kembali dari pintu masuk ke kamar, pasti akan melewati depan kamar mandi. Dan kalo aku berganti pakaian pada saat ini, pasti itu akan terjadi seperti ini.


"~~~~~~~~~~~~~~!!"


Dia melihatnya. Dia melihatnya! Dia melihatnya!? 


Aku berusaha mati-matian menutupi tubuhku dengan tangan, sementara Daigo-san mengeluarkan teriakan yang tidak berbunyi, wajahnya memerah, dan dia melarikan diri.


★★★


Kalo memang ada dewa di dunia ini, mungkin sudah saatnya aku dihancurkan oleh hukuman ilahi.

(...Aku melihat sesuatu yang gawat.)

Tubuh Shishino-chan. Tubuhnya ramping dan lentur, tapi pinggulnya cukup besar, sangat feminin.

(Dan sekarang gambarnya tertanam jelas di benakku!?)

Bodoh, bodoh, bodoh! Aku ini idiot! 

Dia itu masih anak SMP, kan!? Memang, kadang-kadang dia terlihat lebih dewasa dari usianya, tapi tetap saja... Jantungku berdebar kencang dan tak kunjung tenang. 

Aku berusaha menenangkan diri, aku mengambil remote dan mengganti saluran TV.

"Aku sedang belajar menjadi perawat di universitas terdekat~!"

Seorang wanita cantik setengah telanjang muncul di layar, dan aku langsung mematikan TV. Benar juga, ini TV di hotel cinta. Itu nyaris saja... Kalo sampai ini muncul saat Shishino-chan ada di sini, pasti itu akan jadi masalah besar. Aku buru-buru menyembunyikan remote di bawah tempat tidur.

(...Benar. Ini buruk.)

Aku sebenarnya berjanji untuk makan malam dengan Towa hari ini... Walaupun jujur saja, aku tidak yakin dia masih ingat. Tapi dengan cuaca seperti ini, sepertinya tidak mungkin. Aku meneleponnya. 

Setelah beberapa kali nada sambung, akhirnya tersambung. Tampaknya dia sudah membuka blokir nomorku. Itu sedikit melegakan.

Tiba-tiba, terdengar suara klik dari ujung telepon.

『...Ah. Da-Daigo-kun?』

"Syukurlah, kau mengangkatnya."

『Pagi tadi... Umm, maaf. Aku panik...』 

Dia memang kabur seperti kelinci yang ketakutan tadi pagi.

"Aku juga salah karena tidak peka."

『Tidak! Itu hanya... kesalahpahaman...』 

Sepertinya memang masalah seperti itu sangat berpengaruh bagi seorang gadis. Aku tersenyum masam, merasa dia sangat manis.

"Itu hanya bola karet, kan? Aku sudah mengerti."

『...Ah. ...Iya...』 

"Kau terlalu panik soal itu. Kita ini pasangan suami istri, kan?"

『Jangan bilang begitu~~~!!』

Tapi, aku memang menyukai sisi dirinya yang seperti itu. Mendengar Toha terus mencari alasan membuat hatiku terasa hangat.

"Oh ya, Towa. Maaf, soal janji kita hari ini. Sepertinya itu tidak bisa."

『Ah... Aku juga, sih. Dengan hujan seperti ini, aku terjebak di luar dan tidak bisa pergi ke mana-mana.』 

"Eh, begitu? Apa kau baik-baik saja? Aku bisa datang menjemput kalo kau mau."

『...Aku baik-baik saja. Tapi, kau peduli padaku, ya?』

"Tentu saja."

 

Dengan nada suaraku yang agak tegas, dia menjawab dengan suara kecil, "Ya." Sepertinya dia mengerti, dan entah mengapa aku merasa senang. 


Bahkan dalam situasi seperti ini, aku sudah memutuskan bahwa jika dia memanggil, aku pasti akan datang.


"Dan di sini... ada hal yang harus kita bicarakan..."


『Ooh. Tiba-tiba kau jadi ragu-ragu. Ada apa?』 


Shishino-chan bilang dia akan menjelaskan, tapi sepertinya aku yang harus mengatakannya.


"Sekarang, aku juga sedang di luar karena pekerjaan. Aku terpaksa menginap di hotel."


『Ah. Begitu ya. Hujannya tiba-tiba jadi deras, ya.』 


"Shishino-chan juga bersamaku."


『...Eh.』  


Suara "Eh" yang rendah. Aku terkejut sejenak mendengar suara yang belum pernah kudengar sebelumnya.


"Hotelnya penuh. Jadi kami tidak punya pilihan."


『...Ah.』


Ada keheningan sejenak. Sepertinya Towa sedang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba, dia bergumam.


『Shii-shii. Dia sangat bertanggung jawab. Pasti dia tidak tega meninggalkan Daigo-kun yang terluka. Lalu hujan deras tiba-tiba, dan tidak ada pilihan. Itu namanya keadaan darurat, kan?』


"Ya, benar! Hanya itu saja."


『...Dan kebetulan hotelnya dekat dengan kalian, sepertinya ini takdir.』


"Eh?"


Aku bertanya lagi. Tapi dia hanya bergumam, 『Tidak, tidak apa-apa.』


『Ya. Oke. Tolong jaga Shii-shii. Aku percaya padamu, Daigo-kun.』


"O-oh. Oke!"


Dia tertawa. Sepertinya dia tidak marah...? Aku merasa lega.


『Aku hari ini tinggal di rumah temanku.』 

 

"Ah, begitu ya. Kalo begitu aku lega."


『Munenao. Biarkan dia mendengar suaramu.』 


"......Eh."


Kali ini giliranku untuk mengeluarkan suara "Eh" yang rendah.


『Eh... apa-apaan, Towa-chan. Aku sudah bilang jangan panggil aku dengan nama itu.』


『Sudahlah. Biarkan suamiku mendengar suaramu.』 


『Eh? Apa yang terjadi sekarang? Apa maksudmu?』


Suara pria muda dan Towa terdengar dari telepon. Kepalaku langsung kosong.


『Kalo begitu, Daigo-kun. Sampai jumpa lain kali.』 


Dengan gumaman itu, Towa memutuskan panggilan. Aku hanya diam, menggenggam Hp-ku erat-erat.


★★★


Setelah menuangkan air dingin ke kepala untuk menyegarkan pikiran, aku—Chiko Shishino—mandi air panas untuk menghangatkan tubuh.


"Aku sudah pulih."


Meskipun mentalku hampir hancur karena berbagai kegagalan malam ini, aku berhasil mendapatkan kembali ketenanganku. Sekarang adalah saat yang sulit. Aku harus tetap kuat. Ini bukan waktunya untuk lemah.


(...Kenapa ya, setiap bersama Daigo-san, aku selalu melakukan hal-hal bodoh?)


Setiap melihatnya, jantungku berdebar kencang, pipiku memanas, dan napasku menjadi berat. Aku teringat masa lalu. Saat aku masih menjadi seorang maid. Saat dia adalah tuanku. Era 1960-an.


(Pada masa itu, setiap kali melihatnya, aku selalu merasa berdebar seperti ini.)


Aku tidak boleh berpikir seperti itu. Onee-sama adalah istrinya. Meskipun Onee-sama ceroboh dan egois, dia bukan orang jahat. Aku yakin dia tidak akan menyakiti Daigo-san. Mungkin. Aku ingin percaya begitu.


"Daigo-san. Maaf membuatmu menunggu."


Setelah memakai pakaian dalam dan bathrobe, aku keluar dari kamar mandi. Meskipun pakaianku cukup tipis, aku tetap waspada dan menjaga diri. Ini adalah kewaspadaan yang wajar bagi seorang gadis yang belum menikah.


"Apa kau mau makan mie cup?"


Dia tetap diam, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. 


Ada apa dengannya? 


Saat aku kebingungan, dia bergumam pelan. Suaranya sangat kecil, tidak seperti biasanya.


"Shishino-chan. Apa kau kenal seseorang bernama Munenao? Mungkin kerabat?"


"Eh... siapa itu?"


"Begitu ya."


Dia mengalihkan pandangannya.


"Towa sedang di kamar orang itu sekarang. ...Aku penasaran siapa dia."


Rasa sakit menusuk seperti paku di jantungku. Aku merasakan sakit yang tajam.


"Apa Onee-sama bilang begitu?"

 

"Tadi dia menelepon sebentar."


"......"


"Tidak, kau tidak perlu khawatir. Pasti ada alasannya."


Aku berpikir keras. Alasan kenapa dia bersama seorang pria di kamarnya. Kami tidak punya kerabat yang punya nama seperti itu. Menurutku dia bukan seorang guru atau apa pun. Dia sangat waspada, jadi dia tidak akan pergi ke kamar pria kecuali mereka sangat dekat.


"Ayo kita makan dulu."


Dia tersenyum seolah tidak terjadai apa-apa, tapi jelas-jelas dia memaksakan diri. Aku merasa seperti es kering ditekan langsung ke dadaku, dan menggigit gigi belakangku. ───Aku masih ingin percaya. Kalo kau serius padanya. Kalo kau tidak hanya mempermainkannya.


(Aku tidak akan memaafkannya.)


Onee-sama sengaja membuatnya menunjukkan ekspresi seperti ini. Karena Onee-sama adalah orang yang mengerti perasaan orang lain. Dia terlalu sensitif, takut pada hati orang lain. Dia pasti tahu kalo suaminya akan terluka kalo dia tahu istrinya bersama pria lain.


(Onee-sama sengaja menyakiti Daigo-san.)


Kau memang seperti itu, Onee-sama. Kesenanganmu adalah yang paling penting untuk mu. Kau sedang bermain dengan Daigo-san. Aku tidak membenci kebebasanmu. Bahkan, aku mengaguminya. Sungguh. Bahkan sekarang, aku bisa mengatakan kalo aku mencintaimu. Tapi aku tidak bisa memaafkanmu lebih dari ini.


"Kemarilah."


───Aku tidak akan membiarkannya menyakiti orang ini lagi.


"Eh?"


Aku memeluknya, dan dia tiba-tiba terkejut. Tubuhnya dingin. Padahal dia baru saja mandi. 


Kau benar-benar mencintai Onee-sama ku, ya. Pasti sekarang, kau bahkan tidak memikirkan aku. Aku mengerti.


"...Daigo-san, kau benar-benar bodoh. Berpura-pura baik-baik saja saat sedang sedih tidak ada gunanya."


"Aku percaya pada Towa."


Bodoh. Bodoh sekali. Bukankah kau baru saja dibohongi? Baru saja dikhianati. Belajarlah untuk lebih mencurigai orang. Bodoh. Aku merasakan sakit seperti jantungku ditusuk dan diputar, membuat lukanya semakin dalam. Aku ingin menangis.


(Begitulah. Orang ini seperti ini. Dia tidak bisa melarikan diri darinya.)


Dia terlalu jujur dan tidak pernah memikirkan pengkhianatan, dia bisa mempercayai seseorang dengan sepenuh hati.


"Daigo-san, apa kau benar-benar tidak bisa hidup tanpa Onee-sama?"


"Eh?"

 

"Bukankah ada orang lain yang lebih baik dari dia?"


Aku menatap matanya. Aku tidak akan lari lagi. Aku tidak bisa lari. Aku merasakannya dengan kuat. 


Aku tidak akan menghindari tatapannya dan mengabaikan perasaanku seperti sebelumnya. Aku tidak akan lari dari rasa sakit di dadaku ini.


"Orang yang ditakdirkan untukmu bukan Onee-sama. ...Itu orang lain."


(Aku. ───Akulah orang yang ditakdirkan untukmu.)


Perasaanku tidak terucap dalam kata-kata. Tapi dengan perasaan yang paling tulus, aku menatapnya. Aku memeluk kepalanya erat-erat dan membelai rambutnya. Aroma yang familiar. Sensasi yang sangat kusuka. Aku ingin terus seperti ini.


───Aku lalu mendorongnya ke tempat tidur.



Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال