Sudah seminggu berlalu sejak aku tinggal bersama Hibiya. Mungkin karena kami yang telah berhubungan sejak sebelum kami bisa mengingat, meskipun dalam lingkungan yang tidak biasa seperti tinggal bersama, tidak ada situasi khusus yang terjadi.
Meskipun kadang-kadang Hibiya lepas kendali dan membuat tindakan aneh, tapi dia tetaplah dirinya sendiri. Jika hal ini terjadi pada seseorang yang tidak mempunyai hubungan baik denganku, aku rasa aku akan mendapat banyak masalah. Yang lebih penting, aku pikir itu akan menjadi sumber konflik karena perbedaan pendapat.
Sambil memikirkan hal-hal seperti itu, aku sedang menyiapkan sarapan ketika pintu ruang tamu tiba-tiba terbuka. Lalu muncul seorang gadis berambut pendek berwarna coklat muda, aku bahkan bisa melihat bayangan diriku terpantul di mata coklat besarnya itu.
"Selamat pagi, Ryota-kun."
"Selamat pagi."
Hibiya berjalan ke arahku dengan langkah yang sedikit goyah. Dia lalu mendekati ku dari belakang dan langsung memeluk ku.
"Ryota-kun, aku sangat mencintaimu."
“A-ada apa tiba-tiba?"
“Tiba-tiba aku merasa ingin mengatakan sesuatu. Sepertinya aku sedang sakit.”
"Lebih baik kamu sembuhkan penyakit itu secepat mungkin."
"Tidak, itu tidak akan pernah sembuh. Aku sangat, sangat mencintaimu, Ryota-kun!"
"Ya ya."
Hibiya menggembungkan pipinya lalu dia dengan kuat menekan jari telunjuknya ke pipiku.
“Tolong jangan perlakukan aku terlalu santai. Aku akan marah jika kamu tidak memberi perhatian padaku”
"Aku akan memberimu perhatian nanti, tapi untuk saat ini biarkan aku berkonsentrasi memasak."
"Kamu membuat apa?"
"Roti bakar”
Aku memberitahunya tentang masakan yang sedang ku buat, Hibiya lau sedikt menjauh dari ku dan dengan antusias melihat bahan-bahan di dapur.
"Hehe, aku menantikannya."
“Jika kamu menjadi anak baik, aku akan memberimu makan."
"Hmm. Mengapa tiba-tiba kamu memperlakukan aku seperti anak kecil? Dan aku pikir aku adalah anak yang sangat baik loh."
"Orang yang mengganggu saat memasak bukanlah anak yang baik."
"M- mau bagaimana lagi. Aku ingin dekat dengan Ryota-kun.”
Dia menatap ku dengan tatapan sedih. Disertai dengan nada suara yang manja, itu adalah kekuatan serangan yang cukup kuat. Namun, Tapi, aku bisa mengatasi hal itu dengan memusatkan perhatianku pada memasak.
"Apa pun itu, saat memasak itu berbahaya."
"Ya, aku akan bersabar... A-aku minta maaf."
Hibiya mencoba menjauh dariku, tapi kemudian dia kehilangan keseimbangan dan menyandarkan bebannya di bahuku.
“Apa kamu baik-baik saja?”
“Y-y-y-ya, aku baik-baik saja... tidak apa-apa sama sekali.”
Tiba-tiba, aku memyadari kalo suhu tubuh Hibiya terasa sangat panas. Wajahnya tampak memerah dengan jelas. Ini bukanlah karena malu atau gugup.
“Hibiya, Apa kamu demam?”
“Hah? Menurutku bukan itu masalahnya.”
Meski suara dan nada bicaranya tidak terlalu berbeda seperti biasanya.
"Ah... kemarilah sebentar."
Sambil menopang tubuh Hibiya, aku menemaninya dan menyuruhnya duduk di sofa, aku lalu mengambil termometer dari laci dan menyalakannya.
“Aku akan mengukurnya, jadi angkat tanganmu sedikit.”
"...A-Aku akan melakukannya sendiri."
"Ah, iya. Maaf.”
“Tidak, tidak...”
Aku baru menyadari bahwa menyelipkan tanganku di dalam pakaian Hibiya adalah tindakan yang tidak pantas... Aku tidak memikirkan hal itu sejauh itu.
Hibiya lalu mengambil termometer dariku dan memasukkannya sendiri ke ketiaknya.
Ketika bunyi beep dari termometer sebagi isyarat, dia menyodorkan termometer kepadaku.
“38.1 derajat. Itu agak tinggi.”
“Itu sering terjadi, Yah sekarang aku merasa sedikit lemah, kepalaku sakit, dan aku kesulitan untuk berdiri.”
“Kalau begitu, kamu harus memberi tahu ku lebih cepat.”
“Aku tidak ingin membuatmu khawatir...”
"Aku lebih khawatir kalau keadaan mu menjadi lebih buruk."
“Maaf...”
Aku kemudian berdiri dari sofa dan mengulurkan tanganku untuk membantunya berdiri.
“Bisakah kamu berdiri?”
“Aku akan mencoba...”
Dia mencoba mengangkat pinggulnya dengan menggunakan tanganku sebagai penopang. Namun, mungkin karena dia demam, dia sepertinya tidak menggunakan kekuatannya dengan baik. Dia akhirnya duduk kembali dengan lemah.
“Tunggu sebentar.”
“Eh? Ry-Ryota-kun!?”
Aku merangkul bahu dan lutut Hibiya, ketika aku menggendongnya dalam pelukan putri, dia berbalik. Meski ada perbedaan fisik antara pria dan wanita, tubuh Hibiya terasa lebih ringan. Aku pikir aku dapat
dengan mudah membawa dia dalam posisi seperti ini ke kamarnya.
Aku lega bahwa aku tidak gagal mengangkatnya.
Hibiya, kemudian dengan malu-malu, memalingkan pandangannya dari padaku dan mencengkeram kuat pakaianku
“...Ryota-kun, ternyata kamu sangat kuat, ya?”
“Aku telah melakukan beberapa latihan otot. Tidak ada salahnya memiliki kekuatan fisik.”
“Aku bisa mengandalkanmu.”
“A-aku rasa begitu...”
“Ryota-kun sungguh… kamu selalu membantuku.”
Dia bergumam dengan suara yang sepertin akan menghilang. Karena malu, aku mengalihkan pandanganku ke arah lain.
Aku naik ke lantai atas dan membuka pintu kamar yang digunakan Hibiya, lalu aku membawanya ke tempat tidur di dekat jendela dan meletakkannya dengan hati-hati, mencoba untuk tidak menimbulkan terlalu banyak rangsangan.
“Aku akan membawakanmu sesuatu yang bisa mendinginkanmu.”
“...Maaf.”
“Kamu tidak perlu meminta maaf."
“Iya...”
Aku kemudian bergegas keluar kamar dan segera kembali ke ruang tamu untuk menyiapkan peralatan untuk merawatnya.
Beberapa saat berlalu setelah Hibiya mendapat perawatan. Aku menaruh kursi di dekat tempat tidur tempat Hibiya berbaring, dan aku membuka buku bersampul tipis.
"Ryota-kun, aku akan baik-baik saja tanpamu di sini. Aku tidak ingin menularkan penyakit ini kepadamu."
"Aku baik-baik saja. Aku sudah menggunakan masker... dan, aku jarang sakit kok. Jadi, jangan khawatir tentangku."
"Tapi..."
"Apakah ada hal lain yang kamu ingin aku lakukan? Apakah kamu ingin ku kupas kan apel untukmu?"
"Terima kasih, tapi aku baik-baik saja sekarang."
"Oh, oke."
Hibiya tidak memiliki kekuatan fisik yang kuat. Meskipun kondisinya telah membaik dari sebelumnya, dia masih mudah terserang penyakit.
Namun, dia sering kali mencoba menangani semuanya sendiri. itu sebabnya, aku ingin selalu siap untuk membantunya saat dibutuhkan.
Hibiya lalu menarik selimutnya sampai ke bibirnya dan terkikik pelan.
"Hehe, itu pernah terjadi sebelumnya. Sesuatu seperti ini.”
"Kapan itu?"
"Waktu aku kelas dua SMP. Saat aku terkena flu."
"Oh, itu, aku hanya ingin bolos sekolah... bahkan setelah kamu sembuh dari flu itu, aku masih bolos sekolah beberapa hari kan?"
"Tidak perlu malu pada saat seperti ini. Ingatlah saat Ryota-kun merawatku sebagai pengganti ibu dan ayahku yang sibuk."
“Mmm, jika kamu punya waktu untuk berbicara omong kosong, tidurlah.”
“Ya... Ah, boleh aku minta satu permintaan padamu?"
"Hmm?"
Dari dalam selimut, Hibiya mengulurkan tangannya ke arahku.
"Bisakah kamu memegang tanganku? Aku merasa lebih tenang saat tanganmu menggenggam tanganku."
"Itu saja?"
"Boleh aku meminta lebih banyak lagi?"
"Itu hak istimewa orang sakit"
Karena ketika kamu sakit, kamu berada dalam mode yang tak tertandingi. kamu dapat dimanjakan sebanyak yang kamu inginkan, dan apa pun yang kamu minta, sebagian besar hal pasti akan dikabulkan.
"Baiklah."
Dia menatapku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, seolah memohon padaku.
"Aku ingin kamu mengelus kepala ku."
"Kepala?"
"Ya, aku suka saat kamu mengelus kepala ku."
"Ya, tidak apa-apa..."
Sambil duduk di kursi rendah, aku mengulurkan tanganku untuk menyentuh kepala Hibiya. Aku kemudian membelai rambutnya dengan lembut, dengan kasih sayang.
Rambutnya kebalikan dari rambutkuku, yang keriting dan kasar.
Rambutnya halus dan setiap helainya bertekstur lembut. aku tidak dapat melihat ujung rambut bercabang di mana pun.
Hibiya terlihat nyaman, lalu mendekatkan selimut ke mulutnya sambil menatapku.
"Aku tidak ingin tidur."
"Tapi lebih baik kamu tidur. Itu yang terbaik untuk kesembuhanmu."
"Tapi... kalau aku tidur, aku tidak akan bisa menikmati waktu bahagia seperti ini lagi."
"Waktu bahagia itu tidak akan hilang. Aku akan selalu siap mengelus kepalamu kapan pun kamu mau."
Selama itu membuatnya bahagia, aku akan melakukannya kapan saja.
“Kalo gitu aku meminta kamu mengelusku setiap detik...apa tidak apa-apa?”
"Jika aku membelai kepalamu setiap detik, kamu akan botak."
"...Ah, itu akan merepotkan. Jika aku botak, mungkin Ryota-kun akan bosan dengan ku..."
"Aku tidak akan bosan denganmu begitu saja, Hibiya."
Aku berkata tanpa bercanda. Aku mencegahnya sebelum dia mengatakan ‘tapi’ ketika dia akan memberikan komentar negatif, dan melanjutkan.
"Aku tidak berkencan denganmu hanya karena aku menyukai penampilanmu. Aku tidak seperti orang-orang yang hanya menilai Hibiya dari penampilannya saja."
"Ryota-kun..."
Ini hanya sebuah percakapan biasa. Tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyangkalnya. Tiba-tiba, aku kembali tenang dan menggaruk pelipis dengan jari-jariku.
"Maaf... Aku agak aneh tadi."
"Tidak... Aku seharusnya tahu bahwa Ryota-kun bukan orang yang menilai hanya dari penampilan, maaf."
Aku, tanpa sadar, melanjutkan mengelus kepalanya yang tadi terhenti.
Situasinya menjadi sedikit tegang... aku pikir akan lebih baik jika aku mengubah topik pembicaraan.
“...Ah, benar juga. Jika kamu tidak bisa tidur, bagaimana kalau kita berbicara tentang masa lalu.”
"Ya, tolong."
Kenangan yang akan aku ceritakan adalah kenangan dari waktu kecil yang baru saja aku ingat. Aku sedikit khawatir jika Hibiya mengingatnya, aku ingin menghilangkan keraguan itu.
"Ku pikir itu terjadi ketika aku berumur sepuluh tahun.”
"Ah... akhirnya aku menemukanmu. Apa yang kamu lakukan di tempat seperti ini?"
Di kawasan kuil tertentu. Ada seorang gadis berlutut di tempat yang tampak seperti lorong tepat di sebelah kotak persembahan.
Rambut coklat muda di potong di sekitar tengkuk. Menanggapi suara kasar itu, dia tiba-tiba mengintip dari pangkuannya.
"Rik-kun..."
"Hei, Bibi mengkhawatirkanmu, jadi pulanglah!"
Aku mencoba meraih tangannya. Tapi dia hanya menggelengkan kepala tanpa menerima tawaranku.
"Ada apa? Apakah kamu bertengkar dengan seseorang?"
"Tidak."
"Lalu kenapa--"
"...Rik-kun bodoh."
"Hah? Apa, Hibiya? Aku melakukan sesuatu?"
"Itu."
"Itu?"
"Mengapa tiba-tiba memanggilku dengan nama menggunakan margaku?
Kupikir Rik-kun membenciku..."
Ketika dia kembali ke posisi duduknya, dia mengeluarkan suara teredam. Aku tidak mengerti apa yang dia katakan pada akhirnya.
Jika aku menepuk punggungnya, sepertinya dia akan langsung menangis. Oleh karena itu, aku tidak bisa berkata banyak. Dengan ketakutan, aku duduk di sebelahnya.
"Aku tidak membenci Hibiya."
"Lalu kenapa kamu mengganti cara memanggilmu? dan juga kamu menghindariku…”
"K-karena aku... khawatir diejek... dan, jika kita terlalu dekat, orang akan mulai mengatakan hal-hal aneh seperti, kita pacaran, atau, kita sudah menikah..."
"Rik-kun, apakah kamu tidak suka orang membicarakanmu?”
“Biasanya, aku merasa tidak enak ketika seseorang mengatakan sesuatu yang tidak berdasar kepadaku.”
“Tapi aku senang.”
"Hah?"
"Tidak, tidak apa-apa."
Aku bertanya-tanya, tetapi dia mengelak. Terpengaruh oleh ekspresi sedihnya dan cara dia memegang kedua tangannya yang kuat, aku merasa terganggu.
"Aku... tidak membencimu, Hibiya."
"Kalau begitu, tolong panggil aku 'Sa-chan' seperti yang selalu kamu lakukan.”
"Tentang itu..."
"Jadi, kamu memang membenciku sekarang?"
"T-Tidak, bukan itu. Ah, kalau begitu, namaku! ...Mulai sekarang, aku akan memanggilmu Sayu. Jadi, Sayu, mulai sekarang, tolong panggil aku Ryota.”
"Ryota... kun?"
"Tentu."
"Ryota... kun. Ehehe, Ryota kun!"
Gadis itu, yang sebelumnya memiliki ekspresi depresi dan murung, sekarang tersenyum ceria.
"Ya. Memang lebih baik jika Syu tersenyum. kamu terlihat lebih imut."
"...I-imut..."
Kata-kata itu ku ucapkan tanpa pikir panjang. Namun, itu membawa atmosfer yang tak tertahankan, memenuhi area itu.
Tirai keheningan terbuka dan kami berdua saling berpaling. Ketika hanya suara desiran angin melalui dedaunan yang terdengar, gadis itu memulai percakapan.
"Lalu, tipe gadis seperti apa yang disukai Ryota-kun?"
"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Ayo, jawab."
"...Eh, um, seseorang yang terlihat seperti kakak perempuan, kurasa.”
“Apakah itu seseorang seperti Komiya-sensei?”
"...Hah. Ya, mungkin begitu."
Aku mengalihkan pandanganku dengan cepat. Gadis itu sedikit menundukkan kepalanya. Namun, setelah menghapus kesedihannya sebelumnya, dia menunjukkan tekad di matanya.
"Aku sudah memutuskan."
"Hah?”
"Aku, akan menjadi lebih dewasa lagi."
"Oh, baiklah. Semoga berhasil?”
Menghadapi pernyataan tiba-tiba itu, aku hanya bisa memberikan jawaban standar tanpa tahu harus bereaksi seperti apa. Gadis kecil itu bangkit sambil mengibas-ngibaskan roknya, dan meremas kedua tangannya di depan dadanya.
"Kamu tahu, Ryota-kun... Aku ingin tetap bersama Ryota-kun."
"Mengapa menggunakan bahasa sopan?"
"Karena itu terlihat seperti orang dewasa, kan?"
"Apakah begitu?"
"Tentu saja. Oh ya, Ryota-kun, mungkin kamu tidak suka menjadi sorotan karena bersamaku, tapi aku akan selalu bersamamu seperti sebelumnya, meskipun diejek. Aku ingin terus bermain denganmu, Ryota-kun."
"...Yah, aku merasakan hal yang sama..."
Mengungkapkan perasaan dengan jujur. Ketika dia melakukannya dengan tulus, aku juga merasa perlu untuk membuka hatiku.
“Kalau begitu mari kita berdoa bersama kepada Tuhan.”
"Hah?"
"Kuharap aku dan Ryota-kun bisa selalu bersama-sama."
Dia menunjuk kotak persembahan sambil memberikan permohonannya itu.
"Aku tidak membawa uang."
"Kalo itu uang, lihat."
Gadis itu merogoh sakunya dan menunjukkan kepadaku koin 500 yen.
Sepertinya dia tidak punya koin lain.
"Sayang sekali. Dengan uang itu, kita bisa beli banyak permen."
"Ini persembahan, jadi tidak apa-apa... Dan, dengan ini, pasti Tuhan akan mendengarkan permintaanmu juga."
"Kalau itu yang kamu inginkan, tidak apa-apa."
"Iya. ...Oh!"
"Apa yang terjadi?"
"Ingat, jika kamu mengucapkan keinginanmu, itu tidak akan terkabul.”
"Oh, benar, ada aturan seperti itu. Apakah kita harus berhenti dari sumbangan ini?"
"Eh... hm, aku sudah memutuskan. Aku sudah memutuskan. Aku akan membuat permintaan lain, jadi Ryota-kun, silakan buat permintaanmu yang lain."
"Baiklah... Tapi, bisakah kamu berhenti menggunakan bahasa sopan?"
"Aku tidak akan berhenti. Aku, tidak, akan, berhenti!"
Jelas sekali dia tidak terbiasa menggunakan bahasa sopan, aku dapat merasakan bahwa dia mencoba mengubah cara berbicaranya, meskipun itu terasa canggung.
Saat kami berdua berdiri di depan kotak persembahan, gadis itu menempelkan tangannya ke dadanya, seolah dia sedang mengatur napasnya.
"Kamu tidak akan melemparkannya?"
"Aku akan melemparkannya. Oh, aku akan melemparkannya. Ah, Ryota-kun apa kamu sudah memutuskan permintaanmu?"
"Yah."
"Jadi, mari kita bersama-sama..."
Aku merasakan tangan dingin gadis itu menyentuhku. Meskipun itu hanya sentuhan tangan, wajahku terasa panas hingga aku tidak bisa menahannya.
Bersama-sama, kami melemparkan koin 500 yen ke dalam kotak persembahan. Aku tidak tahu etiketnya, jadi aku langsung membunyikan bel yang bergemerincing. Aku menyatukan kedua tanganku dan memejamkan mata
“Setelah mengingat-ingat, aku jadi penasaran, apa yang kamu minta waktu itu?"
Setelah teringat itu, aku kemudian langsung menanyakan apa yang membuat aku penasaran. Tapi, bukannya menjawab pertanyaanku, Hibiya malah terlihat kesal.
"Dulu kan, Ryota-kun biasa memanggilku dengan namaku, kan?"
"Yeah, itu dulu."
"Aku lebih suka kalau Ryota-kun memanggilku dengan nama depan ku.
kalo begitu, mungkin kamu bisa memanggilku, 'Sa-chan' seperti dulu.."
"Sa-chan itu agak..."
"Itu baik-baik saja, Rik-kun."
"Tolong jangan panggil aku begitu. Aku merasakan sensasi kesemutan di tenggorokanku.”
"Kalau begitu, panggil aku dengan nama depanku."
"Tapi, kalau aku memanggilmu, itu akan menciptakan suasana yang aneh…”
“Mari kita lalui ini bersama-sama. Aku hampir mencapai titik di mana aku sudah mengembangkan toleransi terhadap hal ini.”
Meskipun dia bilang begitu, yah sepertinya dia ingin aku memanggilnya dengan nama depannya.
Pada akhirnya, saat aku masuk SMP, aku mulai memanggilnya ‘Hibiya.'
Ditambah dengan masa pubertasnya, aku merasa enggan memanggilnya dengan nama depannya. Tapi Hibiya selalu memanggilku
‘Ryota-kun.' Dia tidak pernah memanggilku dengan margaku. Setelah berdehem, aku menatap matanya dengan serius.
"Sayu."
"...Ya..."
"Uh... kurasa aku akan tetap memanggilmu dengan margamu saja…”
"Aku tidak suka itu. Jadi, mulai sekarang, aku tidak akan menjawab jika kamu memanggilku Hibiya.”
Jika dia sudah tegas seperti itu, artinya itu bukti bahwa dia mempunyai kemauan yang kuat. ku pikir waktuku untuk melarikan diri ketika seseorang memanggil ku dengan nama depan ku sudah berakhir.Yah sulit untuk menenagkan pacarku yang keras kepala ini..
Lebih jauh lagi, kita sudah tinggal bersama, jadi aneh juga jika aku malu untuk memanggilnya dengan nama depannya. Aku terkekeh dan menertawakan diriku sendiri.
"Apa ada yang salah?”
“Tidak, menurutku cinta itu menyenangkan.”
"...A-Aku juga bersenang-senang. Kupikir aku tahu segalanya tentang Ryota-kun, tapi ada banyak hal yang tidak kuketahui dan aku terus menemukan hal-hal baru."
"Ya. Ah, jadi, soal pertanyaan yang kamu tanyakan tadi...Aku biasanya tidak ingat hal-hal yang sudah lama terjadi.”
Kenangan di masa sekolah dasar bukanlah sesuatu yang mudah diingat. Selain itu, aku kesulitan mengingat hal-hal seperti permohonan yang ku yang ku buat saat kami berdoa di kuil.
"Tidak, aku ingat. Aku punya semua kenanganku bersama Ryota-kun di buku harianku.”
"Benarkah?"
"Iya. aku tahu karena aku karena kadang-kadang aku membacanya lagi, jadi aku ingat. Saat itu, aku berharap agar Ryota-kun jatuh cinta padaku."
"... Begitu ya."
Ini mengejutkan dia tetap mengagatnya setelah bertahun-tahun.
Seluruh tubuhku mulai terasa memanas, sampai-sampai aku mulai bertanya-tanya apakah demamnya itu menular.
“Ryota-kun, apa yang kamu tanyakan?”
"Aku Hibiya..."
"Hibiya? Ryota-kun, siapa yang kamu bicarakan?”
"A-aku berharap agar Sayu bisa tetap tersenyum."
Aku juga membuat permintaan yang sama beberapa hari yang lalu ketika kami mampir ke kuil dalam perjalanan pulang dari berbelanja.
Yah, menurutku tidak akan ada masalah tidak masalah untuk memberi tahu tentang masa lalu.
Hibi... Sayu kemudian tersipu malu hingga seperti uap akan keluar dari dirinya, dan dia menutupi wajahnya dengan selimut. Sebuah suara teredam terdengar dari selimut.
"......Ah, Sekarang aku jatuh cinta lagi pada Ryota-kun! Kok bisa membuatku berdebar seperti ini setelah beberapa tahun!"
“Yah, kamu juga tidak bisa membicarakan orang lain.”
Sayu menatapku sekilas, dan dia memanggilku dengan mata yang sedikit lembab.
“Mari kita tetap bersama selamanya.”
"……Ya"
"Hehe, selamat malam."
"Selamat malam"
Dia menurunkan kelopak mataku seolah dia sudah merasa lega. Aku dengan lembut membelai kepalanya sampai dia tertidur.
… Yah ini sudah terlambat, tapi bukankah sepertinya aku baru menerima lamarannya?
“Ya, aah.”
Beberapa hari berlalu, pada suatu hari, aku disuapi bubur oleh pacarku tercinta. Ya, akulah yang memakan bubur itu.
Butiran beras yang basah dan lembut yang diambil dengan sendok menyentuh perutku yang sedang sakit dengan lembut. Saat aku menyantap suapan terakhir, Sayu menepuk kepalaku dengan lembut.
"Apa-apaan tiba-tiba?"
"Ini hadiah karena sudah makan dengan benar."
Bisakah aku mendapatkan hadiah hanya karena ini...?”
"Iya. Ryota-kun, hidupmu sendiri sudah merupakan hadiah. Dan, maaf.
Aku sudah menularkan flu-ku padamu."
Dia berkata dengan ekspresinya menjadi gelap dan dia bergumam meminta maaf.
"Aku sudah bilang berkali-kali, ini bukan salahmu, Sayu. Dan, sekarang waktunya untuk pergi ke sekolah, kan?”
"Tidak apa-apa. Selain itu, meskipun aku pergi ke sekolah, aku tidak akan fokus selama jam pelajaran karena aku mengkhawatirkan Ryota-kun, dan aku mungkin akan meneleponmu setiap lima menit untuk mengetahui apakah Ryota-kun baik-baik saja.”
Dalam kasus Sayu, dia sepertinya menghubungiku setiap lima menit, bukan hanya sekedar lelucon. Jika itu terjadi, dia tidak akan bisa fokus pada kelas. aku benar-benar harus menghilangkan kekhawatirannya ini.
“Silakan minum ini.”
"……Terima kasih"
Aku memasukkan tablet yang diberikan Sayu ke dalam mulutku dan menelannya dengan air. meskipun tidak langsung berefek, tapi hanya dengan minum obat sudah membuatku merasa lega. Aku menyandarkan kepalaku di atas bantal es dan memejamkan mataku.
"Apakah ada sesuatu yang kamu ingin aku lakukan untukmu? Silakan gunakan hak istimewamu yang sedang sakit. Aku akan melakukan apa pun untukmu.”
"Ku pikir kamu lebih baik tidak mengatakan ‘melakukan apa pun’
dengan santai.”
Tidak ada keraguan untuk ku mengatakan ini karena aku terjebak dalam situasi aneh di mana aku dipaksa untuk menikah dan hidup bersama.
"Akan buruk jika flu-ku menular kepadamu, jadi Sayu, kamu harus meninggalkan kamarku. Aku akan memanggilmu jika terjadi sesuatu.”
"Aku tidak mau. Dan, aku sudah mengalami flu ini sekali. Jafi tubuhku sudah memiliki antibodinya."
Nampaknya keputusan Sayu sudah bulat. Yah Jadi, mungkin sedikit manja padanya tidak apa-apa.
"Kalau begitu, aku ingin kamu menggenggam tanganku sampai aku tertidur."
"Apa cukup hanya dengan menggenggam tangan? Bagaimana dengan tidur berdampingan, Dll?"
"Astaga, koho…itu berlebihan!"
"Aku tidak keberatan sama sekali kok!"
"Aku yang keberatan."
Setelah menghela napas, aku mengeluarkan tangan kananku dari bawah selimut. Sayu tampak sedikit tidak puas, tapi dia dengan patuh menggenggam tanganku.
"Ryota-kun, setelah kamu sembuh dari Flu-mu, mari kita pergi kencan."
"Kencan?”
"Ya. Jika dipikir-pikir, kita belum benar-benar pergi kencan, kan?"
"Benar juga... Iya, boleh saja."
Meskipun kami pergi bersama berbelanja atau memilih pakaian anak setelah sekolah, itu masih jauh dari kencan yang sebenarnya. Kami belum pernah benar-benar kencan seperti yang biasa dilakukan oleh sepasang kekasih.
"Bagaimana dengan Sabtu ini?"
"Oke. Jadi, sampai Sabtu, aku pasti akan sembuh."
"Ya. Tapi tolong jangan memaksakan diri terlalu keras."
Sayu tersenyum lembut dan menggenggam kedua tanganku dengan erat.
"Kencan ya. Aku sudah menantikannya."
"Ya. Aku juga. Aku bahkan sudah menunggu di tempat pertemuan sejak tiga jam yang lalu."
"Itu buang-buang waktu. Lagipula, kita tinggal bersama di satu atap, kok. Tidak perlu menunggu di tempat pertemuan."
"Oh, ya. ...Tapi, sebenarnya kita jarang sekali membuat janji pertemuan, kan?"
"Karena rumah kita berdekatan, jadi salah satu dari kita cukup pergi menjemput di rumah."
Jarak antara rumah kami hanya sepuluh detik, jadi tidak perlu membuat janji pertemuan di tempat tertentu ketika ingin pergi bersama.
"Jadi, memiliki teman masa kecil juga memiliki kerugian, ya. Karena kita tidak bisa membuat janji pertemuan."
"Apakah kamu benar-benar ingin membuat janji pertemuan seperti itu?"
"Aku ingin. Menunggu itu adalah momen paling menyenangkan.
Semakin lama menunggu, semakin menegangkan."
"Seleramu agak aneh..."
"Tapi, kamu tetap mencintai ku, kan, Ryota-kun?"
“Jika aku bilang aku mencintaimu di sini, itu mungkin akan membuatku menjadi orang aneh juga…”
Sambil mengerutkan dahi, aku sedikit menjauhkan diri darinya. Sayu yang melihat rekasiku memiringkan kepalanya dengan khawatir, dan bertanya denga tatapan yang cemas di matanya.
"Jadi, kamu tidak mencintaiku?"
"Eh, tidak begitu..."
"Tolong katakan dengan jelas."
"Ah, sudahlah, mencintaimu. Aku sangat-sangat mencintaimu."
"Ehehe. Aku juga sangat mencintaimu, Ryota-kun., aku sangat mencintaimu"
Sambil memerahkan pipi, aku memalingkan wajahku dari Sayu ke sisi dinding. Sial, menjengkelkan kalau terus-terusan diberitahu seperti itu. Aku meraih tangan Sayu lagi dan menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti serangan balik.
"Aku lebih mencintaimu..."
"Yah, Sekarang Ryota-kun tiba-tiba jadi gila!”
"Gila apa? Aku masih belum mengerti."
"Karena kamu lebih mencintai ku!"
"Hah? Akulah yang bilang, hei, jangan merangkak ke kasur!”
“Satu-satunya cara untuk melepaskan perasaanku yang meluap-luap pada Ryota-kun adalah dengan mulai bermesraan!”
"Eh, terlalu dekat... terlalu dekat!"
Dengan paksa dia merangkak ke tempat tidurku. Aroma manis yang merangsang lubang hidungku dan rasa lembut kulitnya ini mengancam menghancurkan rasionalitasku.
Aku bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika aku adalah orang yang bertindak sesuai dengan naluri ku. Aku meringis sambil memunggungi
Sayu. kemudian dia memelukku dari belakang dan menempelkan kepalanya di punggungku.
"Ryota-kun."
"Hmm?"
“Menurutku itu adalah hal yang salah untuk dikatakan sekarang, tapi...bolehkah aku menanyakan sesuatu padamu?”
"Eh, ya, silakan."
Suasana yang cerah tadi berubah. Suara Sayu yang sedikit lebih tenang menyapu telingaku. Perubahan itu membuatku agak tegang.
Sayu meraih pakaianku dengan erat hingga pakainku jadi kusut, ekspresinya penuh kekhawatiran, tapi dia bertanya dengan tegas.
“Ryota-kun, kamu tidak akan kuliah di Tokyo, kan?”
……….
Seketika, aku terdiam. Karena itu adalah satu hal yang tidak ingin aku ceritakan padanya.