Bahkan sebelum aku bisa mengingatnya, ada seorang gadis selalu ada di sisi ku, Aku menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya dibandingkan dengan keluargaku. Dia selalu ada di dekatku, baik di rumah maupun di sekolah.
Itu sangat jelas, sangat nyaman, dan sangat penting hingga aku tidak ingin melepaskannya. Tanpa aku sadari, keberadaannya menjadi sesuatu yang besar dalam diri ku.
Suatu hari, tiba-tiba aku tidak tahu apakah perasaan ini hanya untuk teman masa kecilku...atau mungkin ada sesuatu yang lebih, suatu hari aku tidak tahu lagi.
Meskipun bahasa Jepang memiliki banyak teknik ekspresi, terkadang hal ini dapat merepotkan. Bahkan dua huruf ‘suki' saja dapat memiliki banyak arti berbeda tergantung orang yang mengucapkannya dan situasinya.
[TL\n: ‘suki’ \ ‘好き’ artinya meyukai\suka]
Aku selalu ingin tahu apa makna sebenarnya dari perasaan yang ku miliki padanya. Tapi, aku tidak mempunyai keberanian mengambil langkah untuk mencari tahu.
Di tengah semua itu, dia yang mengambil langkah pertama. Cara yang dia lakukan memang agak aneh, tetapi dia melakukan sesuatu yang tidak bisa ku lakukan.
Itulah yang selalu terjadi. Dia selalu melakukan dengan mudah hal-hal yang tidak bisa ku lakukan. Dia Ceroboh, berantakan, dan terus blak-blakan begitu dia membuat keputusan sekali dia sudah memutuskannya.
Itu membuatku iri, membuat aku menyukainya, dan itu sangat berbahaya. Dia melakukan hal-hal yang terlalu berisiko tanpa memikirkannya lebih dulu. Namun dia begitu keras kepala sehingga sulit untuk dihentikan. Itulah kenapa... dia adalah gadis yang sangat setia.
Aku menyembunyikan satu hal darinya, aku tidak memberitahunya bahwa aku berencana masuk universitas di Tokyo. Pada pandangan pertama, itu bukanlah sesuatu yang harus disembunyikan.Tapi itu berbeda. Dia tidak boleh mengetahuinya.
Karena jika dia tahu bahwa aku akan meninggalkan kota ini kampung halaman kami untuk pergi belajar ke universitas di Tokyo, dia pasti akan berkata, ‘Aku juga akan pergi.’ Meskipun mungkin dia memilih
universitas yang berbeda, hal ini mungkin mempersempit pilihan universitasnya menjadi Tokyo. Oleh karena itu, hal tersebut tidak boleh diketahui olehnya.
Aku melakukan kesalahan saat mengikuti ujian masuk SMA. Aku begitu fokus pada diri ku sendiri sehingga aku tidak tahu bahwa dia mencoba mengikuti ku. aku tidak menyadari bahwa dia menghabiskan seluruh waktu nya untuk belajar, sesuatu yang selalu dia benci, sampai dia jatuh sakit. Aku tidak ingin melihat wajah lelahnya lagi.
Aku tidak ingin keberadaanku mengendalikan hidupnya… Aku takut...Aku hanya ingin menghindarinya. Itu sebabnya aku menyembunyikan tentang universitas yang ku tuju. Tapi mungkin situasi ini tidak bisa dihindari sejak hal itu keluar dari mulut Riona.
“Ryota-kun, kamu tidak akan kuliah di Tokyo, kan?”
Aku menghela nafas kecil dan menarik selimut itu lebih dekat ke tubuhku. Dengan punggung menghadap kepadanya, aku berpura-pura tenang.
“Aku tidak pergi. Apa yang terjadi tiba-tiba?”
"Ya, benar. Maafkan aku. Aku harap flumu segera sembuh."
Aku melengkan kepalaku dan dan menutup mataku. Aku berbohong padanya untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Setelah sembuh dari Flu, aku kembali ke sekolah untuk pertama kalinya dalam beberapa hari setelah absen. Aku duduk di bangku paling belakang di samping jendela, saat aku meletakkan barang-barang ku di tempat yang biasanya dianggap sebagai tempat yang baik, lalu aku menghela nafas kecil karena lelah setelah perjalanan ke sekolah. Saat aku mengeluarkan bahan pelajaran dari tasku, aku mendengar suara langkah kaki mendekat.
"Selamat pagi, Ryota."
Dia - Rionna Izumi - dia memiliki rambut hitam kebiruan yang berkibar, dan entah kenapa dia menatapku dengan tatapan ketidakpuasan dan kebencian.
"Selamat pagi... uh, ada yang salah?"
"Tidak apa-apa."
“Tidak, jelas sekali suasana hatimu sedang buruk..."
"Apakah kamu tidak ingat apa-apa?”
Dia membungkuk dan menatap mata ku dengan tajam. Apa pertanyaan itu? Aku teringat pernah suatu hari ketika ayah ku membuat ibu ku tidak senang dan membuat atmosfir yang tegang di rumah.
Satu-satunya hal yang ku tahu adalah, Rionna merasa tidak puas dengan sesuatu, dan akulah penyebab ketidakpuasan itu.
Tapi aku tidak datang ke sekolah kemarin atau sehari sebelumnya......
Oh, mungkin itu.
"Karena aku absen dari sekolah?"
Rionna masih terlihat kesal, tapi dia mengangguk.
"...Aku hanya ingin kamu menghubungiku. Aku khawatir.”
Dia memukul bahuku dengan pukulan lembut yang bahkan tidak akan membuat tahu pecah.
"...Aku minta maaf. Tapi itu hanya Flu..."
"Itu bukan masalahnya. Ryota, kamu terlalu sedikit bicara."
"Uh... mungkin kamu benar."
"Ya. Aku ingin kamu bicara padaku tentang apa pun."
Riona duduk di kursi di sebelahku dan mengerucutkan bibirnya.
"Apa pun... tapi kamu juga, ada sesuatu yang tidak kamu katakan padaku, kan?"
"Aku... tidak ingat..."
"Kamu memanggilku pacarmu──”
"Tidak, diam. itu tidak adil..."
Pipinya sedikit memerah, itu hal yang tidak biasa bagi Riona, yang memiliki sedikit emosi yang naik turun. Dia menutup mulutku dengan kedua tangannya dan memalingkan wajahnya.
"Ah, benar juga. Apakah kamu sudah membereskan kesalahpahaman ini?"
"Jika terpecahkan, maka terpecahkan, dan jika tidak terpecahkan, maka tidak terpecahkan."
"Kamu mulai berbicara seperti seorang filsuf…”
"Pertama-tama, segalanya menjadi rumit karena Ryota punya pacar.
Aku ingin dia bertanggung jawab."
"Ada apa dengan argumen gila itu? Kamu melemparkan semua kesalahan ke padaku..."
Dia memelototiku, dan pipinya berkedut
"Dalam perhitunganku, aku berasumsi bahwa Ryota tidak akan pernah bisa menemukan kekasih. Namun, di dunia ini, tidak ada yang mutlak...Aku salah menilai itu."
"Kau menyakitiku dengan cara yang sangat halus!"
"Tapi aku ingin kamu yakin. Aku tidak akan membuat masalah apa pun pada Ryota. Mungkin.”
Aku membuka mataku sedikit dan melotot. Aku ingin dia lebih tegas dalam pernyataan bahwa hal ini ‘pasti' dan bukan hanya ‘mungkin’
saja.
"Sebenarnya, bukankah lebih baik jika kamu jujur saja bahwa kamu tidak punya pacar?"
"Jika itu bisa dilakukan, aku tidak akan pernah berbohong dari awal."
"Kalau begitu, mengapa tidak mencoba benar-benar mendapatkan pacar?"
Aku melihat ke langit-langit,sambil meletakkan jariku di dagu, dan memberikannya saran
Riona cantik, lemah lembut, berkulit putih, dan sangat feminin. Jika aku menggambarkannya dalam satu kata sederhana, dia adalah gadis cantik-- aman untuk memanggilnya seperti itu.
Faktanya, hanya dengan berbicara dengan Riona di kelas, aku mendapat banyak tatapan cemburu dan penuh kebencian dari para siswa laki-laki di kelasku. Aku yakin Riona akan mudah mendapatkan pacar jika dia mau. ku yakin dia bisa mendapatkannya bahkan hari ini.
“Aku tidak suka laki-laki. Itu sebabnya aku tidak ingin punya pacar.”
“Untuk berjaga-jaga, aku juga laki-laki tahu.”
"Ryota pengecualian. Aku tidak merasa terancam ketika berada di dekatmu sama sekali. Kurasa aku bisa mengalahkannya jika aku mau."
“Aku merasa sangat dipandang rendah!”
Yah, aku tidak keberatan jika dia melihatku bukan sebagai lawan jenis, jadi tidak apa-apa. Mata Riona sedikit melebar dan dia menggosok kedua tangannya tanpa alasan.
"Maaf. aku tidak bermaksud merendahkanmu. ...Ryota adalah seorang laki-laki, tapi kamu sangat mudah diajak bicara dan membuatku merasa nyaman. Itulah sebabnya Ryota adalah pengecualian."
"...A-aku mengerti."
"Kenapa kamu memalingkan muka?"
"Oh, jangan repot-repot bertanya. Itu tidak penting."
Sebenarnya, Aku ingin tahu apa yang ada di pikiran seseorang yang bisa dengan mudah tetap mempertahankan kontak mata dalam situasi seperti ini. Riona dalam masalah karena dia mengatakan hal seperti ini tanpa memikirkannya.
"...Ryota. Kamu berbeda hari ini.
"Hah? Berbeda?"
Aku mengerutkan kening, merasa bingung dengan kata-katanya itu.
Riona kemudian melanjutkan dengan tatapan polos.
"Aku merasa kamu kurang fokus. Jika ada sesuatu yang membuatmu khawatir, bicaralah padaku."
Aku tertangkap basah ku kira dia tidak menyadarinya. Apakah aku begitu mudah ditebak?
Yah mungkin lebih baik meminta nasihat dari seseorang daripada memikirkan sendiri. Aku lalu berbalik ke arah Rionna.
"Ada sesuatu yang selalu menggangguku sejak lama…."
Ketika aku memulai berbicara, Rionna meletakkan kedua tangan di atas lututnya, dan siap mendengarkan.
"Aku... berbohong pada pacarku. Tapi sebenarnya, aku tidak memiliki niat buruk atau apa pun. Jika aku tidak menyembunyikannya, dia mungkin akan mengulangi kesalahan yang sama lagi… Itu sebabnya aku berbohong padanya, tapi itu sudah berlangsung cukup lama. itu selalu membuatku merasa bersalah..."
“Apa...itu adalah kekhawatiran yang lebih kecil dari yang kukira.
Kekhawatiran ku sia-sia."
"Eh?"
Rionna menghela nafas dengan nada keheranan.
"Aku sudah bilang tadi."
Dia mencondongkan tubuhnya kedepan dan secara fisik menutup jarak kami.
"Ryota, kamu tidak jelas. Aku tidak tahu apa kebohongan itu tentang apa, tapi jika kamu tidak berniat buruk, seharusnya kamu berbicara dengan jujur."
...Berbicara, ya?. Itu adalah cara yang paling sederhana, tapi aku belum melakukannya. Ku pikir menyembunyikannya adalah hal yang benar untuk dilakukan.
"Tapi, apakah dia akan mengerti jika aku berbicara?"
"Aku tidak akan tahu jika kamu menanyakan hal itu kepadaku. Tapi….."
"Tapi?"
"Jika itu tidak memecahkan masalah, pada saat itu aku akan mencari cara lain untuk membantumu."
"...Begitu, kamu memang bisa diandalkan."
"Ya. aku memang hebat."
" Terima kasih, aku akan mencoba berbicara dengannya.."
Dengan senyum tipis di bibirnya, Rionna bangkit dari kursinya dan berjalan kebelakangku. Seolah ingin menyemangatiku, dia lalu mulai menepuk kepalaku dengan lembut.
"Ryota benar-benar perhatian."
"A-ada apa..."
"Kamu punya rambut yang berdiri lagi."
"Oh, itu...seharusnya aku sudah merapihkan nya."
"Diamlah, aku akan merapikannya untukmu."
"Ya"
Rionna merapikan rambutku. Saat dia menyisir rambutku berulang kali dengan tangannya yang sudah terlatih, dia lalu menghela nafas puas.
"Nah, Kalau begitu aku akan kembali…….Ah....Oh ya,"
Saat hendak kembali ke kursinya, Rionna tiba-tiba berhenti seolah teringat sesuatu. Dia kemudian berbalik, dan mengarahkan jari telunjuknya ke arahku.
"Meskipun kamu sedang pacaran, kamu juga harus tetap fokus pada pelajaranmu, mengerti?"
"Aku mengerti. Aku akan mencoba menyeimbangkan keduanya dengan benar."
"Hmm. Tidak apa-apa. Sampai jumpa lagi.”
"Sampai jumpa."
Rionna berbalik dan kembali ke tempatnya. Aku mengikuti gerakannya dengan mata ku. Rasa sesak di dadaku tiba-tiba menjadi lebih ringan.
Setelah sekolah berakhir, aku bergegas pulang dan aku menemukan sepatu Sayu sudah diletakkan di depan pintu masuk. aku melihat ke ruang tamu, tapi aku tidak melihat Sayu. Aku ingin tahu apakah dia ada di kamarnya.
Aku kemudian naik ke lantai dua untuk meletakkan barang-barang ku.
Aku membuka pintu kamar ku sedikit, dan kemudian aku mendengar suara dari dalam.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
"... Ry, Ryota-kun..."
Aku kemudian membuka pintu sepenuhnya dan bertanya. Saat Sayu menatap mataku, dia menggerakkan tubuhnya tanpa emosi. dia lalu langsung menyembunyikan apa yang dia pegang di belakang punggungnya.
"Selamat datang kembali. kamu pulang lebih awal hari ini."
"Aku punya sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Sayu. Kenapa Sayu ada di kamar ku?"
"...Eh, um...iya...aku meninggalkan sesuatu di kamar Ryota-kun.”
"Dan apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu?"
"A-aku minta maaf soal ini. Aku benar-benar penasaran..."
Melihat bahwa tidak mungkin untuk terus menyembunyikannya, dia kemudian memperlihatkan apa yang dia sembunyikan di belakangnya, itu adalah catatan ku untuk materi universitas. Jika dia melihat semua hal ini, akan mudah untuk mengetahui universitas mana yang ku incar.
Setelah meletakkan barang-barang ku, aku duduk di atas tempat tidur. aku menarik selimut untuk memberi ruang bagi Sayu untuk duduk
"Ayo duduk dan bicarakan."
"Ya."
Sayu duduk di sampingku dengan ekspresi kaku di wajahnya. Biasanya dia akan dia akan duduk begitu dekat denganku hingga bahunya bersentuhan dengan ku, tapi kali ini ada sedikit jarak di antara kami.
Dengan menggaruk kepala ku secara kasar, aku lalu membuka mulutku untuk mengejek diri ku sendiri..
"Aku benar-benar tidak berguna, ya."
"T, tidak, itu bukan hal yang buruk, Ryota-kun.”
Dengan panik, Saori menyangkal kata-kata ku.
"Tidak, aku benar-benar tidak berguna. aku tidak ingin berbohong kepada Sayu, tapi aku... sungguh, aku tidak tahu apa yang ku lakukan."
Dulu, aku pernah berbohong padanya di Hari April Mop. Aku memberitahunya kalo besok meteor akan jatuh dan menghancurkan bumi, itu adalah sebuah kebohongan konyol yang mudah di ketahui oleh siapa pun. Tapi Sayu tidak meragukannya dia bahkan berkata
‘Aku tidak ingin Rik-kun mati,' dia terus menangis dan menempel padaku dan tidak mau melepaskanku, dan tidak peduli berapa kali aku menjelaskan kepadanya bahwa itu hanya bohong, Dia tidak percaya padaku meskipun aku menjelaskan berkali-kali. Setelah kejadian itu, aku bersumpah pada diriku sendiri kalo tidak akan berbohong kepada Sayu lagi.
"Ku pikir Sayu pasti sudah tahu, tapi aku punya sesuatu yang aku sembunyikan dari Sayu."
Aku mengatakan semuanya dengan serius, seolah menariknya keluar dari dalam dadaku.
Saat suasananya berbeda dan dari percakapan santai kami yang biasanya, Sayu menegakkan tubuhnya Aku tidak mendengar balasan apapun darinya. Dia mendengarkan tanpa berkata apa-apa, memberikan perhatian sepenuhnya kepada kata-kata ku.
"Meskipun ini masih terlalu dini, tapi aku sedang berpikir untuk melanjutkan ke universitas di Tokyo. Aku sudah membicarakannya dengan orang tuaku, dan aku berencana untuk hidup sendiri setelah aku masuk universitas.”
"...Kalau begitu, aku juga."
"Tunggu sebentar. aku takut itu terjadi. makanya aku menyembunyikannya dari Sayu."
Mata Sayu sedikit melebar dan dia meremas roknya dengan erat.
"Aku ingin tetap berada di sisi Ryota-kun. Bahkan hanya dengan berbeda sekolah saja, itu benar-benar menyakitkan dan membuatku cemas. Aku egosi, jadi aku tidak ingin ada yang mencuri Ryota-kun dariku, aku ingin memilikimu untuk diriku sendiri. Tapi jika kamu pergi jauh, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Itu sebabnya–”
Sayu dengan sungguh-sungguh mengakui perasaannya sambil menekan emosinya yang meluap-luap.
"Aku juga ingin bersamamu selamanya.”
"Jika itu yang kamu inginkan ma…….!"
Sayu menatap mataku dengan sedih. Namun, aku memyela saat dia berbicara tanpa mempedulikan suaranya yang terdengar sedih.
"Aku suka Sayu yang tiba-tiba mengatakan sesuatu dan Sayu yang selalu mempermainkan ku. Ketika aku bersama Sayu, aku tidak pernah merasa bosan, dan aku merasa bisa menjadi diri ku yang sebenarnya."
"Ryota-kun..."
"Tapi, aku tidak ingin melihat Sayu selalu megikuti ku."
"kalau begitu, tolong tetaplah di sisiku selamanya. Ada banyak universitas yang bisa kamu masuki bahkan dari sini. Meskipun kita
tidak bisa pergi ke universitas yang sama, selama Ryota-kun tinggal di rumah ini..."
Air mata menggenang di sudut matanya, air matanya itu seolah-olah akan jatuh kapa saja. Dia menggenggam erat tanganku, menolak untuk melepaskannya.
“Aku agak keluar dari topik sebwntar, apa tidak apa-apa?”
"Ya”
"Dulu, ketika Sayu sering sakit dan akan jatuh sakit setiap kali terjadi sesuatu... Bahkan sebagai anak kecil, aku benar-benar khawatir."
"Apa kamu hawatir padaku?"
"Ya. Aku khawatir kalau-kalau Sayu akan mati suatu hari nanti. Ini mungkin terdengar bodoh, tapi aku sangat khawatir... Aku benar-benar takut."
Karena menghabiskan waktu bersama Sayu adalah sesuatu yang alami bagiku sehingga setiap kali dia sakit dan terbaring di tempat tidur, pikiran buruk selalu melintas di pikiranku. Aku tidak ingin kehilangannya, karena dari lubuk hatiku yang terdalam aku ingin selalu bersama Sayu selamanya.
"Itulah kenapa aku ingin menjadi dokter. Agar tidak peduli kapan Sayu sakit, aku bisa merawatnya dan melindunginya tidak peduli apa yang terjadi. Itulah kenapa aku belajar dengan giat.”
"... Aku tidak tahu. tentang itu..."
"Aku minta maaf karena merahasiaakanya."
"Bukan, seharusnya aku yang minta maaf. Aku mengatakan sesuatu yang sangat egois. Aku tidak menyangka Ryota-kun mempunyai keputusan yang jelas mengenai masa depanmu.”
Aku menggelengkan kepalaku. Ini adalah kesalahanku. Aku tidak menyatakan diriku dengan jelas. Aku membuat keputusan sendiri dan tidak berusaha untuk mengungkapkannya. Aku berpikir yang terbaik adalah menyembunyikannya dan terus melarikan diri.
Aku kemudian meraih tangan sayu.
"Jadi, aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama lagi."
"Apa maksudmu?"
“Kalau aku ke Tokyo, Sayu pasti mau ikut bersamaku. Aku tidak ingin Sayu terlibat dalam pilihan-pilihan yang kuambil seperti saat aku mengikuti ujian masuk SMA.”
Aku hanya ingin menghindari pilihanku yang menentukan persimpangan jalan dalam hidup Sayu. Aku akan menyatakan niat itu dengan terbuka dan menyampaikan perasaanku. Sayu meraih tanganku kembali dan memberiku senyuman bermasalah.
"Ryota-kun salah paham."
"Salah paham?"
"Aku tidak bisa memikirkan masa depan seperti Ryota-kun. Itu sebabnya aku melakukan apa yang paling ingin ku lakukan saat itu.
Ketika aku masih di SMP, aku ingin pergi ke SMA yang sama dengan Ryota-kun, jadi aku mengikuti ujian masuk yang sama. Aku gagal, tapi aku tidak menyesali pilihan itu, dan aku tidak pernah merasa terpengaruh oleh Ryota-kun.”
"Tapi pada akhirnya, itu tidak ada bedanya dengan aku yang menentukan pilihan Sayu. Jika aku mengikuti ujian masuk SMA lain, kamu pasti akan mengikuti ujian itu."
"Jika begitu, apakah Ryota tidak sama? Karena aku yang sakit-sakitan Ryota memutuskan untuk menjadi dokter kan?"
"Itu benar, tapi...itu masalah yang berbeda. Milikku hanyalah sebuah peluang.”
"Aku tidak begitu mengerti perbedaannya."
Dia menggembungkan pipinya dan mengerucutkan bibirnya. Yah sulit bagiku untuk menjelaskan perbedaan ini. Memang benar, jika bukan karena Sayu, aku rasa, aku tidak akan bertekad untuk menjadi seorang dokter. Kalau begitu, Sayu pasti punya pengaruh besar dalam hidupku.
Namun, satu hal yang dapat ku katakan dengan pasti adalah…
"Kalau begitu, biarkan aku mengatakannya secara berbeda. Aku tidak keberatan didorong oleh Sayu. Tapi aku tidak ingin Sayu hancur karena didorong olehku."
"Itu tidak adil. Intinya, kesalahannya ada pada Ryota-kun, kan?
Karena kamu selalu, selalu, selalu membuatku khawatir."
Sayu menatapku dengan mata lembabnya dan dan mencondongkan tubuhnya kedepan, dia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"... Bagaimana aku bisa untuk membuatmu merasa tidak khawatir lagi?"
"Ryota-kun harus membuktikan padaku bahwa kamu tidak akan tertarik pada gadis lain selain aku…."
"Bagaimana aku bisa membuktikan itu..."
"Ryota-kun yang harus memikirkannya sendiri."
Bahkan jika dia mengatakan itu… Sekalipun aku mencoba membuktikannya, aku tidak dapat memikirkan cara untuk membuktikannya. Apa yang harus dilakukan?
Setelah berpikir sejenak, aku memejamkan mata sekali dan mengambil keputusan. Alasan Sayu selalu berusaha berada di sisiku adalah karena aku membuatnya merasa khawatir. Meski aku raga kalo langkah yang ku ambil ini akan menghilangkan kekhawatirannya. Aku lalu menarik napas dan menatap langsung ke arah Sayu.
"Kalo begitu, tutup mata."
Sayu mengedipkan matanya beberapa kali dalam kebingungan, tapi dia mengikuti perintahku dan menutup kelopak matanya. Dia menampilkan
wajahnya yang tak berdaya. Ini bukan pertama kalinya situasi seperti ini terjadi. Saat itu, Misaki kembali dan aku menjadi malu, tapi…
Meskipun agak terkejut, Saori menuruti perintahku dan menutup matanya, menampilkan wajah yang tidak berjaga-jaga.
Tapi Kali ini, aku tidak akan membiarkannya berakhir tanpa kejelasan. Aku kemudian meletakkan kedua tanganku di pundak Sayu dan secara perlahan mendekatkan wajahku.
Aku bisa merasakan Nafasnya menjadi sedikit tidak teratur dan detak jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Meskipun begitu, aku tidak ragu.
Wajah kami semakin dekat dengan tersisa hanya beberapa sentimeter lagi. Karena aku tidak punya pengalaman, semuanya tidak akan berjalan mulus. Aku bukan tipe orang yang pandai menyatakan perasaanku, seperti Sayu, aku juga tidak terbiasa dengan mengambil tindakan pertama. Itulah sebabnya aku sedikit khawatir.
Itu sebabnya menurut ku aku perlu mengumpulkan keberanian dan mengambil langkah pertama. Tanganku gemetar, mungkin karena gugup, aku juga bisa merasakan kalo tubuh Sayu gemetar juga.
Dia adalah gadis yang ku kenal sejak kecil. Aku pikir aku tidak akan merasa tegang gugup karenanya. Tapi ternyata tidak. Bagiku, Sayu bukan lagi sekedar teman masa kecilku. Dia adalah cinta pertama dalam hidupku. Tentu saja, aku merasa bersemangat dan gugup.
Karena aku ingin tetap ingin bersamanya selamanya, aku mengumpulkan keberanian dan segera menutup jarak yang tersisa di antara kami.
"Aku mencintaimu, Sayu."
"...Ryo, Ryota──”
Sayu membuka mata dengan cepat, dan dia terlihat semakin memanas. Aku menjauhkan bibirku dan bibirnya sejenak. Tapi Sayu menghentikan gerakanku dan melompat ke bahuku. Bibirnya, yang kaku karena ketegangan dan kegelisahan, perlahan mengendur.
Sambil menghargai kontak yang tidak biasa ini, kami bertukar ciuman yang entah panjang atau pendek. Aku ingin terus seperti ini. Tapi, secara fisik itu tidak mungkin. kami harus menjauh untuk bernafas.
"Ha... ha..."
"Pha..."
Kami berdua kehabisan napas, dan dan pipi kami benar-benar memerah. Sayu, terutama, menunjukkan ekspresi yang begitu bahagia di wajahnya.
Kami tidak berkata apa-apa selama beberapa saat, tapi kami saling memandang... suhu tubuh ku semakin meningkat saat Sayu terus menatap mataku.
"...Apakah kamu sudah merasa tidak khawatir lagi?"
"..."
Tanpa berkata apa pun, Sayu menganggukkan kepala dengan pelan. Dia biasanya bertindak begitu tegas, tapi kali ini dia bereaksi begitu polos. Ruangan menjadi sunyi. Tanpa sadar, kami meletakkan tangan kami di atas satu sama lain dan kami saling menatap. Sayu lalu menyandarkan kepalanya di bahuku dan mulai berbisik.
"Aku... ada impian yang ingin kuwujudkan."
"Impian?"
Aku bertanya balik dengan senyum yang lembut.
"Aku ingin menjadi istri Ryota."
"....."
"Jadi, jujur saja, aku tidak terlalu mengerti tentang universitas dan sebagainya... Selama aku bisa bersamamu, Ryota-kun, apapun jalan yang kuambil, itu adalah kemenangan besar bagiku. Jadi, apakah tidak apa-apa aku ikut denganmu? Ryota-kun? Aku tidak suka LDR-an."
Aku tersenyum bermasalah dan menggaruk kepalaku dengan kasar.
"Kamu licik, tahu. Kalau kamu bilang begitu, aku tidak punya pilihan selain menikahi Sayu."
"Hehe... , tentu saja. Apa kamu tidak tahu? Aku sangat egois dan sangat licik. Jadi, menikahlah denganku, Ryota-kun."
Aku menerima lamaran pernikahan untuk kesekian kalinya. Aku ingin tahu apakah ada gadis lain di luar sana yang begitu mencintaiku dan memaksaku untuk menikahinya. Meskipun masa depannya masih belum jelas, aku merasa tidak bisa memilih orang lain selain Sayu. Tapi, itu sebabnya...
Karena dia begitu penting bagiku, aku tidak sekarang belum layak untuknya, itu karena aku belum melakukan apa pun untuknya, aku tidak bisa menikah sekarang.
"Menikah adalah hal yang tidak mungkin."
"Ryota-kun lumayan keras kepala, kan?"
"Itu benar. Itu sebabnya aku tidak menerima alasan halus apa pun seperti mengikutiku dalam jalur karierku."
“Aku tidak membutuhkan izin apa pun.”
Sayu memalingkan wajahnya dengan sedikit marah. Melihat itu aku lalu meletakkan tanganku di belakang kepalanya, dengan paksa menariknya ke arahku dan memaksanya melakukan kontak mata denganku.
"Terkadang, dengarkan juga katakan sesekali.”
"Ryo.. Ryota-kun..."
"Berjanjilah padaku kalau kamu akan memikirkan baik-baik jalur karirmu. Aku ingin kamu memikirkannya dengan serius, tanpa memikirkan aku."
Aku menatap langsung ke matanya, dan mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya.
"...A-Aku mengerti. Aku akan memikirkannya... Tapi setelah memikirkannya, aku mungkin akan memilih universitas di Tokyo."
"Jika Sayu sudah menentukan pilihan setelah mempertimbangkannya dengan matang, aku akan menghormatinya. tapi, aku tidak ingin kamu mengambil keputusan hanya karena ingin berada di sisiku. Ada banyak universitas selain di Tokyo."
"……Ya”
Sayu menjawab sambil berbisik dan menunduk untuk menyembunyikan wajah yang merah cerah. Ruangan terasa panas, memberikan ilusi bahwa pemanasnya sedang menyala. Lalu kemudian Sayu adalah orang pertama yang memecah keheningan. Dia menarik lengan seragamku.
"Um, Ryota-kun..."
"Ya?"
"Aku baru menyadari sesuatu yang mengerikan."
“Mengerikan?”
Dia duduk di atas tempat tidur, dia menatap ku dengan cemas.
"Jika kamu ingin menjadi dokter, kamu harus masuk sekolah kedokteran, kan?"
"Yeah. Apa masalahnya?"
"Ini adalah masalah besar. Jumlah gadis yang akan tertarik padamu akan meningkat tajam, kan?"
"Aku tidak berpikir itu akan terjadi.”
"Aku! ... aku harus menikahi Ryota-kun dan memastikan gadis lain tidak bisa menyentuhmu!"
Sayu memiliki mata yang berkaca-kaca dan dia menunjukkan tekadnya yang kuat. Meskipun status menjadi mahasiswa kedokteran bisa menjadi keunggulan dalam hal percintaan, tapi, jika hanya ingin menjadi populer, tidak ada seorang pun yang akan mengalami kesulitan, dan semua orang akan belajar dengan giat.
Secara umum, Sayu mempunyai satu kesalahpahaman besar. Aku meletakkan tanganku di kepala Sayu.
"Aku rasa Sayu harus melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lebih luas."
"Eh?"
"Aku memiliki pacar yang sangat cantik sepertimu, jadi aku tidak akan tertarik pada gadis lain."
Pipi Sayu berubah warna menjadi warna bunga sakura dan dia mencondongkan tubuhnya ke arahku. lalu dia memelukku tanpa menatapku. Tidak ada orang lain di sini kecuali kita. Namun, dia mendekat ke telingaku dan berbicara dengan suara yang hanya bisa kudengar.
“Bisakah aku mempercayai kata-katamu itu?”
"Ya. Aku ingin kamu percaya padaku."
"Aku akan mempercayai mu. Tapi aku tidak ingin memberikan Ryota-kun kepada siapa pun."
"Aku juga...aku tidak ingin memberikan Sayu kepada siapapun."
Sayu menjauhkan tubuhnya sedikit dariku, lalu kami saling menatap, dengan jarak yang kurang dari 30 sentimeter. Saat dia menutup kelopak matanya, aku mengatupkan bibirku seolah-olah kami sedang melebur satu sama lain.