> CHAPTER 8

CHAPTER 8

 Kamu saat ini sedang membaca  Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu  volume 1  chapter 8. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw



........TELEPON........




Sesampainya di sebuah kafe dengan suasana retro, Shinohara duduk di kursi kafe di bagian dalam. 


Kursi kafe berwarna cokelat tua itu berderit ringan, dan ketika aku duduk, suaranya terdengar lebih keras lagi. 


Saat Shinohara menggantungkan mantelnya di gantungan, dia terlihat sedikit lelah, dan tanpa berpikir panjang aku berkata sesuatu yang tidak biasa bagiku.


"Aku yang akan mentraktirmu."


"Eh, tidak usah."


Dengan ekspresi terkejut di wajahnya, Shinohara langsung menolaknya. 


Penolakannya yang terkesan spontan membuatku sedikit kesal.


"Kalo begitu, aku akan mentraktirmu dengan paksa."


"Kenapa? Maksudku, Bukankah hari ini aku yang akan mentraktirmu?"


Shinohara menunjukkan sedikit sikap keberatan. Kalo aku yang ditawari traktir, aku akan langsung menerima tanpa pikir panjang, tapi rupanya Shinohara berbeda.


"Padahal waktu malam Natal, kau menerima traktiranku tanpa ragu. Kenapa sekarang kau tidak mau?"


"Kenapa kau memutar balik ingatan? Waktu itu aku yang bayar."


Mendengar itu, aku teringat kalo saat itu aku sedang direkrut untuk membalas Motosaka. 


Sepertinya, demi menjaga harga diri ku sebagai orang yang lebih tua, otakku mengubah ingatan ku secara otomatis. 


Mungkin keinginan mendadakku untuk mentraktirnya sekarang adalah dorongan bawah sadar untuk memulihkan harga diri itu. 


Yah, hal ini tidak begitu penting.


"Kau pasti lelah setelah tiba-tiba bergabung dalam kegiatan klub dan menjadi manajer. Anggap saja ini sebagai apresiasi."


Begitu Shinohara mendengar kata 'apresiasi', dia sepertinya mengerti, dan berkata, "Oh, begitu." Ternyata, selama ada alasan yang jelas, dia bisa menerima traktiran tanpa ragu.


"Kalo begitu, aku terima traktirannya dengan senang hati. Tapi, jujur saja, sungguh imut melihat senpai bermain basket dengan penuh semangat. Itu benar-benar waktu yang menyenangkan untuk ku."


"Aku akan lebih senang kalo kau bilang aku keren."


Mendengar jawabanku, Shinohara cemberut dan berkata, "Eh."


"Kalo seorang perempuan bilang seorang pria itu 'imut', itu sebenarnya pujian yang cukup tinggi, lho."


"Iya, iya."


"Respon apa itu?"


Shinohara langsung menarik buku menu dari tanganku dengan ke-2 tangannya. 


Aku sadar kali percakapan tadi membuatku lengah akan risiko dia mungkin memesan makanan mahal untuk makan siang. 


Tapi, kekhawatiranku ternyata tidak perlu, karena makanan yang disajikan oleh pelayan adalah menu yang ramah di dompet.


Setelah makan sambil mengobrol, ketika makanan sudah hampir habis, aku meminta maaf.


"Maaf, apa aku membuatmu khawatir dengan isi dompetku."


"Tidak kok, aku memang ingin makan yang ini."


"Oh, begitu."


"Yap, benar."


Shinohara mengangguk, lalu memutar garpu untuk mengambil pasta dan membawanya ke mulut. 


Meskipun biasanya Kohai ini berbicara dengan sikap agak kurang ajar, dia memiliki perhatian semacam ini. 


Itulah kenapaa aku tidak terganggu oleh sikap kasarnya sehari-hari, bahkan mungkin aku merasa nyaman dengannya.


Hubunganku dengan Shinohara baru sekitar 2 bulan, tapi entah kenapa aku merasa menyukai hubungan ini.


"Ah, tapi hari ini benar-benar membawa nostalgia. Aku jadi ingat masa-masa aku berada di klub basket dulu."


"Hah? Kau anggota klub basket?"


Aku tanpa sadar terkejut. 


Mengingat caranya bermain tadi, rasanya keterampilannya dalam mengendalikan bola kurang terasah.


"Kau pasti berpikir 'untuk ukuran mantan anggota klub basket, itu buruk', kan? Dulu aku benar-benar pandai, kok!"


Shinohara menunjukkan ekspresi tidak puas, seolah merasa tersinggung.


".....Tapi tetap saja, kalo harus dibandingkan dengan Ayaka-Senpai, aku masih kalah jauh."


"Ayaka? Apa dia pernah ikut klub?"


"Eh, Senpai apa kau tidak tahu?"


"Bukannya aku tidak tahu, lebih tepatnya..."


Selama di SMA, Ayaka tidak pernah bergabung dengan klub. 


Dia selalu mengatakan alasan seperti "Aku tidak ingin waktuku terpakai habis" dan saat SMP pun dia tidak ikut klub apa pun. 


Tidak ada alasan untuk meragukannya, tapi mendengar hal ini dari Shinohara membuatku sedikit tidak yakin.


"Begitu ya. Ternyata Ayaka-Senpai memang tidak pernah membicarakan itu, ya."


Melihat ekspresinya yang dingin sejenak, aku tanpa sadar bertanya.


"Apa maksudmu?"


"Tidak ada apa-apa, kok~"


Shinohara menanggapi dengan santai dan segera memanggil pelayan. 


Masa lalu Ayaka, yang aku tidak tahu tapi Shinohara ketahui. 


Meskipun aku ingin bertanya, aku menahan diri ketika pelayan datang ke meja kami.


"Apa yang ingin Anda pesan?"


"Matcha latte dan cheesecake, tolong! Senpai kau mau pesan sesuatu?"


Topik pembicaraan kami berubah, atau lebih tepatnya sengaja diubah. 


Apa maksud di balik perubahan ini memang tidak jelas, tapi yang bisa kupahami adalah Shinohara tidak ingin membicarakannya sekarang. 


Yah, kalau soal masa lalu, aku tinggal menanyakannya langsung pada Ayaka. 


Aku pun memutuskan untuk menemani Shinohara menikmati makanan penutup.


"Kalo begitu, aku pesan es café au lait."


"Baik, akan segera kami siapkan."


Setelah memberi salam singkat, pelayan tersebut berbalik pergi. 


Meski seragamnya sederhana, paduannya dengan suasana kafe ini cukup elegan. 


Rasanya bisa dimengerti kenapa tempat ini menjadi pilihan populer untuk mahasiswi yang bekerja paruh waktu.


"Kerja paruh waktu sebagai Santa lebih jarang ditemukan."


"Santa itu kan imut, apalagi sangat cocok dengan suasana musim."


Sambil menatap punggung pelayan yang berjalan pergi, Shinohara berkata dengan suara yang penuh keceriaan. 


Memang, saat itu Shinohara benar-benar mencolok dengan kostum Santa menjelang Natal, dan dia menarik perhatian banyak orang. 


Gagasan kali dia sekarang bekerja sebagai pelayan kafe terasa agak tidak nyambung. 


Tapi, mengingat penampilan Shinohara, mungkin gaya apa pun akan cocok dengannya.


"Ngomong-ngomong, Senpai kau benar-benar suka café au lait, ya. Awalnya, aku mengira Senpai lebih suka kopi hitam, jadi ketika pertama kali tahu, aku agak terkejut."


Apa itu pujian? 


Kopi hitam memang sering diasosiasikan dengan orang dewasa, jadi ucapannya justru terasa tidak buruk.


"Tapi tidak mungkin, aku belum bisa minum itu. Rasanya tidak enak."


"Itu Artinya kau mencoba memaksakan diri untuk meminumnya. Meskipun Senpai terlihat dewasa, ternyata ada sisi yang masih seperti anak kecil."


"A-a-apanya yang anak kecil!"


Bertentangan dengan ekspektasi ku, perkataan itu sama sekali bukan pujian. Bahkan, lebih dekat ke hinaan daripada pujian.


"Sayangnya, aku tidak punya cukup uang untuk mengeluarkan biaya hanya demi terlihat berkelas."


Mendengar jawaban itu, Shinohara mengangguk seolah mengerti, "Kalo begitu, keputusan seperti itu bisa dimengerti kalo memang kau tidak ada uang."


Sungguh ucapan yang kurang ajar.


Shinohara sendiri berpakaian seolah-olah dompetnya penuh. 


Trench coat berwarna beige yang tergantung di gantungan tampak mahal, dan kombinasi turtleneck hitam serta kalung tipis yang terlihat setelah melepaskan mantelnya tampak berkelas.


"Sebaliknya, kenapa kau bisa punya banyak uang begitu?"


Aku sadar ini pertanyaan yang kurang pantas, tapi Shinohara menjawabnya tanpa raut wajah yang tidak senag.


"Aku lumayan sering mengambil shift kerja paruh waktu. Pada musim Natal, aku bahkan mengambil pekerjaan ganda."


"Benar juga. Mungkin aku harus menambah shift-ku."


Saat ini, aku hanya bekerja paruh waktu sekali atau 2 kali seminggu. 


Untuk seorang mahasiswa jurusan humaniora yang tidak ikut kegiatan klub, jadwal kerja seminggu sekali atau 2 kali tergolong sedikit.


Dulu, saat masih pacaran dengan Aisaka Reina, aku bekerja 5 hari dalam seminggu dan berhasil menabung cukup banyak uang. 


Sekarang, aku hidup dengan mengandalkan tabungan itu, tapi sepertinya itu pun akan segera habis.


Tapi, Shinohara terlihat kurang senang dengan kebimbanganku.


"Kalau senpai sering tidak ada di rumah, aku akan kesepian."


"Dengar, orang yang datang 3 atau 4 kali seminggu ke rumah orang lain itu sudah tidak wajar. Setidaknya biarkan aku bekerja."


"Aku juga menjadi model salon, jadi Senpai bisa bergantung pada ku dalam urusan ekonomi. Aku bisa membiayai makan mu, kalo kau mau."


Antara ajakan untuk menjadi model salon dan untuk hidup bergantung, aku tidak tahu harus menanggapi yang mana. 


Tapi, yang keluar dari mulutku adalah pertanyaan tentang yang pertama, karena sebagai mahasiswa biasa, kata 'model salon' terdengar asing.


"Apa model salon bisa menghasilkan uang?"


"Tergantung orangnya, tapi aku bisa mendapatkan sekitar 40 ribu yen sebulan. Yah, itu cukup lumayan."


"A-apa──"


Jika digabung dengan pekerjaan paruh waktunya, penghasilan Shinohara jauh lebih besar dari punyaku. 


Sebenarnya, hal itu membuat kepalaku sedikit pusing.


Tapi meski begitu, aku tetap tidak ingin bergantung padanya dalam hal uang. 


Kalo sampai orang lain tahu, akan sangat merepotkan.


"Tidak, aku rasa tidak perlu. Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada membiarkan gadis yang lebih muda membiayai hidupku."


"Ya, itu baru namanya Senpai."


Aku hanya bisa ternganga mendengar jawabannya itu.


"...Jadi, kau mengujiku, ya? Betapa buruknya sifatmu!"


"Aku... aku tidak menyangka kau akan menganggapnya serius!"


Shinohara meletakkan garpu di atas piring dan menyeka mulutnya dengan serbet.


"Yah, mau bagaimana lagi kalo begitu, aku akan membuatkanmu makanan spesial malam ini. Akan akan membuatkan dengan sepenuh hati."


Melihat Shinohara yang sengaja memperlihatkan lengannya seolah-olah sedang memamerkan otot bisepnya, aku hanya bisa mengerutkan keningku.


Ekspresiku tampaknya sangat menghibur baginya, hingga Shinohara tertawa.


"Jadi, apa yang ingin kau makan malam ini?"


Mendengar pertanyaannya, aku tanpa sadar menyilangkan tanganku.


Masakan Shinohara cukup luar biasa, jadi sejujurnya, apa saja akan terasa enak. 


Tapi, jawaban seperti itu pasti membuat orang yang memasak merasa bingung untuk memutuskan menu.


Oleh karena itu, aku menyebutkan makanan pertama yang terlintas di kepalaku.


"Tiramisu."


"Kenapa malah makanan penutup?"


"Tidak boleh?"


"Eh, bukannya tidak boleh. Kalo begitu, ayo kita pergi membeli bahan-bahannya."


Setelah mengatakan itu, Shinohara berdiri dari kursinya.


"Kau bisa keluar duluan."


"Baik. Terima kasih untuk makanannya, Senpai."


Shinohara membungkukkan kepalanya sedikit, lalu keluar dari restoran terlebih dahulu.


Sementara aku membayangkan rasa tiramisu, aku pun menyelesaikan pembayaran.


★★★


Setelah Shinohara pulang, aku mencuci piring untuk 2 orang. 


Rasa manis tiramisu masih terasa di bibirku. 


Tiramisu sebagai hidangan penutup itu sungguh lezat. 


Aku menyukai rasa yang sedikit pahit tapi didominasi oleh rasa manis, dan Shinohara tampaknya menyadari hal itu dari menu yang kupesan di kafe sebelumnya. 


Tiramisu buatannya benar-benar sesuai dengan seleraku. 


Ditambah lagi, ada rasa sedikit bersalah menikmati sesuatu yang manis di ruangan hangat ini, membuatnya menjadi salah satu yang paling nikmat yang pernah kumakan belakangan ini.


Sekarang jam 8 malam. 


Karena Shinohara pulang lebih awal, kegiatan hari ini berjalan lebih lancar daripada biasanya. 


Kalo begini, waktu luang ku sampai waktu tidur sepertinya akan cukup banyak.

 

Meski waktu yang kuhabiskan bersama Shinohara menyenangkan, aku sebenarnya lebih suka waktu yang kuhabiskan sendiri. 


Setelah ujian selesai, aku ingin berbaring setelah selesai mencuci piring dan menghabiskan waktu dengan berselancar di situs video sesuka hati. 


Menonton berbagai video menarik dari video terkait adalah saat-saat yang sangat membahagiakan bagiku.


Tapi, keinginan sederhana itu terganggu oleh layar Hp yang menyala hijau, menandakan panggilan masuk. 


Nama yang tertera di layar panggilan adalah Ayaka.


"Kau tahu apa yang dikatakan pelanggan itu?" 


"....Dengar, bisakah kita bahas ini lain kali? Aku baru ingat ada sesuatu yang sangat mendesak."


"Alaa, paling juga kau mau berselancar di internet. Itu kan bisa dilakukan kapan saja."


"Yah, panggilan telepon juga bisa dilakukan kapan saja, kan?" 


Dari Hp yang tersambung ke speaker, terdengar dia menghela napas panjang.


"Sungguh, hanya kau yang akan bersikap kasar begini padaku saat aku menelepon." 


"Terima kasih atas penghargaannya." 


Jawabku sambil menggunakan spons untuk menghilangkan noda dari pressure cooker.


Aku lebih fokus pada membersihkan noda daripada pada percakapan dengan Ayaka. 


Sampai saat ini, aku jarang menggunakan pressure cooker yang diberikan orang tuaku, tapi sejak Shinohara mulai datang ke rumah, aku jadi lebih sering memakainya. 


Mungkin pressure cooker ini juga merasa senang karena akhirnya terpakai.


"Heh, kau masih belum selesai mencuci piring juga? Suara airnya kadang mengganggu pendengaranku." 


"Sebentar lagi aku selesai." 


"Oh, begitu. Tapi bukankah kali ini kau agak lama mencuci piring?" 


Tanganku berhenti sejenak dengan pertanyaanya tajamnya. 


Memang wajar kalau lebih lama, karena aku mencuci peralatan untuk 2 orang ditambah alat-alat membuat hidangan penutup. 


Tapi rasanya aku enggan untuk memberitahu Ayaka soal ini.


"...Aku menumpuknya selama minggu ujian. Kalo aku tinggal dengan orang tua, kau tidak akan paham betapa merepotkannya ini."


"Jangan meremehkan ku, aku bahkan bisa melakukan semua pekerjaan rumah meskipun sedang minggu ujian. Kalau perlu, aku bahkan punya waktu untuk membantu di rumahmu." 


Itu tawaran yang cukup menarik, tapi aku sebisa mungkin ingin menghindari kemungkinan dia bertemu Shinohara. 


Rasanya lebih baik melakukan pekerjaan rumah sendiri daripada harus menjaga sikap di rumah sendiri.


"Aku tidak perlu bantuan."


"Sungguh, padahal aku benar-benar ingin membantumu." 


Ayaka mengatakan itu dengan nada kecewa.


Kalo Ayaka datang ke rumah seorang pria, mungkin sebagian besar pria akan merasa senang. 


Tapi, Ayaka tidak benar-benar dekat dengan pria semacam itu. 


Maka dari itu, adalah hal yang wajar bagiku untuk menolaknya karena hubungan kami memang berbeda.


──Jika benar kami dekat, seharusnya aku tahu lebih banyak tentang Ayaka.


Pikiran semacam itu tiba-tiba melintas di benakku.


Hubungan kami telah terjalin sejak tahun pertama SMA hingga musim dingin tahun ke-2 di kampus. 


Aku merasa telah menghabiskan banyak waktu bersamanya. 


Tapi, Shinohara, seorang kenalan Ayaka, pernah berkata, "Kami berada di klub basket yang sama saat SMP." 


Seharusnya ada banyak kesempatan bagi Ayaka untuk memberitahuku hal ini. 


Ketika begitu banyak hal yang tidak kuketahui, rasanya bukan sekadar dia tidak mengatakannya, melainkan lebih tepat dikatakan dia sengaja menyembunyikannya.


Tentu saja hal itu saja tidak membuatku meragukan hubungannya dengan Ayaka. 


Aku pun tidak menceritakan segala hal tentang Reina padanya. 


Meski kami memiliki hubungan yang dekat, aku tahu kalo tidak mungkin kami bisa saling mengungkapkan segalanya. 


Meski begitu, aku tidak bisa menyangkal kalo aku sedikit merasa kesepian. 


Ini memang agak egois—meski aku sendiri menyembunyikan banyak hal, ketika aku menyadari ada hal-hal yang disembunyikan dariku, aku merasa kesepian.


Kalo saja ini hanya hubungan pertemanan biasa, aku mungkin akan menyadari hal itu dan memilih untuk tidak membahasnya. 


Tapi, Ayaka adalah orang yang berbeda. 


Karena aku percaya pada hubunganku dengannya, aku memberanikan diri untuk bertanya.


"Ngomong-ngomong, Ayaka..."


"Hm?"


"Kau pernah main basket saat SMP, ya?"


Aku mematikan keran air. 


Tanpa suara bising, ketenangan kembali ke kamar kecil ini. 


Tidak ada jawaban langsung. 


Karena kami berbicara lewat telepon, aku tidak bisa mengetahui apa yang dimaksud dengan jeda itu.


"──Siapa yang mengatakannya?"


Nada suaranya adalah sesuatu yang belum pernah kudengar dari Ayaka. 


Tidak terdengar marah atau mencurigai. 


Mungkinkah...rasa takut?


Tetesan air dari keran terdengar sangat jelas di telingaku.


"...Apa aku tidak seharusnya menanyakannya?"


Aku berdiri diam di depan Hp-ku, memandang layarnya. 


Di layar, terdapat ikon Ayaka, sebuah foto yang mungkin diambil bersama teman-teman klubnya. 


Dalam ikon itu, Ayaka tersenyum lebar, tapi nada suaranya yang terdengar sekarang seolah sangat jauh dari ekspresi itu.


"...Tidak, tidak apa-apa. Tidak ada yang salah."


Jawaban Ayaka terdengar tidak biasa, seakan-akan dia sedang terpengaruh oleh sesuatu. 


Dari suara napasnya yang terdengar lewat telepon, aku bisa merasakan sedikit emosi yang berusaha dia sembunyikan.


Sama halnya seperti Ayaka memahami diriku, aku pun dapat menebak perasaan Ayaka sampai batas tertentu. 


Meskipun aku tidak tahu masa lalunya, tahun-tahun yang telah kami lalui bersama tidak akan berubah. 


Tetap saja, aku merasa sedikit sedih karena ada sisi dari Ayaka yang belum kuketahui. 


Pertanyaan ini muncul dari perasaan itu, tapi aku menggelengkan kepalaku.


Karena kami dekat, dia tidak ingin sisi itu diketahui. 


Fakta kali dia menyembunyikannya hingga sekarang berarti hal itu penting baginya. 


Kalo tidak, tidak mungkin selama 5 tahun ini, aku tidak pernah mendengar cerita tentang masa SMP-nya.


"Kalo memang kau tidak mau mengatakan──"


──Kau tidak perlu mengatakannya.


Biasanya, aku pasti akan berkata begitu. 


Mencoba untuk terlalu ikut campur dalam urusan orang lain hanya akan menjadi gangguan jika orang itu tidak menginginkannya. 


Ada banyak orang yang merasa puas saat mengetahui rahasia orang lain karena mereka ingin merasa lebih penting. 


Mereka mendesak untuk mendengar rahasia demi memenuhi keinginan akan pengakuan, sementara ada juga yang tulus ingin mendengarkan demi rasa kasih sayang dan perhatian. 


Orang yang bijak bisa membedakan kedua jenis ini.


Ayaka adalah tipe orang yang bijak. 


Sewaktu SMA, Ayaka sering kali didekati oleh para lelaki yang ingin mendekat atau mengajaknya berkonsultasi. 


Dengan cepat, Ayaka bisa merasakan niat tersembunyi di balik sikap ramah mereka dan menanggapinya tanpa banyak kesan. 


Melihat Ayaka bermain dengan Hp-nya dengan ekspresi bosan, saat itu aku menyadari satu hal: taktik berpura-pura tidak akan berhasil padanya. 


Dengan Ayaka, aku ingin menjadi diriku apa adanya.


Tapi, mengalah begitu saja bukan keinginanku. 


Jika aku telah memutuskan untuk jujur pada Ayaka, pilihan terbaik adalah menanyakannya dengan terbuka.


"──Kalo aku memang tidak ingin mengatakan, lalu kenapa?"


"Benar. Meski kau tidak ingin mengatakannya, aku ingin kau tetap menceritakannya padaku."


"...Dasar bodoh."


Setelah mengatakan itu, Ayaka terdiam. 


Keheningan yang ada tidak terasa berat, justru lebih menyerupai suasana yang biasa di antara kami.


Dengan menganggap kalo suasana ini adalah tanda penerimaan, aku mulai berkata.


"Yah, aku hanya mendengar kalo kau dulu main basket, tidak lebih. Bagaimana rasanya waktu itu?"


Aku sengaja tidak menyebut kalo aku mendengar ini dari Shinohara, karena mereka ber-2 jelas bukan teman dekat.


"Aku tidak akan menceritakannya sekarang, tapi nanti kalau ada kesempatan, aku akan menceritakannya padamu."


"Eh, itu kan sama saja seperti kau tidak mau menceritakannya."


"Aku akan menceritakannya, kok."


Jawabannya datang dengan cepat, dan aku terdiam. 


Ayaka menarik napas, lalu berkata dengan perlahan.


"Aku akan menceritakannya padamu, jadi tunggu saja tanpa mengatakan apa-apa, oke."


"...Baiklah."


Nada suaranya yang tegas seperti ingin mengakhiri pembicaraan ini. 


Tapi karena aku sudah bertanya satu kali, perasaan kalo topik masa SMP-nya adalah hal yang tabu untuk dibicarakan sudah tidak lagi membebaniku. 


Tentu saja, aku tidak akan sembarangan menanyakannya lagi, tapi aku percaya kata-katanya kalo dia akan memberitahu ketika saatnya tiba.


Lagipula, aku tidak terburu-buru. 


Mendengar Ayaka berjanji untuk menceritakan hal-hal yang selama ini dia sembunyikan sudah cukup membuatku puas. 


Kami bukan sepasang kekasih, kami hanya teman biasa. 


Kalo dia menanggapi pertanyaanku dengan "kenapa aku harus menceritakannya pada mu", maka itu akan mengungkapkan sejauh mana hubungan kami. 


Tapi, justru karena dia berjanji, aku merasa hubungan kami sedikit lebih dekat dari sekadar teman biasa.


Layar Hp-ku berkedip, memberi tanda kalo baterainya mulai habis. 


Ayaka tampaknya juga tidak ingin mengobrol lebih lama, terdengar suara aktivitasnya yang lain dari ujung telepon.


"Kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal itu?"


Bersama suara seperti dia sedang membereskan sesuatu, pertanyaan itu datang.


"Jelas karena aku penasaran."


"...Oh, syukurlah. Aku sempat khawatir kalo kau akan mengatakan sesuatu seperti 'karena aku peduli pada mu' atau semacamnya."


"Aku tidak akan akan bilang begitu. Aku tahu kau tidak suka kata-kata seperti itu, jadi mulai sekarang pun aku cuma akan bicara jujur."


Ada banyak perempuan yang mungkin suka mendengar kata-kata manis dan perhatian semacam itu, terutama jika datang dari orang yang dekat dengannya. 


Tapu, Ayaka tidak termasuk dalam kategori itu. 


Perhatian memang penting, tapi bagi Ayaka, perhatian yang tidak tulus tidak ada artinya.


Padahal Ayaka sendiri sering menunjukkan perhatian atau kata-kata manis yang tidak sepenuhnya tulus dalam kesehariannya. 


Ada sedikit perasaan ingin protes, dan berkata "jangan tuntut orang lain untuk hal yang kau sendiri lakukan", tapi perasaan itu lebih mudah kuterima daripada diperdebatkan.


Karena dirinya bersikap berpura-pura, mungkin itulah sebabnya aku ingin orang yang dekat denganku bisa menjadi diri mereka sendiri.


"Aku suka kau yang seperti itu."


"...Oh."


Mau tak mau aku tersentak mendengar kata-kata jujurnya itu.


Mungkin karena merasa reaksiku aneh, Ayaka pun mengoreksi ucapannya.


"Oh, maksudku, aku menyukaimu sebagai seorang teman. Aku yakin kau paham, kan?"


"Aku paham, jadi kau tidak perlu menjelaskannya begitu. Justru aku semakin kesal mendengarnya. Lagipula, omonganmu yang seperti itu bisa banyak pria yang menembakmu, lho."


Perkataannya membuatku sedikit sadar, meskipun aku memang sudah tahu. 


Teman-teman pria yang pernah menyukai Ayaka mungkin jatuh hati karena kata-kata blak-blakannya yang seperti ini.


"Aku hanya mengatakannya padamu saja, kok."


"Apa?"


"Aku tidak seburuk itu untuk mengucapkan kata-kata itu kepada siapa saja."


Memang benar, Ayaka pada dasarnya selalu menolak pernyataan cinta. 


Rasanya sulit membayangkan dia sengaja melontarkan kata-kata yang bisa membuat orang jatuh hati padanya.


"Kalo begitu, kenapa kau mengatakannya padaku?"


"....Entahlah. Mungkin hanya karena aku sedang ingin saja."


Ayaka berdeham pelan. 


Mungkin dia sedikit merasa malu karena mengatakannya.


"Oh iya, tolong untuk acara minum besok, ya."


"Oh, iya. Aku tidak kenal siapa pun selain kau di sana. Setelah mabuk sih mungkin akan baik-baik saja, tapi sampai itu terjadi, temani aku, ya."


Aku memang akan datang ke acara minum itu, tapi bagaimanapun juga aku hanyalah orang luar. 


Rasanya akan agak canggung kalo aku harus bergabung di meja saat masih sadar.


Tapi, Ayaka berkata, "Tidak perlu."


"Kau juga punya kenalan di sana. Anak-anak yang datang di acara pesta Natal sebelumnya, semuanya dari kelompokku. Gadis yang bertukar informasi kontak dengan mu juga akan datang besok."


"Serius? Padahal kita cuma makan bareng, sih, tapi dia masih ingat aku, ya?"


"Iya, iya, dia senang kok saat tahu kau akan datang juga."


Sejak acara itu, kami hampir tidak pernah bertukar pesan atau bertemu lagi, tapi mendengar hal itu membuatku merasa senang.


"Ya sudah, nantikan saja besok. Aku yakin itu pasti akan jadi waktu yang menyenangkan."


"Iya, aku akan menantikannya. Sampai besok."


"Selamat malam!"


Dengan suara ceria seperti biasa, Ayaka menutup telepon.




Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال