> CHAPTER 9

CHAPTER 9

 Kamu saat ini sedang membaca  Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu  volume 1  chapter 9. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw






 .........PESTA MINUM.........




Banyak klub yang mengadakan pesta minum setelah ujian selesai. 


Hal ini juga berlaku untuk klub luar ruang tempat Ayaka bergabung, dan skalanya cukup besar. 


Tidak banyak klub yang menyewa seluruh tempat makan di sekitar stasiun untuk mengadakan pertemuan minum. 


Ini adalah pesta besar pertama sejak pertemuan sambutan saat tahun pertama kuliah, dan semangatku pun meningkat.


Klub bola basketku, 'Start', hanya memiliki sekitar 40 anggota. 


Dari jumlah tersebut, yang ikut dalam acara minum tidak sampai 10 orang. 


Sebaliknya, klub luar ruang Ayaka, meskipun bernama 'Outdoor', lebih dikenal sebagai klub 'minum'. 


Selain memiliki jumlah anggota yang banyak, tingkat partisipasi dalam pesta minum sangat tinggi. 


Bahkan, terkadang orang luar seperti aku pun bisa diundang, sehingga jumlah peserta pasti membengkak.


Menurut informasi yang diberikan Ayaka, ada 60 orang yang direncanakan hadir. 


Dengan jumlah sebanyak itu, mengumpulkan uang dari setiap orang pasti akan menjadi tugas yang cukup berat.


Setelah melihat kain penutup bertuliskan 'Kaguya', aku melangkah masuk ke dalam restoran. 


Ini adalah tempat pertemuan malam ini. 


Aku tiba 10 menit lebih awal dari waktu yang ditentukan, dan di dalam sudah ada banyak orang. 


Suasana sudah cukup ramai. 


Meja di ruang tatami dibagi menjadi 6 bagian, dan sepertinya piring-piring sudah dibagi sesuai tempatnya.


Aku melepas sepatu bot dan menyimpannya di rak sepatu, lalu melangkah masuk ke ruang tatami.


"Ah, kau sudah datang!" 


Suara riang terdengar, dan ketika aku menoleh, Ayaka sedang melambai ke arahku.


"Yo!" 


Balasku dengan suara sedikit lebih keras agar terdengar di tengah keramaian, kemudian aku menuju tempat duduk Ayaka.


Begitu aku duduk di sampingnya, Ayaka mengulurkan tangannya ke arahku.


"Hmm?"


Sepertinya di klub ini ada kebiasaan saling memberi high-five saat duduk. 


Aku pun mengulurkan tangan untuk bersalaman, tapi Ayaka terlihat terkejut.


"Ada apa?"  


"Ah, maaf. Aku kira itu kebiasaan di sini."  


Ketika aku memberi penjelasan, Ayaka tampak memahami dan mulai tertawa kecil.


"Tidak ada kebiasaan seperti itu. Aku cuma berpikir, karena mantelmu mungkin mengganggu, jadi aku berniat untuk menggantungnya." 


"Apa? Jadi ini aku yang terlihat canggung, ya?" 


Aku menarik tanganku dan melepas mantelku. 


Kemudian tiba-tiba, telapak tanganku terasa hangat setelah menyentuhnya.


Setelah aku menyerahkan mantelku, Ayaka mengangguk dan berdiri. 


Ada tempat di sedikit kejauhan untuk menggantung pakaian, dan aku pun merasa agak bingung, apa itu sikap perhatian atau tidak begitu penting.


"Yuta-kun, kau dekat dengan Aya-chan, ya~?"


Seorang wanita di depan kami bertanya. 


Dia adalah gadis kecil berambut coklat dengan potongan bob yang lucu. 


Dari balik kacamata besar hitam, matanya yang bulat terlihat memandangku.


Dan aku langsung mengenali gadis itu.


"Sudah lama tidak bertemu!"


Aku mengatakan itu sambil tersenyum canggung, dan ternyata dia adalah salah satu dari orang yang aku temui di Gōkon Natal lalu, yang juga satu-satunya gadis yang aku ajak bicara cukup lama.


"Eh, lama tidak bertemu. Apa kau masih mengingat ku?"


"Ya, tentu saja, itu baru sebulan yang lalu. Aku bukan orang yang pelupa."  


"Maaf kalo aku sempat lupa,"  


Namanya Tsukimi Natsuki. 


Saat pertama kali mendengarnya, aku merasa itu adalah nama yang indah. 


Tidak sering aku merasa nama seseorang terdengar begitu cantik, jadi itu sangat mengesankan dan aku ingat dengan baik.


Aku juga terkejut ketika mengetahui kalo 'Tsukimi' dibaca 'Yamanashi'.


Karena di awal pertemuan, dia bilang, "Panggil aku dengan nama depanku saja," aku akhirnya memanggilnya 'Natsuki' tanpa embel-embel.


Sebenarnya, pada awalnya aku memanggilnya dengan nama belakang, tapi dia menyarankan untuk beralih ke nama depannya, dan itu membuatku agak canggung. 


Tapi, karena kami sudah saling memanggil nama sejak awal, itu jadi tidak masalah.


Meskipun kami hanya makan bersama selama 2 jam, aku merasa seperti sudah menjadi teman dekat dengannya.


Meskipun aku menyebutnya teman, sebenarnya kami lebih mirip seperti teman biasa, atau lebih tepatnya 'teman sapa'.


Menurutku, istilah 'teman sapa' muncul ketika 2 orang hanya menyapa satu sama lain saat bertemu di jalan, seperti "Yo!"

Berdasarkan pengalamanku, undangan dari teman sapa, seperti "Ayo karaoke lagi!" jarang sekali terlaksana, mungkin hanya sekitar 20%.


Meski begitu, meskipun kami hanya sebut sebagai teman sapa, aku menyadari kalo Rina di hadapanku ini masih ingat namaku dengan jelas.


Aku pun teringat ketika Ayaka berkata, "Dia sangat senang." 


Aku pun merasa beruntung kalo hubungan kami berlanjut setelah acara kencan buta itu.


"Yuta-kun kau ikut klub apa? Kau bukan klub outdoor, kan?"


"Aku di klub basket. Tapi, ya, aku hanya datang kalo aku sedang mood saja." 


"Jadi, kau itu 'hantu'?"


[TL\n: maksudnya dia tu angota yang nitip nama doang tanpa pernah hadir buat ikut serta kegiatan apa pun dari klub yg dia join, yah gua juga pas SMP kaya gitu, tapi bedanya gua jadi anggota hantu di OSIS]


"Tidak sejauh itu."  


Baru-baru ini aku datang, jadi aku rasa aku tidak akan disebut 'hantu' lagi. 


Selain Toudou, aku juga tetap menjaga hubunganku dengan beberapa senpaiku, jadi seharusnya tidak ada masalah.


Untuk bisa menikmati bermain basket, aku perlu sedikit memperhatikan hubungan sosial dengan orang-orang lain di klub.


"Masuk saja ke klub kami. Bahkan kalo kau datang di tengah-tengah, tapi kau tetap bisa bergabung." 


Yang dia maksud dengan "klub kami" Mungkin adalah klub outdoor ini?

 

"Hmm", aku berpura-pura berpikir dan menggelengkan kepalaku.


"Sejujurnya sih aku ingin join, tapi klub ini besar sekali, rasanya tidak mungkin. Pasti susah juga mengatur semuanya." 


Terkadang ada ajakan seperti ini ketika datang ke klub teman, tapi biasanya aku tahu mereka tidak terlalu serius.


Natsuki pun tertawa kecil dan berkata, "Benarkah?" Dia lalu menunjuku dengan sumpitnya .


"Tapi, tahun depan, Aya-chan akan jadi wakil ketua klub. Kau bisa masuk lewat koneksi itu, kok!"


"Haha, ya, nanti akan aku pikirkan." 


Wakil ketua, ya... Dengan Ayaka, mungkin dia sudah dikenal baik oleh para senpai, jadi bisa jadi dia direkomendasikan.


"Kalau begitu, Natsuki, kenapa kau tidak jadi ketua saja?" 


Mendengar itu, Natsuki tertawa.


"Aku? Tidak, tidak! Apa aku kelihatan seperti tipe orang yang bisa jadi ketua?"


"Ya, aku juga tidak tahu soal itu, kan kita baru ketemu 2 kali." 


"Aku ingin kau menilai ku hanya dari pertemuan pertama!"  


Kami terus berbicara ketika Ayaka kembali ke meja.


Ayaka mengenakan sweater hitam dan kalung, meskipun di tempat izakaya, penampilannya tetap terlihat anggun.


Di tangan kanannya, dia memegang gelas bir.


"Maaf mengganggu percakapan kalian yang begitu ramah." 


Dia menuangkan bir dalam jumlah besar dan meletakkannya di depanku.


Saat melihat sekeliling, aku menyadari bahwa gelas bir sudah mengalir dari satu ujung meja ke ujung lainnya.


"Oh, jadi memang sudah menjadi kebiasaan untuk memulai dengan bir ya?"  


Natsuki menggembungkan pipinya.


"Aku selalu berpikir, apa ada aturan yang menyatakan harus dimulai dengan bir? Padahal aku tidak begitu suka bir."  


"Ya, memang tidak banyak perempuan yang suka bir. Ayaka sih, dia cukup suka minum bir."


Natsuki sedikit menarik cangkir bir ke arahnya, sepertinya itu agak berat untuknya.


Memang, bagi mereka yang tidak suka bir, hal seperti ini bisa jadi agak merepotkan, pikirku. 


Saat itu, Ayaka membuka suara.


"Ah, itu! Senpai bilang, sebenarnya ini dilakukan hanya untuk sikap perhatian." 


"Perhatian? Pada siapa?" 


Natsuki sepertinya ingin mengatakan kalo dia tidak merasa diberi perhatian, dengan ekspresi yang terlihat agak tidak yakin.


Ayaka pun tersenyum sambil menjelaskan.


"Begini, ketika sudah bekerja dan minum bersama atasan, kan. Kalo setiap orang memesan menu yang berbeda, akan memakan waktu lama untuk semuanya sampai. Kalo begitu, atasan bisa saja menunggu terlalu lama. Jadi, untuk menghindari itu, ide awalnya adalah agar minuman pertama datang secara bersamaan, supaya semuanya bisa mulai dengan cepat!"


"Ah, begitu ya..."


Mendengar penjelasan tersebut, aku langsung mengerti dan merasa puas. 


Sementara aku yang dengan jujur merasa terkesan, Natsuki malah mengeluh.


"Kalo begitu, kenapa tidak hajar saja dengan highball sebagai minuman pertama?"


Mendengar itu, baik aku maupun Ayaka langsung mengangguk setuju, ""Itu ada benarnya"", jawab kami bersamaan.


Ketika aku tiba-tiba melihat arloji ku, waktu sudah menunjukkan pukul 19.00.


Ketika aku melihat sekeliling, aku menyadari kalo banyak anggota klub yang datang belakangan dan duduk di sepanjang meja panjang itu, menandakan bahwa waktu untuk memulai pesta sudah dekat.


Saat aku mengikuti garis pandang Ayaka, aku melihat seorang yang tampaknya adalah ketua klub mengangkat cangkir bir.


Saat aku bertanya apa orang itu ketua, Ayaka lalu mengangguk.


Secara alami, perhatian orang-orang mulai terfokus padanya.


"Eh, pertama-tama, terima kasih atas kerja keras kalian selama ujian!"


Ketua klub tersebut berbicara, dan segera suara sorakan "Kerja bagus!" terdengar dari sekitar.


Ayaka juga ikut mengangkat tangannya dan berteriak, "Terima kasih atas kerja kerasnya!" sambil memegang gelas bir dengan tangan lainnya.


"Jadi, bagaimana pun hasil ujian kita, pengumuman akan dilakukan bulan depan! Pesta minum malam ini adalah perayaan dimulainya masa pelarian dari kenyataan!"


Semua orang tertawa mendengarkan ucapan ketua tersebut. 


Aku suka suasana santai di sini, di mana tertawa kecil pun tidak akan dihukum.


Mungkin bagi klub ini, minum bersama adalah bagian penting dari kegiatan mereka, berbeda dengan klub basketku yang lebih mengutamakan latihan dan minum hanya sebagai kegiatan tambahan.


Ketua klub kemudian mengangkat gelas dan mengumumkan saatnya untuk bersulang, sementara semua orang menunggu dengan penuh antusiasme sambil memegang gelas bir mereka.


"Teman-teman, kita yang sudah masuk tahun ke-3, bulan depan akan lulus dan pensiun dari klub. Meski aku ingin sekali memimpin, aku akan memberikan kesempatan pada ketua yang baru." 


Kata ketua itu sambil melihat sekeliling.


Tapi, orang yang dipilih untuk menjadi ketua baru itu tidak berdiri. 


Bahkan, dia seperti tidak ada di tempat ini.


Natsuki yang duduk di depanku mengangkat tangan.


"Teru-san! Sepertinya ketua yang baru hari ini absen!"


"Eh, padahal tadi dia bilang dia akan datang!"


Ketua itu pura-pura terkejut, lalu membersihkan tenggorokannya dan kembali melanjutkan dengan ceria,


"Kalau begitu, kita akan meminta wakil ketua baru untuk memimpin! Ayaka-chan, tolong!"


Ayaka yang duduk di sebelahku langsung terkejut dan sedikit melompat.


Tentu saja, siapa pun akan terkejut jika tiba-tiba dipilih.


"Eh, aku? Wah, jangan begitu, tolong serahkan pada ketua saja!"


Sambil mengayunkan tangannya untuk menolak, Ayaka dikerumuni oleh anggota klub yang berseru, "Kami serahkan padamu Aya-chi" 


Sepertinya, nama panggilan 'Aya-chi' memang sudah umum digunakan di kalangan klub ini. 


Ayaka pun, yang tidak bisa melawan kehendak klub, akhirnya berdiri dengan ragu-ragu. 


Dari gerakannya, jelas kalo dia sudah memasuki mode resmi.


Meskipun aku berpikir seharusnya dia bisa sedikit lebih santai di klubnya sendiri, itu tentu saja sudah terlambat untuk dipertimbangkan.


"Eh, kalo begitu, aku mohon izin untuk memberikan kata sambutan untuk bersulang."  

 

Mendengar itu, ketua klub tertawa dan berkata, "Wah, formal sekali!"


Memang, cara bicara Ayaka terasa sedikit formal untuk sebuah pertemuan klub, tapi mengingat banyaknya orang di sini, itu bisa dimengerti. 


Tapi, sepertinya itu hanya lelucon dari Ayaka, karena dia segera berkata, "Maaf ya!" sambil tersenyum malu.


Aku terkesan melihat seberapa terbiasa Ayaka dengan situasi seperti ini, dan aku pun menatapnya dengan rasa kagum. 


Tapi, seketika aku tidak bisa menghindari pandanganku yang tertuju pada dadanya. 


Meskipun itu tertutup oleh sweater hitam, bentuk tubuhnya tetap jelas terlihat, dan aku segera mengalihkan pandanganku. 


Rasanya ada perasaan bersalah seolah aku telah mengkhianati sesuatu.


"Kalo begitu, teman-teman, siapkan gelas kalian!"


Dengan seruan dari Ayaka, aku segera mengangkat gelasku dengan semangat, berusaha mengusir segala pikiran yang mengganggu.


"Terima kasih atas kerja keras kalian selama ujian! Bersulang!"


Kata "bersulang" menggema di seluruh restoran. 


Gelas-gelas beradu satu sama lain, menciptakan suara dentingan khas dari perayaan.


Aku mulai mengangkat gelasku dan mengarahkannya pada Natsuki yang duduk di depanku, kemudian ke perempuan yang duduk di sampingku yang belum aku kenal, dan terakhir ke seorang laki-laki yang duduk di depan. 


Setelah itu, aku menoleh ke Ayaka yang telah selesai memberikan sambutan.


Di depannya masih ada banyak gelas yang belum sempat disarungkan, dan beberapa orang dari meja lain terlihat sedang bergerak ke meja kami untuk bersulang dengannya. 


Ayaka melayani mereka dengan senyum yang ramah, dia kemudian akhirnya menyadari keberadaanku.


"Maaf, sebentar ya semuanya." 


Katanya sambil menurunkan gelas yang sebelumnya dia angkat.


"Baiklah, bersulang." 


Dia lalu mengarahkan gelasnya padaku.


Ayaka tersenyum lembut dan menatapku, menunggu aku untuk bersulang.


[TL\n: besar cok]


Aku tersenyum lebar, lalu menyentuhkan gelasku ke gelas Ayaka.


"Bersulang!"


Pesta pun dimulai.


★★★


Hampir semua hidangan telah disajikan di atas meja, dan setiap orang memegang gelas mereka sambil berpindah-pindah tempat duduk. 


Ayaka, yang awalnya duduk di sebelahku, kemudian dipanggil oleh kelompok lain dan akhirnya pindah tempat duduk.


Memang wajar jika seseorang ingin mengundang gadis cantik ke dekat tempat duduk mereka, tapi dari suara-suara seperti "Aya-chiiii!" dan "Ayaka-san!" yang terdengar di sekitar, jelas sekali kalo Ayaka sangat disukai, bahkan melebihi apa yang aku bayangkan. 


Dia luar biasa.


Walaupun ada yang mengatakan bahwa Ayaka memiliki sifat yang agak sulit, pada dasarnya dia bukan orang yang pandai bergaul. 


Tapi, pemandangan yang ada di depanku sekarang adalah hasil dari hubungan yang Ayaka bangun dengan usaha dan kerja kerasnya. 


Mungkin dia sendiri tidak menganggapnya sebagai usaha, tapi bagi ku, itu jelas merupakan bentuk usahanya.


Karena itu, ketika aku melihat Ayaka berbicara dengan kelompok lain dengan begitu riangnya, aku merasa senang juga.


"Tunggu dulu, Yuta-kun, sepertinya kau terlalu sering melihat Aya-chan deh?"


Tiba-tiba, tangan yang melambai-lambai membuatku terkejut, dan aku menatap ke depan. 


Di hadapanku, Natsuki terlihat sedikit kesal.

 

"Eh, apa aku sering melihat ke arahnya?"


"Ya, jelas sekali. Aku terkejut karena saat aku kembali ke tempat dudukku, kau bahkan tidak bereaksi sama sekali, aku kaget."


Dengan kata-kata itu, aku teringat kalau dia tadi pergi ke toilet. 


Kalo sudah mengonsumsi alkohol, rasanya waktu orang kembali dari toilet menjadi terasa lebih cepat.


"Ya, Aya-cham memang sangat cantik, itu sebabnya banyak orang yang terpesona padanya." 


Kata Natsuki sambil menggoyangkan gelas highball-nya.


"Selain cantik, wajahnya kecil dan kulitnya mulus. Tuhan itu terkadang tidak adil kan?, sudah dilahirkan saja dia sudah diberi kelebihan begitu." 


"Benar sekali. Itu adalah keunggulan besar bagi Ayaka," 


"Tidak banyak gadis yang mempunyai level seperti dia, di kampus. Di klub kami, meskipun ada banyak gadis cantik, Aya-chan adalah yang paling menonjol, meskipun ini hanya pendapat pribadi ku."


Memang benar, meskipun ada banyak gadis cantik, Ayaka tetap menjadi pusat perhatian. 


Pendapat Natsuki tidak bisa dibilang salah. 


Aku juga teringat pada Shinohara, yang seperti Ayaka, juga sangat menonjol di antara kelompoknya.


Aku merasa sangat beruntung bisa menjalin hubungan baik dengan gadis-gadis seperti mereka. 


Tapi, ada satu hal lain yang terdengar cukup menarik dari ucapan Natsuki.


"Apa klub ini benar-benar melakukan seleksi wajah? Serius? Klub outdoor itu sepertinya agak menakutkan."


Melihat reaksiku, Natsuki tertawa. 


Sebelumnya, dia memuji Ayaka, tapi karena dia sedang sedikit mabuk, senyumnya terkesan ramah dan mudah didekati, yang pastinya membuatnya disukai banyak pria.


Setelah kuperhatikan lebih seksama, memang benar kalo gadis-gadis di klub ini terlihat sangat menarik, sesuai dengan apa yang dia sebut sebagai seleksi wajah.


"Klub kami cukup populer. Banyak sekali gadis dari kampus lain yang ingin bergabung."  


"Ah, begitu ya."  


Natsuki kemudian menoleh ke arahku dengan tatapan penasaran.


"Apa kau tidak suka hal-hal seperti itu, Yuta-kun?"


Bagaimana ya... Meskipun aku tidak sampai menunjukkan kebencian yang jelas, mungkin memang ada beberapa hal yang tidak aku sukai, tapi aku sendiri tidak begitu yakin. 


Karena itu, aku sedikit ragu untuk memberikan jawaban yang terlalu singkat, lalu berusaha mengalihkan topik dengan mengatakan, "Panggil saja aku Yuta."


Natsuki mengangguk.


"Kalo begitu, Yuta. Aku rasa Aya-chan juga merasa seperti itu."


"Kenapa?"


Ayaka adalah wakil ketua dari klub ini, dan karena itu, aku lebih memilih untuk menghindari menyatakan pendapat negatif tentang klub ini sebelum aku benar-benar memahami situasinya.


"Kebanyakan orang yang mencoba bergabung dengan klub ini tidak tahu keadaan aslinya. Sepertinya Ayaka juga baru mengetahuinya belakangan ini, dan saat itu dia jelas sekali menunjukkan ekspresi yang tidak suka."


"Benar, itu agak jarang terjadi."


"Jarang terjadi?"


Natsuki terlihat bingung mendengarnya.


Bagi aku, tidak ada yang aneh. 


Tapi, ketika Ayaka menunjukkan sikap seperti itu di hadapan orang lain, jelas kalo itu adalah sesuatu yang benar-benar mengganggunya.


"Yang paling ironis adalah, orang yang paling banyak mendapat keuntungan dari keadaan itu justru Aya-cham."


Telinga Natsuki menjadi sedikit merah, yang menandakan kalo dia sudah cukup mabuk. 


Ketika aku melihat ekspresinya, dia sepertinya menyadari kalo dia telah mengungkapkan sesuatu yang tidak seharusnya dia ucapkan.


"Maaf, tadi itu—"


"Tiak apa-apa. Memang ada kalanya orang berpikir seperti itu."


Ayaka sendiri sepertinya menganggap kalo hal semacam itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. 


Tapi, jika itu diucapkan oleh teman-teman klub yang telah makan bersamanya, situasinya bisa berbeda.


Aku memilih untuk tidak mempermasalahkan ucapan Natsuki, karena berpikir kalo marah di tengah pesta minum tidak akan ada gunanya. 


Tapi, sepertinya Natsuki merasa cemas tentang reaksiku, karena dia segera menambahkan, "Aya-chan itu sebenarnya orang yang sangat baik."


Mungkin dia khawatir kalo ucapannya sampai terdengar oleh Ayaka. 


Aku sempat berpikir kalo gadis-gadis pasti merasa tertekan dengan situasi semacam ini, tapi mungkin lelaki pun akan merasa hal yang sama dalam keadaan seperti ini.


"Aku tidak akan bilang padanya kok. Lagipula ini kan cuma pesta minum."


Sambil berkata begitu, aku mulai berpikir tentang bagaimana sikap Ayaka jika berada dalam situasi seperti ini. 


Jika aku yang dibicarakan di belakang, apa Ayaka akan marah untuk membela aku?


"Ngomong-ngomong..."


Natsuki mencoba mengubah topik. 


Aku pun hanya mengangguk tanda setuju tanpa berniat untuk membahas topik sebelumnya lebih lanjut.


"Apa kau pacaran dengan Ayaka?"


Lagi-lagi Ayaka!


Begitu pikirku, tapi Natsuki benar-benar benar-benar penasaran. 


Aku memutuskan untuk menjawab dengan jujur.


"Tidak. Yah, banyak orang yang bertanya seperti itu, tapi kami tidak pernah sampai ke tahap itu."


"Eh, begitu ya! Pasti banyak yang salah paham, kalo kau punya pacar, kan?"


"Aku tidak punya pacar, jadi tidak ada masalah."


"Kalo begitu, mungkin waktu kau punya pacar orang-orang akan salah paham."


Pertanyaan yang cukup pribadi, ya. 


Aku terkejut karena sebelumnya kami hanya membahas hal-hal ringan seperti manga dan hiburan.


"Di restoran ini, bagian tulang rawan ayamnya enak ya."


Natsuki sepertinya tidak ingin melanjutkan pembicaraan tersebut, dan dengan sigap mengisi piringku yang kosong dengan tulang rawan dan ikan hoki.


Aku mengucapkan terima kasih dan menggeser birku kembali ke tangan, lalu mulai minum lagi.


"Masih ada porsi mu sendiri, lho."


"Tidak apa-apa, aku akan minum keduanya."


Karena aku cukup kuat dalam hal minuman, aku tidak merasa khawatir. 


Di sampingku, ada seorang pria yang terbaring tidak sadarkan diri, tapi setidaknya aku merasa percaya diri karena aku tidak akan jatuh seperti dia dalam satu jam.


"Jadi kau cukup suka minum, ya?"


Natsuki bertanya dengan nada yang agak terkejut.


Kalo aku juga merokok, jelas aku bukan tipe pria yang disukai banyak orang. 


Aku tidak tahu apa ada gadis-gadis di klub ini yang berpikir seperti itu, tapi untuk sekarang, aku memutuskan untuk tidak merokok. 


──Aku merasa geli sendiri dengan diriku yang bahkan memikirkan siapa yang akan melihatku.


Hp-ku tiba-tiba bergetar di saku celanaku, dan ketika aku mengeluarkannya.


Layar menunjukkan pesan masuk dengan nama Shinohara.


"Senpai, jam berapa kau akan pulang hari ini? Aku sedang di dekat sini."


Aku melihat arloji ku, dan sekarang sudah pukul 20:00. 


Aku masih punya waktu sekitar 2 jam, karena aku bisa tetap di sini sekitar 4 jam.


"Sepertinya aku akan pulang mendekati jam kereta terakhir, jadi kau pulang saja duluan."


Setelah aku mengirimkan pesan itu, balasan datang seketika.


"Pulangkan saja duluan! Apa maksudmu?"


Saat aku secara naluriah mengendurkan bibirku, Natsuki melihatku dan bertanya padaku..


"Itu perempuan, kan?"


"Menurutmu begitu?"


"Jelas! Aku bisa merasa ada sesuatu!"


Aku ingin membantah kalo dia salah, tapi dia benar-benar menebaknya dengan tepat, dan aku merasa kesal karena tidak bisa berkata apa-apa. 


Lagi pula ketika aku berpikir kembali, membalas pesan di depan seseorang adalah hal yang tidak sopan.


[TL\n: lah kalo di sini boro boro, setiap kali gua nongkrong bareng temen gua, mereka malah sibuk dengan HP mereka, ada yg main game, telvonan ama ceweknya, ada chatan, padahal udah gua bilang, hey bro kalo lagi ngumpul jangan main Hp lah, tapi tetap aja mereka sibuk dengan hp mereka, asli gua pas kumpul sering ingin pulang duluan kalo temen temen gua kek gitu, ya kalo main hp bisa kan di rumah kalo lagi kumpul ngobrol langsung lah, hp dimatiin trus di kumpulin di meja.]


"Maaf, aku tidak sengaja bermain HP."


"Tidak apa-apa, aku tidak terlalu peduli soal itu!"


"Kamu memiliki hati yang luas, seperti yang diharapkan!"


"Hahaha, puji aku lebih banyak pagi!"


Natsuki tertawa dan membusungkan dadanya.


Kemudian, Hp-ku berbunyi lagi.


Aku pikir itu dari Shinohara, tapi ternyata bukan.


Layar Hp-ku menunjukkan kalo ada panggilan masuk.


"Ah, sebentar, maaf, aku harus angkat telepon dulu. Aku keluar sebentar."


"Apa, apa ini, kok kau jadi populer gitu! Oke, sebentar lagi waktunya pindah tempat duduk, tapi aku akan menunggumu di sini."


"Eh, serius? Makasih ya."


Oh, ada pergantian tempat duduk juga ya?


Mungkin itu memang perlu untuk menciptakan interaksi dalam klub yang anggotanya banyak. 


Natsuki mengatakan dia tidak akan pindah tempat duduk, jadi sepertinya itu tidak wajib.


Ini benar-benar suasana minum yang pas.


Dengan mengingat hal itu, aku bangkit dari tempat dudukku.


Setelah aku keluar dari restoran, aku memeriksa Hp-ku yang terus bergetar. 


Sepertinya nomor yang muncul tidak terdaftar.


Tapi, entah kenapa aku merasa nomor itu terasa tidak asing.


Dengan perasaan gelisah di dadaku, aku menjawab panggilan itu.


"Hello, ini Hasegawa."


"Hallo, Yuta-kun."


Suara jernih itu sangat aku kenali.


Bahkan, itu terlalu familiar.


Kenangan-kenangan yang tidak ingin kuingat kembali muncul dalam benakku.


"...Reina?"


Penelepon itu adalah mantan pacarku, Aisaka Reina, yang beberapa bulan lalu aku putuskan.


★★★


"Ada apa?"


Suara tajam yang sangat berbeda dengan suasana riang di izakaya keluar dari mulutku.


Kami ber-2 sebenarnya tidak perlu berbicara lagi, tapi entah kenapa percakapan ini terjadi.


Bahkan ketika kami bertemu saat berbelanja dengan Ayaka, kami hampir tidak berbicara dan langsung berpisah.


─ "Sampai jumpa," kata-kata perpisahan itu memang sedikit menggangguku.


"Maaf mendadak"


"Tidak apa-apa. Sudah lama sekali sejak kau meneleponku."


"Ya, aku pikir mungkin akun Line-ku sudah diblokir."


"Ah... "


Memang, saat kami baru putus, aku sempat berpikir untuk memblokirnya.


Tapi, kupikir akan kekanak-kanakan jika memblokirnya karena dia mungkin tidak akan menghubungiku lagi, jadi aku memutuskan untuk tidak melakukannya..


Sekarang, aku mulai berpikir mungkin beberapa 'batasan' semacam itu memang dibutuhkan untuk bisa benar-benar melupakan dan melangkah maju.


"Apa kau sedang sibuk?"


Mungkin karena mendengar suasana gaduh di izakaya, Reina menanyakan hal tersebut.


"Aku sedang di acara minum-minum dengan teman-teman satu klub. Kalau ada yang perlu kau sampaikan, katakan saja dengan cepat."


Ada sedikit jeda.


Aku hanya mendengarkan suara keramaian di luar pintu, mencoba mengosongkan pikiran.


"Baiklah. Seperti yang aku katakan waktu kita bertemu secara tidak sengaja beberapa waktu lalu, aku berpikir apa kita bisa bertemu lagi"


─ Ternyata itu bukan basa-basi.


Kata-kata itu hampir keluar dari mulutku, tapi aku menahan diri.


Aku tidak ingin bertengkar.


Aku hanya ingin menyelesaikan pangilan ini dengan damai dan secepat mungkin.


"Maaf, aku rasa aku harus menolaknya."


"Kenapa?"


Kenapa? Kenapa?


Aku tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu.


Aku menatap layar Hp-ku, kebingungan.


Apa dia benar-benar tidak tahu?


"Yuta-kun?"


Sejujurnya, aku tidak yakin apa aku harus menutup teleponnya atau tidak.


Saat aku bingung, pintu di belakangku terbuka.


Ayaka muncul, sepertinya dia datang untuk melihatku yang sedang di luar.


"Ah, kau di sini─ Oh, kau lagi menelfon ya. Maaf."


"Tidak, tidak apa-apa."


"Pacar mu?"


Dengan pertanyaan itu, aku bisa membayangkan sedikit banyak apa yang ada dalam pikirannya.


Reina sepertinya sudah memutuskan kalo perselingkuhannya adalah hal yang sudah berlalu dan tidak perlu dipikirkan lagi.


Mungkin pertanyaan tadi tidak ada maksud lain, hanya rasa penasaran semata. 


Semua itu hanya spekulasi belaka, tapi itulah yang aku pikirkan.


Ketika aku tetap diam, pertanyaan Reina terus berlanjut.


"Apa kau sibuk akhir-akhir ini?"


"Tidak, aku hanya kadang-kadang pergi ke klub saja."


"Begitu ya. Tidak ada perubahan, ya?"


Tidak ada perubahan.


Dengan kata-kata seperti itu, rasanya aku sudah terlalu lama mengenalnya.


Jika aku tidak menghentikan percakapan ini sekarang, aku merasa aku tidak akan bisa melanjutkan hidupku.


Tapi, meskipun begitu, perasaan gelisah di dadaku tetap sama.


Aku tanpa sadar mengerutkan alisku.


Padahal, berpikir tentang Reina sudah seharusnya bukan keinginanku, tapi kenapa aku masih melanjutkan telepon ini?


Apa ada yang ingin kubicarakan? Ada yang ingin kutanyakan? Atau, hanya sekadar──.


"──Tidak, kita sudah tidak ada hubungan lagi. Jangan menghubungiku lagi."


Aku memaksakan kata-kata itu keluar.


Suara yang keluar, yang seolah-olah menahan berbagai perasaan, bergema bersamaan dengan suara keramaian dari izakaya yang semakin terdengar.


Aku mendengar sedikit suara terkejut dari Reina di ujung telepon.


"──Begitu."


Setelah jeda yang cukup lama, dia menjawab pendek.


Sepertinya tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.


Aku memutuskan untuk menekan tombol untuk mengakhiri percakapan ini, berusaha menutupi segala perasaan yang terlintas dalam pikiranku.


Tapi, sebelum aku memutuskan panggilan, suara Reina terdengar lagi.


"Aku, tidak selingkuh kok."


Aku terkejut dan membuka mata ku lebar-lebar. 


Saat aku menoleh, pangilan sudah terputus.


Apa yang sebenarnya Reina katakan tadi?


Aku mendengar dia mengatakan kalo dia tidak selingkuh, tapi bagaimana dengan saat aku melihatnya memegang tangan pria lain di depan rumahku? Kalo itu bukan selingkuh, lalu apa namanya?


Apa dia berniat mengatakan kalo dia hanya menjalani peran menjadi pacar untuk orang lain?


"Ada apa?"


Ayaka bertanya dengan ekspresi kebingungan.


"Apa tadi itu?"


"Jangan tanya."


Aku merasa sangat tidak enak jika Ayaka sampai merasa khawatir karena mendengar percakapanku dengan Reina. 


Meskipun Ayaka tidak tahu kalo orang yang aku telepon adalah mantan pacarku, jelas terlihat kalo aku baru saja terlibat dalam percakapan yang sedikit tegang. 


Aku sadar akan hal itu.


"Begitu ya... kalo begitu, aku tidak akan tanya."


Aku merasa kesal pada diriku sendiri karena membuat Ayaka merasa canggung, dan tanpa sadar menggigit bibirku.


Melihatku seperti itu, Ayaka menepuk bahuku dan berkata,


"Kau bisa pulang dan istirahat, atau kalo kau mau minum dan melepaskan penat, terserah kau. Kalo kau mau pulang, aku yang akan membayar untukmu."


Tanpa sengaja, aku menatap wajah Ayaka. 


Di sana, Ayaka menunjukkan ekspresi lembut yang tidak seperti ekspresi yang biasa dia tunjukkan di luar.


"──Aku akan minum."


Jujur, aku tidak yakin bisa menghilangkan semua perasaanku dengan alkohol. 


Tapi, yang lebih penting bagiku sekarang adalah aku tidak ingin waktu yang Ayaka buat untukku dihancurkan oleh Reina.


Setelah mendengar jawabanku, Ayaka tersenyum dan sedikit mengangkat sudut bibirnya.


Saat aku melewati noren dan kembali ke izakaya, suara anggota klub menjadi lebih keras. 


[TL\n:Kata noren berasal dari bahasa Jepang, yang merujuk pada tirai atau kain yang biasanya dipasang di pintu masuk restoran, toko, atau rumah tradisional di Jepang. Noren biasanya terbuat dari kain dengan potongan di tengahnya, sehingga orang dapat melewati tirai itu tanpa perlu menggesernya sepenuhnya. Noren juga sering memiliki gambar, tulisan kanji, atau logo yang mencerminkan identitas tempat tersebut, seperti nama restoran atau jenis masakan yang disajikan.]


Kebetulan, beberapa orang dari klub mulai pindah tempat duduk.


"Kalo begitu, aku pindah ke sebelahmu, ya. Pasti kau kesepian, kan?"


"Jangan konyol, aku sangat bersenang-senang di sini."


"Benarkah begitu?"


Dengan senyum lebar, Ayaka berjalan kembali ke kursi sebelumnya. 


Saat dia membawa gelasnya, terdengar suara dari anggota klub yang lain, "Kau mau pergi, ya!"


Dengan tawa, Ayaka membungkuk sedikit dan mulai berjalan menuju kursi yang kosong.


Setelah duduk, Ayaka dan Natsuki berbalik dan melambaikan tangan ke arahku.


"Aku segera datang!"


Minuman kami semakin mengalir, dan karena banyaknya orang, suara tawa di seluruh tempat tidak pernah berhenti. 


Suasana seperti itu sangat menyenankan untuk aku yang sedang merasa tertekan.




Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال