Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 3, Chapter 8. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
PANDANGAN SETIAP ORANG TENTANG CINTA
Setelah acara penyambutan mahasiswa baru, aku selesai mengikuti beberapa kuliah dan kemudian menghabiskan waktu sendiri dengan bermain Hp.
Hari ini aku belum bertemu dengan Ayaka.
Mungkin dia sedang mengikuti kuliah bersama teman-teman dari fakultasnya dan kemudian pergi bermain bersama kelompoknya.
Sepertinya Ayaka memiliki hari-hari tertentu di mana dia memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama ku, dan kalo bukan hari itu, seringkali kami tidak bertemu sama sekali.
Dan saat ini, aku merasa sedikit lega dengan hal itu.
Meskipun Ayaka ada, dia hanya akan menambah kekhawatiran yang tidak perlu.
Jari-jari ku bergerak di atas layar Hp, menggulir ke atas dan ke bawah pada halaman media sosial.
Tapi, tidak ada informasi yang benar-benar masuk ke dalam pikiran saya.
Yang terlintas di benakku hanyalah kejadian kemarin.
──Pertemuan dengan Reina ternyata berbeda dari yang aku bayangkan.
Aku mengira dia akan memberikan penjelasan yang sesuai dengan klaimnya kalo dia tidak pernah berselingkuh.
Tapi, pada kenyataannya, tidak ada yang benar-benar jelas.
Satu-satunya hal yang aku pahami adalah Reina sepertinya telah melepaskan sesuatu.
Yang tersisa hanyalah pertanyaan yang tidak terjawab, apa sebenarnya yang dia perjuangkan selama ini?
"...Bangsatlah."
Kalo perasaan seperti ini yang muncul, aku benar-benar berpikir seharusnya aku tidak bertemu dengannya.
Dalam diriku, keberadaan Reina kembali menjadi lebih besar.
Aku merasa ini mungkin sesuai dengan rencana Reina.
Apa yang sebenarnya dipikirkan olehnya?
Apa yang sebenarnya──
"Kenapa wajahmu terlihat seperti orang yang mau mati?"
"Wah!?"
Terkejut, Hp-ku hampir terjatuh.
Aku berusaha keras untuk menangkapnya kembali sebelum jatuh dari genggamanku.
Dan, akhir dari pertarungan sesaat itu berakhir pada sensasi yang lembut.
"Eh..."
Aku mengangkat wajahku saat mendengar suara kecil itu, dan melihat Ayaka menatap lengan ku.
Aku mengikuti pandangannya dan melihat sesuatu yang didambakan oleh semua mahasiswa pria.
"...Umm, apa yang harus aku katakan?"
"Bagaimana? Mau melepaskannya begitu saja? Atau mau mencoba meremasnya sekali, meski harus mempertaruhkan nyawamu?"
"Maafkan aku!!"
Dengan sekuat tenaga, aku melompat mundur dan menundukkan kepalaku.
Saat aku menunduk, aku merasakan tamparan keras di belakang kepalaku.
Rasanya seperti melihat anak ayam muncul di penglihatanku.
"Baiklah, kita sudah selesai. Beruntunglah, tidak ada yang melihat."
Ayaka menghela napas pendek dan melihat sekeliling.
Sepertinya keberadaanku di sudut tangga yang tersembunyi membawa keberuntungan, karena para siswa tidak dapat melihat lokasiku.
Hampir saja aku dilaporkan di dalam kampus, aku mengusap keringat.
"Semoga Hp-ku tidak apa-apa."
Aku mengucapkan itu sambil menatap ke lantai.
Hp-ku tergeletak terbalik, dan aku tidak tahu bagaimana kondisi layarnya.
Berbeda dengan Hp Nokia, setiap kalo smartphone jatuh ke tanah, aku selalu merasa tegang.
Karena ada kemungkinan besar layarnya akan pecah.
Kalo layarnya harus diperbaiki, biayanya sangat mahal bagi seorang siswa.
Ketika aku dengan hati-hati mengulurkan tangan untuk mengambil ponsel itu, Ayaka mengeluarkan suara yang terdengar tertarik.
"Hey, tunggu sebentar."
"Hah?"
"Ayo kita bertaruh. Kalo layarnya tidak pecah, traktir aku makan. Kalo pecah, traktir aku makan."
"Itu bukan taruhan yang adil!"
"Lho, setelah menyentuh payudara orang, kau tidak mau bertanggung jawab?"
"Ah, itu kan karena kau tiba-tiba menyapaku, jadi itu adalah situasi yang tidak terhindarkan..."
Aku bergumam dengan alasan yang tidak jelas, dan Ayaka tertawa kecil.
"Baiklah, baiklah. Kalo layarnya pecah, aku yang akan mentraktirmu makan."
"Kau yang bilang ya!"
Begitu mendengar kata-kata Ayaka, aku segera mengambil ponselku dengan cepat.
Aku memeriksa layarnya.
Itu telah hancur berkeping-keping.
★★★
"Maaf ya."
"Uangku..."
Serpihan kecil berjatuhan dari Hp-ku.
Aku menghitung biaya perbaikan layar di dalam kepala, dan setelah mengurangi dari anggaran makan bulanan, sepertinya lebih bijaksana untuk tidak membeli lauk selama beberapa waktu.
"Yah, sebenarnya jika tidak diperbaiki, tidak perlu berhemat juga."
"Jangan begitu, perbaiki saja. Kalo begini, kau tidak bisa menikmati video dengan baik, kan?"
"Aku punya tablet yang sudah tidak dipakai lagi, jadi di rumah tidak masalah."
Sebenarnya, aku jarang menonton video di luar rumah.
Kalo kuota internet bulanan yang ditentukan terlampaui, kecepatan internet akan melambat atau ada biaya tambahan, dan itu akan menimbulkan berbagai masalah.
Jadi, layar yang pecah ini bisa dianggap sebagai kesempatan untuk lebih disiplin. ...Hanya dengan berpikir begitu aku bisa bertahan.
"Yah, kalo kau merasa puas dengan itu, tidak apa-apa."
Ayaka mengangguk dan bersandar pada dinding.
Melihatnya lagi, sepertinya hari ini adalah penampilan pertama Ayaka dengan pakaian musim semi.
Dia mengenakan blus warna krem dengan coat abu-abu di atasnya, dan dari celana panjang hitam legam terlihat sepatu hak yang terkesan mewah.
Coat musim semi yang dia kenakan sedikit transparan, sehingga kulit putih lengan atasnya terlihat samar.
"Apa?"
"Tidak, pakaian musim semi itu cocok untukmu."
"Terima kasih. Kau juga."
"Serius?"
Kombinasi jaket dan celana skinny yang biasa aku kenakan terlihat cukup bagus pada siapa pun.
Pakaian sederhana dan aman seperti itu mudah dipilih bahkan olehku yang tidak terlalu percaya diri dengan selera, dan kalo bisa dipuji meskipun hanya sekadar pujian basa-basi, itu sudah lebih dari cukup.
"Yah, aku tidak bisa bermain-main dengan menambahkan warna-warna mencolok seperti yang orang lain lakukan."
"Aku pikir kesederhanaan itu cocok denganmu, dan kau baik-baik saja seperti sekarang."
Ayaka dengan ringan mengabaikan kerendahan hatiku, lalu memindahkan tas tangannya ke tangannya yang lain.
"Apa ada sesuatu yang terjadi?"
"Kenapa kau selalu bisa tahu?"
Ketika aku balik bertanya, Ayaka tersenyum ringan.
"Perubahan pada orang yang sering menghabiskan waktu bersamamu sebenarnya cukup mudah terlihat. Kau juga pernah menyadari ketika aku pura-pura baik-baik saja dan menghiburku, kan?"
Mungkin itu terjadi saat acara kencan kelompok di hari Natal.
Setelah Motosaka merusak suasana, mungkin ada saat-saat seperti itu dalam perjalanan pulang.
Ngomong-ngomong, aku pertama kali bertemu Natsuki di acara kencan kelompok itu.
Kami berbicara tentang manga dan menjadi akrab, lalu bertukar kontak LINE melalui Ayaka.
Apa Natsuki saat itu sudah menyadari kalo aku adalah mantan pacar Reina? Apa dia mendekatiku karena ingin menghubungkanku dengan Reina, seperti yang terjadi di pesta Valentine?
"Hey, Ayaka."
"Hmm?"
"Di acara kencan kelompok saat Natal itu, Natsuki ada, kan. Apa kau memberitahunya sebelumnya kalo aku akan datang?"
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
Ayaka memiringkan kepalanya sedikit dan meletakkan jari di dagunya.
"Aku harap kau tidak tersinggung, tapi ada berbagai jenis kencan kelompok. Untuk kencan kelompok saat itu, seharusnya kami sudah menunjukkan wajah para peserta sebelumnya."
"Aku tidak ingat diperlihatkan wajah siapa pun."
"Oh, maaf. Kau hanya tambahan untuk menggenapi jumlah, jadi kupikir tidak masalah."
"Perlakuan terhadapku terlalu buruk, ya!?"
"Kau sendiri juga tidak terlalu bersemangat, kan?"
"Grr..."
Memang benar, aku ingat tidak terlalu antusias ketika Ayaka mengajakku saat itu.
"Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini kau tidak mengajakku ke kencan kelompok lagi."
"Ya, karena aku sendiri tidak pergi."
"Huh, itu jarang."
Sejak masuk kuliah, Ayaka telah berkali-kali mengikuti kencan kelompok, bahkan kadang menjadi penyelenggara.
Dulu aku bertanya-tanya apakah dia benar-benar ingin punya pacar, tapi sekarang kupikir mungkin dia juga merasakan kebebasan dengan berada di lingkungan yang bebas.
"Kalo hanya untuk bertemu orang, ada banyak kesempatan di klub atau melalui jaringan pertemanan. Aku memikirkan lagi kalo tidak ada gunanya pergi ke kencan kelompok."
Ayaka berkata begitu, lalu membersihkan tenggorokannya dengan ringan.
"Sejak tadi, pembicaraan kita semakin melenceng."
Dengan kata-kata itu, akhirnya aku teringat pertanyaan yang ingin kutanyakan pada Ayaka.
"Aku kenal Natsuki, kan? Saat acara minum-minum setelah ujian dan juga saat pesta Valentine, kontak dari Reina selalu terjadi ketika Natsuki ada."
"Eh, kenapa?"
Ayaka membulatkan matanya.
Dari reaksinya, aku menyadari sesuatu.
Mengingat kembali, seharusnya Ayaka tidak tahu kalo Natsuki berteman dengan Reina.
Saat aku memberitahunya tentang hal ini, Ayaka mengangguk seolah dia mengerti.
"Oh, begitu jadi mereka berdua saling kenal. ...Jadi, kau berpikir kalo mungkin Natsuki ikut kencan kelompok itu karena sejak awal tujuannya adalah kau."
Setelah mengatakan itu, Ayaka membuka mulutnya seolah teringat sesuatu.
"Ngomong-ngomong, sepertinya kau juga berbicara dengan Natsuki kemarin."
"Iya, tapi──"
Reina mengatakan kemarin kalo dia tidak mendengar apa pun dari Natsuki.
Kalo dia bertanya pada Natsuki, seharusnya lebih efisien untuk menunggu di luar venue, dan aku merasa kata-katanya cukup meyakinkan.
"Begitu. Kau bertemu Reina-san kemarin, ya. Makanya wajahmu terlihat serius."
"Eh!?"
"Ya, reaksimu tadi sudah mengkonfirmasinya."
...Jadi, dia menebak dari intuisinya.
Belakangan ini, aku mulai menyadari kalo sepertinya aku tidak pandai menyembunyikan sesuatu.
Ditambah lagi, ada orang-orang seperti Ayaka yang sangat tajam di sekitarku, jadi mulai sekarang aku harus lebih berhati-hati jika ingin menyembunyikan sesuatu.
Sebenarnya, terkait Ayaka, tidak ada yang perlu disembunyikan.
Kalo kebetulan terbongkar, ya sudah, tidak perlu berbelit-belit dan cukup bicara dengan jujur.
"Belakangan ini Reina mulai bilang kalo dia tidak berselingkuh."
"Dia juga mengatakan hal itu saat pesta Valentine."
Ayaka menyentuh ujung rambutnya yang menyentuh blusnya, lalu menjawab dengan nada datar.
"Bagaimana pendapatmu?"
"Maksudmu──"
Ayaka tersenyum kecut sebelum melanjutkan.
"Aku sebenarnya tidak terlalu ingin mengatakannya, tapi saat itu aku membantah Reina-san karena aku ingin membelamu."
"Hah? Maksudmu?"
"Soalnya aku tidak tahu apa-apa tentang Reina-san. Aku hanya mengenalmu, jadi tidak mungkin aku bisa memberikan penilaian yang objektif."
Memang, itu adalah argumen yang masuk akal.
Karena Ayaka selalu begitu peduli, tanpa sadar aku sudah terbiasa mengandalkannya untuk mencari jawaban.
Kalo ini yang disebut Natsuki sebagai manja, maka dia benar-benar menyentuh inti persoalan.
"Jadi, aku hanya bisa mempercayaimu. Kalo kau bilang dia berselingkuh, maka aku akan percaya begitu. Sebaliknya, kalo kau bilang mungkin dia tidak berselingkuh, aku juga harus menerimanya."
Ayaka menjauh dari dinding yang dia sandari dan berkata singkat.
"Soalnya, dalam hal ini, aku hanya orang luar."
Ayaka yang menatap ke atas terlihat memiliki ekspresi yang agak sedih.
Tapi, itu hanya terjadi sekejap. Pada detik berikutnya, Ayaka sudah membelakangiku.
"Yah, mungkin juga tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai orang luar."
"Benar juga. Saat aku masih berpacaran dengan Raina, aku sering bercerita banyak hal padamu meski tidak diminta."
Mendengar kata-kataku, Ayaka terdiam sejenak sebelum menjawab.
"...Benar juga."
Ayaka meletakkan tas tangannya di punggungnya dan melangkah maju.
"Hey, Ayaka."
"Hmm?"
"Apa terjadi sesuatu?"
Pertanyaanku disambut dengan senyuman kecil dari Ayaka.
"Kau aneh. Yang ada sesuatu terjadi kan kau."
"Yah, memang sih."
Ayaka mengatakan hal yang sama seperti yang dia katakan padaku.
Aku juga bisa merasakan perubahan kecil pada Ayaka.
Tapi entah kenapa, aku merasa Ayaka tidak ingin membahasnya sekarang.
"Yah, sudahlah. Apa kau punya rencana sekarang?"
Mengubah topik pembicaraan, Ayaka menjawab dengan suara ceria.
"Ada acara klub. Hari ini juga ada penyambutan mahasiswa baru."
"Astaga, lanjutan dari kemarin ya? Melelahkan juga."
"Kemarin adalah yang pertama, jadi berkat itu puncaknya sudah terlewati. Aku sudah mengerti caranya, jadi seharusnya tidak terlalu sulit setelah ini."
Ayaka menyisir rambut hitam panjangnya dengan tangan, lalu menoleh ke arahku.
"Kalo begitu, sampai jumpa."
"Ya."
Aku mengangkat satu tangan sebagai balasan, dan Ayaka tersenyum kecil sebelum pergi meninggalkan kampus.
Setelah Ayaka pergi, hanya ada perasaan hampa yang tersisa, dan aku pun segera melangkah keluar.
★★★
Setelah berpisah dengan Ayaka, entah kenapa aku tidak merasa ingin pulang ke rumah, jadi aku duduk di bangku di bawah menara jam.
Tempat ini sering digunakan sebagai titik temu di kampus, tapi sayangnya aku tidak ada janji dengan siapa pun.
Aku hanya ingin duduk di suatu tempat sambil bermain Hp, dan berpikir mungkin aku akan menonton film sendirian.
Mulai hari ini, film adaptasi dari manga shonen favoritku sedang tayang, jadi aku menggulir layar ponsel yang sudah pecah berantakan untuk memeriksa apakah ada kursi yang tersedia di layar pemesanan.
Setiap kali serpihan menempel di jempolku, aku harus membersihkannya, dan itu cukup merepotkan.
"Oi, Yuu. Kau ikut ke klub hari ini juga, kan?"
Tiba-tiba namaku dipanggil, jadi aku mengangkat wajah.
Itu adalah Toudou. Dia mendekat sambil membawa tas sepatu berisi sepatu basket.
Rambutnya yang sebelumnya berwarna abu-abu muda telah berubah menjadi cokelat, memberinya aura yang lebih tenang dalam arti yang baik.
"Wah, rambutmu cocok sekali untuk mu."
"Oh, kau bisa lihat? Aku mewarnainya untuk memberikan rasa aman kepada mahasiswa baru."
Toudou menjawab sambil tertawa ringan.
Warna rambut abu-abu mudanya yang sebelumnya memang terlihat stylish, tapi mungkin terlalu mencolok untuk mahasiswa baru yang baru saja lulus SMA.
Apalagi kalo itu adalah rambut ketua klub.
Memiliki klub yang dikenal sebagai tempat berkumpulnya orang-orang energik tidaklah buruk, tapi mungkin dia merasa itu tidak cocok dengan citra klub 'start'.
"Seperti yang diharapkan dari ketua klub, kau memprioritaskan citra klub."
"Benar sekali. Oh ya, sebagai ketua, aku ingin bertanya lagi, kau ikut klub hari ini, kan?"
Menanggapi pertanyaan Toudou, aku mengayunkan kedua tangan kosongku.
"Seperti yang kau lihat, aku tidak membawa sepatu basket hari ini."
"Kau mau meminjam sepatu basket yang dibeli dari uang iuran kami lagi? Ngomong-ngomong, apa kau sudah membayar iuran klub bulan ini belum?"
Toudou bertanya seolah baru ingat, dan aku mengacungkan jempol.
"Aku sudah membayar banyak uang ketika aku berlatih beberapa hari yang lalu!"
Jujur saja, membayar iuran untuk bulan-bulan yang tidak aku ikuti sekaligus terasa berat, tapi aku memprioritaskan menjaga reputasi Toudou sebagai ketua klub.
Toudou membalasku dengan senyuman kecut.
"Kenapa kau terlihat bangga? Itu hal yang wajar. Jadi, kau ikut atau tidak?"
"Kayaknya tidak."
"Sudah kuduga. Sayang sekali."
"Sayang sekali? Kenapa?"
Aku sudah sering menolak ajakan Toudou untuk ikut klub, tapi ini pertama kalinya dia bilang "Sayang sekali."
Aku bertanya-tanya apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui, dan Toudou tersenyum senang.
"Ada anak baru tahun ini yang sangat imut."
"Eh, serius? Tapi kan kau sudah punya pacar?"
"Iya, tapi itu hal yang berbeda. Sebagai ketua, aku harus memotivasi semua anggota."
"Oh, begitu, begitu."
Aku tersenyum kecut, dan Toudou ikut tersenyum.
Lucu melihatnya menjadi lebih cerewet saat membicarakan tentang pacarnya.
"Kau juga, saat punya pacar, sering bersama Ayaka, kan. Pacar dan teman, atau Senpai dan Kouhai, itu hal yang berbeda."
"Itu──"
Aku berusaha membantah, tapi kemudian mengurungkannya.
Aku bisa mengerti pemikiran kalo pacar dan teman adalah hal yang berbeda.
Kalo aku menjauh dari teman-teman setiap kali punya pacar, maka jika suatu saat putus, tidak akan ada yang tersisa.
Selain itu, kategori 'teman' itu sangat luas.
Aku membayangkan Ayaka, yang baru saja berbicara denganku, sebagai hubungan individu.
Kalo di masa depan aku punya pacar, aku tidak terlalu ingin menjauh dari Ayaka.
Tentu saja, aku akan menahan diri untuk tidak pergi berlibur berdua dengannya, tapi aku bahkan merasa terganggu jika hubungan ini dicampuri.
Dia memiliki kelebihan tersendiri, dan meskipun kami menjalin hubungan sebagai kekasih, itu tidak akan menghilangkan keharmonisan hubunganku dengan Ayaka.
Apa salah untuk menikmati kebahagiaan yang muncul dari masing-masing hubungan?
Hubungan antar manusia sangat dipengaruhi oleh kecocokan.
Rasanya agak disayangkan kalo sengaja menjaga jarak dengan orang yang cocok, tapi mungkin ini bukan nilai yang bisa diterima oleh semua orang.
Setidaknya, Toudou memiliki pemikiran yang mirip denganku, yaitu ingin menikmati waktu bersama teman-teman perempuan selain pacarnya.
"──Memang, mungkin itu hal yang berbeda."
"Benar, kan? Aku setia pada pacarku, tapi klub tetaplah tempat untuk bersenang-senang."
Toudou berkata dengan senyuman yang cerah.
Dengan wajah yang tampan, kemampuan komunikasi yang baik, dan selera fashion yang tinggi, aku tahu ada masa di mana Toudou menjadi incaran para anggota perempuan di klub.
Tapi Toudou selalu menciptakan suasana yang tidak memungkinkan untuk mendekat dengan bercerita tentang hubungan harmonisnya dengan pacarnya, dan dia sama sekali tidak pernah berselingkuh.
Karena aku tahu betul kalo dia adalah orang yang jujur, aku bisa mempercayai kata-katanya.
"Kalo begitu, ayo ke tempat biasa."
"Hmm?"
"Area merokok. Kita belum merokok bersama akhir-akhir ini."
Toudou menunjuk ke arah area merokok dengan ibu jarinya.
Ini adalah ruang merokok tempat aku pergi bersama Ayaka sebelum ujian semester dua tahun kedua.
"Ah... aku sudah berhenti merokok."
"Eh, serius?"
Toudou mengeluarkan suara terkejut.
Aku mulai merokok sebagian besar karena pengaruh Toudou, jadi mungkin seharusnya aku memberi tahu sebelumnya.
"Maaf, Ayaka bilang merokok tidak cocok untukku."
Saat aku mengatakan ini sambil menghela nafas, Toudou tersenyum dengan pengertian.
"Haha, itu memang tidak cocok untukmu sih."
"Setidaknya bantah anjir!"
Membayangkan uang yang dihabiskan untuk membeli merokok yang tidak cocok untukku membuatku sedih.
Mungkin itu juga alasan mengapa berhenti merokok tidak terlalu sulit bagiku.
Apa yang dicari dari rokok berbeda untuk setiap orang, tapi sepertinya bagi aku, cukup dengan satu kalimat 'tidak cocok' untuk membuatku berhenti.
"Yah, aku akan menemanimu merokok."
"Oh, bagus. Pacarku juga bilang aku harus berhenti merokok, mungkin ini yang terakhir kalinya aku merokok."
"Ayo lakukan itu. Kau bisa menghemat uang."
Aku tidak sepenuhnya tahu berapa banyak Toudou merokok, tapi pasti dia menghabiskan sekitar 10 ribu yen sebulan.
Dalam setahun, itu 120 ribu yen. Ada perbedaan besar antara memiliki dan tidak memiliki uang itu.
Ditambah lagi, kalo pacarnya ingin dia berhenti, maka berhenti merokok adalah langkah yang tepat.
Sambil memikirkan hal itu, Hp-ku berbunyi.
Setelah memeriksa, ternyata itu dari Shinohara.
Rupanya dia sedang tidak sibuk hari ini dan ingin diajak pergi ke suatu tempat.
Karena waktunya pas, aku berpikir mungkin aku bisa mengajaknya menonton film yang baru saja aku putuskan, sambil membuka pintu area merokok.
Bau asap langsung menusuk hidungku.
Bau yang menyengat ini entah mengapa memberikan rasa nyaman.
Bahkan sekarang setelah berhenti merokok, perasaan itu tidak berubah, dan aku merasa lega dengan hal itu.
"Maaf kalo jaketmu jadi bau."
Aku menggelengkan kepalaku menanggapi permintaan maaf Toudou.
"Tidak masalah. Cukup semprotkan penghilang bau saja."
"Tidak, itu tidak baik. Saat mengajak non-perokok, meminta maaf adalah sopan santun."
Toudou berkata begitu sambil mengeluarkan kotak rokok dan korek api dari saku cardigannya.
Ngomong-ngomong, Ayaka tidak pernah mengeluh tentang bau saat menemaniku merokok.
"Akan sepi tanpa Yuu yang merokok."
"Yah, tidak ada yang bisa dilakukan."
Kalo sesuatu tidak cocok, tidak ada yang bisa dilakukan.
"Kata-kata Ayaka benar-benar berarti banyak untuk mu, ya."
Toudou menyalakan rokoknya dan menghembuskan napas berwarna abu-abu.
Gerakannya sangat natural, dan dalam hati aku berpikir kalo mungkin dia tidak perlu berhenti merokok.
★★★
Setelah menemani Toudou merokok, aku bertemu dengan Shinohara, dan kami berjalan-jalan di mal bersama.
Di mal terbesar di sekitar sini, ada bioskop dan lain-lain.
"Yah, kebetulan aku juga ingin menonton film."
"Kuberi tahu dulu, aku tidak akan menyesuaikan film yang akan kutonton."
"Eh, serius!?"
Aku sudah memutuskan untuk menonton film adaptasi dari manga shonen sebelumnya.
Shinohara memanggilku setelah itu, jadi sejauh ini aku tidak berniat mengubah pilihan.
"Karena kita sudah bertemu, ayo menonton bersama~"
"Aku tidak masalah kalo kau ikut menonton film yang aku pilih."
"Eh, pasti itu film adaptasi dari manga itu, kan?"
Dari panel-panel yang terpampang di dinding, Shinohara dengan cepat menunjuk.
Karena dia sering membaca manga di rumahku, Shinohara seharusnya sudah cukup menyukai manga, tapi sepertinya dia belum tertarik dengan karya itu.
"Film apa yang ingin kau tonton, Shinohara?"
Ketika aku bertanya, Shinohara berpura-pura merenung sebelum memilih film dengan judul yang mencurigakan, "Aku Ingin Melibatkanmu dalam Pandangan Cintaku!"
"Ah... iya, kau pernah khawatir apa pandangan cintamu aneh."
Itu terjadi pada akhir Januari.
Saat menonton acara kencan di rumahku, Shinohara pernah bertanya, "Apa aku aneh?"
Saat itu aku memberinya hadiah ulang tahun, dan kemudian percakapan teralihkan karena kunjungan Ayaka.
Tapi, kata-kata yang diucapkan Shinohara saat itu entah kenapa terpatri di benakku.
"Apa aku pernah mengatakan hal seperti itu?"
Shinohara bertanya sambil tersenyum.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menghela napas.
"Aku sudah bilang. Memang benar aku diselingkuhi oleh Motosaka, tapi aku hanya berpacaran dengannya karena ingin merasakan suasana seperti pasangan kekasih. Jadi, aku tidak merasa terluka. Meskipun begitu—"
"Oh! Ini yang pernah kau katakan. Kalo kau merasa lelah karena terus-menerus dihibur oleh teman-teman. Aku ingat! Jadi, tolong jangan mengingatkan ku lagi, Senpai! Kau benar-benar jahat!"
Shinohara menggerutu sambil memukul-mukul bahuku dengan ringan sebagai bentuk protes.
Aku berpikir sejenak—kalo bahuku memiliki perasaan, kira-kira apa yang akan dirasakannya?
Tapi, pikiran yang tidak berguna itu segera kuusir dengan menggelengkan kepala.
"Jadi, kalaupun aku memang mengatakannya—"
"Kenapa kau malah menarik kembali pengakuanmu? Bukankah kau baru saja mengingatnya?"
"Aku sudah melupakannya."
"Cepat sekali!!"
Tanpa sadar, aku langsung menanggapi dengan serius.
Mungkin bagi Shinohara, ini adalah kenangan yang ingin segera dia lupakan.
Tapi, sayangnya, aku sendiri sepertinya akan mengingatnya untuk waktu yang cukup lama.
"Menonton film itu bersama Senpai sudah menjadi keputusan final bagiku!"
"Eh? Tidak mau."
"Sikap mu yang benar-benar menolak ini cukup membuat ku syok... Padahal aku sudah berniat membelikan hot dog dan popcorn untuk ku."
"Jangan memanipulasi ku seperti itu! Baiklah, aku ikut!"
"Kau menyerah begitu saja...?"
Shinohara menatapku dengan ekspresi sedikit heran.
Tidak ada rasa malu karena harus ditraktir oleh seseorang yang lebih muda.
Bagiku, yang baru saja melihat layar ponselku hancur berkeping-keping, hal semacam itu sama sekali bukan masalah yang patut kupikirkan.
Dan begitulah, aku akhirnya akan menonton film dari genre yang selama ini tidak pernah kusentuh.
Rasanya lebih seperti membayar tiket hanya demi mendapatkan makanan.
Aku melirik ke arah Shinohara yang tampak begitu bersemangat di sisiku.
──Sesekali, mungkin hal seperti ini juga menyenangkan.
Sambil menerima tiket yang baru saja dicetak, aku berpikir demikian.
★★★
──Kalo dipikir kembali, mungkin itulah yang benar-benar bisa disebut sebagai cinta pertama.
Aku tidak pernah benar-benar memahami bagaimana rasanya menyukai lawan jenis.
Tentu saja, dalam konteks perasaan romantis.
Sejak SMA, aku bersekolah di sekolah khusus perempuan.
Tapi, itu bukan berarti aku tidak memiliki teman laki-laki.
Saat masih SD dan SMP, aku memiliki teman laki-laki sebagaimana umumnya.
Bahkan selama SMA, aku pernah berteman dengan siswa dari sekolah lain saat mengikuti pertandingan antar klub, dan kami tetap berkomunikasi setelahnya.
Tapi, itu bukan cinta.
Aku selalu merasa penasaran tentang bagaimana rasanya jatuh cinta, tapi memaksakan diri untuk mencintai seseorang juga terasa salah.
Aku memutuskan untuk menunggu sampai perasaan itu muncul dengan sendirinya.
Tapi, sebelum kusadari, aku sudah hampir menginjak usia dewasa.
──Dan pada saat itulah, akhirnya seseorang muncul.
Seseorang yang benar-benar bisa aku cintai.
Seseorang yang ingin aku buat mencintaiku.
Bukan sosok pangeran berkuda putih yang pernah kubayangkan saat kecil, bukan pula idola yang dulu kuidolakan sewaktu SMP.
Reaksinya terhadap kata-kataku, gerak-geriknya, suasana yang ia ciptakan, hingga caranya menjaga jarak dengan hati-hati—semuanya terasa begitu nyaman.
Saat aku mulai berpikir kalo aku ingin mengenalnya lebih jauh, dia menyatakan perasaannya padaku.
Sejujurnya, sosoknya sangat jauh dari gambaran ideal tentang kekasih yang selama ini ada di pikiranku.
Tapi, dia membuatku merasa begitu terhanyut hingga aku percaya bahwa mungkin dia memang takdirku. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Aku pun menerimanya dengan penuh kebahagiaan.
★★★
"Mana mungkin ada kejadian semanis mendapat pengakuan cinta dari takdir yang begitu saja terjadi di dunia nyata."
"Kalo begitu, kenapa kita malah menonton film ini...?"
Aku menghela napas lelah sambil meremas bungkus makanan dan membuangnya ke tempat sampah dekat pintu keluar.
Karena ini hari kerja dan masih pukul tiga sore, jumlah penonton di bioskop sangat sedikit.
Tidak ada orang di sekitar yang bisa mendengar komentar Shinohara.
Aku melirik pamflet yang diberikan saat masuk tadi.
Rupanya, film adaptasi dari manga yang tayang di bioskop ini memiliki bonus khusus untuk penontonnya.
Aku pun menghela napas, merasa seharusnya kami menonton film itu saja.
Tapi, karena perutku sudah kenyang, anggap saja semuanya impas.
"Aku sebenarnya jarang menonton film romantis, tapi akh pikir mungkin akan lebih menyenangkan kalo menontonnya bersama Senpai."
"Jadi, bagaimana kesanmu?"
"Ayo cepat pergi makan crepe!"
"Berarti filmnya tidak begitu menarik bagimu, ya..."
Kami menaiki eskalator yang perlahan turun ke bawah.
Bioskop berada di lantai tujuh, dan dari eskalator, kami bisa melihat langsung ke lantai satu yang terbuka luas.
Ada sesuatu yang terasa istimewa dari berjalan-jalan di pusat perbelanjaan pada sore hari di hari kerja.
Saat masih sekolah, waktu seperti ini biasanya dihabiskan di dalam kelas.
Sedangkan nanti, setelah memasuki dunia kerja, kemungkinan besar akan dihabiskan di kantor.
"Ngomong-ngomong, apa kau pernah benar-benar jatuh cinta sebelumnya?"
"Tentu saja. Waktu masih SD."
"Ya, memang biasanya seperti itu."
"Jangan meremehkan perasaanku!"
Shinohara mengayunkan lengannya dengan penuh semangat sebagai bentuk protes.
Bukan berarti aku meremehkannya.
Dia pertama kali berpacaran dengan Motosaka, dan alasannya hanyalah karena ingin merasakan pengalaman sebagai pasangan kekasih.
Aku memang tidak pernah bertanya alasan di balik setiap penolakan yang ia berikan kepada orang-orang yang pernah menyatakan perasaan kepadanya.
Tapi, kurasa itu bukan karena standar atau ekspektasinya terlalu tinggi.
Mungkin, seperti tokoh utama perempuan dalam film yang baru saja kami tonton, dia memang tidak terlalu memiliki motivasi dalam hal percintaan.
Kalo memang memiliki standar yang tinggi, dia pasti tidak akan begitu sering menghabiskan waktu di rumahku.
Mungkin, yang dia cari adalah seseorang yang secara alami cocok dengannya sekaligus mampu memberinya dorongan untuk bergerak maju.
Mungkin, tanpa dia sadari, Shinohara juga sedang menunggu seseorang seperti itu.
"Kalo Senpai sendiri, kapan pertama kali jatuh cinta?"
Pertanyaannya membuyarkan lamunanku.
"Aku? Mungkin sekitar kelas 2 SD."
"Saat itu, apa yang membuat Senpai menyukai seseorang?"
"Aku sudah lupa, tapi seingatku, aku hanya menyukai orang yang menurutku paling manis."
"Eh? Kalo begitu, kenapa Senpai selalu bersikap dingin padaku?"
"Mana aku tahu. Mungkin karena kriteriaku sudah berubah."
Ketika masih kecil, standar untuk menyukai seseorang bukanlah hal-hal seperti wajah yang rupawan atau kepribadian yang menarik dalam pandangan luas.
Semuanya lebih sederhana—apakah seseorang mampu menarik perhatian dan menyentuh perasaan secara alami atau tidak.
Singkatnya, apakah orang itu terlihat paling menarik di antara teman-teman sekelas.
Dan yang dimaksud dengan 'menarik' di sini bukan hanya sekadar wajah, tapi juga suara, gestur, dan berbagai hal lainnya.
Tentu saja, di usia tersebut, sudut pandang seseorang masih sangat subjektif dan terbatas.
Seiring bertambahnya usia, semakin banyak hal lain yang mulai diperhitungkan dalam melihat seseorang.
Sudut pandang yang lebih luas dibanding saat masih kecil membuat berbagai faktor eksternal menjadi lebih diperhatikan.
Mungkin, setelah memasuki dunia kerja, hal itu akan semakin jelas terasa.
Tempat seseorang bekerja, penghasilannya, serta berbagai pertimbangan lain—setelah melewati semua itu, apakah orang yang akhirnya dipilih benar-benar merupakan 'takdir'?
Meski memikirkan cinta terlalu dalam pun tidak akan membawa perubahan apa pun, aku tetap merasa iri pada tokoh utama dalam film tadi.
Dia hanya perlu menunggu, dan seseorang yang disebut sebagai 'takdirnya' pun datang menghampiri.
"Kalo begitu, apa standar Senpai saat ini?"
Shinohara bertanya sambil melangkah turun dari eskalator, lalu berjalan menuju sofa yang terletak sedikit lebih jauh.
"Bukannya kita mau makan crepe?"
"Sebentar saja, istirahat dulu."
"Padahal kita baru saja duduk sepanjang film..."
"Kursi di bioskop itu keras! Jadi, apa standar Senpai sekarang?"
"Hmm... standar, ya..."
Sejujurnya, aku sendiri tidak begitu yakin.
Tentu saja, aku memiliki gambaran ideal, tapi karena terlalu tidak realistis, menjadikannya sebagai standar hanya akan membuatku tetap sendirian seumur hidup.
Sebagai contoh, tipe ideal yang kuinginkan adalah seorang wanita yang kaya, memiliki kehangatan dalam dirinya, serta memiliki kecantikan sekaligus keimutan yang seimbang.
Setiap kali aku menyampaikan hal ini pada Ayaka, dia hanya menanggapinya dengan tawa kecil penuh ejekan.
Tapi, aku yakin ada cukup banyak pria di luar sana yang bisa memahami keinginanku ini.
Tentu saja, itu hanya sebatas angan-angan.
Aku sadar kalo itu sulit terwujud, tapi tetap saja, aku belum bisa benar-benar menyerah pada kemungkinan sekecil apa pun.
"Entah kenapa, aku merasa Senpai sedang memikirkan sesuatu yang tidak berguna..."
"Bukan begitu. Aku hanya sedang bermimpi sedikit. Bukankah pria yang masih bisa bermimpi itu terdengar keren?"
"Hanya terdengar keren saja. Hanya terdengar, ya."
"Berisik! Jangan mengulanginya 2 kali!"
Kalo ditanya mengenai standar, bukan sekadar gambaran ideal, sejujurnya aku sendiri tidak terlalu yakin.
Aku akhirnya menyerah untuk menemukan jawaban yang benar-benar memuaskan diriku sendiri dan hanya menjawab, "Yang pandai memasak."
Bagaimanapun juga, hal itu memang termasuk dalam salah satu kriteriaku.
"Jawaban yang sangat khas Senpai. Itu membuat ku merasa nyaman."
Shinohara berkata begitu sambil tersenyum tipis.
"Begitu, ya?"
"Ya. Di kampus, jumlah orang yang berpacaran karena alasan sepele pasti meningkat, kan? Dibandingkan hal seperti itu, jawaban Senpai jauh lebih baik. Meskipun aku sendiri juga tidak bisa bicara banyak soal itu."
"Memang kau tidak bisa."
"Tolong jangan mengiyakan begitu saja!"
Shinohara cemberut, sementara aku kembali merenung.
Dia berkata kalo di kampus semakin banyak orang yang menjalin hubungan dengan alasan yang ringan.
Tapi, menurutku itu bukan sesuatu yang buruk.
Ada hal-hal yang baru bisa diketahui setelah mulai berpacaran, dan kalo seseorang bisa lebih cepat menentukan apakah pasangannya cocok atau tidak, bukankah itu lebih baik?
Tentu saja, ini hanya sudut pandang pribadiku.
Tidak semua orang akan setuju, terutama Ayaka.
Dia pasti akan merasa keberatan dengan cara berpikir seperti ini.
"Tapi memang benar, setelah masuk kuliah, jumlah pasangan kekasih bertambah drastis."
"Ya, mungkin karena ada banyak hal yang lebih menyenangkan jika dilakukan bersama pasangan."
Salah satu alasannya mungkin adalah karena di kampus, orang-orang akhirnya terbebas dari lingkungan kelas yang tertutup.
Dulu, di sekolah, semua orang dalam satu kelas menghabiskan waktu setahun penuh di ruang yang sama dengan orang-orang seusia mereka.
Kalo dipikir ulang, itu adalah lingkungan yang cukup unik.
Karena semua orang saling mengenal, rumor tentang percintaan menyebar dengan sangat cepat.
Seolah-olah setiap orang memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap kehidupan orang lain.
Sebaliknya, di kampus, tidak banyak orang yang benar-benar peduli dengan urusan percintaan orang lain.
Orang-orang hanya tertarik pada hubungan di antara mereka yang sudah saling mengenal.
Tapi, kalo salah satu dari pasangan itu adalah orang yang sama sekali tidak mereka kenal, maka ketertarikan mereka pun berkurang.
Tidak menjadi pusat perhatian terkadang terasa menyedihkan, tapi di sisi lain, juga bisa memberikan kenyamanan.
Dalam hal ini, kampus bisa dibilang sebagai tempat yang cukup nyaman.
"Shinohara, apa kau merasa iri dengan pasangan-pasangan itu?"
Saat aku bertanya, Shinohara menggeleng pelan.
"Saat ini, tidak sama sekali. Aku sudah cukup senang dengan kehidupanku sekarang, jadi aku merasa puas. Semua ini berkat Senpai juga, lho."
Dia mengatakannya dengan senyum ringan di wajahnya.
Aku buru-buru mengalihkan pandangan dari tatapannya yang terangkat dari sofa.
Kejujuran dalam menyampaikan perasaan adalah salah satu daya tariknya.
Tapi, di saat yang sama, hal itu juga bisa dengan mudah membuat banyak orang jatuh hati.
"Jangan mengucapkan hal seperti itu pada orang lain."
Aku memperingatkannya, tapi tidak mendapat jawaban.
Saat aku kembali menatapnya, aku justru mendapati Shinohara terpaku dengan wajah sedikit memerah, bibirnya terbuka seolah kehilangan kata-kata.
"Se-Senpai ternyata punya sisi posesif..."
"Bukan itu maksudku!"
Tanpa sadar, aku menyangkalnya dengan cukup keras, yang justru membuatnya tertawa kecil.
Melihatnya seperti ini, aku jadi berpikir—selama dia masih senang menggodai orang lain seperti ini, sepertinya 'takdir' yang dia nantikan tidak akan segera datang.
Dengan pemikiran itu, aku hanya bisa menghela napas panjang.
★★★
Aku membuka pintu apartemenku dengan kunci yang dilengkapi gantungan berbentuk macan tutul salju.
Setelah menonton film dan berjalan-jalan tanpa tujuan, tanpa kusadari hari telah beranjak malam.
Di depan pintu masuk yang sederhana, aku melepas sepatu dan melangkah masuk.
Tapi, suara dari belakang menghentikanku.
"Senpai, rapikan dulu sepatumu."
"Ah, maaf."
Aku berbalik dan merapikan sepatuku agar sejajar.
Kalo berada di rumah orang lain, merapikan sepatu sudah menjadi hal yang wajar.
Tapi saat di rumah sendiri, seringkali aku lupa melakukannya.
"Bagus! Kerja yang baik!"
"Jangan terlalu membesar-besarkan hal kecil seperti ini..."
Aku hanya bisa tersenyum masam melihat Shinohara tertawa puas.
Kalo aku tidak merapikannya, Shinohara pasti akan melakukannya untukku.
Dia memang sering mengambil alih pekerjaan rumah yang tidak kulakukan, jadi setidaknya hal-hal sederhana seperti ini harus kulakukan sendiri agar tidak terlalu bergantung padanya.
Meskipun dia selalu berkata, "Aku melakukannya karena aku ingin!", tapi tetap saja, aku tidak bisa sepenuhnya membiarkannya begitu saja.
...Kecuali kalo aku sedang mengantuk. Itu pengecualian.
"Senpai, cepat masuk ke dalam!"
"Ya, ya, aku tahu."
Dengan dorongan ringan di punggungku, aku melangkah ke dalam kamar.
Tapi, berbeda dengan Shinohara yang selalu bersemangat, aku tidak bisa memasuki kamar dengan penuh energi seperti dirinya.
"Senpai, ayo kita lakukan sesuatu yang menyenangkan!"
"Kenapa kau baru mengatakannya setelah sampai di rumah? Kalo di luar, kita punya lebih banyak pilihan tempat untuk pergi."
"Maksudku, kita harus melakukan sesuatu yang hanya bisa dilakukan di rumah! Senpai benar-benar lamban dalam memahami maksud orang! Sungguh tidak bisa diandalkan~"
"Bukankah tiba-tiba jadi sulit!?"
"Aku tidak punya komentar apa pun. Ayo kita masak bersama, Senpai."
Shinohara menggantung mantel di hanger, lalu menyingsingkan lengan bajunya.
Meskipun sedikit terkejut dengan ajakannya yang mendadak, aku akhirnya mengikuti karena memang masih ada waktu luang.
Saat membuka kulkas, aku melihat beberapa bahan makanan yang Shinohara simpan sebelumnya.
"Kita akan masak apa?"
Menanggapi pertanyaanku, Shinohara mengangkat sudut mulutnya.
"Kita buat shougayaki babi dan minum-minum di rumah!"
"Kau masih di bawah umur, tahu."
"Di rumah tidak ada pemeriksaan usia, kan?"
Shinohara cemberut, seolah tidak terima dengan teguranku.
"Bukan itu masalahnya. Ini soal hukum."
Memang, tidak sedikit mahasiswa tahun pertama atau kedua yang sudah mulai minum alkohol.
Aku pun sadar kalo kebiasaan seperti ini sudah menjadi bagian dari budaya yang diwariskan turun-temurun.
Tapi, alasan aku tidak ingin membiarkan Shinohara minum di rumahku bukan hanya karena itu.
"Ke-Kenapa kau menatapku begitu...?"
Shinohara menundukkan pandangan dengan sedikit malu, dan—jujur saja—dia terlihat luar biasa menggemaskan.
Kalo aku mengajaknya ke pesta pertemuan, para pria pasti akan langsung berusaha mendekatinya, lalu berakhir dengan kegagalan.
Minum berdua dengannya dalam suasana seperti ini...bukanlah ide yang baik.
Aku pun hanya manusia biasa—ada saat-saat di mana mengendalikan diri menjadi hal yang sulit.
Alkohol memiliki cara tersendiri untuk meruntuhkan benteng rasionalitas seseorang.
Kadang, bertindak berdasarkan keinginan tanpa mempertimbangkan logika bisa membawa hasil yang lebih baik.
Tapi, tidak kali ini.
Aku tahu betul kalom itu hanya akan berujung pada sesuatu yang akan merusak kepercayaan.
Sebagai orang yang lebih tua, aku tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.
"Kita tidak akan minum."
".....Buuuh."
Shinohara menunjukkan ekspresi penuh ketidakpuasan.
Melihat wajahnya yang begitu tidak terima, aku menambahkan perkataan sambil membuka kulkas.
"Kalo kau sudah berusia 20 tahun, aku akan menemanimu minum sepuasnya."
Lebih tepatnya, saat itu tiba, aku tidak akan punya alasan untuk menolak.
Ulang tahunnya masih tahun depan, jadi masih ada waktu.
Bisa dibilang, aku hanya menunda masalah ini.
"Itu masih lama sekali... Yah, aku akan bersabar, deh."
"Bagus, pintar sekali."
"Dipuji hanya karena ini...rasanya aneh."
Shinohara menggumamkan kalimat yang sama seperti yang aku katakan sebelumnya, lalu melanjutkan,
"Kalo begitu, usap kepalaku setidaknya sekali, dong."
"Hah...?"
"Ke-Kenapa reaksimu seperti itu!? Kalau itu laki-laki lain, mereka pasti akan langsung melakukanya!! Pasti!"
"Tapi kau juga tidak pernah memintanya pada orang lain, kan?"
"Iya, sih, tapi bukan itu maksudku!"
Aku mengernyit, sementara Shinohara melemparkan dirinya ke atas tempat tidur dan mengayunkan kakinya ke atas dan ke bawah.
Berkat kebiasaannya menjaga kebersihan kamar, tidak ada debu yang berterbangan.
Selama aku tidak meninggalkan apartemen ku selama berhari-hari, kondisi ini akan tetap terjaga.
Dalam hal pekerjaan rumah, aku benar-benar banyak bergantung padanya.
Sudah beberapa bulan sejak kami berkenalan, tapi Shinohara masih terus datang ke sini tanpa perubahan sedikit pun.
Saat Shinohara merayakan ulang tahunnya yang berikutnya, entah bagaimana hubungan kami akan berkembang?
Meskipun kami baru mengenal satu sama lain selama beberapa bulan, waktu yang kami habiskan bersama cukup lama dan lebih intens dibandingkan dengan orang lain.
Kalo ini terjadi pada orang lain, mungkin tidak aneh kalo ada perubahan besar dalam hubungan mereka.
Seperti halnya dengan mantan pacarku, Reina.
Dari perkenalan hingga akhirnya kami berpacaran, waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama.
Tapi, hubungan antara aku dan Shinohara masih belum menunjukkan tanda-tanda perubahan yang besar.
Memang benar, Shinohara adalah orang yang mudah akrab dengan siapa saja, dan waktu yang dibutuhkan untuk menjadi dekat dengannya sangat singkat.
Mungkin karena itu juga, hubungan kami tetap hampir sama sejak awal pertemuan.
—Atau mungkin tidak.
Aku segera membatalkan kesimpulan yang baru saja kupikirkan.
Hari di mana aku mengatakan kalk membangun kepercayaan dan berbicara secara mendalam adalah dua hal yang berbeda.
Beberapa bulan setelah itu, aku akhirnya menceritakan hubunganku dengan Reina kepada Shinohara—sesuatu yang dulu selalu kusembunyikan darinya.
Hubungan kami, sedikit demi sedikit, pasti mengalami perubahan.
Aku masih belum tahu ke mana arah hubungan ini akan berjalan, tapi aku yakin, pada akhirnya, kami akan bisa tertawa bersama.
"Serangan Kouhai!"
"Ugh!?"
Sebuah bantal menghantam wajahku, membuatku mengeluarkan suara aneh.
Aku bisa merasakan bantal itu jatuh mengenai punggung kakiku.
"Senpai, boleh aku menginap lagi lain kali?"
"Kenapa sih, di tengah situasi seperti ini, kau bisa meminta hal seperti itu dengan santai? Gimana sih cara kerja otakmu?"
"Ahaha, wah, Senpai ternyata orang yang misterius, ya~"
"Jangan seenaknya menafsirkan sesukamu! Aku pasti akan membalas dendam atas ini. Begitu kau tidur, jangan harap bisa bangun lagi!"
"Se-Senpai jadi aneh..."
"Jangan malah takut sendiri, dong!"
Aku menendang bantal yang masih ada di atas kakiku, lalu berjalan menuju dapur.
Menghadapi Kouhai ini terlalu lama hanya akan menguras tenagaku.
"Jadi, sudah diputuskan, kalo aku akan menginap lain kali."
Shinohara, yang kini berdiri di sampingku dengan wajah ceria, tersenyum senang.
"Kenapa sih kau kelihatan begitu senang?"
"Ya jelas, sudah lama sekali, kan aku tidak menginap di sini."
Aku hampir membalas kalo dia sudah sering menginap, tapi kemudian aku menyadari sesuatu—setiap kali Shinohara tidur di tempatku, itu selalu terjadi di siang hari.
Kalo dipikir-pikir, permintaannya kali ini memang berbeda.
Kalo aku menunjukkan tanda-tanda keberatan, dia pasti akan mengeluh sebentar, lalu berpura-pura seolah permintaannya tidak pernah ada.
Tapi karena kali ini aku tidak menolaknya, dia terlihat begitu bahagia.
Sebuah hal sederhana, tapi entah kenapa membuatku merasa canggung.
Untuk menyembunyikan perasaan itu, aku beralih membuka rak di dinding.
Seharusnya di sana tersimpan berbagai peralatan memasak, tapi aku tidak menemukannya.
"Kalo yang kau cari peralatan masak, ada di sini."
Shinohara membuka laci penyimpanan yang lebih rendah.
Di dalamnya, berbagai peralatan masak tersusun rapi.
Beberapa di antaranya bahkan terlihat asing bagiku.
"Karena lebih sulit dijangkau kalo diletakkan di atas, jadi aku memindahkannya ke bawah."
"Itu memang membantu, sih... tapi kenapa jumlahnya bertambah?"
"Aku menambahkan beberapa yang menurutku akan berguna untuk memasak. Tapi yah, itu juga sudah lama sekali."
Shinohara berbicara dengan senyum kecil seolah mengomentari sesuatu yang sudah jelas.
"Dari yang barusan, sekarang aku tahu kalo Senpai hampir tidak pernah berdiri di depan dapur sendirian."
"Mau bagaimana lagi kan? Makanan yang kubuat sendiri tidak lebih enak dibandingkan bento dari minimarket."
Memang ada anggapan kalo mengonsumsi bento setiap hari sebaiknya dihindari, tapi kalo rasanya lebih enak, sulit untuk tidak memilihnya.
Tapi, karena Shinohara sering datang ke apartemenku dan bahkan sesekali membuatkan makanan untuk disimpan, situasinya menjadi berbeda.
Aku merasa kalo belakangan ini kesehatanku jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.
"Sebenarnya itu hanya karena Senpai malas, kan?"
"Yah, Aku juga tidak bisa menyangkal itu."
Mendengar jawabanku, Shinohara merengut dengan bibir mengerucut.
Mungkin seharusnya aku mengucapkan terima kasih secara langsung, daripada menjawab dengan enggan seperti tadi.
"Lalu, kalo Senpai memang pemalas seperti itu, kenapa kau tiba-tiba berdiri di dapur?"
"Aku pikir kita bisa membuat shōgayaki bersama. Memang kita tidak akan minum alkohol, tapi kau tetap menemaniku, kan?"
Mengucapkan terima kasih secara langsung terasa canggung, jadi aku mengajak Shinohara dengan nada sedikit ketus.
Saat aku melirik ke arahnya untuk melihat apakah suasana hatinya membaik, mata kami bertemu.
"Senpai ini memang tidak pernah mau jujur, ya?"
"Diam."
"Fufu, baiklah."
Shinohara tersenyum kecil sebelum mulai mengambil peralatan masak dan bahan-bahan dengan gerakan yang sudah sangat terbiasa.
Mungkin karena semakin banyak waktu yang kami habiskan bersama, dia kini bisa dengan mudah memahami maksudku tanpa harus banyak bertanya.
Entah karena aku memiliki kepribadian yang mudah ditebak, atau karena Shinohara memang peka.
Mungkin keduanya.
Tapi, mengakui ke-2 hal itu terasa sedikit menyebalkan, jadi aku memilih untuk tidak mengatakannya.
──Tapi, bagaimanapun juga, rasanya tidak buruk.
Merasakan kenyamanan karena dipahami oleh seseorang untuk sesaat, aku kemudian membuka freezer untuk membantu memasak.
Daging babi yang kuambil dari dalamnya ternyata memiliki tanggal kedaluwarsa hari ini.
★★★
Babi goreng jahe buatan Shinohara benar-benar luar biasa.
Dagingnya begitu empuk, hingga sulit dipercaya kalo itu berasal dari bahan yang hampir melewati tanggal kedaluwarsa.
Bahkan saat mencuci piring, rasa bahagia akibat makanan tadi masih terasa.
Sejak mulai hidup sendiri, setiap kali menikmati masakan rumahan, rasanya selalu jauh lebih enak dibandingkan sebelumnya.
Tentu saja, keahlian Shinohara dalam memasak menjadi faktor besar, tapi aku juga bertanya-tanya—apakah saat masih tinggal di rumah bersama keluargaku, aku pernah merasa sebersyukur ini setiap kali makan?
Mungkin aku kurang menghargai masakan rumahan dulu.
Bagaimanapun juga, makanan tidak akan tersaji begitu saja tanpa usaha seseorang.
"Seperti biasa, masakanmu enak sekali. Terima kasih."
"Hehe, kalo aku memasak untuk Senpai dan selalu dipuji begini terus, rasanya aku jadi makin semangat!"
Shinohara tersenyum senang sambil tetap sibuk mencuci piring.
“Biar aku saja yang mencuci piringnya. Kau santai aja, baca manga atau yang lain."
"Eh, bukankah akan lebih cepat jika kita ber-w melakukannya bersama-sama?"
"Tapi kalo aku tidak melakukan ini sendiri, rasanya aku tidak enak padamu."
Mendengar jawabanku, Shinohara tersenyum tipis.
"Aku melakukan ini karena aku sendiri yang mau, kok. Jadi, Senpai bisa aja keluar dan melakukan handstand di balkon seperti yang selalu Senpai lakukan."
"Apa aku pernah melakukan itu? Kalo pernah, tolong hentikan aku lain kali."
Shinohara tertawa lepas, lalu menyerahkan piring terakhir kepadaku.
"Nah, ini yang terakhir."
"Oke."
Aku menerimanya, lalu membersihkannya dengan spons dan sabun sebelum mengelapnya dengan handuk tebal.
Kalo saja apartemen mahasiswa ini punya mesin pencuci piring, semuanya pasti lebih mudah.
Sayangnya, fasilitas seperti itu hanya ada di tempat tinggal yang lebih mewah.
Saat aku masih sibuk mengeringkan piring, tiba-tiba Shinohara memanggil dari belakang.
"Senpai, ada yang ingin kutanyakan padamu, boleh?"
Aku menoleh dan melihatnya sudah duduk di depan meja rendah, tampak sedikit serius.
"Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba jadi serius?"
"Ini tentang Reina-san..."
Gerakan tanganku yang tengah mengelap piring seketika terhenti.
Tidak kusangka nama itu akan keluar dari mulut Shinohara.
Aku meletakkan piring ke rak, lalu beralih duduk di hadapannya.
"Kemarin, kita sempat bertemu dengan Reina-san, kan?"
"Iya, memang."
"Setelah itu, aku sempat berbicara dengan Reina-san."
"...Apa?"
Aku tifak bisa menahan keterkejutanku.
Suaraku terdengar lebih tajam dari yang kuharapkan.
Shinohara tersentak, lalu buru-buru menundukkan kepala.
"Ma-maaf, aku melakukannya tanpa izin..."
Tanpa izin—berarti dia sendiri yang memutuskan untuk berbicara dengan Reina.
Melihatnya menunduk dalam-dalam seperti itu, bisa dipastikan memang begitu.
Dan aku juga bisa menebak alasannya.
Tapi, fakta kalo dia sengaja memberitahuku tentang percakapan itu berarti ada sesuatu yang terjadi.
Sesuatu yang cukup penting hingga dia merasa perlu mengatakan ini langsung.
Aku merasa firasat buruk merayapi pikiranku, tapi aku tetap membalas dengan singkat.
"Tidak apa."
Saat Shinohara mengangkat wajahnya, ekspresinya tampak lebih muram dari biasanya.
"Aku...benar-benar minta maaf. Sampai sekarang, aku tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Senpai soal ini."
"Tidak masalah. Lain kali, cukup pikirkan baik-baik sebelum bertindak. Aku juga minta maaf."
Aku mengatakannya dengan ringan, tapi di dalam hati, aku menggigit bibir.
Alasan suaraku tadi berubah adalah karena aku terkejut.
Dan akibatnya, aku sempat membuat Shinohara ketakutan, walau hanya sekejap.
Itu saja sudah cukup membuatku merasa bersalah.
Tapi yang lebih mengganggu adalah kenyataan kalo hanya mendengar nama Reina saja sudah cukup untuk mengguncang emosiku sampai sejauh ini.
Kesadaran itu benar-benar membuatku frustrasi.
"Ke-kenapa Senpai malah terlihat merasa bersalah?"
"Tidak, aku benar-benar minta maaf. Aku akan melakukan sesuatu untuk menebusnya nanti."
"Sebaliknya, ini harusnya tugasku! Aku yang harus melakukan sesuatu!"
"Tidak bisa. Aku saja yang akan mentraktirmu makan nanti."
"Kalo begitu, aku mau yakiniku di Jojoen."
"Itu mahal! Dan kenapa kau langsung ganti suasana begitu cepat?!"
Kalo harus membayar untuk 2 orang, jelas biayanya akan lebih mahal daripada memperbaiki layar Hp-ku yang rusak.
Kalo aku terlalu sering menghamburkan uang untuk makanan mahal, tabunganku akan cepat terkuras.
Shinohara menjulurkan lidah sambil tersenyum usil.
"Ketahuan, ya?"
"Tentu saja ketahuan. Lanjutkan ceritanya."
Aku memberi isyarat agar dia melanjutkan.
Shinohara berdeham kecil, dan atmosfer berat yang tadi sempat muncul kini sudah menghilang entah ke mana.
"Jadi, begini. Reina-san banyak bercerita tentang hubungannya dengan Senpai."
"Termasuk tentang perselingkuhan?"
"Iya. Aku bahkan menanyakan alasan kenapa dia berselingkuh, dan hal-hal lainnya yang cukup mendalam."
Jawabannya membuatku terkesan.
Bagaimanapun caranya, keberanian dan inisiatif Shinohara memang luar biasa.
"Kau benar-benar bertanya langsung pada Reina tentang itu? Apa kau tidak takut?"
"Kalo demi Senpai, hal seperti itu tidak masalah sama sekali!"
Shinohara menatapku dengan ekspresi yang sengaja dibuat imut.
Tapi sekarang, aku sudah cukup mengenalnya untuk tahu kalo itu hanya akting.
Aku tetap diam tanpa bereaksi, dan akhirnya dia menyerah dengan ekspresi muram.
"Aku pernah diselingkuhi oleh Yudou-senpai, kan? Selain itu, aku juga punya beberapa kenalan yang suka berselingkuh. Sepertinya di sekitarku memang banyak orang seperti itu."
Shinohara tertawa kecil dengan nada mengejek dirinya sendiri, lalu menarik napas panjang dengan lelah.
"Jadi, aku sudah melihat banyak orang yang seperti itu, yang berselingkuh. Tapi, Reina-san tidak terlihat seperti orang yang demikian. Itu yang membuat ku penasaran, apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana dia bisa berselingkuh."
"....Kau memang benar-benar terburu-buru, ya."
"Hehe. Terima kasih."
"Aku tidak memuji mu. Tapi juga tidak mengejek."
Salah satu hal yang baik dari Shinohara adalah kemampuannya untuk segera bertindak ketika dia tertarik pada sesuatu.
Taoi, terkadang, menyelidiki hal-hal yang bersifat pribadi atau sensitif bisa menjadi tindakan yang kurang pantas, tergantung pada situasinya.
Shinohara pasti tahu itu, karena itulah dia dengan tulus meminta maaf.
"Lalu, bagaimana menurutmu?"
Ketika aku bertanya, Shinohara meletakkan jari telunjuknya di dagunya yang kecil.
"Begini, kalo menurut ku, ini adalah cerita yang bisa diinterpretasikan dengan cara yang berbeda-beda, tergantung pada orangnya."
"Untuk referensi, bolehkah aku tahu pendapatmu?"
"Aku? Hm...yah, ada ruang untuk pengertian, mungkin? Begitulah kira-kira."
Jawabannya tidak mengejutkan.
Tadi malam, aku sempat berpikir sendiri.
Aku pikir Reina akan memberikan penjelasan mengenai perselingkuhannya.
Tapu, Reina justru mengatakan, "Hanya bisa mulai lagi dari nol." Itu berarti dia ingin memperbaiki hubungan kami.
Apa dia ingin kembali sebagai pasangan atau hanya memperbaiki hubungan sebagai teman, aku tidak tahu pasti.
Tapi yang jelas, keputusan untuk pergi begitu saja itu adalah kesalahan.
Fakta kalo aku tidak bisa berhenti memikirkan Reina sepanjang hari membuktikan hal itu.
Untuk bisa menutup babak tentang Reina dalam hidupku, aku perlu mendengarkan semua ceritanya, apapun akhirnya nanti.
"Begitu ya. Aku mengerti."
"Oh, jadi kau tidak marah?"
"Tidak, dengan kau mengatakan itu, aku merasa lega. Aku sudah memutuskan untuk mendengarkan semuanya dulu, baru bisa memulai dari sana."
Aku berkata begitu sambil berdiri.
"Aku akan pergi mendengarkan ceritanya langsung."
"Eh, sekarang?"
"Kalo ada pemikiran, segera bertindak. Aku meniru mu."
"Apa kau tidak penasaran dengan percakapan ku dengan Reina-san? Mungkin ada hal yang kurang menguntungkan bagi mu yang akan aku katakan."
Shinohara membuatku sedikit terkejut dengan pertanyaannya.
"Oh, aku tidak berpikir sampai ke situ."
"Tenang saja, aku──"
"Aku percaya padamu."
Aku mengatakannya dengan tegas, dan Shinohara terdiam, mulutnya terbuka sedikit.
"Aku percaya padamu."
Setelah mengatakannya sekali lagi, aku berbalik dan meninggalkan Shinohara.
Sudah beberapa bulan sejak aku mengenal Shinohara.
Mungkin masih terlalu cepat untuk mengatakan ini, tapi aku merasa cukup waktu telah berlalu untuk bisa benar-benar mempercayainya.
Kalo Shinohara berkata kalo itu adalah cerita yang bisa diinterpretasikan dengan cara berbeda, maka aku merasa bisa mendengarkan semuanya dari Reina terlebih dahulu.
"Terima kasih."
Aku mengucapkan terima kasih sambil mengenakan sepatu di depan pintu.
Dia memberiku kesempatan yang baik.
Kalo aku sendiri, mungkin aku akan menjauh tanpa mendengarkan, membiarkan perasaan tidak jelas ini terus membakar di dalam hatiku.
Di masyarakat, setelah berpisah dengan pasangan, mungkin banyak yang berpikir bahwa meskipun ada perasaan yang masih tersisa, yang terbaik adalah memberi jarak terlebih dahulu.
Tapi, ini adalah masalah pribadiku.
Yang penting bagiku adalah bisa merasa bahwa keputusan terakhir yang kuambil adalah pilihan yang dapat kucapai dengan kepuasan di masa depan.
Fakta kalo aku memilih sendiri akan menjadi pengalaman berharga yang bisa aku bawa untuk setiap pilihan yang akan datang.
Apa aku akan membuat setahun yang kuhabiskan bersama Reina menjadi sesuatu yang berarti, atau malah membuangnya begitu saja sebagai kenangan yang sia-sia?
Shinohara telah memberiku kesempatan untuk memilih kembali pilihan yang sebelumnya kuabaikan 2 kali.
Aku mengikat tali sepatu dan berdiri tegak.
Ketika aku hendak membuka pintu, ada perasaan hangat yang menyentuh punggungku.
Berat ringan itu mengingatkanku bahwa ada seseorang yang aku percayai, dan yang juga mempercayai aku, ada di sisiku.
"Selamat jalan, Senpai."
"...Ah, aku pergi dulu."
Aku menjawab, dan Shinohara mundur.
Tanpa menoleh, aku keluar dari rumah.
Semoga saat aku kembali, aku sudah menjadi pria yang sedikit lebih baik.
Aku berharap begitu, pikirku saat menuruni tangga yang berderak satu per satu.