> CHAPTER 9

CHAPTER 9

 Kamu saat ini sedang membaca   Unmei no hito wa, yome no imōtodeshita.  volume 1 chapter 9. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw


CERITA TENTANG BERKENCAN DENGAN ISTRIKU DAN HANYA MENGGODANYA




Aku───Chiko Towa, berjalan sendirian di tengah keramaian Chinatown. 

Aku tidak terlalu suka tempat yang terlalu ramai. 

Sambil menyelip di antara kerumunan turis yang seperti kawanan wildebeest, dan hampir menyerah pada tekanan untuk mencoba kacang panggang yang ditawarkan setiap kali berbelok, aku menemukan 2 orang.

"Daigo-kun. Shiishi!"

Shiishi sedang menatap sesuatu yang putih seperti kepompong ulat sutra dengan mata berkilau.

"Onee-sama, lihat ini. Ini disebut 'kumis naga'. Katanya ini permen."

"Wow, apa ini? Bisa dimakan?"

"Kalo dimasukkan ke mulut, ini akan meleleh. Aku belum pernah makan yang seperti ini."

Karena berasal dari keluarga yang ketat meski suka makanan manis, dia jarang makan hal-hal seperti ini. 

Mungkin Daigo-kun yang mentraktirnya di stan makanan. 

Melihat ekspresi kekanak-kanakan adik perempuan yang jarang terlihat, aku merasa hangat.

"Ah, ngomong-ngomong, Onee-sama. Kemarin aku dirawat oleh Daigo-san."

"Ya, aku sudah mndengarnya."

"Dia sangat sopan. Dia memperlakukan ku seperti kakak laki-laki sebenarnya."

Senyum lembutnya. Melihat itu, aku tahu tidak ada apa-apa di antara mereka. 

Aku malah merasa sangat malu karena pernah mencurigai sesuatu antara dia dan Daigo-kun. 

Tidak mungkin ada sesuatu di antara mereka.

"Kalo begitu, sampai nanti. Nikmati kencan kalian."

Shiishi dengan sopan mengucapkan selamat tinggal dan menghilang dalam keramaian Chinatown. 

Mungkin dia masih ingin menjelajahi makanan sambil berjalan, matanya terus melihat sekeliling. ...Yang tersisa adalah kami berdua dalam suasana yang agak canggung.

"...Emm..."

Daigo-kun bergumam. Tunggu, seharusnya aku yang bicara dulu. Begitu pikirku.

"Ini temanku. Namanya Muneyoshi. Aku memanggilnya Mii."

Aku menunjukkan layar Hp-ku. Foto Mii dengan pakaian mencolok sedang berpose.

"Hah? Perempuan?"

"Ya. Agak rumit, tapi dia perempuan. Secara biologis dia masih laki-laki, tapi secara gender, dia perempuan."

"...Oh. Mengerti."

"Mii marah padaku. Katanya, jangan menggunakan dirinya sebagai alasan. Katanya, jelaskan dengan benar."

Ketika Daigo-kun bertanya apa itu 'alasan', aku sangat bingung dan akhirnya bergumam.

"Karena Daigo-kun... hubunganmu dengan Shiishi sangat baik, kan?"

"Eh?"

"Karena aku merasa sedikit cemburu! ...Aku ini orang yang picik."

Daigo-kun menatapku langsung, tanpa bercanda, dan menjawab dengan serius.

"Maaf. Aku yang seharusnya minta maaf karena membuatmu khawatir. Tapi aku dengan Shishino-chan, tidak ada apa-apa kok."

"...Uuuuuuu."

"Eh? Kenapa tiba-tiba kau merintih?"

Karena! Aku berteriak. Apa dia akan mengerti perasaanku ini?

"Aku... aku sudah membalasmu. Aku mencoba menyakitimu. Aku terlalu menyedihkan. Terlalu memalukan. Aku mulai membenci diriku sendiri. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku adalah orang yang sekecil ini!"

"Aku... justru sedikit senang."

"Eh!? Apa kau punya fetish NTR atau sesuatu!?"

Ya, itu terlalu ekstrem bahkan untukku sebagai istrimu! Daigo-kun dengan tenang membuat wajah yang terlihat sedikit kesal───tapi tatapannya tidak terlalu kubenci───dan bergumam.

"...Towa, kau benar-benar terobsesi padaku, ya."

"Eh?"

"Aku sama sekali tidak mengerti perasaanmu. Aku bahkan sempat berpikir kalo mungkin kau tidak tertarik padaku."

"Ah... tidak..."

"Jadi, aku senang."

Baka, baka, baka. Daigo-kun baka.

(Lebih baik kau cepat-cepat membuang perempuan sepertiku ini, itu lebih baik untukmu.) 

Karena aku tidak melakukan apa pun untukmu. Aku hanya menyakitimu. Tapi dia tersenyum lembut dan berkata kalo dia senang dan memaafkanku. ...Orang ini pasti memang seperti ini. Sangat baik hati, jujur, dan sedikit bodoh. Aku tertarik pada bagian itu.

"Aku! Aku akan memberi tahumu ya!"

Aku menunjuk ke arah Daigo-kun dengan jari telunjuk, seolah menantangnya. 

Dia menatapku dengan pandangan yang terkejut. 

Aku merasa ini harus dia pahami. Meskipun sangat memalukan dan aku merasa ingin mati, ini penting.

"──Aku sangat terobsesi padamu."

"Eh?"

"Ini serius. Aku tidak pernah menunjukkannya, tapi ini lebih parah daripada orang-orang yang terobsesi biasa. Aku tidak akan pernah menunjukkannya!"

Dia terlihat bingung sejenak, lalu tersenyum kecil.

"Apa itu?"

Seperti dia baru saja mendengar lelucon yang lucu. Bukan. Ini bukan saatnya untuk bereaksi seperti itu.

"Towa kau memang menarik."

"Apa, apa sih!?"

"...Terima kasih. Aku senang kau mengatakannya."

Tidak, tidak, Daigo-kun. Ini bukan saatnya untuk senang. Kau seharusnya merasa terganggu. Dengan kekerepotanku, kekonyolanku, dan sifat burukku! Kenapa orang ini bisa seperti ini!?

"Ngomong-ngomong, Towa. Hari ini kan sebenarnya kencan pertama kita, ya?"

"U-un."

Kalo begitu, dia sedikit menghindari pandanganku dan berkata.

"...Boleh kita berpegangan tangan?"

Tanpa sedikit pun kecerdasan, aku bergumam.

(Kyu~~~uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuun?)

Dan itu benar-benar mengena di hatiku. Aku langsung terjatuh, nyaris mengalami hiperventilasi.

[TL\n: hiperventilasi, adalah kondisi ketika seseorang bernapas terlalu cepat dan dalam, yang bisa menyebabkan pusing, kesemutan, atau bahkan pingsan.]

(Seberapa parah ini? Seberapa cocok ini dengan seleraku?)

Padahal dia punya tubuh yang maskulin! Tapi dia juga begitu lembut dan... sangat menggemaskan.

"A-Apa kau baik-baik saja, Towa? Kenapa kau tiba-tiba begitu?"

"...Cuma penyakit lamaku yang kambuh."

Aku berdeham, lalu berdiri kembali.

"Kalo begitu........hmm."

"Hmm?"

Aku mengulurkan tanganku padanya.

"Ayo pergi, Towa."

Untuk pertama kalinya, aku menggenggam tangan seorang pria. 

Hangat, besar, agak kasar...membuat suaraku tercekat.

──Sambil mati-matian berusaha tetap tenang, aku mulai berjalan melewati keramaian Pecinan.

★★★

Tangan Towa terasa dingin, kecil, dan lembut.

(Kalo aku menggenggam terlalu kuat, mungkin dia akan patah.) 

Tangan seorang gadis. Ini pertama kalinya aku menggenggam tangan perempuan sejak Akane (mantan istriku). Tapi kedua tangan ini sangat berbeda. Akane selalu menggenggam erat dengan jari-jari yang saling terkait, seolah tidak akan pernah melepaskannya. Tapi Towa hanya meletakkan tangannya dengan ringan, dan kalo aku sedikit saja memalingkan pandangan, dia mungkin akan menghilang.

"Apa kau Lapar?"

"Iya. Hari ini aku belum makan apa-apa. Perutku keroncongan."

Kalo begitu, mungkin aku bisa mengajaknya ke restoran yang populer di kalangan turis.

"Tapi Towa, seingatku kau pilih-pilih makanan, kan?"

"Eh? Iya. Kau ingat padahal kita hanya bicara sedikit tentang itu."

"Kau kan istriku."

Dia menatapku dengan ekspresi tenang, lalu memalingkan wajahnya dan bergumam pelan, "Iya."

"Aku tidak suka cokelat. Tidak suka pasta. Makanan pahit semuanya sulit bagiku, dan buah-buahan tergantung."

"Tergantung?"

"Aku tidak suka buah yang ada bijinya... Oh, tapi kalo bijinya sudah dibuang, tidak masalah."

"Kau seperti seorang Ojou-sama."

Dia mendengus kecil.

"Bukan seperti itu. Waktu kecil, aku dengar ada buah yang beracun. Tapi aku lupa buah mana. Sejak itu, aku takut menjilat biji buah."

"...Imutnya."

"Kau sedang mengejekku, ya?"

"Tidak sama sekali!"

Dia punya harga diri setinggi Menara Babel, masih belum terlihat puncaknya...

[TL\n: Menara Babel adalah sebuah menara yang disebut dalam Alkitab, tepatnya dalam Kitab Kejadian 11:1-9. Menurut kisah tersebut, menara ini dibangun oleh manusia di zaman kuno di kota Babel dengan tujuan mencapai langit. Namun, Tuhan mengacaukan bahasa mereka sehingga mereka tidak dapat saling memahami, yang akhirnya menyebabkan mereka tersebar ke seluruh dunia. Kisah Menara Babel sering dianggap sebagai asal-usul keberagaman bahasa di dunia. Secara historis, beberapa orang menghubungkannya dengan peradaban kuno seperti Mesopotamia, tapi tidak ada bukti arkeologis yang pasti tentang keberadaan menara ini.]

"Kau mau makan apa? Shanghai, Beijing, Guangdong, Sichuan, Taiwan..."

"Makanan Cina? Oh iya, kita di Chinatown. Aku benar-benar tidak tahu."

"Apa kau suka makanan pedas?"

"Tidak sama sekali! Tapi Shiishi suka."

Kalo begitu, pilihan makanan Cina akan sangat terbatas.

"Aku tahu tempat yang nasi gorengnya enak. Mereka terkenal dengan nasi goreng saus kepiting."

"Kedengarannya mewah! Enak banget!"

Di akhir pekan biasanya ramai dan penuh, tapi hari ini hari Jum’at, jadi seharusnya tidak masalah.

"Tapi Daigo-kun, nasi goreng itu rasanya cukup kuat, ya?"

"Yup, benar."

"Oh begitu."

Towa diam, berpikir sejenak, lalu...

"Mungkin tidak jadi."

"Eh? Kenapa?"

"Tidak ada alasan khusus."

Aku menatapnya dengan tajam. Towa awalnya menjaga ekspresi datarnya, tapi semakin lama dia semakin malu karena tatapanku, dan mulai gelagapan. Pipinya memerah perlahan, sangat imut.

"Jangan terlalu banyak melihatku..."

"Aku akan terus melihatmu sampai kau memberi tahu alasannya."

Orang ini, meski suka menyimpan rahasia, mentalnya lemah. Jadi kalo diberi tekanan, dia akan langsung menyerah.

"...Soalnya, ini kencan pertamaku. Aku tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk ciuman."

"Eh? Ciuman?"

"Aku cuma punya pengetahuan dari drama luar negeri. Katanya, kencan pertama cium pipi. Lalu berikutnya bibir. Dan yang ketiga... itu... ehm... itu lho..."

Dia memerah dan memainkan rambutnya dengan gelisah. Imut sekali.

"Ngomong-ngomong, Towa. Apa ini kencan pertamamu?"

"Ah."

Towa baru menyadari kalo dia telah membocorkan fakta penting dan langsung merasa putus asa.

"Apa sih! Apa itu buruk!? Kalo begitu, ini kencan ke berapa buatmu, Daigo-kun?"

"...Aku kan sudah pernah menikah."

Jujur, aku tidak ingat berapa kali.

"Ya ya! Pasti Daigo-kun sangat populer, ya? Kencan dengan orang seperti aku pasti mudah sekali untukmu, seperti memutar leher bayi!"

"Maksudmu 'tangan' bayi. Tangan. Kalau leher, itu pembunuhan."

Towa mengerang dan menatapku.

(Dia tidak mau makan makanan yang rasanya kuat karena takut tidak tahu kapan akan dicium?) 

Apa-apaan sih. Imit sekali. Dia ini benar-benar gadis remaja.

"Aku sih tidak masalah."

"...Aku tidak mau Daigo-kun berpikir, 'Bibir perempuan ini masih terasa pedas'. Aku akan bunuh diri kalo sampai begitu."

Sungguh harga diri yang tinggi. Aku bahkan jadi merasa hormat. Tapi dengan tidak ada makanan pedas, tidak ada rasa yang kuat, dan pilih-pilih makanan, ini memang agak sulit. Apalagi di Chinatown, mungkin tidak banyak pilihan.

"Kau pasti berpikir, 'Perempuan ini merepotkan!'"

"Tapi justru itu yang membuatmu menggemaskan..."

"Hmph! U... i... ................ Bakaaa."

Dia menggenggam tanganku erat-erat dan bergumam dengan suara yang sangat kecil.



Akhirnya, kami makan camilan ringan di kafe dan berjalan-jalan di Chinatown. 

Towa bilang dia jarang ke sini, jadi aku mengajaknya berkeliling. 

Di tengah kerumunan turis, dia terlihat begitu mencolok karena kecantikannya, dan orang-orang meliriknya sambil lewat.

"Hei, kalian berdua! Tunggu sebentar!"

Tapi di tengah jalan, kami dihentikan oleh seorang wanita berambut pirang yang mengenakan cheongsam. 

Dia adalah salah satu penyewa toko kami, Linget Aki Hoenheim. Penampilannya tetap saja mencurigakan seperti biasa.

"Pasangan yang cantik dan tampan. Mau coba ramalan? Sekarang ada diskon khusus untuk pasangan!"

"Apa? Kau menarik pelanggan? Ah, aku sih..."

Aku pikir, meminta teman meramal tentang hubungan asmara itu sangat memalukan. 

Tapi Towa matanya berbinar-binar dan menatap pintu tempat ramalan itu.

"Ah, Towa apa kau suka hal-hal seperti ini?"

Banyak perempuan yang suka hal-hal spiritual.

"Aku suka! Seperti Ibo Aiko, Mifune Chizuko, atau John Crow!"

"Eh, kau melihat ramalan dari sudut pandang itu? Ini lebih ke okultisme."

Ibo Aiko───seorang medium yang aktif di tahun 80-an. Mifune Chizuko───seorang medium dengan kemampuan clairvoyance di abad ke-20. John Crow? Aku tidak tahu siapa itu... Siapa sih?

[TL\n: yo ndak tau, kok tanya saya.]

"Ayo kita memasuki dunia okultisme yang memikat~☆"

Kau juga serius dengan okultisme? 

[TL\n:Okultisme adalah kepercayaan dan praktik yang berkaitan dengan ilmu gaib, kekuatan supranatural, dan hal-hal yang tersembunyi atau misterius. Kata 'okultisme' berasal dari bahasa Latin occultus, yang berarti 'tersembunyi' atau 'rahasia.']

Ling mengajak kami masuk ke dalam tokonya. 

Kami melewati ruangan ramalan yang sempit dan duduk di kursi pipa kecil di depan meja kecil.

"Nah, apa yang ingin kalian ramalkan?"

"Ma-masa depan kami akan jadi seperti apa?"

"Manusia akan dihancurkan oleh AI."

Itu bukan ramalan, itu hanya omongan. Tapi Towa, yang suka hal-hal okultis (?), terlihat senang, dan itu sudah cukup baik. 

Akhirnya, kami memutuskan untuk meramalkan nasib percintaan kami seperti pasangan pada umumnya.

"Baiklah, ayo kita keluarkan kartu tarot."

"Tarot?"

"Di Chinatown, banyak orang menggunakan kartu tarot, lho."

Apa itu tidak masalah? Bukankah seharusnya pakai palm reading atau ilmu Yi Jing? Ini kan Chinatown. Tapi malah pakai sihir Barat. Ya, tidak apa-apa. Ling dengan cekatan mengocok kartu, sementara Towa menatapnya dengan antusias.

"Wah! Ini dia. Ini luar biasa!"

"Eh? Apa? Bagaimana nasib percintaan kami?"

Ling menunjuk satu kartu.

"Ini adalah kartu 'The Lovers'!"

"Hore! Kedengarannya bagus."

"Tapi posisinya terbalik."

"Hah?"

"Kartu ini menandakan patah hati atau kegagalan dalam membuat pilihan."

Apa? Jadi kami dapat kartu yang sangat buruk?

"Penyebabnya adalah... kartu 'The Tower'. Ini menunjukkan nasib buruk yang tidak bisa dihindari."

Dengan ekspresi yang tidak biasa untuknya yang biasanya selalu tersenyum, ling melanjutkan dengan wajah masam.

"Tunggu sebentar. Ehm... 'The Devil', 'Death', 'The Sun' terbalik, 'Wheel of Fortune'. ......... Ah! Di sini 'The Star' terbalik!"

Ling wajahnya pucat dan berkeringat deras.

"...Ehhhh..."

"Apa yang terjadi, Lin?"

"Ya, ramalan itu tergantung bagaimana kau menerimanya! Yang penting adalah perasaan kalian satu sama lain!"

"Seberapa buruknya sih?"

Memang, di depan kami terpampang kartu-kartu yang menyeramkan, dan kartu yang terlihat bagus semuanya terbalik. Bahkan orang awam pun bisa melihat betapa buruknya ini.

"Justru karena sangat buruk, ini seperti keajaiban. Ini seperti 'Suu Ankou' dalam mahjong atau 'Royal Straight Flush' dalam poker. Kemungkinannya seperti film live-action adaptasi manga yang sukses."

Mungkin karena sangat langka, Ringate memotret hasil ramalan itu dengan Hp-nya. Di SNS-nya, dia mempostingnya dengan caption 'wkwk'. Aku ingin memukulnya sekali.

(Nasib percintaan yang paling buruk. Tapi ya, ini cuma ramalan.) 

Aku hanya merasa seperti melihat sesuatu yang menarik. Tapi Towa wajahnya pucat.

"...'Takdir'."

"Eh?"

───Merespons gumaman Towa, dia tersenyum kecil dan menggelengkan Kepala, dan dia mengatakan tidak ada apa-apa.

★★★

Kami melanjutkan kencan kami. Kami melihat seni trik di Yokohama World Porters, pergi ke sisi Ishikawacho untuk melihat furnitur. 

Kami naik Sea Bass di Yamashita Park dan menikmati pemandangan laut, lalu turun di Minato Mirai untuk menonton film. 

Yokohama memang tidak pernah kehabisan tempat kencan.

Saat sekitar kami mulai gelap. Kami naik roda observasi untuk melihat pemandangan malam.

"..........."

Towa menatap ke bawah dengan ekspresi datar.

(Sejak ramalan tadi, dia terlihat kurang bersemangat.) 

Mungkin hasil ramalan itu benar-benar mengejutkannya. 

Kalo dipikir-pikir, dulu saat aku dan Akane (mantan istriku) mengundi omikuji...

『Daigo-kun, boleh aku melihat omikuji-mu? Mana...mana... nasib percintaan────'Mungkin lebih baik melihat ke arah lain'?』

Dia tersenyum lebar.

"Ayo kita ke kuil lain☆"

Tanpa banyak bicara, dia membawaku ke kuil yang jaraknya 1KM dan memaksaku mengundi omikuji lagi. 

Saat itu, aku menganggapnya sebagai kecemburuan yang lucu dan menerimanya dengan tertawa.

(Tapi, kenapa aku memikirkan perempuan lain saat sedang kencan?)

Sekarang, aku harus fokus pada Towa. Aku menggelengkan kepalaku perlahan dan mengusir pikiran yang tidak perlu.

"Towa, boleh aku pindah ke sebelahmu?"

"Eh?"

Di dalam kapsul roda observasi, kami duduk berhadapan. 

Tanpa menunggu jawabannya, aku pindah dan duduk di sebelahnya. 

Bahu kami bersentuhan. Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya. Aroma manis yang lembut tercium.

"Funya."

Towa terkejut sejenak, tapi dia segera menatapku dengan tajam.

"...Kau sudah terbiasa. Cara mendekati perempuan."

"Apa-apaan sih?"

"Kau pasti sering melakukannya dengan mantan istri atau mantan pacarmu."

Tidak. Maksudku, ya, tapi... topik seperti ini sebaiknya tidak dibahas, jadi lebih baik aku mengalihkannya. 

Dia mengamati ekspresiku sebentar, lalu tersenyum seolah bercanda dan segera memalingkan pandangannya.

"Daigo-kun."

"Apa?"

"Kalo aku bilang... aku masih punya rahasia... apa kau masih mau tetap menikah denganku?"

"Eh?"

"Bukan hanya tentang tunanganku. Aku punya sesuatu yang ku sembunyikan dari Daigo-kun."

Towa bergumam dengan wajah sedih. Aku merasakan sakit yang menusuk di hati dan bertanya.

"Apa itu... sebenarnya kita belum menyerahkan surat nikah?"

"Tidak, sudah. Secara hukum kita suami istri."

"...Apa kau sudah menikah dengan orang lain?"

"Ka-kau tahu aku bahkan belum pernah punya pacar!"

Hmm. Apa ya? Aku mulai bingung. Towa menatapku dengan wajah khawatir.

"Aku melakukan sesuatu yang cukup tidak biasa."

"...Oh ya?"

"Sesuatu yang kalo orang lain tahu, mereka akan menunjukku."

"Ya."

"Sebenarnya, ini adalah sesuatu yang seharusnya aku bicarakan dengan Daigo-kun sejak awal."

Banyak masalah muncul di kepalaku. Dari caranya berbicara, ini pasti sesuatu yang serius.

Di ujung pandanganku, terhampar pemandangan malam Yokohama yang indah. 

Tapi, yang ada di mataku hanyalah gadis di depanku. 

Ekspresinya seperti anak yang tersesat. Aku tidak ingin melihatnya seperti itu, jadi aku langsung berbicara.

"...Bagaimana kalo aku yang bercerita tentang rahasiaku dulu?"

"Eh? Apa?"

"Dulu aku pernah bermain band. Kami bahkan merilis beberapa album."

Towa membelalakkan matanya dan terkejut. 

Aku mencari nama band lamaku di Hp-ku dan menunjukkannya padanya. 

Sambil mendengarkan lagu dari 8 tahun lalu yang sudah ditonton 120 ribu kali di YouTube, Towa bergumam.

"Wow. Ahaha, apa ini? Punk rock?"

"Ya. Sangat kuno, kan? Ketinggalan zaman."

"Ini rahasiamu?"

"Ya. Hampir tidak ada temanku yang tahu ini."

Aku tidak malu. Saat itu, aku benar-benar berusaha keras.

"Aku serius ingin mencapai puncak. Tapi ya, gagal total."

"Heh..."

"Aku memulainya saat kuliah. Salah satu lagu kami sempat viral. Seorang komedian membahasnya di radio. Lalu kami merilis album. Bahas masuk Oricon juga, meski di peringkat bawah."

Itu adalah kenangan masa muda yang membekas. Saat itu, kami merasa semua orang dewasa adalah musuh yang menipu anak-anak. Kami menyanyikan lagu-lagu kekanak-kanakan dengan penuh semangat. Sungguh, itu adalah masa yang sangat menyenangkan.

"Awalnya, kami cukup populer. Kami disebut sebagai kelompok penyair yang bisa menyentuh hati. Setiap konser selalu penuh. Fans kami juga sering berteriak histeris. ...Lalu, aku jadi sombong."

A"pa yang kamu lakukan?」

「Aku drop out dari kuliah. Aku bilang, 'Aku akan hidup hanya dengan gitar!' Sungguh bodoh, kan?"

"...Heh."

"Orang tuaku marah besar. Mereka bilang, kalo aku tidak kembali ke kuliah, mereka akan memutuskan hubungan mereka denganku."

Towa menatapku dengan tenang. Tapi kali ini, ekspresinya tidak seperti biasanya yang selalu menyembunyikan sesuatu. 

Dia menatap mataku dengan tajam, seolah menelan setiap kata yang kuucapkan.

"Aku pikir, 'Aku akan membuktikan diri dan membuat mereka menyesal!' Tapi lihatlah hasilnya."

"Apa hubunganmu dengan orang tuamu masih buruk?"

"Aku mengundang mereka ke pernikahanku dengan Akane. Mereka datang. Kami berbicara dengan canggung... tapi hanya itu saja."

Tidak ada reuni yang mengharukan seperti di TV. Kami tidak tahu harus bicara apa, jadi kami berpura-pura tidak ada masalah. Sampai sekarang, kami jarang berkomunikasi.

"Lama-kelamaan, band kami tidak lagi dilirik. Kau tahu, industri hiburan itu seperti masyarakat konsumen. Aku merasa tidak dibutuhkan lagi... pada dasarnya, aku tidak punya cukup bakat."

Bahkan saat kami serius membuat MV, itu tidak sampai 7.000 views. Itu sangat menyakitkan.

"Untuk sementara waktu, aku seperti pengangguran. Hidup bergantung pada orang lain. Sekitar setahun. Aku mencoba kerja paruh waktu, tapi tidak bertahan lama..."

"Daigo-kun?"

"Aku tidak cocok... dengan apa ya, mungkin dengan masyarakat. Tapi itu terdengar seperti aku menganggap diri sebagai korban. ...Aku sendiri tidak terlalu mengerti. Bahkan sekarang, hidupku masih berantakan."

Pada akhirnya, aku bekerja sebagai penjaga apartemen dan kadang-kadang sebagai detektif yang mencurigakan. 

Kedua pekerjaan itu bisa dilakukan sendirian. 

Aku sudah mencoba menjadi karyawan berkali-kali. Tapi di mana pun aku bekerja, aku selalu gagal dan akhirnya tidak diterima.

"...Daigo-kun kau terlalu jujur."

"Hm?"

"Kadang-kadang, itu membuatmu tidak cocok dengan lingkungan. Aku bisa mengerti."

Oh, begitu. Towa mengerti. Aku merasa senang karena itu. Tapi entah bagaimana, aku sudah merasakannya. Dia juga seperti aku, tidak pandai dalam hal-hal seperti itu.

"Pokoknya, hidupku juga berantakan. Aku kasih tahu, Towa, masih banyak hal yang aku sembunyikan darimu."

"Eh! Masih ada lagi?"

"Tentu saja. Hidupku penuh dengan rasa malu..."

Seperti saat aku bekerja sebagai boy di tempat spa dan tergantung pada seorang gadis, lalu akhirnya ditusuk. Rasanya ini cukup untuk dirahasiakan, kan? Hidup itu panjang dan rumit, setiap orang pasti punya sepuluh atau dua puluh hal yang tidak bisa diceritakan.

"Setiap orang punya rahasia. Aku bukan orang yang cukup hebat untuk menyangkalnya."

"......."

"Tidak masalah kalo kau berbohong. Apa pun itu."

"Ya."

"Tapi aku adalah suamimu. Aku ingin mengatasi segala rintangan bersamamu. Kalo kau juga menginginkannya."

Aku menggenggam tangannya. Tangan kecil dan dingin. Towa juga menggenggam tanganku, sambil tangan satunya memegang lenganku.

Aku terkejut melihat ekspresinya yang tidak biasa, seperti sedang bergantung padaku.

"──Aku sebenarnya masih SMA."

Aku benar-benar terkejut dengan pengakuan bom waktu itu.


★★★


"Terima kasih banyak~ Hati-hati di bawah, silakan turun~"

Dipandu oleh seorang pekerja paruh waktu yang terlihat seperti mahasiswa, aku dan Daigo-kun turun dari roda observasi. 

Langkahnya goyah, dan dia hampir terjatuh, tapi aku menahannya.

"..............."

Daigo-kun masih seperti patung, membeku sepenuhnya. Aku mulai merasa khawatir.

"Apa kau baik-baik saja?"

"...Eh? Apa? Ah, tidak. Iya, baik-baik saja. Tidak masalah."

Sambil berkata begitu, dia mencoba mengusap keringat di dahinya dengan dompetnya. Aku memberikan saputangan kepadanya.

(Sepertinya dia benar-benar shock.)

Begitulah ekspresi seseorang ketika tahu kalo istrinya ternyata masih SMA. 

Aku sudah siap dimarahi dengan suara keras. Ini kan penipuan usia. Penipuan sungguhan. Ini jelas-jelas kejahatan, kan?

"...........Uh,"

Dengan tatapan kosong, Daigo-kun memiringkan kepalanya dan menatapku.

"Jadi, Towa, berapa umurmu sekarang?"

"Aku? 17."

Seventeen. Di usia yang paling gadis, bisa dibilang.

"Bagaimana bisa kau mengajukan surat nikah?"

"Aku juga pikir petugas kantor catatan sipil akan menolak, tapi ternyata lancar saja."

Ini adalah sisi baik dari birokrasi. Selama dokumennya lengkap dan tidak melanggar hukum, biasanya akan disetujui. Daigo-kun terlihat pucat, tapi dia menutup matanya rapat-rapat dan bergumam, "Oke."

"...Mengerti."

"Hah?"

"Oke. Mengerti. Aku... baik-baik saja."

"Baik-baik saja?"

"Aku sangat ketakutan, tapi sekarang sudah baik-baik saja. Itu saja."

Dia tersenyum. 'Mengerti'. Hanya itu? Seberapa besar hati orang ini?

"Aku pikir kau akan bilang kah tidak bisa menikahi anak SMA."

"Ah───. Tidak, aku memikirkannya. Kalo ini orang lain, aku pasti akan berpikir, 'Orang macam apa yang menikahi anak SMA?' Tapi... bagiku, Towa bukan 'anak SMA'. Kau adalah 'Towa'."

"Un."

"Sudah kubilang, kan? Apa pun rintangannya, kita akan mengatasinya."

Ah. Pasti ini alasannya. Kejujurannya. Kebenarannya pasti berbeda dari kebenaran yang dilihat orang lain. 

Kurasa ini alasan kenapa dia tidak bisa benar-benar cocok dengan masyarakat. Pasti sulit baginya untuk hidup seperti ini.

"Ngomong-ngomong, hari ini kan hari kerja. Kenapa kamu tidak sekolah?"

"...Aku tidak masuk sekolah."

"Ada masalah? Kalo ada yang membullymu, aku akan mengatasinya."

Dia bisa mengatakannya dengan santai. Orang ini memang sedikit aneh. Bukan cuma bilang, 'Coba ceritakan.' Tapi langsung, 'Aku akan mengatasinya.' Aku tersenyum kecut dan bergumam.

"Tidak, hanya malas saja."

"Tidak boleh. Kau harus pergi sekolah."

"Apa sih? Begitu tahu aku masih kecil, kau langsung bertingkah seperti orang dewasa!"

"Penghasilanku tidak stabil, jadi aku butuh istri yang punya pekerjaan yang layak."

"...Alasan yang buruk sekali."

Dia tersenyum seperti bercanda, dan aku tidak bisa menahan tawa.

"Ehm... kalo begitu, aku suka seragam sekolah. Aku punya fetish realistis, jadi───"

"Aku tidak mau ikut-ikutan dengan fetish aneh macam itu!"

Kami berjalan berpegangan tangan di jalanan Yokohama yang malam. Di kota tepi laut yang dipenuhi dengan roda observasi berwarna-warni, kami menyusuri kerumunan orang. 

Untuk pertama kalinya hari ini, aku merasa, 'Aku sedang berkencan dengan orang ini'. 

Jantungku berdebar-debar sejak tadi, tapi sekarang, debarannya terasa nyaman.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau ingin aku sekolah? Ijazah itu cuma sebatas kertas saja sekarang."

"Towa. Kalo kau tidak sekolah, apa ada yang ingin kau lakukan?"

"...Tidak juga."

"Kalo begitu, lebih baik kau sekolah. Mungkin kau akan menemukan sesuatu yang menarik."

Alasan seperti itu saja sudah cukup. Daigo-kun tersenyum lembut, dan aku merasa sangat senang ditatap matanya seperti itu. Kalo dia yang bilang, mungkin aku akan bersekolah. Tapi entah kenapa, aku juga tidak mau! Aku jadi seperti perempuan yang perlahan-lahan terpengaruh oleh pacarnya.

"Kalo begitu, aku akan sekolah. Tapi sebagai gantinya, boleh aku mengajukan satu syarat?"

"Apa?"

"...Aku ingin tinggal bersama Daigo-kun dengan benar."

"!"

Hubungan kami yang samar-samar. Sudah waktunya untuk memperjelasnya. Aku yang selalu takut dan tidak bisa melakukan hal sederhana ini, akhirnya merasa mantap karena kata-katanya.

"──Aku benar-benar ingin menjadi istrimu."

Membuka hati sejati itu menakutkan. Terutama untuk orang sepertiku. Tapi, kalo dengannya, aku bisa. Untuk bisa bersama orang yang benar-benar aku cintai, aku bisa melakukan apa pun.

"Mulai sekarang, aku ingin hidup sebagai istrimu dengan sungguh-sungguh. Bisa tetap di kamarmu yang sekarang, atau pindah ke mana pun. ...Asalkan bisa bersamamu, aku akan pergi ke mana pun."

"...Padahal kau kabur hanya karena dikira kentut?"

"Apa sih──!!"

Ya, itu memang benar, tapi... Aku bahkan belum pernah menggunakan toilet di kamar Daigo-kun. 

Tapi, aku punya tekad untuk berusaha. Karena aku adalah istrinya. 

Suatu hari nanti, aku ingin bisa lebih natural di hadapannya. 

Daigo-kun tersenyum dengan santai, seolah tidak ada masalah, dan memperhatikanku.

"Towa."

"Apa?"

"Kau sangat Imut."

"Ku pukul nih!"

Dasar suami bodoh ini! Aku sedang berusaha mati-matian untuk mengatasi rasa maluku, dan dia malah menggodaku! 

Meski terkena pukulan lemahku, Daigo-kun tetap tertawa terbahak-bahak. Aku kesal. Tapi entah kenapa, aku merasa bahagia. Perasaan seperti ini baru pertama kali. Perasaan hangat dan lembut.

──Karena itu, aku merasa sulit mempercayainya, dan akhirnya bertanya dengan suara pelan.

"Daigo-kun... Bagaimana kalo sebenarnya aku bukan orang yang ditakdirkan untukmu?"

Dia menggenggam tanganku.

"Towa adalah orang yang ditakdirkan untukku."

Aku berharap begitu. Sambil menahan tangis, aku berdoa dengan kuat.



Malam itu, kami menghabiskan waktu bersama di kamarnya menonton Netflix.

(Padahal kami baru bertemu dua hari yang lalu.)

Anehnya, ini terasa sangat nyaman. Seperti kami sudah bersama sejak sebelum lahir. ...Ya, meski setiap kali bahu kami bersentuhan atau tangannya menyentuh pahaku, jantungku berdebar kencang dan hampir copot. 

Aroma tubuhnya yang terus tercium dari samping membuatku gelisah. Tapi. Rasanya. Nyaman.

"Sudah waktunya bersiap-siap tidur. Towa, kau bisa mandi dulu."

"Oke, mengerti. Nanti aku akan merawatmu lagi, Daigo-kun."

Kondisi kaki Daigo-kun belum pulih sepenuhnya. Aku pikir aku harus merawatnya saat mandi seperti dua hari lalu. Dia kesulitan bahkan untuk berendam di bak mandi sendiri───tapi...

"Tidak."

Dia menolakku. Aku tidak bisa menahan sedikit senyum.

"Daigo-kun, kau malu, ya? Kita kan suami istri, tidak perlu khawatir."

"Bukan itu."

"Kalo begitu, kau ingin bersantai sendiri di kamar mandi? Aku mengganggu?"

"Bukan itu juga."

Dia terlihat sedikit bingung. Setelah mengamati ekspresiku, dia menghela napas.

"Aku juga laki-laki. Kalo kau terlalu merawatku... aku tidak bisa menahan diri."

Daigo-kun mengalihkan pandangannya dengan malu. Aku mencerna kata-katanya selama beberapa detik sebelum akhirnya mengerti apa yang dia maksud. 'Tidak bisa menahan diri.' Maksudnya, itu? Seluruh tubuhku terasa panas.

"Ja-jangan bicara begitu tiba-tiba!"

"Towa, kau tidak suka hal seperti itu, kan?"

"Aku suka!"

"Padahal kau selalu kabur."

Ya, betul, aku tidak suka! Aku bisa tertawa terbahak-bahak melihat adegan berdarah di film horor, tapi aku takut dan memutar cepat adegan mesra di film! Tapi demi menjaga gengsi, aku berusaha keras untuk tetap bersikap tegas.

"Aku sama sekali tidak masalah. Aku tidak akan kabur. Karena kita suami istri."

"Hahaha, pasti tidak mungkin. Towa, kau bahkan takut untuk ciuman, kan?"

".............................Aku bisa."

Dia tersenyum sedikit, lalu mengambil tanganku. Aku bisa merasakan keringat mengucur deras dari seluruh tubuhku.

"Kalo begitu, ayo kita coba."

Daigo-kun melingkarkan tangannya di pinggangku dan membelaiku dengan lembut. 

Jantungku berdebar kencang, bukan main. 

Seperti ada lonceng alarm yang berdering di kepalaku. 

Tubuhku membeku, tidak bisa bergerak. 

Wajahnya semakin dekat. Ciuman? Benarkah kami akan melakukannya? Seperti yang dilakukan putri-putri di cerita? Benarkah?

"Ah."

Aku menutup mataku rapat-rapat.

"............."

Tapi, meski sudah menunggu lama, tidak ada sentuhan di bibirku. Saat aku membuka matanya, dia sedang tersenyum.

"Towa, kau terlalu takut. Kau hampir menangis."

"...~~~~~"

Aku akhirnya mengerti situasinya. Aku menepuk-nepuk bahu Daigo-kun.

"Baka! Dasar Daigo-kun bakaaa!"

"Maaf, hahaha. Tapi sekarang kau mengerti, kan?"

Jantungku masih berdebar kencang, dan tubuhku masih terasa panas.

"Towa. Aku tidak ingin membuatmu takut. Mari kita pelan-pelan, oke?"

"........Ya."

Dia pergi untuk mempersiapkan kamar mandi. Aku ditinggalkan sendirian di kamar. Aku menempelkan tanganku di dadaku yang masih berdebar-debar. Tubuhku terasa panas, seperti sedang direbus.

(Kalau tadi... dia benar-benar menciumku...)

──Aku mungkin sudah mati karena jantungku berdebar terlalu kencang. Jujur, itu menakutkan. Aku juga merasa lega karena dia tidak menciumku. Tapi...

(...Daripada dicium, lebih baik aku mati.)

★★★


Saat Towa keluar dari kamar mandi, dia mengenakan piyama yang lucu.

"Imutnya."

Towa menjulurkan lidahnya. Dia terlihat malu dipuji seperti itu. Dia yang sedang malu-malu itu sangat imut, jadi aku akan terus memujinya.

"Aku akan mematikan lampu."

Melihat Towa sudah masuk ke dalam futon, aku mematikan lampu. 

Hanya cahaya bulan yang samar-samar menerangi ruangan. 

Saat aku masuk ke dalam futon, aku bisa merasakan tubuhnya yang tegang karena gugup.

(Kalo dia sampai takut seperti ini, aku pasti tidak akan bisa menyentuhnya...) 

Aku benar-benar bisa merasakan ketakutan seorang gadis terhadap pria. Aku tidak ingin membuat Towa takut. Lagipula dia masih SMA, tidak pantas bagiku untuk memulai sesuatu. Ini adalah masalah yang harus kita bicarakan ketika dia merasa siap.

(...Aku sendiri terkejut dengan kekuatan bertahanku.)

Towa cantik. Dia menyukaiku. Dan tubuhnya yang matang bahkan melebihi orang dewasa. 

Setelah menghabiskan sehari bersamanya dan tidur bersama... aku benar-benar bertahan. ...Aku berusaha. 

Aku pernah mendengar kalo kehidupan pernikahan selalu memiliki rintangan, tapi aku tidak menyangka akan seperti ini.

"Daigo-kun."

"Apa?"

"Kenapa kau menghadap ke sana?"

Aku membelakangi Towa. Kupikir dia juga melakukan hal yang sama, tapi ternyata tidak. Saat aku berbalik, rambut depannya menyentuh pipiku. Aku tidak sengaja menahan napas.

"Ada apa?"

"...Tidak ada."

Dia baru saja mandi. Aromanya sangat harum. Warna kulitnya terlihat samar-samar dari balik piyamanya yang longgar. Dengan tatapan yang manja, Towa menatap ekspresiku dengan tajam.

"Kencan hari ini, berapa nilainya?"

"...Hah?"

"Menurut Daigo-kun. Kencan hari ini. Berapa nilainya?"

Dia mulai lagi dengan pertanyaan yang merepotkan, istriku ini.

"Tentu saja 100 poin. Aku senang hanya dengan berada bersamamu."

Aku tidak tahu. Apa dia akan bilang, 'Jangan bilang begitu!' atau 'Padahal kencannya sangat buruk?' Atau bahkan, 'Lebih menyenangkan mana dibandingkan kencan dengan mantan istrimu?' Towa mungkin akan melakukannya. Tapi dia hanya menggeliat sambil mengamati ekspresiku.

"Aku, aku..."

"Ya?"

"...Tidak 100 poin."

Dia bergumam dengan suara kecil. Melihatku yang khawatir, Towa buru-buru berkata, "Bukan hal yang buruk."

"Kencannya menyenangkan. Sangat. Aku... Daigo-kun selalu memperhatikanku. Kau baik. Aku merasa akan dihargai mulai sekarang. Kau sangat gentleman... Malah aku, aku tidak ingat apa yang aku bicarakan. Aku hanya takut, apa Daigo-kun tidak menikmatinya?"

"Aku sangat menikmatinya. Towa, melihatmu tidak pernah membosankan."

"Apa, apa maksudmu..."

Dia sedikit mencibir dan merajuk. Bagian itu juga menggemaskan, dan aku hampir tidak bisa menahan dorongan aneh yang muncul. Ini bukan hal yang bisa dianggap candaan.

"Jadi, kencan pertamanya sendiri bagus. Tapi... tidak 100 poin."

"Ya."

"Kau ingat apa yang aku katakan di awal?"

Aku tidak tahu. Saat aku menatapnya dengan penuh tanya, dia gelisah dan matanya berkeliaran.

"Aku, aku bilang, kan? Aku melihatnya di drama luar negeri."

"Ah."

"...Di kencan pertama, cium pipi. Di kencan ke-2, cium bibir. Di kencan ke-3... itu... itu. ...Ah. Tapi bagaimanapun... ini kencan pertama."

Melihat Towa yang wajahnya memerah dan berkeringat, aku mengerti maksudnya. Aku sedikit gugup, berpikir kalo mengatakan sesuatu akan merusak momen, jadi aku hanya mendekatkannya padanya.

"Hiyaaa! Bukan, bukan, bukan. Jauh... terlalu dekat, terlalu dekat!"

"...Maaf. Kupikir itu yang kau maksud."

"Bukan itu! Maksudku, benar. Benar, tapi... bukan itu!"

Hanya karena hampir dicium pipi, dia langsung membuat wajah seperti ingin menangis dan tidak bisa menatapku. Dia sangat pemalu untuk zaman sekarang.

"Bukan Daigo-kun. ...Bolehkah aku yang memulainya?"

"Eh?"

"Kalo begitu. Aku merasa bisa memberanikan diri."

Setiap kali dia ketakutan atau aku dihindari oleh Towa, aku sempat berpikir, 'Apa dia membenciku?' 

Tapi aku segera menyadari kalo sebenarnya dia sedang berusaha menghadapiku dengan jujur. 

Itulah kenapa aku tidak terlalu khawatir dengan kehidupan pernikahan yang aneh ini.
 
Itulah alasan kenapa aku merasa bisa menjalaninya dengan baik bersamanya.

"Ya. Aku mengerti. Silakan. Aku sangat menantikannya."

"Ah... Ka-kalo kau bilang begitu, aku jadi gugup!"

Dia benar-benar lemah mental.

"Daigo-kun. Tutup matamu."

Aku menuruti permintaannya. 

Awalnya jantungku berdebar kencang, tapi karena menunggu terlalu lama, kegugupanku mulai mereda. 

Aroma dan kehangatan tubuhnya membuatku tenang, dan perlahan kantuk mulai menguasai pikiranku.

"...Akhirnya tertidur. Sekarang, kesempatanku."

Bibir lembutnya menyentuh pipiku. Dia tersenyum kecil.

"Cium. Cium... cium~~? Aku cinta... sangat mencintaimu, Daigo-kun. ...Cum?"

Dia mencium pipiku berkali-kali. Tapi tetap saja, dia tidak mencium bibirku. Itu sangat khas dari Towa, pikirku. Tak lama kemudian, dia tidak hanya mencium, tapi juga mulai menjilat pipiku seperti anak anjing yang manja.

"Lick. ...Lick... Daigo-kun...? Hmph? Aku suka...?"

Suaranya yang lembut dan mengantuk. Usagi, ternyata dia bisa mengeluarkan suara seperti ini.

"...Kalo kau terus tidur seperti ini, aku bisa lebih jujur."

Istriku ini benar-benar keras kepala dan sombong. Aku tidak masalah jika dia selalu seperti ini, malah aku senang. 

Aku tidak bisa menahan diri dan akhirnya tertawa kecil.

"Eh?"

Ah, sial. Buruk.

"Daigo-kun. Apa kau... tidak tidur?"

"......................... Hehe, tidak, tidak. Maaf. Itu..."

"~~~~~~~~~~~~~~"

──Usagi memerah padam dan mulai memukul dadaku dengan lembut.

(Ah. Aku bahagia. Aku berharap bisa seperti ini selamanya.)



(Huh. Sepertinya ini pernah terjadi sebelumnya.)

Aku teringat. Sudah lama sekali aku pernah merasakan hal seperti ini. Merasakan cinta. Merasa bahagia. Berharap kuat bahwa kehidupan sehari-hari seperti ini akan berlanjut. 'Dia' tidak sepenakut Towa, tapi...

(Apa yang aku janjikan padanya?)

Dalam pikiranku yang setengah tertidur, aku merasakan gravitasi yang tak tertahankan. Besarnya gravitasi itu bahkan tidak mengizinkanku untuk memalingkan pandangan. Aku bermimpi. Mimpi yang sangat indah. Aku tidak bisa melarikan diri.

──Denting lonceng berbunyi.






Posting Komentar

نموذج الاتصال