> LAST TRUN

LAST TRUN

Kamu saat ini sedang membaca   Senpai, watashi to shōbu shimashou. Tokimeitara makedesu! Iya shi-kei yōjo kōhai VS bujin-kei senpai  volume 1  chapter 6. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw



AKU AKAN MERASAKAN ITU SENPAI


"Karena itulah, mohon kerja samanya." 


"Hmmm, maaf, tapi itu tidak mungkin." "Itu memang tidak mungkin."


Pagi hari setelahnya, ketika aku meminta bantuan kepada Tsukimi-san dan Mariya-chan, inilah jawaban mereka.


"Kenapa begitu, kalian ber-2?! Aku kira kalian ber-2 setidaknya akan membantu untuk tujuan ini!"


Aku yang langsung mendekat, merasa bingung dengan penolakan mereka. 


Dengan cara yang agak jarang, Tsukimi-san akhirnya berbicara.


"Ya, sebenarnya aku merasa sedikit bersalah, tapi...aku sudah bergabung dengan klub."


Mariya-chan yang berada di sampingnya pun mengangguk. 


"Aku juga... Maaf, tapi kali ini coba cari yang lain."


Dengan nada yang sedikit canggung, dia berkata begitu.


Di sekolah ini, karena klub ganda dilarang, kalo seseorang sudah tergabung dalam sebuah klub, mereka tidak bisa diundang untuk bergabung dengan klub lain. 


Entah kenapa, kebijakan sekolah ini mengharuskan fokus pada satu klub saja agar bisa mencapai kesuksesan... atau semacam itulah. 


Tapi, itu sangat tidak perlu. 


Bahkan kalo seseorang fokus pada 


'Klub Pemajangan Barang Bukti Pencuri Pakaian yang Ditangkap' (yang sudah berdiri selama 6 tahun), mereka hanya akan menjadi orang dengan kecenderungan aneh tingkat tinggi setelah 3 tahun.


Aku merasa sangat kecewa mendengar jawaban seperti itu dari ke-2 orang yang ku harapkan. 


Hmmm, karena aku sangat mengharapkan bantuan mereka, rasanya sangat mengejutkan.


"Omong-omong, kalian ber-2 bergabung dengan klub apa?"


"Itu adalah rahasia. Mungkin akan menjadi plot twist di volume berikutnya kalo kelanjutan terbit."


"Pandanganmu lebih manis dari gulab jamun...!"


[TL\n:Gulab Jamun adalah salah satu jenis makanan penutup tradisional yang populer di kawasan Asia Selatan, seperti India, Pakistan, Nepal, dan Bangladesh. Makanan ini terbuat dari adonan berbahan dasar susu (khoya atau susu bubuk) yang dibentuk menjadi bola kecil, digoreng hingga kecokelatan, lalu direndam dalam sirup manis yang biasanya beraroma kapulaga, mawar, atau air saffron. Teksturnya lembut dan kenyal, dengan rasa yang manis dan kaya, menjadikannya pilihan favorit untuk perayaan, acara khusus, atau sebagai camilan manis.]


Aku sudah bilang untuk tidak membuat cerita yang akan membuat aku merasa sangat malu kalo itu selesai dalam 1 volume.


"Sebetulnya, kali ini memang direncanakan untuk selesai dalam 1 volume, jadi tidak akan ada kematian tragis. Lebih penting lagi, Kuon-kun, kalo kita bicara tentang pandangan yang terlalu manis... Apa kau yakin semuanya baik-baik saja?"


"Ma-maksudmu?"


"Kan kau sudah membuat janji seperti itu dengan ketua OSIS..."


Mendengar kata-kata Tsukimi-san, aku bingung dan memiringkan kepalaki, dan Mariya-chan yang duduk di sebelah ku melanjutkan.


"Jumlah minimum anggota klub itu 6 orang."


"6 orang!? Itu lebih banyak dari jumlah tokoh yang ada dalam cerita ini!"


"Serius, kau tidak tahu?"


Aku tidak tahu. Aku pikir kalo aku mengumpulkan 1 atau 2 orang lagi, itu mungkin masih bisa diatasi.


Melihat ku yang memegangi kepalaku, Mariya-chan pun terlihat sedikit ragu.


"Hei, dengan Ku-chan dan Fudo Paisen sebagai 2 orang, lalu mengumpulkan 4 orang dalam waktu seminggu... Apa itu mungkin?"


"Kalo harus mencari 4 karakter baru sekarang, itu pasti sangat sulit dalam berbagai arti..."


Tsukimi-san menggumam dengan wajah serius. 


Aku juga berpikir keras dengan seluruh IQ-ku──


"...Mungkin kita mulai dengan membuat lembar karakter dulu?"


"Bagaimana kalo statusnya ditentukan dengan 3D6?"


[TL\n: 3D6 adalah istilah yang sering digunakan dalam permainan tabletop role-playing games (TTRPG), seperti Dungeons & Dragons. Ini merujuk pada melempar tiga dadu bersisi enam (6-sided dice) dan menjumlahkan hasilnya. 3: Jumlah dadu yang dilempar.D: Singkatan dari "die" (tunggal) atau "dice" (jamak). 6: Jumlah sisi pada setiap dadu. Hasil 3D6 berkisar antara 3 (minimum) hingga 18 (maksimum), dengan kemungkinan hasil rata-rata sekitar 10,5. Metode ini sering digunakan untuk menentukan atribut karakter atau hasil suatu aksi dalam permainan.]


"Aku pikir profesinya bisa jadi siswa sekaligus pemburu dengan kemampuan khusus. Karakter ini tinggal di dunia bawah tanah, tapi menyembunyikan identitasnya dan bersekolah di SMA, dan ternyata ada hubungan dengan dojo milik keluarga senpai."


"Jangan mencoba lari dari kenyataan, kalian ber-2."


"Itu sakit, Mariya-chan."


"Bukankah itu sakit, Hourai-kun?"


Meskipun kami, aku dan Tsukimi-san, mengajukan protes terhadap tindakan kekerasan (yang detailnya sengaja aku sembunyikan), Mariya-chan tetap menghela napas dan menatap ku.


"Jangan memikirkan hal bodoh, kita harus memikirkan cara untuk mengumpulkan anggota klub dengan serius. Waktunya sudah mepet."


"Ugh, benar juga... Meski peristiwa pembubaran klub memang klise dalam cerita bertema klub, tapi seharusnya tidak sampai dibubarkan karena alasan seburuk ini."


Mariya-chan mengangguk dengan ekspresi serius. Meskipun seringkali dia terlihat seperti itu, dia selalu tahu bagaimana mengatur keadaan dengan baik pada saat-saat seperti ini, dan itu adalah salah satu hal yang membuatnya begitu luar biasa.


"Tapi sebenarnya, bagaimana ya? Pada waktu seperti ini, para siswa baru pasti sudah bergabung dengan klub-klub mereka, kan?"


"Benar juga..."


Aku dan Mariya-chan mengeluh, lalu Tsukimi-san mengangkat tangannya dan membuka mulut.


"Pada saat seperti ini, mungkin lebih baik untuk tidak memikirkan sesuatu yang rumit, dan justru mengikuti cara yang lebih sederhana."


"Caranya yang lebih sederhana?"


"Misalnya, coba promosi di depan gerbang sekolah saat waktu pulang. Dengan keimutan Kuon-kun, pasti akan menarik perhatian banyak orang."


"Oh, itu seperti yang ada di 'SunaSuna' pada episode rekrutmen anggota klub! Yang pakai kostum dan membagikan selebaran!"


"Aku sih belum pernah melihat orang melakukannya..."


Mariya-chan mengeluh dengan mata setengah tertutup, dan Tsukimi-san mencibir.


"Jadi, apa kau punya ide lain, Hourai-kun?"


Ditegur seperti itu, Mariya-chan langsung merasa tersudut. Dia berpikir sejenak dengan memiringkan kepala, lalu berkata,


"...Mungkin pasang selebaran di papan pengumuman sekolah?"


"Itu biasa saja, Hourai-kun."


"Itu juga biasa, Mariya-chan..."


"Ah, sudah lah! Bahkan Hourai-chan juga bilang harus pakai cara yang sederhana!"

 

Setelah berteriak sambil memerah, Mariya-chan mencebik dengan ekspresi agak canggung. 


Di depan ke-2 orang tersebut, aku membuka mulut sambil menyilangkan tanganku.


"Memang benar kalo melakukan hal secara normal itu penting, tapi jika kita ingin mengumpulkan orang dalam waktu singkat, kita pasti membutuhkan sesuatu yang menarik dan mencolok, kan?"


"Benar... Selain itu, karena ini adalah klub sastra, rasanya akan lebih baik kalo kita tetap menjaga ciri khas klub sastra juga."


Tsukimi-san mengangguk-angguk. Mendengar kata-kata kami, Mariya-chan membungkukkan kepalanya.


"Ciri khas klub sastra, menarik, dan mencolok? Apa itu mungkin?"


Mendengar perkataannya, alh menutup mata dan berpikir sejenak—


"Sudah aku mengerti! Kita akan menulis bokep novel dan membagikannya!"


"Aku bodoh sudah bertanya..."


Mariya-chan menghela napas dengan bahu terkulai mendengar ide ku yang brilian. Hm, kenapa ya?


"Kalo kita membagikan bokep novel, para siswa laki-laki di sekolah ini pasti akan langsung bergabung. Ini adalah ide yang luar biasa berdasarkan diskusi kita sebelumnya."


"Sensei akan langsung menangkap kalian."


"Itu juga sudah aku pertimbangkan. Aku akan melindungi sarang cinta ku dengan Senpai."


"Keberanian yang tidak berguna sungguh menyilaukan..."


Tsukimi-san mengangguk-angguk sambil mendengarkan presentasi ku,


"Hebat! Seperti yang dikabarkan, anak jenius yang melompat kelas dan ikut MENSA... Pemikiran yang luar biasa. Kalo boleh menambahkan, untuk bagian yang hot, jangan terlalu digambarkan, cukup tulis 'Lanjutkan setelah bergabung!' agar lebih menguntungkan secara komersial."


[TL\n: MENSA adalah organisasi internasional yang bertujuan untuk mengumpulkan individu dengan tingkat kecerdasan tinggi, yaitu mereka yang memiliki skor IQ di persentil 98 atau lebih tinggi pada tes kecerdasan yang diakui.]


"Begitu ya, Tsukimi-san, itu sangat membantu..."


"Hehe, itu tidak seberapa. Ngomong-ngomong, apa ini hanya untuk pria?"


"...? Apa maksud mu?"


"....Ah, lupakan saja."


Melihat ku yang mengerutkan kening, Tsukimi-san hanya mengatakan itu dan mundur. 


Kalo bukan untuk pria, mungkin untuk wanita? 


Kadang-kadang, apa yang Tsukimi-san katakan cukup sulit dimengerti.


Bagaimanapun, arah perencanaan mulai sedikit lebih jelas. 


Aku dan Tsukimi-san yang penuh semangat── tapi,


"Eh... maaf mengganggu saat kalian sedang semangat, boleh aku bertanya sebentar?"


Yang tiba-tiba menginterupsi adalah Mariya-chan.


"Ada apa? Jangan khawatir, kalo sudah dimulai, tidak bisa dihentikan."


"Sejujurnya, aku tidak berniat menghentikan, tapi... Ku-chan, apa kau pernah menulis novel sebelumnya?"


"Tentu saja belum, tapi aku rasa aku bisa melakukannya. Lagipula, alu seorang jenius."


"......Berapa banyak halaman yang kau rencanakan untuk bukunya?"


"Pokoknya aku akan mengikuti alur cerita. Aku akan menunggu karakter untuk berkembang."


"............Bagaimana dengan desain bukunya? Dan tenggat waktunya? Lagipula, dengan waktu seperti ini, ini pasti fanzine, kan?"


"Fanzine? Aku tidak begitu paham, tapi kalo aku memberitahunya ke tempat percetakan, mereka pasti bisa mencetaknya menjadi buku, kan?"


"............KAWAIIIIII!!!"


Tiba-tiba, teriakan keras dari Mariya-chan membuat ku dan Tsukimi-san terkejut dengan ekspresi yang jarang terlihat, kaget dan kebingungan.


"Hei... jangan berteriak begitu dengan ukuran font yang besar! Itu bukan cara yang tepat dalam penulisan novel!"


Mariya-chan menggelengkan kepala dengan gemetar, tidak peduli dengan tatapan dari seluruh kelas, bahkan tidak menghiraukan apa yang ku katakan.


"Sudahlah. Dengarkan baik-baik, Ku-chan, Horai-chan. Membuat fanzine itu tidak semudah itu! Kita harus mengatur jadwal dengan cermat, memeriksa tenggat waktu percetakan berbulan-bulan sebelumnya, mempertimbangkan diskon untuk pemesanan lebih awal, dan merencanakan semuanya dengan hati-hati. Kalo bisa membuat buku dengan ide yang begitu saja, tidak ada yang akan kesulitan!"


"Mariya-chan..."


Aku dan Tsukimi-san terdiam mendengar kalimat panjang yang diucapkan dengan cepat. 


Rasanya, menaikkan standar seperti itu justru membuat pemula menjadi ciut dan ragu... Tapi, aku bahkan tidak bisa berkata apa-apa, karena aku takut.


"...Meskipun begitu..."


Setelah selesai berbicara, dengan napas terengah-engah, Mariya-chan menatap ki dengan tajam──


"Kalo memang kalian bersedia melewati jalan yang penuh tantangan seperti itu, aku akan membantu, Ku-chan."


"Mariya-chan..."


Dengan wajah yang anehnya terlihat segar, dia mengulurkan tangannya. 


Aku pun mengangguk perlahan dan membalas,


"Tapi rasanya akan sangat sulit, jadi aku akan memilih untuk melakukannya dengan cara yang biasa saja."


★★★


Setelah pelajaran, di ruang klub sastra.


Seperti biasa, aku duduk di bagian belakang ruangan, menghadap ke jendela—dan tanpa melakukan apa-apa, aku hanya menatap jarum jam yang bergerak perlahan.


Biasanya, baik itu lebih awal dari lu atau tidak lama setelah bel berbunyi, Kuon sudah akan berlari masuk ke ruangan ini. 


Tapi hari ini, dia belum muncul.


Atau mungkin—aku rasa hari ini dia tidak akan datang. 


Mengingat apa yang terjadi kemarin, aku merasa begitu sambil berdiri dari kursi ku.


Di dalam ruangan yang agak gelap ini, aku merasa malas untuk menyalakan lampu, jadi aku mengambil satu buku acak dari rak dan mulai membaca.


Waktu setelah pelajaran yang hening dan tenang. 


Biasanya, ritme membalik halaman itu tercipta dari kami ber-2, aku dan Kuon, tapi hari ini, hanya ada suara ku sendiri, yang membuatnya terasa sangat monoton.


Aku bahkan tidak begitu ingat buku apa yang aku ambil. 


Meskipun aku mencoba membaca, aku merasa tidak bisa fokus dan informasi yang ku baca tidak masuk ke kepala ki.


Akhirnya, aku menutup buku yang belum selesai ki baca dan berdiri tanpa tujuan, lalu mengalihkan pandanganku ke luar jendela.


Dari sini, aku bisa melihat halaman depan sekolah dan gerbang sekolah dengan jelas. 


Pada jam seperti ini, siswa-siswa yang tidak mengikuti klub sepertinya sudah pulang, dan aku bisa melihat mereka berjalan menuju pintu gerbang.


Suara hiruk-pikuk mereka terdengar samar sampai ke sini, dan saat aku mengalihkan pandanganku, aku melihat sekumpulan orang yang anehnya berkumpul di dekat gerbang sekolah.


Aku memusatkan perhatian dan mencoba melihat sosok yang ada di tengah kerumunan itu... Ternyata, di sana aku bisa melihat Kuon, bersama 2 temannya yang sepertinya sedang membagikan selebaran.


Aku katakan 'sepertinya' karena, entah kenapa, Kuon mengenakan kostum Maid yang sangat mencolok, sementara ke-2 temannya mengenakan kostum rusak yang sulit dikenali—apa itu kelinci atau kucing—di sebelahnya.


"....Apa yang mereka lakukan, ya?"


Aku bergumam pelan sambil hampir merasa putus asa. 


Tapi, aku juga sudah tahu jawabannya.


Kemungkinan besar... bahkan hampir dipastikan, mereka sedang melakukan itu sebagai bagian dari kegiatan perekrutan anggota klub sastra.


Pasti mereka melakukannya dengan sangat serius.


Aku terus mengamati mereka yang sedang membagikan selebaran.


Mungkin karena pakaian mereka yang mencolok, dan memang Kuon sendiri sangat terkenal di sekolah ini, para siswa yang lewat memberikan pandangan penasaran pada mereka—tapi, hanya sedikit yang benar-benar mengambil selebaran tersebut.


Ya, mungkin begitulah. 


Sebenarnya, kalo mereka sudah berusaha tampil sekeras itu, pasti ada banyak orang yang justru tidak ingin terlibat.


Tidak mungkin ada yang ingin bergabung dengan klub setelah melihat itu... dan bagi ku, itu justru lebih baik.


Saat aku menghela napas, aku melihat Kuon yang tanpa sengaja menjatuhkan selebaran yang dia pegang.


Sungguh mengerikan. 


Sekian banyak selebaran tersebar di seluruh area, dan Kuon serta 2 temannya yang mengenakan kostum hewan berusaha keras mengumpulkannya.


Untungnya, beberapa siswa yang sedang pulang juga terlihat membantu, tapi dengan keadaan seperti itu, sepertinya mereka sudah tidak bisa lagi melanjutkan pembagian selebaran.


Aku pun kembali menghela napas dalam-dalam dan mengalihkan pandanganku dari jendela.


"Seharusnya mereka berhenti saja, itu lebih baik."


Pada akhirnya, hari itu aku tidak bertemu dengan Kuon sama sekali.


★★★


Sejak itu, setiap hari, aku melanjutkan kegiatan perekrutan yang penuh kesabaran di waktu setelah pelajaran.


Pada akhirnya, aku mengikuti saran Tsukimi-san tentang membagikan selebaran kepada siswa yang pulang sekolah, dan juga mengikuti ide Mariya-chan untuk menempelkan pengumuman di papan pengumuman.


Ternyata, Mariya-chan yang seharusnya tidak terlihat seperti orang yang ahli dalam hal desain ternyata memiliki pengetahuan yang mendalam dalam bidang tersebut, dan dia berhasil membuat selebaran perekrutan yang cukup rapi pada sore hari pertama. 


Terkadang, bakat seseorang memang tidak bisa dilihat dari penampilannya.


Setelah itu, kami menyiapkan selebaran dan, karena Tsukimi-san dan Mariya-chan menawarkan untuk membantu selama 1 minggu ini dengan meninggalkan kegiatan klub mereka, kami pun mulai membagikan selebaran bersama-sama.


Dengan mengenakan kostum yang Tsukimi-san pinjamkan dari klub kami, serta pakaian maid mini dengan rok pendek yang sangat mencolok (dan jika dipikirkan dengan tenang, kenapa ukuran pakaian maid ini pas sekali untuk ku? Ini SMA, kan?), kami pun mulai membagikan selebaran.


Tapi── hasilnya, kami mengalami kekalahan yang sangat memalukan.


──.


"....Aduh, aku tidak menyangka hasilnya akan kosong begini..."


Pada hari ke-5, sore ini, setelah jam pulang sekolah yang sibuk berlalu, aku kembali ke ruang kelas dan menundukkan kepalaku di atas meja, menghela napas panjang.


"Memang dunia ini jauh lebih kejam dari yang ku bayangkan..."


"Seharusnya setidaknya ada satu orang yang datang, sih."


Tsukimi-san dan Mariya-chan mengeluarkan napas panjang sambil melepas kepala kostum mereka dan menggumamkan kalimat itu.


Aku sangat berterima kasih kepada ke-2 orang yang telah menemani ku setiap hari, tapi hasil ini tetap sangat menyakitkan.


Aku menatap selebaran yang ada di tangan ku dan mengeluh.


"Selebaran yang Mariya-chan buat benar-benar sangat bagus, meskipun bisa dibilang begitu..."


"Terima kasih. ...Tapi ya, pada akhirnya, hasilnya begini juga. Ah, sial."


Mariya-chan mengangkat bahu dengan lesu. 


Aku rasa, dia adalah orang yang sangat baik karena bisa merasa kecewa seperti ini, seolah itu masalahnya juga. 


Tapi, karena aku selalu bersikap tsundere padanya, aku tidak berniat mengungkapkannya secara langsung.


...Sungguh, Mariya-chan dan Tsukimi-san sangat antusias membantu ku.


Tapi, meskipun begitu, hasilnya seperti ini—sejujurnya, aku rasa sebagian besar kesalahan ada pada ku.


Sebagai putri dari keluarga konglomerat besar dan seorang gadis jenius yang melompat kelas, kalo ada seseorang seperti itu di sekolah yang sama dengan ku... bagaimana seharusnya orang-orang memperlakukan ku?


Kemungkinan besar, hampir tidak ada orang yang akan berusaha mendekatkan diri dengan ku.


Dalam fiksi, seringkali ada gambaran kalo banyak orang yang mendekat dengan harapan mendapatkan keuntungan, atau untuk 'memanfaatkan situasi' ... begitu juga dengan orang-orang yang kadang bertemu di acara sosial yang dihadiri ayah ku.


Tapi── di sekolah biasa seperti ini, hal tersebut tidak berlaku.


Justru, orang seperti ku yang dianggap 'istimewa' sering kali dianggap sebagai 'barang asing' dan dihindari. 


Tidak banyak orang yang ingin terlibat dengan ku dan mendapatkan perhatian yang tidak perlu.


Begitulah pemikiran ku, sampai──


"Eh!?"


Tiba-tiba, kepala kostum kelinci yang besar mendekat beberapa sentimeter dari hidung ku.


"Kuon-kun, sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu yang terlalu serius dan tidak perlu, ya?"


"Hah? Ah, tidak, maksudku..."


Suara Tsukimi-san terdengar dari balik kepala kelinci. 


Dengan nada suara yang jarang terdengar marah—sesuatu yang tidak biasa bagi dirinya yang selalu tenang—aku sedikit bingung, tapi akhirnya aku mengangguk perlahan dan jujur.


"Ya... sedikit sih."


"Sepertinya kau sedang menyuarakan monolog yang membosankan, jadi aku terpaksa ikut campur. Pembaca kali ini sepertinya tidak menginginkan hal seperti itu."


"Ah, aku rasa itu tidak begitu... Bukankah perkembangan serius yang tiba-tiba di bagian tengah Rom-com itu sudah menjadi hal yang biasa?"


"Semua orang hanya memasukkannya untuk menutup cerita, bukan karena itu yang benar-benar diminta."


Aku pikir itu tergantung pada orangnya... tapi aku memilih untuk diam dan membaca suasana.


Setelah menarik kepala kelinci, Tsukimi-san menghela napas kecil dan kemudian tersenyum sambil melanjutkan.


"...Memang, situasi seperti ini membuatmu merasa sedikit terpuruk, tapi tetap saja, itu tidak boleh terjadi. Kuon-kun, wajahmu yang tersenyum itu yang terbaik."


"Benar juga. Kalo Ku-chan cemberut begitu, itu mbuat ku geli."


"Tsukimi-san, Mariya-chan..."


"Di zaman sekarang, sales yuri juga penting, jadi kita harus menciptakan suasana yang baik seperti ini, kan?"


Tsukimi-san memang sedikit merusak suasana dengan komentar itu, tapi berkat mereka, aku mulai merasa lebih baik.


Melihat wajah ku, Tsukimi-san mengangguk dan perlahan bangkit dari kursinya.


"Mau ke mana?"


"Hari ini, rasanya sudah waktunya untukku kembali ke klub. Aku sudah beberapa hari tidak hadir."


"Aku juga akan pergi."


Mariya-chan juga berdiri dan keduanya keluar dari kelas.


"Jadi, sampai nanti."


"Semangat, Ku-chan... Mungkin masih ada harapan."


Mereka melambaikan tangan dan pergi, sementara aku tersenyum dan membalas lambaian mereka.


"Terima kasih, kalian ber-2."


Setelah itu, aku yang tinggal sendirian di dalam kelas, beberapa menit kemudian mulai termenung sambil menatap ke luar jendela, kemudian tiba-tiba menyadari sesuatu.


Ternyata, dalam beberapa hari terakhir, aku terlalu fokus pada kegiatan perekrutan dan sama sekali belum pergi ke ruang klub.


"...Apa yang harus aku lakukan?"


Meskipun aku bisa pergi untuk melakukan perekrutan lagi, tapi sebagian siswa yang pulang sudah pasti telah pulang, dan tidak ada lagi siswa yang terlihat akan pulang. 


Jadi, kalo aku pergi, kemungkinan keberhasilannya sangat tipis.


Dengan begitu, aku memutuskan—mungkin hari ini, setelah sekian lama, tidak ada salahnya untuk menghabiskan waktu yang tersisa di ruang klub bersama senpai.


Dengan kesimpulan itu, aku pun memutuskan untuk kembali ke ruang klub setelah mengambil pakaian ganti.


★★★


Ketika aku menuju ruang klub sastra, pintunya terbuka.


"...Riya?"


Aku mengintip ke dalam, dan setelah melirik ku, senpai itu dengan pelan menggumamkan kata-kata itu, lalu kembali memusatkan perhatian pada buku yang sedang dibacanya.


Aku hendak mengatakan sesuatu kepada senpai, tapi aku tidak menemukan kata-kata yang tepat, jadi aku pun duduk di posisi biasa ku sambil sesekali mencuri pandang pada senpai.


Dalam keheningan, senpai terus membalik halaman bukunya.


Pemandangan itu tidak berbeda dari biasanya. 


Semua terasa biasa saja, seperti biasanya.


Lalu aku pun memutuskan untuk berbicara kepada senpai.


"Senpai, ...itu..."


"Tentang pembubaran klub, kan?"


"..." Aku terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. 


Alu mulai memutar kata-kata dalam kepalaku ku, tapi senpai lebih dulu membuka mulut.


"Sepertinya kau sudah berusaha keras untuk mengumpulkan anggota klub, ya."


"...Iya. Tapi, semuanya gagal. Teman-teman ku juga ikut membantu, tapi tetap saja tidak ada yang bergabung..."


"Ya, memang begitu. ...Tapi, itu wajar. Mengumpulkan anggota baru di waktu seperti ini memang sulit."


"Wajar?"


Senpai menjawab dengan tenang, kata-katanya terdengar sangat formal, bahkan terkesan acuh tak acuh. 


Hal itu membuat ku merasa kesal dan tanpa sengaja aku berdiri, mendekati senpai, dan berkata dengan nada tinggi.


"Tidak bisa begitu saja dianggap wajar! Kalo begini, tempat dan waktu yang membuat ku bisa bersama dengan senpai akan hilang begitu saja, kan!?"


Ini situasi yang buruk bagi ku. 


Ini seperti manisan yang terbuat dari 100% jus buah (lol). 


Seperti otak. 


Tapi meski aku tahu itu... semua kata yang terlintas di benakku adalah menyalahkan senpai


Dalam keadaan penuh rasa benci terhadap diri sendiri dan terdiam karena kehilangan kata-kata—itulah saat kejadian tersebut.


Terdengar suara ketukan pintu, kemudian, "...Aku akan membukanya—eh, apa?" Dengan kata-kata sepihak, ketua OSIS masuk.


"Eh... Maaf kalo aku mengganggu, kalo kalian sedang sibuk..." 


"Tidak apa-apa... Apa itu terkait dengan masalah yang kemarin?" 


Melihat aku yang sedang menangis, ketua OSIS terlihat ragu dan mundur sedikit, tapi Senpai menjawab dengan begitu.


Melihat sikap keduanya, aku memiringkan kepalaku dengan pikiran yang sedikit lebih jernih meski masih menangis. 


"Umm... Apa yang bisa aku bantu, ketua OSIS? Aku rasa batas waktunya masih cukup jauh, kan?" 


Karena aku sendiri belum sepenuhnya bisa mengatur perasaan, suara ku terdengar sedikit lebih tajam. 


Tapi, ketua OSIS sepertinya tidak terlalu mempermasalahkannya, dan berkata, "Justru itu. Pembicaraan tentang itu sudah selesai." 


"Sudah selesai? Seperti itu—" 


"Oh, bukan maksudku begini." 


Ketua OSIS berkata sambil mengangkat sebuah map dengan dokumen di bawah lengan, lalu melanjutkan dengan sebuah desahan. 


"Yang selesai itu adalah pembicaraan tentang pembubaran klub. Lihat ini." 


"...Hah?"


Aku tidak bisa mengikuti perubahan mendadak itu dan mengeluarkan suara itu. 


Aku menggosok-gosok mata ku, lalu dengan seksama melihat dokumen yang ada di tangan ketua OSIS. 


Ternyata, seperti yang dia katakan—di sana memang ada tulisan yang menyatakan izin untuk melanjutkan eksistensi klub sastra, lengkap dengan stempel izin dari OSIS. 


Sambil menatap lembaran kertas itu dalam keadaan terdiam, ketua OSIS menghela napas kecil, memandang senpai dengan tajam, lalu tersenyum sinis. 


"Aku benar-benar. Aku terkejut, Ketua Fudou—ternyata kau menyimpan kartu truf seperti itu." 


"Kartu truf?"


Saat aku mendongakkan kepalaku, Ketua OSIS itu mencoba untuk membuka mulutnya dengan senyum ceria yang tidak terbayangkan sebelumnya, berbeda dari ekspresi dinginnya yang biasa, tapi setelah melirik ke arah senpai, dia mengangkat bahu dan menggelengkan kepalanua.


"....Sebaiknya aku tidak melakukannya. Kalo kau ingin tahu, tanya saja langsung ke orangnya. Sampai jumpa."


Dia mengatakan itu, lalu meletakkan dokumen itu di meja dan berbalik dengan cepat — sebelum dia pergi, seolah teringat sesuatu, dia mengeluarkan suara "Ah", lalu melanjutkan.


"....Kuon Riya-san, sepertinya menggunakan kondom saat kalian melakukan itu adalah ide yang bagus. Pastikan kalian mengunakan dengan benar kalo kalian akan melakukannya."


Setelah mengatakan itu, dia meletakkan sekotak kondom di atas meja, kemudian pergi dengan langkah cepat.


──.


Sekarang, aku yang tertinggal dalam kebingunganku ini, hanya bisa berteriak kosong ke ruang yang ditinggalkan Ketua OSIS.


".....Eh, pengendalian kelahiran pakai kondom itu tidak bisa, loh!"


Setelah mengucapkan itu, aku menatap dokumen di atas meja, lalu mengalihkan pandanganku ke senpai di sebelahku.


Kupikir kegiatan kami akan dibubarkan, tapi Ketua OSIS datang dan bilang "Pembubaran dibatalkan"? Kami sama sekali tidak berhasil mengumpulkan anggota untuk klub ini, lalu kenapa?


Pikiran-pikiran penuh tanda tanya berputar di kepala, dan aku mendekati senpai dengan penuh keingintahuan.

 

"Senpai, ini sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kau akan menjawab, kan?"


Mendengar pertanyaanku, senpai mengerutkan keningnya dalam-dalam, kemudian dia menghela napas kecil, dan mengangguk.


"...Iya. Tapi jika memungkinkan...aku harap kau tidak merasa kecewa setelah mendengarnya."


"Kecewa?"


Aku menatapnya dengan bingung, dan Senpai pun menatapku dengan serius, lalu dia melanjutkan dengan ekspresi yang semakin berat.


"Pertama-tama, izinkan aku untuk mengakui sesuatu. Aku menulis novel dengan nama 'Kuroko'."


".....Apa?"


Mau tak mau aku mengeluarkan suara bodoh, tapi kurasa mau bagaimana lagi. 


Siapa yang tidak terkejut mendengar hal seperti itu?


★★★


"....Ehm, jadi senpai, 'Kuroko' sensei? Maksudmu penulis dari 'SunaSuna'... itu?"


Beberapa detik setelah pengakuan senpai, aku mengulanginya dengan pelan. 


Senpai perlahan, namun pasti, mengangguk.


"Ah, benar."


"Jadi, senpai yang menulis romansa manis dengan hati yang sangat bersemangat itu?"


"....Itulah yang terjadi."


"Dan yang ada di bagian penutup, di mana penulis dan karakter dalam cerita berdiskusi dan karakter dalam cerita memukul penulis itu, itu juga senpai?"


"Benar, tapi jangan dibicarakan lebih jauh..."


Senpai mengangguk dengan wajah penuh rasa tidak nyaman. 


Aku pun, sambil menyilangkan tangan, menggelengkan kepalaku sambil tertawa kecil.


"Ahaha, lelucon yang bagus. Senpai memang pandai bercanda."


"Ngomong-ngomong, ini akun ki di situs novel."


Senpai menunjukkan layar Hp-nya, yang menampilkan akun 'Kuroko' sensei. 


Melihat tata letaknya, itu jelas adalah tampilan layar saat dia sedang login.


"....Serius?"


"Ah, iya. Sejujurnya...aku sebenarnya tidak berniat memberitahunya sampai detik terakhir."


Sambil menggerutu, senpai mulai menceritakan semua yang terjadi.




──Sejak dulu aku suka menulis cerita, dan ketika aku masih di SMP, aku mencoba memposting 'SunaSuna' di situs novel. 


Tidak disangka, dalam waktu singkat, cerita itu berhasil diterbitkan menjadi buku.


Tapi, karena isi cerita tersebut, aku merasa malu untuk mengatakannya secara terbuka. 


Yang lebih penting lagi, aku tidak ingin merusak citra karya ku, jadi aou terus menulis sebagai penulis tanpa mengungkapkan identitas ku.


Tapi──ketika masalah pembubaran klub muncul, aku berpikir kalo aku mengungkapkan kepada OSIS kalo aki adalah penulis yang sudah terkenal, aku bisa memperlihatkan nilai klub ini dan membantu mempertahankan klub sastra. 


Itulah sebabnya aku mengungkapkan kenyataan itu kepada ketua OSIS.


Sebagai tambahan, ternyata dia juga penggemar 'SunaSuna', dan akhirnya, semuanya berjalan dengan lancar hingga seperti ini.


"....Jadi begitulah ceritanya."


Setelah selesai menceritakan semuanya, senpai menundukkan kepalanya dengan sedikit canggung dan membersihkan tenggorokannya.


Aku yang mendengarnya akhirnya menyadari fakta tersebut sebagai kenyataan. 


Artinya, di depan ku sekarang ada penulis dari karya yang sangat aoi kagumi. 


Dengan cepat, aku duduk dengan tegak di kursi yang ada di sekitar kami.


"Ah, ha, eh, maksud ku, Kuroko-senpai... eh, maksudnya, Kuroko-sensei!"


"Seperti biasa, cukup panggil aku 'senpai'. Aku tidak nyaman dengan yang lain, dan lebih penting lagi, kalo orang luar mendengarnya, itu akan jadi masalah."


"Jadi, senpai... eh, sebenarnya aku...aku adalah...penggemar berat 'SunaSuna'!"


"Kenapa kau tiba-tiba berbicara dengan gaya yang terputus-putus... Maksudku, sebenarnya aku sudah tahu itu tanpa perlu diberitahukan."


Dengan mengangkat bahunya, senpai tersenyum tipis dan berkata,


"...Melihatmu membaca dengan begitu senangnya setiap hari di depanku, itu benar-benar memberiku semangat."


Ketika dia mengatakannya seperti itu, aku benar-benar merasa kebingungungan.


"Ahhhhh, itu... benarkah!? Ehehehe..."


Aku sendiri bahkan tidak sempat berpikir dengan jelas saking tidak stabilnya perasaan ku. 


Kalo senpai memang Kuroko-sensei, maka ada banyak sekali hal yang ingin aku tanyakan, tapi... sekarang aku harus memberi prioritas.


Aou memaksakan diriku untuk menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk menenangkan diri, lalu aku menatap senpai.


"...Emm, senpai. Aku percaya kalo senpai adalah Kuroko-sensei. Tapi...kalo begitu, apa tidak masalah kalo senpai akhirnya mengungkapkan hal yang sudah kau sembunyikan selama ini, meskipun demi kelangsungan klub?"


Mendengar pertanyaan ku, senpai sedikit mengangkat bahunya dan berkata,


"Tidak. Sejujurnya, aku pikir kalo klub sastra ini dibubarkan, itu tidak masalah bagiku."


Aku terkejut dengan jawabannya, tapi aku tetap menunggu senpai melanjutkan.


Dengan ke-2 tangan disilangkan dan pandangan sesekali mengarah ke luar jendela, senpai melanjutkan pembicaraannya.


"Meski klub ini hilang, itu tidak akan mengubah hubunganku denganmu. ...Malah, kalo aku terlalu keras kepala untuk mempertahankan klub ini, bisa jadi orang-orang akan mulai meragukan hubunganku denganmu—begitulah yang kupikirkan."


"Ah..."


Seorang pria dan wanita, 2 orang siswa SMA, di klub sastra, setelah sekolah. 


Tidak mungkin tidak ada yang terjadi... seperti itu.


Ketua OSIS memang agak khusus, tapi dari sudut pandang orang luar, wajar kalo ada yang curiga kalo kami sedang sibuk dengan hal-hal yang kurang pantas. 


Bahkan, itu satu-satunya kemungkinan yang bisa dipikirkan.


"Aku tidak mengatakan seperti itu,"


"Tolong jangan beri komentar pada narasi dalam teks."


Senpai menggaruk kepalanya dengan ekspresi wajah canggung, dan aku menjawabnya dengan senyum kecil.


"Senpai benar-benar mengkhawatirkan ku, ya?"


"...Kalo ada rumor aneh tentangmu karena aku, aku akan merasa malu."


Senpai menghindari tatapan ku dan sedikit terdiam (meskipun perubahan ekspresinya sangat tipis), lalu dia menyandarkan dagunya dan menghela napas kecil.


"Bagaimanapun, itulah alasannya. Aku sebenarnya tidak masalah kalo klub sastra ini dibubarkan. ...Aku tidak menyangka kau begitu ingin klub ini terus berjalan."


Mendengar kata-kata senpai, aku terkejut sejenak.


"Jadi, senpai mengungkapkan rahasia ini karena...aku bilang aku ingin klub sastra ini terus ada?"


"Melihatmu berusaha keras seperti itu, rasanya tidak pantas kalo aku tidak melakukan apapun... Sebagai pacarmu, itu akan memalukan."


[TL\n: btw gua ingetin lagi ya, si Kuon ni masih 11 tahun.]


Senpai menghindari pandangan ku dan mengatakan itu dengan sedikit malu.


"....Hei, Riya. Apa kau kecewa?"


Senpai mengucapkan kata-kata itu pelan, tanpa menatapku, dan aku sedikit bingung lalu memiringkan kepala.


"Kecewa? Kenapa begitu?"


"Kau pernah bilang kan, kalo kau menghormati penulis 'SunaSuna'. Tapi—"


Di situ senpai ragu sejenak, tapi akhirnya dia melanjutkan perkataannya, seolah dia sudah memantapkan hati.


"...Saat dibuka, ternyata ini seorang pria besar dan kasar dengan wajah yang tegang. Jauh berbeda dengan gambaran gadis cantik yang kau harapkan."


Senpai membalikkan badan dan terdiam. 


Punggungnya terlihat anehnya lebih kecil dan terkesan lebih rapat dibandingkan biasanya—dan tanpa sadar, aku pun tertawa.


"...Kenapa kau tertawa?"


"Tentu saja aku tertawa. Karena senpai yang besar dan kekar ini malah mengatakan hal-hal yang terkesan feminin."


Setelah mengatakan itu, aku menyahut dengan senyum setengah bingung dan setengah tidak setuju. 


Lalu, aku mengangkat bahu dengan sikap santai.


"Sejujurnya, kalo aku bilang aku tidak kecewa, itu pasti bohong."


"Ah..."


"Karena gaya penulisan 'Kuroko-sensei' itu benar-benar penuh dengan cerita cinta yang sangat manis dan penuh dengan elemen feminin. Bahkan dalam laporan terkini, dia memposting foto dengan tulisan 'Minum teh susu tapioka★' yang penuh dengan nuansa Instagram gadis-gadis, kan?....Itu semua ternyata palsu sebagai 'Kuroko-sensei'?"


"Tidak, itu memang benar."


"Serius?"


"...Jangan salah paham. Aku hanya ikut-ikutan karena diajak oleh saudara perempuanku untuk mengambil foto itu, itu bukan hobiku."


Senpai membantah dengan cepat, dan matanya kali ini terlihat sangat serius.


Kemudian, dengan ekspresi yang jarang terlihat, senpai menundukkan bahunya dan menghela napas pelan.


"...Tapi memang benar. Pada akhirnya, aku telah terus menyembunyikan kenyataan darimu. Jadi, wajar kalo kau kecewa. Aku benar-benar minta maaf..."


"Tunggu sebentar, senpai. Kenapa senpai yang harus minta maaf?"


Aku menghentikannya, dan senpai menatapku dengan ekspresi bingung.


"Kenapa? Aku telah menyembunyikan sesuatu darimu..."


"Memang senpai menyembunyikannya, tapi bukan berarti senpai berbohong, kan?"


Aku bertanya, dan setelah hening sejenak, senpai mengangguk kecil.


"...Benar. Untuk itu, aku bersumpah."


"Kalo begitu, senpai tidak perlu merasa bersalah."


Aku berkata dengan tegas, dan senpai terlihat kebingungan.


"Tapi kau bilang, kau kecewa padaku..."


"Jangan mengganti kata-kata ku, senpai. Yang aku katakan adalah, aku kecewa. Dan itu...bukan pada senpai, melainkan pada diri ku sendiri."


Sambil berkata demikian, aku menghela napas kecil.


"Aku sangat menyukai senpai. Aku juga sangat menyukai 'Kuroko-sensei'. Tapi aku sama sekali tidak menyadari rahasia senpai, bahkan sedikit pun. Hanya itu yang membuat ku menyesal..."


Aku berkata sambil perlahan mendekatkan diriku pada senpai, yang terlihat bingung, dan kemudian aku melanjutkan,

 

"Tidak apa-apa kok, Senpai. Senpai... Kuroko-sensei, adalah orang yang sangat baik seperti yang saya kira. Senpai tetaplah orang yang saya sukai dan kagumi."


Aku menjawab dengan senyum lebar.


Terkejut dengan jawabanku, Senpai tersentak.


"...Begitu ya."


Hanya itu yang dia gumamkan, lalu dia tersenyum lega, melepaskan ketegangan di bahunya.


Kepada Senpai seperti itu, aku bertanya.


"Bagaimana? Apa jawaban ini membuatmu berdebar?"


"....Ah. Sangat berdebar."



Hasil akhir: 2 VS 3 〈Pertandingan tambahan──Pemenang: Riya Kuon〉


──.


"...Ngomong-ngomong, Senpai. Ada satu hal yang ingin kutanyakan."


"Apa itu?"


"Ketua OSIS bilang dia penggemar 'SunaSuna'."


"Benar."


"Berarti kalo 'SunaSuna' punya sedikit lebih banyak deskripsi seksual, kita bisa menyelamatkan korban pendidikan jasmani yang menyimpang seperti ketua OSIS itu, kan?"


"Jangan bicara yang aneh-aneh dalam novel untuk semua usia, jangan."


Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال