> PROLOG

PROLOG

 Kamu saat ini sedang membaca   Unmei no hito wa, yome no imōtodeshita.  volume 1 Prolog. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw



Dunia seakan telah hancur. ── Begitulah pikirku.


"Ughhhh..."


Aku memuntahkan isi perutku di pinggir jalan.


"Kau minum terlalu banyak, dasar bodoh."


"Mana mungkin aku tidak minum dalam keadaan seperti ini!"


Temanku, Yen Shihan ── seorang wanita berbadan mungil yang mengenakan mantel besar, hanya bisa menghela napas.


"Di pesta pernikahan, kau bertemu dengan mantan istrimu. Itu saja, kan?"


"...Dia bersama seorang pria."


"Akane-san sudah bercerai selama 3 tahun, kan? Wajar kalo dia punya pasangan baru."


"Apa...apa dia akan menikah lagi? Sementara aku akan selamanya sendirian!"


"Astaga, merepotkan sekali..."


Hari ini adalah pernikahan seorang teman lama. Saat menghadiri acara tersebut, aku mendapati mantan istriku duduk di kursi sebelah. Kumano Akane. 3 tahun lalu, dia adalah orang yang paling kucintai, seseorang yang kuhabiskan waktu bersamanya dari pagi hingga malam. Seperti orang bodoh, aku percaya dia adalah wanita yang di takdirkan untukku. Tapi hari ini, dia terlihat tertawa bahagia bersama pria lain. 


Beragam emosi meluap. Tekanan mentalku mencapai puncaknya.


"Dunia ini sebaiknya hancur saja!"


"Lebih baik kau mulai mencari pasangan baru."


"Uoohhh!! Hari ini aku akan minum sampai tumbang!!"


"Lebih baik kau fokus mencari pasangan."


"Aku yang akan bayar semuanya."


"....Ya sudah, kalo begitu aku ikut."


Aku merangkul Yen Shihan, temanku yang selalu kekurangan uang, lalu kami mulai berjalan melewati kawasan bar dengan suasana khas Yokohama, Nogecho.





"Permisi. Apa Anda baik-baik saja? Halo?"


Aku terbangun ketika seseorang mengguncang tubuhku. Mereka mengenakan seragam biru tua ── ah, mereka adalah petugas kepolisian.


"Ow!"


Sesuatu menusuk pipiku. Seekor landak. Bulat, berduri, dan menggemaskan. Ini adalah kafe landak di kawasan Pecinan. 


Aku duduk perlahan sambil melirik landak di sudut ruangan yang memandangku dengan tatapan kosong. Kepalaku berdenyut hebat akibat mabuk berat.


"Apa Anda ingat sesuatu?"


Petugas kepolisian menatapku dengan senyuman yang terasa hangat namun tidak nyaman.


"Maaf. Saya tidak ingat apa-apa."


"Anda mabuk, lalu masuk ke tempat ini tanpa izin. Ada yang melapor, dan kami pun datang. Siapa nama Anda?"


"....Daigo. Mido Daigo."


──Kenapa, dalam keadaan mabuk, aku sampai masuk ke kafe landak tanpa izin?


"Apa anda bisa berjalan? Ayo, ikut kami."


Aku ditopang beberapa petugas polisi menuju mobil patroli, lalu dibawa ke kantor polisi di kawasan Pecinan. 


Pusing akibat alkohol masih melumpuhkan pikiranku, membuatku merasa sekarat dengan sakit kepala dan mual yang tak tertahankan.


Orang yang datang untuk menjemputku di kantor polisi adalah mantan istriku. Kontak daruratku ternyata masih tercatat atas namanya.


"....Daigo-kun."


Dengan ekspresi penuh kesedihan, dia menyelesaikan proses administrasi dengan petugas polisi, lalu membawaku keluar dari kantor polisi. Kalimat terakhir dari polisi, "Kali ini Anda tidak didakwa, tapi kalo ini terjadi lagi, Anda tahu risikonya," masih terngiang di telingaku, membuatku ngeri.


Di depan mobil yang diparkir di halaman kantor polisi, mantan istriku ── Kumano Akane ── bergumam pelan.


"Kau harus mulai bersikap lebih baik."


"Eh?"


"Aku tidak bisa terus mengawasi dirimu lagi, Daigo-kun."


Dia menatapku dengan mata yang hampir menangis.


"Kau harus mulai bersikap lebih baik."


Rasa malu membuat pikiranku kosong. Aku telah merepotkan polisi, juga mantan istriku. Sungguh memalukan.


Dalam kepanikan, aku mencoba memperbaiki suasana. Aku ingin membuatnya tenang, hingga tanpa sadar aku berkata,


"Aku... aku sekarang sedang serius mencari pasangan hidup!"


"Eh? Benarkah?"


"I-Iya. Aku bahkan hampir menikah. Aku sudah menemukan seseorang yang kurasa dia adalah jodohku!"


"....Begitu ya. Daigo-kun, kau benar-benar berusaha."  


Dia tersenyum sedih. Melihat ekspresinya itu, aku hampir saja bertanya, "Kalo kau memang begitu sedih, kenapa kita berakhir seperti ini?" Tapi, aku buru-buru menahan diri. Pertanyaan seperti itu sudah terlalu terlambat untuk kami berdua.


"Kalo begitu, selamat tinggal. Semoga kau bahagia bersama orang yang kau sebut sebagai jodohmu."


Dia mengucapkan kata-kata itu dengan lirih, lalu masuk ke dalam mobilnya. Aku ditinggalkan sendirian di tempat parkir kantor polisi. 


Di tengah keramaian kawasan Pecinan, suara di sekelilingku terasa menghilang, seolah hanya aku yang terjebak dalam kesunyian.


Aku tahu kalo aku masih terjebak dalam masa lalu. Aku sadar kalo aku harus melangkah ke depan. Dan akhirnya, di momen ini, rasa kewajiban yang samar berubah menjadi tekad yang nyata.


"Aku akan mencari 'jodoh' yang sesungguhnya."


Hidup seperti ini ── terjebak dalam penyesalan, terus mengeluh, lalu mabuk sampai tak sadarkan diri ── harus segera diakhiri. 


Aku memutuskan, inilah awal dari babak ke-2 dalam hidupku. Kali ini, aku akan menemukan yang benar-benar disebut sebagai takdirku.


"Ini waktunya untuk mencari pasangan."


Dengan tekad bulat, aku mengepalkan tangan. Tapi, beberapa saat kemudian, aku muntah hebat di samping mobil patroli.



Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال