Kamu saat ini sedang membaca Ossananajimi no Imouto no Kateikyoushi wo Hajimetara volume 3 chapter 4. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
"Wow! Ini rumah Yuki-kun!"
Beberapa hari kemudian, kami memutuskan untuk pergi ke rumah Yuki setelah pulang sekolah bersama-sama.
"Hei, kau tidak tahu jalan, kan, Manami?"
"Sepertinya ke sini! Kouki-nii!"
Meskipun dia seharusnya tidak tahu jalan, Manami memimpin dengan percaya diri.
"Apa ini benar...? Huh?"
Sepertinya Yuki yang berjalan di depan mendengar perkataanku, lalu menoleh dan mengangguk pelan, kemudian mengikuti Manami yang ada di depannya.
"Hehe. Manami memang sangat dekat dengan Yuki ya."
Sambil mengamati kedua orang yang berjalan di depan, Aisha yang berjalan di sampingku tersenyum lembut dan berkata begitu.
"Eh, dekat...?"
Manami yang berjalan di depan dan membiarkan Yuki mengurusnya... rasanya itu seperti berjalan-jalan dengan anjing...
"Ya, mereka dekat, kan?"
Aisha tersenyum lebih lebar seolah-olah memahami pikiranku.
Memang, saat bersama Yuki, Manami terlihat sangat bersemangat, dan dia tidak ragu untuk dekat dan bergerak lincah.
Selain itu, Yuki pun entah kenapa tidak tampak kesal meskipun mengikuti irama Manami.
Rasanya, melihat mereka berdua, aku seperti melihat mereka yang dulu, meskipun kepribadian mereka kini sangat berbeda.
◆
"Sniff... aku akan pergi...! Aku juga mau pergi bersama Yuki-kun dan Kouki-nii..."
Dulu, Manami yang sangat pemalu yang hanya terbuka padaku selain keluarganya, dengan susah payah mencoba mengikuti Yuki yang jelas memiliki tipe yang berbeda.
Aku masih ingat betul bagaimana dia berusaha mengejarnya meskipun dia menangis, mencoba melewati jalan semak belukar yang seperti jalur permainan petualangan, yang biasanya dia hindari.
"Silakan. Ayo, ikut."
Yuki sebenarnya tidak membantu Manami secara langsung.
Dia hanya berjalan di depan, menunggu sampai Manami berhasil mengikuti jejaknya.
"Sniff... sniff..."
Akhirnya, meskipun aku dan Aisha membantu, Manami semakin mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Tanpa terasa, dia tidak hanya menjadi lebih mandiri, tapi juga mengembangkan kemampuan fisik yang luar biasa, hingga dia menjadi sangat lincah dan memiliki refleks yang tajam.
◆
"Ngomong-ngomong, Aisha, apa kau tahu kalo Yuki itu perempuan?"
"Yah... sebenarnya aku tidak terlalu ingat, sih... Tapi, setidaknya, itu pasti bukan sosok yang meninggalkan kesan yang kuat, kan?"
"Benar juga."
"Sepertinya ada beberapa hal yang tidak berubah."
Aku berpikir, apa ya yang tidak berubah, lalu tanpa kusadari, Yuki yang sudah melewati Manami berhenti di depan lampu merah dan menatap kami sambil menunggu Manami.
"Begitu ya..."
"Meski penampilannya berubah, mungkin bagi Manami, Yuki tetap bukan kakak laki-laki yang sama seperti Kouki."
"Dalam hal ini, sepertinya yang lebih tepat adalah 'kakak perempuan' yang berbeda dengan Aisha, kan?"
Aku merasa sedikit bingung dengan perubahan Yuki, tapi di sisi lain, aku merasa tenang karena ada hal-hal yang tetap tidak berubah.
Ada sesuatu yang nostalgia saat kami ber-4 berjalan pulang, meskipun itu adalah jalan yang belum pernah kami lewati sebelumnya.
◇
"Ini tempatnya!?!"
"Ya..."
Dengan petunjuk dari Yuki, kami akhirnya tiba di sebuah kafe yang sedang dalam persiapan untuk dibuka.
"Ngomong-ngomong, aku jarang ingat soal orang tua Yuki... Mereka sudah lama membuka kafe seperti ini?"
"Dulu sih... tidak seperti ini..."
"Yah, pokoknya ayo masuk saja!"
"Eh, Manami, jangan jalan duluan!"
Meskipun Manami sudah melangkah ke depan, dia berhenti dan menunggu di depan pintu dengan sabar.
Yuki kemudian meraih pegangan pintu...
"Selamat datang..."
Dengan wajah merah, Yuki mengucapkan sambutan itu.
Karena dia mengatakan itu di pintu masuk kafe, rasanya seperti dia sedang bekerja sebagai pelayan, yang membuatku sedikit terkejut.
Tapi, dengan cara bicara yang canggung seperti itu, rasanya dia belum siap jadi pelayan.
"Yay! Maaf mengganggumu!"
"Maaf mengganggumu."
Setelah Manami dan Aisha masuk, aku juga mengikuti mereka...
"Selamat datang. Lama tidak bertemu, Manami-chan, Aisha-chan, Kouki-kun."
"Ah, selamat datang! Meskipun masih belum ada apa-apa, aku bisa menyajikan kopi kok, silakan duduk-duduk dulu!"
Meskipun aku tidak mengingat mereka, sepertinya mereka masih mengingatku.
Tapi, penampilan mereka sempat membuatku terkejut sejenak.
Ayah Yuki terlihat agak galak dengan potongan rambut bergaya pompadour, sedangkan ibu Yuki terlihat muda dengan rambut berwarna mencolok, bahkan sedikit seperti gaya gal.
Mereka ber-2... kira-kira apa yang sudah mereka lakukan sebelum sampai di sini...?
Tapi meskipun penampilan mereka terlihat agak menakutkan, sikap mereka lembut dan ibu Yuki sangat ramah.
"Sudah lama ya, Kouki-kun."
"Wah, kau sudah besar juga ya. Kouki-kun, pasti kau tidak ingat aku kan?"
"Ahaha..."
Aku hanya bisa tertawa canggung mendengar perkataan ayah Yuki.
"Mau bagaimana lagi. Dulu kita semua masih kecil. Ayo sini, sini."
Meskipun Yuki bilang belum ada apa-apa di kafe, ibunya datang membawa nampan berisi kue dan minuman, lalu mengajak kami duduk di tempat duduk di pojok.
Ada rasa nyaman dan tenang saat melihat ibu Yuki yang begitu penuh perhatian.
"Aku dengar, Kouki-kun. Katanya kau jadi pengajar privat Manami-chan, ya?"
"Sejak kapan...?"
Ternyata, jaringan antara orangtua lebih cepat daripada anak-anak, ya...
"Kalo begitu, mungkin aku juga akan minta tolong untuk Yuki."
"Apa nilainya buruk...?"
Dulu aku mendapat kesan kalo Yuki bisa melakukan segala hal dengan mudah...
Melihat penampilannya sekarang, rasanya tidak mengherankan jika dia berubah seperti itu.
"Mm-mm, aku sih tidak terlalu khawatir soal itu, tapi lihat, sekarang dia sudah seperti ini, kan?"
"A-uh..."
Yuki yang merasa semua mata tertuju padanya pun merasa canggung dan menyusut, tampaknya agak malu.
Jadi begitu...
"Meski begitu, dia tetap imut, kok."
Ibunya berkata sambil mengelus kepala Yuki.
"A-ah, ibu, berhenti...!"
Meski Yuki mengatakan itu, dia tetap membiarkan ibunya mengelusnya dan hanya memutar matanya.
Mereka terlihat sangat dekat, dan itu terasa menyenangkan.
"Tapi ya, sebagai orang tua, kami tentu ingin melihat Yuki yang ceria seperti Manami-chan juga. Kami berharap dia bisa mendapatkan kepercayaan diri lewat sesuatu, entah itu dari kegiatan apa saja."
Meskipun baru saja bertemu kembali, ibu Yuki tampaknya sudah sangat paham tentang kondisi Manami belakangan ini.
Mungkin orang tua kami sudah saling bertukar informasi.
"Aku juga ingin bermain di luar bersama Yuki-kun lagi!"
Manami benar-benar dekat dengan Yuki.
Sepertinya, perubahan pada Yuki tidak terlalu mengganggu Manami.
Dari sudut pandangku, aku bingung hanya karena teman laki-lakiku sekarang adalah perempuan, tapi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perubahan karakternya yang sangat besar.
Yuki yang ditatap oleh Manami menunduk dan menyembunyikan wajahnya di balik rambut...
"Lihat! Di imut sekali, kan?"
"Eh!? Ibu!?!"
"Dia punya wajah yang bagus, jadi sayang kalo dibiarkan begitu saja."
Ibunya dengan cepat mengangkat rambut Yuki, dan aku rasa itu pertama kalinya aku mendengar Yuki saat dia berbicara dengan benar.
Dan memang, dia...
"Imut sekaliii!"
Manami semakin bersemangat.
"Memang, dia sangat cantik... aku iri."
Aisha mengungkapkan kekagumannya.
Memang, setelah rambut Yuki diangkat, dia terlihat sangat cantik, sampai-sampai aku terkejut.
Aku pun teringat kalo sejak dulu matanya memang besar dan indah.
◆
"Cepat, Kouki-kun! Ada kumbang tanduk yang sangat besar di sana!"
"Tunggu sebentar, Yuki... aku tidak bisa mengejarmu..."
"Ya sudah, sini, pegang tanganku."
Yuki mengulurkan tangannya, dan kami melewati sebuah tebing yang tingginya hampir setinggi tubuh kami saat itu, yang sekarang jika dipikirkan kembali itu hanya sebuah langkah besar biasa.
"Hah..."
Aku terlalu fokus mengejar Yuki hingga tidak ingat bagaimana aku melewati tempat tersebut.
"Lihat! Kita hampir sampai!"
Yuki menarik tanganku, dan saat itu aku teringat bahwa hal seperti ini terjadi cukup sering.
Aisha tentu saja, dan Manami tetap pemalu seperti dulu, serta tidak memiliki kemampuan fisik seperti yang dimilikinya sekarang.
Sebagian besar waktu ku, kuhabiskan untuk bermain dengan Aisha dan Manami, jadi Yuki benar-benar teman yang langka yang bisa diajak bermain sebagai teman laki-laki.
Segala hal—dari apa yang kami sukai, cara kami bermain, hingga energi yang kami miliki—semuanya sangat berbeda dengan Aisha dan Manami, dan meskipun kami hanya menghabiskan beberapa bulan bersama, rasanya setiap hari terasa berharga.
"Mereka ber-2 tidak bisa melakukan ini, hanya Kouki-kun yang bisa melakukannya!"
"Benar sekali...!"
Untuk beberapa alasan, pada saat itu, aku ingat berpikir bahwa ketika aku melihat diriku terpantul di mata Yuki, aku hampir tersedot ke dalamnya.
Yuki tersenyum polos dan melanjutkan.
"Kita akan terus bermain bersama!”
"Ya, serahkan saja padaku!"
Aku dan Yuki saling memberi high-five, lalu melanjutkan untuk menyentuh tangan satu sama lain ke segala arah, menyelesaikan gerakan handshake yang hanya kami ber-2 buat setelah menontonnya di TV.
"Yeay!"
"Yeay!"
Meskipun tidak berlangsung lama, kami tetap sering pergi bermain ke berbagai tempat setelah itu, sesuai dengan janji kami.
Kenangan dari hari itu tetap sangat jelas dalam ingatanku hingga sekarang.
◇
"Jadi, ini dia! Pelajaran pertama, dimulai dengan mengajar Yuki!"
Manami bertepuk tangan dengan ceria, sementara Aisha dan Yuki terlihat agak bingung dan hanya memberi tepuk tangan dengan tidak teratur.
Kami pindah dari kafe ke kamar Yuki, dan mungkin karena baru saja pindah, kamarnya cukup sederhana.
Bisa dibilang, kamar ini lebih mirip dengan kamar Aisha yang selalu rapi dan tidak berantakan.
Manami cenderung membiarkan banyak barang berserakan—ada boneka lucu di samping bola baseball bertanda tangan pemain profesional...
Tapi, untuk sekarang, sebaiknya kami mulai berbicara.
"Sebetulnya, begini... Ibumu bilang seperti itu, tapi Yuki sendiri bagaimana?"
Meskipun orang tuanya ingin melihat Yuki yang ceria dan energik, jika Yuki tidak merasa seperti itu, aku rasa tidak perlu dipaksakan.
Bahkan, aku yakin orang tuanya pun tidak akan menginginkan hal itu.
"Benar...! Aku ingin bermain dengan Yuki, tapi..."
Aku kira semua mata akan tertuju padanya, dan Yuki terlihat sedikit canggung.
Tapi, karena mungkin dia ada di rumahnya dia merasa lebih tenang.
Yuki duduk dengan memeluk boneka kelinci, dan ada sedikit perubahan pada reaksinya yang berbeda dari biasanya.
"Aku... ingin berubah."
Yuki menatap kami dengan serius dan mengungkapkannya dengan jujur.
Mata besar dan indah yang tersembunyi di balik rambutnya tampak penuh dengan kesungguhan.
"Jika aku terus begini... aku tidak akan bisa... tahan..."
Melihat Yuki seperti itu, kami bisa mengerti kenapa dia ingin berubah.
Kami tahu seperti apa Yuki dulu, dan kami mengerti apa yang ada di hatinya.
Suara Yuki semakin pelan, dan Aisha tersenyum lembut untuk memberinya semangat.
Yuki menarik napas panjang dan sekali lagi menatap mata ku, lalu berkata,
"Aku ingin seorang tutor... tolong...!"
Mata besar yang sama seperti dulu, meskipun terhalang rambutnya, tetap menatap ku dengan penuh harapan.
"Kalo begitu, mari kita lakukan yang terbaik bersama-sama."
Aisha tersenyum lembut, seperti seorang kakak yang menenangkan adiknya.
"Yay! Mari kita berusaha!"
Manami juga berkata dengan semangat.
Lalu, tatapan Yuki terarag padaku.
Ekspresinya sangat serius, bahkan ada kesan seolah-olah dia memohon.
Melihat penampilannya yang seperti hewan kecil itu, aku merasa seperti ingin melindunginya.
"Tidak perlu khawatir, jawabannya sudah jelas."
"Ah..."
Saat aku mengangkat tangan seperti dulu, Yuki ragu-ragu untuk memberikan high-five, tapi akhirnya dia merespon.
Kami melanjutkan dengan gerakan handshake yang selalu kami lakukan setiap kali bertemu, seperti dulu.
Meskipun kami tidak mengingat detilnya, tubuh kami sudah menghafalnya.
Ketika kami saling bertukar gerakan beberapa kali, ekspresi Yuki sedikit terlihat lebih cerah.
Lalu—
"Yeay... Begitu kan?"
"Ya."
Yuki tertawa dan memperlihatkan senyumnya.
"Apa itu? Itu menyenangkan! Aku juga ingin mencobanya!"
Manami langsung mendekat, dan Yuki mulai mengajarinya dengan mengingat-ingat gerakan tersebut.
Sebenarnya, aku hanya mengikuti gerakan secara otomatis tanpa mengingat detilnya, jadi aku serahkan saja kepada Yuki untuk mengajarkannya...
"Ini membuatku merasa nostalgia."
"Aisha apa kau juga ingat?"
"Aku selalu melihat kalian ber-2 melakukan sesuatu bersama, jadi aku terus mengamatinya."
Aisha tersenyum nostalgia, mengingat kembali masa-masa itu.

Tatapan Aisha saat melihat Yuki sedikit berbeda dengan saat dia melihat Manami.
Itu terasa seperti ada sisi kakak yang lebih melindungi.
Dan saat Aisha melihatku bersama Yuki, aku merasa Aisha sedikit lebih dewasa dibandingkan dulu.
Mungkin Aisha memang selalu menjaga kami, seperti seorang kakak.
Yuki yang ceria namun berbahaya, aku yang mengikuti Yuki, dan Manami yang tidak pernah mau berpisah.
Aisha pasti selalu menjaga kami ber-3, dari jauh.
"Ada apa?"
"Ah... Aisha, apa kaumau ikut mencobanya juga?"
Aku bertanya dengan santai, meskipun dulu Aisha sering melihat kami dari kejauhan, seolah-olah dia lebih memilih menjadi pengamat.
"Begitu, ya... Kalo begitu, aku akan mencobanya."
Mungkin ada saat-saat dimana Aisha juga ingin bergabung.
Dulu, ketika Yuki dan aku pergi kemana-mana, Aisha harus menjaga Manami, jadi dia selalu berada satu langkah di belakang kami.
Mungkin dia tidak benar-benar tidak tertarik, hanya saja posisinya membuatnya tidak bisa ikut.
Sekarang, mungkin kami mulai sedikit demi sedikit mengembalikan masa lalu kami.
"Tapi, Kouki, tadi kau edikit canggung, ya? Apa kau masih mengingatnya?"
"Itu... "
"Hehe."
Melihat Aisha dengan ekspresi kakak seperti itu, rasanya aku tidak akan pernah bisa mengalahkannya.
◇
Pada akhirnya, setelah itu, kami hanya membicarakankenangan kami dan tidak membicarakan bagaimana Yuki akan berubah kedepannya.
Tapi…
"Ahaha... sudah lama sekali. Apa aku benar-benar sebodoh itu?"
Yang jelas, ekspresi Yuki yang kini lebih ceria adalah sebuah langkah maju.
Ibunya yang merasa terharu berkata, "Sudah lama sekali aku tidak melihat Yuki tersenyum seperti ini," dan langsung memeluknya.
Sementara ayahnya membuatkan omelet raice, rasanya kami sudah menghabiskan waktu yang cukup lama di sana.
◇
"Terima kasih banyak. Aku ingin kau datang setiap hari."
"Oh, itu terdengar bagus. Bagaimana kalo kalian ber-3 bekerja paruh waktu di kafe kami?"
"....Bekerja paruh waktu?"
Tepat sebelum kamu akan pulang Ayah Yuki, menawarkan kesempatan itu.
"Bagus sekali! Kau bisa menggunakan biaya les sebagai pekerjaan paruh waktu!"
Yuki tampak kebingungan, matanya berpindah-pindah antara kami, tampaknya tak tahu harus bagaimana.
Dia benar-benar terlihat seperti hewan kecil yang bingung...
Saat itu, Manami langsung bereaksi.
"Itu terdengar menyenangkan!"
Tapi...
"Tapi kami tidak punya pengalaman..."
"Bekerja paruh waktu tidak perlu pengalaman! Aku saja, lihat, baru saja keluar dari pekerjaan lama dan kini jadi pemilik kafe!"
Ternyata begitu…
Aku memang merasa ada yang aneh dengan keputusan mereka membuka kafe setelah pindah, tapi ternyata ada alasan di baliknya.
"Yah, pikirkan saja dulu. Sampaikan salam kami pada orang tua kalian!"
Setelah itu, kami diantar keluar.
Terakhir, Yuki dan Manami saling bertepuk tangan dengan riang.
Kami ber-2, aku dan Aisha, tidak bisa mengikuti gerakan dinamis mereka, tapi melihat ekspresi Yuki yang begitu bahagia dan ceria membuatku merasa tenang dan sedikit merasa nostalgia.