Kamu saat ini sedang membaca Senpai, watashi to shōbu shimashou. Tokimeitara makedesu! Iya shi-kei yōjo kōhai VS bujin-kei senpai volume 1 prolog. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
SEORANG GADIS YANG KEJAM
Liika Kuon adalah sosok yang sangat terkenal di SMA Swasta Akatsuki ini, setidaknya lebih dari yang bisa dibayangkan.
Dia memiliki rambut pirang platinum yang lembut, yang cukup untuk dipahami tanpa perlu disebutkan bahwa dia memiliki keturunan Eropa, serta kulitnya yang putih seperti porselen yang membuat orang berpikir seolah-olah ada boneka keramik yang duduk di sana jika dia diam, dan fitur wajahnya yang teramat sempurna dan proporsional.
Matanya yang besar berwarna emas yang sedikit lebih gelap dari rambutnya, dan semua elemen yang membuatnya menonjol di SMA swasta Jepang ini.
Tapi, daya tariknya sebagai individu tidak hanya terletak pada penampilannya semata.
SMA Swasta Akatsuki ini tampaknya mengusung kebijakan pendidikan yang memiliki elemen internasional (jika diingat, itu juga tertulis dalam materi pengenalan sekolah), dan dikenal sebagai salah satu dari sedikit sekolah di Jepang yang menerima siswa yang telah terbangun di luar negeri.
Meski demikian, tidak banyak orang di dunia ini yang menunjukkan bakat luar biasa seperti karakter dari manga, dan jika ada, jauh lebih banyak yang memilih untuk menyelesaikan pendidikan mereka di luar negeri daripada kembali ke Jepang untuk masuk SMA.
Dengan kata lain, meskipun mereka mengiklankan dengan besar, sejak dibuka, tidak ada satu pun siswa yang memenuhi syarat yang datang mengetuk gerbangnya—sekolah ini terpaksa berpuas diri dengan posisinya sebagai SMA yang cukup baik.
Dia adalah siswa pertama yang berhasil terbangun di sekolah ini dan sekarang sedang duduk di sisi meja rapat, hanya sekitar satu meter jauhnya dariku.
──.
Gedung klub sepulang sekolah, ruang klub sastra.
Hanya ada suara membalik halaman yang bergema di ruangan yang tidak begitu luas, sebagian karena rak buku yang penuh sesak.
Di seberangku, di dekat jendela, Kuon membuka buku dengan jari-jarinya yang kecil dan putih.
Tapi, setelah beberapa saat, mungkin karena menyadari tatapanku, dia mengalihkan pandangannya dari halaman buku ke arahku.
"Ada apa, Gantetsu-senpai?"
Kuon mengedipkan bulu matanya yang panjang dan menatapku dengan mata emasnya, dan aku menjawab dengan jujur.
"Aku sedang melihatmu."
"Eh? Apa ini mungkin dalam arti seperti pengakuan cinta?"
"Bukan. Aku hanya merasa kagum, melihat kalo ada orang yang benar-benar memiliki karakter seperti yang ada di light novel."
"Jadi, kau menganggapku secantik heroine di light novel, kan? Duh, Senpai itu cara memuji yang terlalu tidak langsung."
Dia menutup pipinya dengan kedua tangan dan berpura-pura malu.
Keunikannya memang sebanding dengan karakter klasik, tapi aku memutuskan untuk tidak mengatakan itu.
"Ngomong-ngomong, ternyata Senpai juga membaca light novel, ya."
"Apa kedengarannya mengejutkan?"
"Iya, yah. Kupikir kau lebih menyukai novel sejarah yang lebih serius dan sulit."
"Aku tidak menyangkalnya. ...Tapi aku merasa tidak sanggup membaca hal-hal yang disebut 'sulit' oleh seorang gadis jenius sepertimu."
......Riya Kuon.
Gadis ini adalah seorang jenius sejati yang melewati seluruh tahapan pendidikan hingga tingkat SMA di luar negeri—dan, sebagai tambahan, usianya baru 11 tahun.
Dengan tubuh mungilnya, dia lebih cocok mengenakan tas ransel dan topi kuning khas anak-anak SD daripada tas sekolah dan seragam.
Bahkan aku, yang tidak terlalu paham tentang hal-hal seperti itu, tahu bahwa dia adalah putri dari konglomerat global 'Riya Group'. Konon, sejak lahir, dia terus berpindah-pindah negara dan menggunakan bakatnya yang luar biasa.
Pada usia 10 tahun, dia sudah menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA.
Kemudian, pada musim gugur tahun lalu, karena alasan keluarga, dia kembali ke Jepang dan akhirnya pindah ke sekolah ini, yang bersedia menerima seseorang dengan latar belakang istimewa seperti dirinya.
......Semakin aku merangkum cerita hidupnya, itu semakin terdengar tidak masuk akal.
Bagaimanapun, dia adalah seorang jenius super. Dari segi kecerdasan, aku jelas tidak bisa dibandingkan dengannya.
Aku tidak ingin terdengar sinis, jadi aku menahan kata-kataku dan hanya mengangkat bahu sedikit.
"......Lagi pula, aku juga seorang siswa SMA. Kalo menarik, aku tidak akan peduli genre apa pun itu."
Mendengar jawabanku, Kuon menepukkan kedua tangannya dengan penuh kepura-puraan dan mengagumi.
"Seperti yang diharapkan dari ketua klub sastra kita."
"'Kita'—padahal cuma kita berdua di sini."
"Kalo begitu, ketua klubku."
"Bukan punyamu juga."
Sambil mendesah, aku melirik rak-rak buku yang sesak di ruang klub.
Di antara buku-buku lama yang ditinggalkan oleh para senpai, ada banyak majalah klub yang dulu pernah dibuat oleh anggota klub ini.
Dulu, klub sastra ini memiliki lebih banyak anggota, dan mereka cukup aktif membuat majalah klub.
Tapi, akhir-akhir ini, jumlah anggota baru terus berkurang, dan klub ini hampir mati.
Tahun lalu, para anggota kelas 3 lulus, dan akhirnya aku, satu-satunya anggota yang tersisa, dan aku harus menjadi ketua klub.
Meskipun aku suka membaca, aku tidak memiliki ikatan yang kuat dengan klub ini.
Sebenarnya, aku sudah berpikir untuk membubarkan klub ini lebih awal.
Tapi—di tahun ini, Kuon yang baru saja masuk sekolah mengajukan permohonan untuk bergabung dengan klub, sehingga kami berdua tetap menjaga keberadaan klub ini meski hanya dengan dua anggota.
Mungkin bosan membaca, Kuon menyelipkan pembatas di bukunya, lalu mulai berbicara sambil berbaring di atas meja.
"Apa kau tidak pernah mencoba merekrut anggota baru?"
"....Ruangan ini terlalu sempit. Tidak ada gunanya menambah anggota."
"Mungkin memang begitu. ...Tapi, yah, kalo Senpai yang melakukan perekrutan, mungkin semua orang akan ketakutan dan lari."
"....Aku tidak akan menyangkal itu."
Kuon terkikik dengan senang. Sebaliknya, aku bisa merasakan wajahku semakin cemberut.
Seperti yang dia katakan, aku cukup sadar dengan bagaimana orang lain memandangku.
Fudo Gantetsu, 17 tahun.
Tinggi badan 183 cm, berat badan 72 kg.
Dengan tubuh sebesar ini, aku sudah memberikan kesan menakutkan, ditambah lagi wajahku yang secara alami terlihat galak.
Saat aku berjalan di jalanan, preman sering menantangku dengan,
"Apa kau menatapku... ah, lupakan," lalu mengurungkan niat mereka. Teman sekelas sering bertanya, "Apa kau marah?" padahal aku tidak sedang melakukan apa pun.
Kalo aku mencoba merekrut anggota untuk klub, mungkin itu akan berhasil membuat orang-orang menjauh untuk selamanya.
"Keluargamu punya dojo seni bela diri tradisional, kan? Aku rasa kau lebih seperti tokoh utama light novel daripada aku."
[TL\n: yah kan kalian berdua tokoh utama dalam Light novel.]
"....Aku tidak menyangkal itu. Tapi, meski disebut seni bela diri tradisional, sebenarnya kami tidak melakukan hal yang hebat."
"Mungkin kau punya tugas rahasia untuk menghukum kejahatan di dalam kegelapan?"
"Tidak ada."
"Mungkin ada teknik rahasia yang diwariskan dari generasi ke generasi?"
"Tidak ada. Murid pun hampir tidak ada, sehingga sekarang kami mempertimbangkan untuk menjual materi pelajaran melalui pendidikan jarak jauh."
"Biasa saja, ya..."
Sambil menghela napas kecil, Kuon menopang dagunya dan mulai mencari-cari di tumpukan buku yang ada di atas meja.
Mungkin dia sudah bosan dengan buku yang tadi dia baca, dan sekarang dia menarik satu buku lain.
Buku itu adalah novel berukuran saku, tidak terlalu tebal, dengan ilustrasi gadis imut di sampulnya. Judulnya 'Boku wa Sunao ni Narenai, Kono Kanojo wa Sunao Sugiru' (Aku yang Tak Bisa Jujur dan Dia yang Terlalu Jujur), yang merupakan novel favorit Kuon.
Singkatannya 'SunaSuna'. Sesuai dengan judulnya, isinya adalah komedi romantis—yah ceritanya cukup jelas, jadi tidak perlu dijelaskan lebih jauh.
Awalnya, novel SunaSuna ini adalah web novel yang secara perlahan menarik perhatian sejak pertama kali dipublikasikan.
Tidak sampai setahun, sudah mencapai 100 juta PV, dan dengan kecepatan luar biasa, berhasil diterbitkan menjadi buku... sepertinya ini adalah karya yang sangat populer.
Sambil melihat Kuon yang tersenyum senang membaca SunaSuna, aku pun kembali membuka bukuku.
Klub sastra dengan hanya 2 orang anggota.
Aktivitas kami hanyalah menghabiskan waktu setelah sekolah dengan membaca buku di ruang klub—itu saja.
Dibandingkan dengan para senpai sebelumnya yang tekun mencetak majalah klub, kegiatan kami sangat tidak produktif, tapi bagaimanapun juga ini hanya klub siswa.
Tidak ada kewajiban untuk merasa harus menghasilkan sesuatu.
Hanya waktu yang tenang, lambat, dan malas yang kuhabiskan bersama dia di sini.
...Ini mungkin adalah bentuk kemewahan yang hanya bisa kami nikmati sekarang.
Setelah beberapa saat kami menghabiskan waktu dalam diam, atau sesekali berbicara dengan Kuon, bel yang menandakan waktu pulang berbunyi.
Karena panjangnya hari di bulan Mei, aku tidak menyadari bahwa jam sudah menunjukkan hampir pukul 5.
"Oh, sudah waktunya ya. Kalo bersama Senpai, waktu terasa cepat berlalu. ...Oh, bagaimana kalo hari ini kita pulang bersama, Senpai?"
"Ah, benar. Aku harus mengunci ruangan, jadi kau bisa pulang duluan."
Mendengar jawabanku, Kuon dengan jelas mengembungkan pipinya.
"Astaga, Senpai. Bukankah sudah seharusnya, kalo gadis super cantik seperti aku mengajakmu pulang bersama, kau harusnya bilang, 'Ayo pulang bersama'?"
"Kau kan naik mobil dengan supir, apa ada kesempatan bagi kita untuk pulang bersama?"
"Supirku pasti akan setuju kalo ada pria kuat seperti Senpai yang menemaniku pulang..."
"Aku ini hanya anggota klub budaya. Kalau terjadi sesuatu padamu, aku belum tentu bisa melindungimu."
Dengan latar belakang keluarga seperti miliknya, tentu saja ada risiko yang mengintai.
Karena itu, dia selalu ditemani pengawal setiap kali berangkat dan pulang sekolah.
Meminta untuk menjauhkan pengawal hanya agar kami bisa pulang berdua terasa agak tidak masuk akal.
Setelah mendengar jawabanku, Kuon mendengus kesal dan mencibir.
"Senpai kan sudah melindungiku waktu itu. Saat itu juga."
"Waktu itu hanya kebetulan. Tidak ada jaminan kalau lain kali aku akan seberuntung itu... Ayo, cepat sana pulang. Tidak baik membuat sopirmu menunggu terlalu lama."
Meski masih terlihat tidak puas, Kuon akhirnya mengangguk pada kata-kataku.
"...Baiklah. Untuk hari ini aku akan mengalah, tapi besok aku pasti akan pulang bersamamu! Siapkan dirimu ya, Senpai!"
Setelah melemparkan kata-kata seakan-akan mengancam, dia berlari pergi dengan langkah yang berisik.
Aku melihat sekeliling, khawatir kalo ada yang mendengar, tapi untungnya sepertinya anggota klub lain sudah pulang semua.
Aku menyimpan buku yang kubaca ke rak di ruang klub dan membereskan sedikit, lalu keluar ke koridor untuk pulang, menutup pintu ruang klub dengan kunci.
Koridor di sore hari, sekitar pukul 5, disinari cahaya matahari terbenam. Dari jendela, aku memandangi punggung kecil yang sudah berjalan di lapangan sekolah.
...Ah, benar. Ada satu hal yang belum aku sampaikan tentang dia.
Riya Kuon. Usianya baru 11 tahun, tapi dia sudah duduk di kelas 1 SMA.
Seorang gadis jenius yang loncat kelas, pewaris konglomerat global, seorang gadis kecil yang benar-benar luar biasa.
[TL\n: kaya kaka gua, dia waktu SD lompat kelas jir.]
Dan dia adalah—yang biasa disebut—"pacarku."
[TL\n: halo 911, pedo sudah teridentifikasi, silahkan kirimkan personil untuk meringkus tersangka.]
Pertama kali aku bertemu Kuon adalah sekitar 6 bulan yang lalu.
Waktu itu, aku sering berkunjung ke perpustakaan di dekat rumahku.
Di dekat perpustakaan itu, aku secara kebetulan melihat dia dihadang oleh sekelompok orang dengan tampang yang tidak bersahabat, dan aku membantunya.
...Tapi, supaya kalian tidak salah paham, yang kumaksud dengan 'membantu' di sini hanyalah sebatas ikut campur dan berbicara dengan mereka.
Untungnya, kelompok itu tidak seburuk tampangnya, jadi masalah pun selesai tanpa insiden.
Kuon, yang baru saja tiba di Jepang saat itu, kebetulan sedang menggunakan perpustakaan yang sama untuk belajar bahasa Jepang dengan membaca banyak buku.
Aku tidak tahu apa-apa tentang latar belakangnya, dan hanya menawarkan untuk membantu belajarnya.
Entah bagaimana, pada suatu saat, justru dia yang kemudian berkata, "Tolong pacari aku."
Tentu saja, aku sangat kebingungan saat mendengar itu.
Dengan bahasa Jepang yang masih terbata-bata, dia ngotot berkata, "Aku, sudah 18 tahun. Umur yang cukup untuk ikut game dewasa...," dengan cara bicara yang aneh dan berlebihan.
Meski begitu, penampilannya sangat kekanakan, dan kemampuan bahasa Jepangnya masih jauh dari lancar.
Jelas sekali itu adalah kebohongan yang mudah ditebak.
Memikirkan bahwa pengakuan cintanya adalah hasil dari kesalahpahaman yang besar, aku akhirnya menerimanya karena, pada dasarnya, aku memang tertarik dengan Kuon sebagai pribadi.
[TL\n: anjing mc nya pedo.]
...Dan sekali lagi, supaya tidak salah paham, bukan berarti aku memiliki preferensi aneh seperti itu. Aku sadar ini terdengar tidak meyakinkan, tapi aku benar-benar tidak punya ketertarikan seperti itu. Kalau bicara soal penampilan, aku lebih menyukai wanita yang terlihat lebih dewasa.
Yang membuatku tertarik pada Kuon bukanlah penampilannya yang kekanakan atau kemampuannya berbicara yang terbatas, melainkan kedalaman pengetahuannya dan kecerdasannya yang tampak jauh melebihi usianya. Atau dengan kata lain, aku merasa nyaman berbicara dengannya.
[TL\n: gak meyakinkan alasan lo bangsat, pedo tetaplah pedo, halo FBI tolong segera di ringkus makhluk laknat satu ini...]
Jika dia memiliki kesalahpahaman tentang apa itu 'berpacaran', aku pikir itu tidak masalah. Aku membayangkan, ketika dia menyadari kesalahpahaman itu, kami bisa menjadikannya sebagai bahan tertawaan nanti... Tapi perkiraanku sepenuhnya meleset.
Perasaannya terhadapku bukanlah kesalahpahaman sama sekali.
──.
"Permisi."
Keesokan harinya setelah pulang sekolah, Kuon memasuki kelasku dengan senyuman yang anggun wajahnya, dan semua mata tertuju padanya di kelas.
Ada ketegangan khas yang terjadi ketika orang luar memasuki kelas, tapi untuk Kuon, ada makna yang lebih besar.
"...Bukankah itu anak kelas 1—"
"Apa dia putri keluarga Riya Group? Wow, ini pertama kalinya aku melihatnya secara langsung..."
Kuon yang melihat kelas yang mulai ribut itu melirik ke sekelilingnya, lalu beberapa gadis yang sedang berada di dekat pintu pun menyapanya.
"Ada apa? Apa kau sedang mencari seseorang?"
"Ya, begitu... Aku ingin berbicara dengan Gentetsu-senpai, yang merupakan ketua klub sastra."
"Oh, maksudmu Fudo-kun ya. Hei, Fudo-kun, ada adik kelas yang mencarimu."
...Tanpa dia katakan pun, aku sudah menyadari kedatangan Kuon sejak pertama kali dia masuk. Bahkan, sebenarnya aku mencoba pura-pura tidak melihatnya.
Tapi, karena sudah dipanggil, aku tidak punya pilihan selain menanggapinya.
Dengan enggan, aku berdiri, sementara Kuon membungkuk anggun kepada gadis tadi.
"Terima Kasih Mademoiselle (nona)—oh, tanpa sengaja aku berbicara dalam bahasa ibu ku."
Aku menahan diri untuk tidak memberi komentar bahwa dia tidak pernah tinggal di Prancis. Walau begitu, melihat gaya Kuon—sesuai dengan statusnya sebagai putri keluarga terpandang, gerak-geriknya begitu anggun hingga membuat seragam sekolahnya seolah berubah menjadi gaun mewah yang diangkat ujungnya.
Wajahnya yang sudah sangat menawan semakin mempertegas kesannya tersebut.
Gadis yang menerima salamnya tadi pun tersenyum malu sambil menggaruk kepalanya, merasa tersanjung.
Para siswa laki-laki yang ada di sekelilingnya juga sudah terpesona oleh keanggunannya.
"Gila, dia cantik sekali... seperti yang diharapkan dari putri keluarga Riya."
"Eh, kau pedo ya? Tapi memang sih, dia imut sekali."
"Lagian kau juga sama aja, kan?"
Sampai-sampai, perdebatan tidak penting seperti itu pun terjadi di antara mereka.
...Yah, memang benar. Saat Kuon dalam 'mode tampil' seperti ini, dia benar-benar terlihat seperti personifikasi dari seorang putri yang anggun dan penuh pesona.
Dia begitu cantik dan elegan, hingga batas usia terasa tidak lagi relevan. Aura karismatik yang dia miliki bisa membuat siapa pun terpikat.
Seluruh kelas sudah terpesona oleh cahaya yang dia pancarkan. Ketika aku menghampirinya, dia tersenyum lembut.
"Ah, Senpai. Maaf sudah mengganggumu."
"Tidak apa-apa... tapi kenapa tiba-tiba kau datang ke sini? Bukankah aku sudah bilang untuk tidak datang ke kelasku?"
Aku memang berusaha menjaga agar hubunganku dengan Kuon tidak terlalu diketahui orang lain.
Itulah sebabnya aku telah meminta agar kami sebisa mungkin tidak berbicara di luar ruang klub.
"Ya, hari ini kelas kami selesai lebih awal... Aku berpikir untuk langsung pergi ke ruang klub, tapi aku tidak tahu harus meminjam kunci di mana."
"Ah, begitu ya. Kuncinya sudah aku pinjam saat jam makan siang. Tidak baik membuatmu menunggu, jadi kalo begitu, ini aku berikan kuncinya, kau bisa pergi duluan."
"Terima kasih."
Saat menerima kunci itu, dia menampilkan senyuman anggun yang begitu menawan, seperti bunga yang mekar, seakan berbeda dari biasanya, seolah-olah ilustrasinya dibuat oleh seniman lain.
...Tapi, kata-kata yang diucapkannya setelah itu sungguh tidak pantas.
"Entah kenapa, saat menerima kunci seperti ini rasanya seperti menerima kunci hotel. Hotel yang aku maksud tentu saja hotel yang ada kata 'Love'-nya di depa... mggg!"
Aku buru-buru menutup mulutnya dan segera berlari keluar kelas. Itu tindakan darurat yang tidak bisa dihindari.
Meski begitu, adegan seorang siswa SMA laki-laki yang menutup mulut seorang gadis kecil sambil berlari mungkin menimbulkan kesalahpahaman.
Tapi, itu masih lebih baik daripada membiarkannya mengucapkan hal itu di dalam kelas, yang bisa menyebabkan kerugian lebih besar. Bukan hanya untukku, tapi juga untuknya.
Aku berlari ke ruang klub sastra, menutup pintu, dan menurunkannya.
Dan entah kenapa dia terlihat puas dan menghela napas pelan.
"Senpai ternyata menyukai yang sedikit kasar ya... Tidak apa, aku bisa paham hal semacam itu."
"Apa yang kau pahami? Tentang apa?"
"Rencana keluarga dan kehidupan yang menyenangkan bersama Senpai, tentu saja."
"Aku tidak berniat melanggar hukum, kau tahu."
"Tunggu saja 2 tahun lagi, saat itu aku akan mencapai usia yang sah. Lagipula, polisi sendiri mengatakan bahwa hubungan yang benar-benar tulus tidak termasuk dalam pelanggaran."
Aku tidak perlu mendengar penjelasan semacam itu. Dan lagi, anak 11 tahun seharusnya tidak mencari celah hukum.
"Ah, tapi jangan salahgunakan pengetahuan ini, ya. Kita harus mengikuti aturan yang berlaku. Ingat, peraturan daerah melarang perbuatan tidak senonoh terhadap anak kecil."
"Ini semua kau katakan untuk siapa, sebenarnya?"
"Tidak tahu, aku hanya merasa perlu menyebutkannya. Di masa sekarang, lebih baik untuk berjaga-jaga."
Aku sungguh tidak paham maksudnya.
Sebenarnya, saat kami pertama kali bertemu setengah tahun yang lalu, dia tidak seaneh ini. Entah di mana dia mulai berubah. Aku hanya bisa berharap dia tidak berteman dengan orang yang salah.
Sambil menghela napas, aku meletakkan tasku di kursi dekat jendela seperti biasa. Dia duduk di kursi seberangku, dekat pintu.
Setengah tahun lalu, kami menghabiskan waktu di perpustakaan. Tapi sejak dia masuk ke sekolah ini, kami lebih sering berada di ruang klub sastra. Biasanya, kami akan membaca dalam diam.
Secara umum, jika kami berdua berpacaran, kami mungkin pergi ke suatu tempat bersama, atau pulang sekolah bersama, atau semacamnya, tapi sayangnya, aku tidak punya rencana untuk itu.
Pertama, jika orang-orang di sekitar mengetahui bahwa aku memiliki hubungan semacam itu dengan seorang gadis yang masih berusia 11 tahun, tentu saja aku akan diberi label sebagai 'lolicon' dan sejenisnya. Selain itu, ada alasan lain yang lebih penting, yaitu tentang keluarga Kuon.
Konglomerat besar, Riya Group. Sebagai putri dari keluarga kaya tersebut, dia tentunya memiliki berbagai tanggung jawab dan tekanan yang tidak dimiliki oleh gadis SMA biasa.
Apa yang akan terjadi jika orang mengetahui kalo serangga sepertiku dekat dengannya? Jika aku yang dikritik, aku tidak keberatan, tapi—tidak ada jaminan kalo Kuon sendiri tidak akan terkena dampaknya.
Untuk kebaikannya, aku harus menghindari resiko semacam itu sebisa mungkin.
Tapi,
"Gentetsu-senpai, Gentetsu-senpai. Kau tidak lupa tentang pembicaraan kita kemarin, kan? Hari ini kita pasti pulang bersama, itu janji kita kan?"
Kuon tampak tidak peduli dengan semua itu. Dia seolah tidak ragu untuk mencari kesempatan, berusaha untuk bersikap manis padaku setiap kali ada kesempatan.
Dengan menghela napas, aku berbalik menghadapi Kuon dan menyilangkan tangan.
"Riya. Seperti yang pernah aku katakan sebelumnya, kita—"
"Kita tidak akan membicarakan hubungan kita, kan? Aku mengerti apa yang ingin Senpai katakan."
"...Kalo begitu, tolong pahami itu. Aku tidak ingin memberikan beban yang tidak perlu padamu."
Mendengar itu, Kuon tampak cemberut dan menggelengkan kepala. Gerakannya yang kekanak-kanakan sangat lucu.
"Tidak ada yang merepotkan! Memang benar keluargaku sedikit ketat... tapi ada pepatah yang mengatakan bahwa rintangan dalam cinta itu sudah menjadi hal biasa."
"Tidak perlu mengambil risiko yang tidak perlu. Hanya dengan kita menghabiskan waktu bersama seperti ini, apa itu tidak cukup untukmu?"
"Aku tidak merasa tidak puas, tapi seorang gadis juga ingin merasakan lebih banyak. Secara spesifik, aku ingin lebih banyak momen-momen manis dan mesra, semacam itu."
"Itu tidak perlu dilakukan saat ini."
"Perlu! Dengarkan ini, Senpai, tingkat pengalaman seksual di kalangan siswi SMA sekarang sudah mencapai 19%. 1 dari 5! Di kelas kita, dari 20 siswi, 4 di antaranya sudah melakukan hal-hal semacam itu!"
"Jangan langsung mencoba membicarakan seks."
"Senpai seharusnya lebih terbuka untuk membahas hubungan seks! Umumnya, seorang siswa laki-laki SMA bisa merasa tertekan hanya dengan mendengar kata ‘otot bisep’ selama seminggu!"
"Pandanganmu tentang siswa laki-laki SMA sangat salah..."
"Kalo kita bicara tentang otot trisep, itu berarti... 3 p—"
"Jangan lanjutkan itu."
Meskipun begitu, mungkin hanya aku yang dijelaskan tentang siswa laki-laki SMA oleh seorang gadis berusia 11 tahun.
Aku sama sekali tidak merasa terkesan dengan itu.
Bahu Kuon merosot karena sikapku, dan dia menatapku dengan sedikit kesal dan melanjutkan.
"Kali begitu, Senpai. Setidaknya, bisa tolong katakan 'aku mencintaimu'?"
"Tidak mau."
"‘Tidak mau’!? Bukankah peringkat penolakanmu terlalu kuat!?"
"Bagaimana kalo ada orang yang lewat di depan ruangan klub dan mendengar itu?"
"Jangan bersikap malu-malu seperti siswa SMP..."
Aku menyilangkan tanganku dan menggelengkan kepalaku saat Kuon menggerutu..
"Dengarkan, Riya. Aku menerima pengakuanmu, tapi aku hanya ingin menjalani hubungan yang murni dan benar, dan tidak akan membawanya keluar dari ruangan klub ini. Begitu kita melangkah keluar, kita adalah orang asing."
"Begitu..."
Ketika aku mengalihkan wajah dari Kuon yang mengerang sedih, aku menghela napas lagi dan menatap buku yang aku ambil secara acak dari rak.
Aku tidak sepenuhnya tidak mengerti apa yang ingin disampaikan Kuon.
Meskipun aku berusaha tampil cool, setidaknya—karena kami berhubungan sebagai pacar, ada keinginan untuk melakukan sesuatu yang lebih. ...Tapi perlu diingat, 'sesuatu' yang kumaksud tidak sesuai dengan standar pikiran cabul Kuon.
Maksudku, itu hanya tentang pergi ke suatu tempat bersama atau hal-hal semacam itu.
Tapi, saat ini, aku merasa ini sudah cukup. Menghabiskan waktu bersama gadis yang cerdas seperti dia sudah sangat menyenangkan.
Aku tidak akan pernah mengatakannya, karena itu hanya akan membuatnya semakin terbebani, tapi setiap hari berbicara dengan dia sudah lebih dari cukup untuk membuatku bahagia.
Urusan orang lain adalah urusan orang lain, dan kami adalah kami. Mengingat usianya, hubungan kami berjalan dengan kecepatan yang pas, dan aku tidak ingin merusak hubungan ini.
Oleh karena itu.
Oleh karena itu—aku tidak akan pernah mengatakan 'Aku mencintaimu' untuk saat ini. Mungkin ini pengecut, tapi itu tidak masalah. Aku sangat ingin menjaga keadaan nyaman ini, yang lebih berharga bagiku.
★ ★ ★
Fudo Gentetsu, 17 tahun.
Tinggi badannya 183 cm, berat 72 kg. Hobi membaca, tidak terikat pada genre tertentu, tapi dia tampaknya lebih suka novel sejarah.
Cara bicaranya yang seperti seorang prajurit mungkin juga dipengaruhi oleh hal ini.
Wajahnya yang gagah dengan ciri khas mulut selalu terkatup dan alis yang tegas yang tidak pernah membentuk garis melengkung.
Di dahinya, ada kerutan yang dalam seperti Palung Mariana, dan tubuhnya yang ramping memberikan kesan menakutkan sehingga seringkali dia ditakuti orang-orang saat pertama kali bertemu—tapi bagi ku, itu tidak masuk akal.
Senpai adalah orang yang sangat baik, bagaimanapun juga. Hanya saja—
"Tidak bisa diterima~~~~~~~~~~~!!!!"
Di kelas saat istirahat makan siang. Aku secara spontan berteriak seperti itu, dan semua orang di kelas menatap ku dengan terkejut.
"Kuon-kun, semua orang sedang melihat, jadi tolong turunkan volume suaramu sedikit.”
Yang mengatakan itu pada ku adalah Tsukimi Hourai, seorang gadis berambut hitam yang anggun, teman ku yang ku temui secara kebetulan di kelas yang sama.
Tsukimi-san, aku, dan satu orang lainnya sedang duduk mengelilingi meja sambil bersenang-senang saat makan siang.
"Berisik sekali, hey bocah. Jangan teriak saat sedang makan."
Yang mengatakan itu dengan nada acuh tak acuh adalah Mariya Hiromari, seorang gadis tipe Yankee dengan rambut pirang yang jelas-jelas tidak alami dan tatapan mata tajam. Ini adalah teman kedua ku, yang memiliki nama lucu meskipun penampilan dan sikapnya terkesan kasar.
[TL\n: yankee (ヤンキー) merujuk pada subkultur remaja yang sering diasosiasikan dengan kenakalan dan perilaku pemberontak.]
Ngomong-ngomong, meskipun dia terlihat seperti seseorang yang mungkin terlibat dalam kekerasan, tapi dia adalah orang yang baik dan normal, yang cukup mengejutkan.
"Kau tidak akan menambah tinggi badan atau dadamu kalo kau melakukan itu!"
"Hmm! Itu terlalu berlebihan, Mariya-chan! Ada hal yang boleh dan tidak boleh dikatakan, Mariya-chan!"
"Jangan panggil aku Mariya-chan!"
"Sakit, sakit, sakit, Mariya-chan jangan lakukan kekerasan pada gadis kecil!"
Sambil mengeluh dengan air mata, aku mencoba membela diri dari jari telunjuk yang berulang kali memukul kepala ku, tapi Mariya-chan tidak mendengarkan.
Dia sebenarnya orang yang baik, tapi sayangnya, sifatnya yang cepat marah terkadang menjadi masalah.
Sementara aku berada di tengah situasi penyalahgunaan terhadap gadis kecil ini, Tsukimi-san dengan tenang membuka kotak makan siangnya dan mulai makan.
"Jadi, Kuon-kun. Tadi itu, dengan semua sugesti yang kau berikan, apa sebenarnya yang terjadi?"
"Uh, terima kasih sudah menyuruhku menjelaskan, Tsukimi-san. Aku pikir aku akan terus-menerus disiksa oleh Mariya-chan...oh, maaf."
Sambil meminta maaf pada Mariya-chan yang siap menyerang lagi, aku menyeruput susu stroberi dari kemasannya sebelum melanjutkan.
"Jadi, ini tentang Gentetsu-senpai. Gentetsu-senpai, itulah masalahnya."
"Apa itu senpai yang dikatakan berkencan dengan Kuon-kun dan bertipe prajurit dan tampaknya sangat kuat secara fisik?"
Aku tidak tahu bagaimana penilaian ini terbentuk, tapi sepertinya bagi Tsukimi-san, senpai berada dalam kategori itu.
"Fudo-Paisen? Oh ya, saudaraku pernah bilang. Katanya, saat dia kelas satu SMA, dia mengalahkan 'Tanaka of the Gale' sendirian, dan rumor di daerah ini bilang kalo berurusan dengan dia sangat berbahaya."
"....Siapa orang yang bernama aneh itu? Lagipula, senpai adalah orang yang serius dan jujur yang tidak ada hubungannya dengan dunia yang penuh kekerasan!"
Sepertinya kakak Mariya adalah orang yang sangat nakal. Meskipun aku penasaran kenapa nama Gentetsu-senpai bisa terkenal di kalangan mereka, aku mendengar bahwa karena penampilannya yang garang, dia sering kali terlibat masalah. Itu mungkin sebabnya.
Ngomong-ngomong, ku rasa kalian sudah bisa menebak—kedua orang ini sudah mengetahui hubungan ku dengan senpai.
Meskipun aku merasa seperti baru saja mengatakan 'tidak boleh diceritakan pada siapa pun' dengan ekspresi serius sekitar enam halaman yang lalu, tapi ya, itulah teman dekat.
Hanya kedua orang ini dan pengawal pribadi ku yang tahu tentang hal ini, jadi bisa dibilang rahasia ini tetap terjaga. Tidak ada yang salah di sini.
... Ngomong-ngomong, saat aku sedang bercanda dengan Mariya-chan, Tsukimi-san menyela pembicaraan.
"Jadi, apa yang terjadi dengan Fudo-senpai?"
"Aku ingin mengatakan kalo senpai terlalu pemalu."
"Hmm."
Tsukimi-san mengangguk. Dia adalah ketua kelas, dan dia sangat pandai mendengarkan dalam situasi seperti ini, meskipun itu tidak ada hubungannya dengan posisinya.
"Sejak aku dan senpai mulai berpacaran, sudah 6 bulan. 6 bulan... 6 bulan, kau tahu? Pasangan SMA biasa seharusnya sudah melakukan berbagai hal pada waktu seperti ini!"
"Dia memang selalu seperti ini, ya."
"Baiklah, mari kita dengarkan, Mariya-kun."
"Tapi, senpai tidak melakukan apa-apa, bahkan tidak memegang tanganku! Kami tidak pernah berkencan, dan dia bahkan tidak mau pulang bersamaku! Dia terlalu mematuhi semangat Tidak menyentuh gadis kecil—oh, maaf, itu bahasa ibuku."
"Itu bahasa Inggris, tetapi hampir mirip dengan bahasa Jepang."
"Syukurlah Fudou-Paisen bukanlah seorang penjahat yang terangsang oleh gadis kecil!"
"Mariya-chan, tolong diam!"
Setelah menjawab komentar tajam dari Mariya-chan, aku menghela napas panjang.
"... Tentu saja, aku memahami kalo senpai melakukan ini karena memikirkan aku. Kalo kami berpacaran secara terbuka, tentu ada berbagai masalah yang harus kami hadapi... Tapi, tapi, bukankah seharusnya ada beberapa hal yang sedikit lebih seperti kekasih?!"
Senpai adalah orang yang sangat serius dan teguh pada pendiriannya. Karena itulah aku menyukainya.
Aku tahu itu egois, tapi—itulah yang dirasakan seorang gadis.
Setelah mengungkapkan semua perasaanku, kedua teman ku itu mencurahkan sedikit waktu untuk makan siang dalam diam untuk beberapa saat..
Akhirnya, Tsukimi-san berkata pelan.
"Ini menarik..."
"Huh? Apa kau bilang sesuatu?"
"Itu hanya gumamanku, jangan hiraukan."
Setelah membersihkan tenggorokannya, wajahnya menjadi serius saat dia mengangguk kepada ku.
"Kuon-kun, aku sudah mengerti sebagian besar situasinya... Hmm, itu tidak baik."
"Eh? Apa maksudmu!?"
"Aku yakin setelah mendengar cerita itu. Fudo-senpai pasti sudah mulai lelah dengan hubungan kalian, Kuon-kun."
"Benarkah!?"
Aku tidak bisa menahan suara terkejut saat mendengar hipotesis mengejutkan dari Tsukimi-san.
"Lelah? Apa maksudnya itu...?"
"Coba pikirkan. Menurutmu, Fudo-senpai adalah orang yang sangat serius, kan? Meskipun kalian kalian berpacaran, sepertinya dia tidak akan bisa berinisiatif untuk mendekati Kuon-kun. Selain itu, meskipun Kuon-kun mengatakan banyak hal yang rumit, pada akhirnya dia hanya seperti pengemudi pemula dalam hal hubungan—hanya bicara tanpa tindakan. Oh, bukan dalam arti yang cabul."
"Tsukimi-chan juga tampaknya memiliki pola pikir yang selevel dengan Ku-chan..."
"Aku akan menganggap itu sebagai pujian. Bagaimanapun, dalam situasi di mana kalian berdua terus-menerus berdiam diri, tidak mungkin ada kemajuan. Ini seperti dalam kendo, di mana kalian mempertahankan jarak satu langkah satu pedang selama 6 bulan; sudah seharusnya Fudo-senpai merasa lelah."
"Ugh... Memang itu masuk akal!"
Rasa tidak berdaya ini memang tepat untuk menggambarkan keadaan ku. Betapa memalukannya situasi ini.
Melihat ku yang terkulai di atas meja, Tsukimi-san menggelengkan kepala dengan ekspresi sedih.
"Probabilitas pasangan SMA tetap bersama tanpa putus sangat rendah, itu adalah hal yang umum. Pergantian kelas, ujian, kelulusan—mengatasi berbagai kesulitan semacam itu dan tetap bersatu, itu seperti telur salmon yang dilahirkan harus mengarungi gelombang besar lautan untuk kembali ke sungai asalnya—jadi bisa dikatakan pasangan itu seperti salmon."
"Salmon!?"
Aku tidak tahu kenapa, tapi aku mulai merasakan kekuatan persuasif yang luar biasa.
Seolah-olah ada cahaya salmon di belakang Tsukimi-san.
"Sepertinya itu hanya halusinasi, ya...?"
Mariya-chan sedikit ragu-ragu berkomentar, tapi saat ini aku sama sekali tidak mendengarkan. Sebenarnya, aku ingin dia tidak mengganggu narasi.
Aku kemudian memutuskan untuk mencondongkan tubuhku ke depan, mengajukan pertanyaan pada Tsukimi-san.
"Tsukimi-san...tidak, biarkan aku memanggilmu sensei! Apa yang harus ku lakukan agar aku dan Gentetsu-senpai bisa mengatasi situasi ini?"
Memiliki teman yang dapat diandalkan memang sangat berharga. Meskipun kami baru berkenalan selama 2 bulan, aku yakin kalo Tsukimi-san adalah teman yang layak dipercaya.
Dia memiliki pengetahuan mendalam tentang berbagai hal, terutama dalam bidang subkultur.
Dalam situasi seperti ini, sepertinya aku harus memanfaatkan kebijaksanaannya.
"Hmm, 'sensei'...itu kedengarannya bagus. Jadi, Kuon-kun, izinkan aku bertanya, apa kau suka membaca rom-com?"
"Rom-com? Ya, aku sangat menyukainya! Terutama buku 'Sunasuna', itu adalah rekomendasi buku yang luar biasa."
Tanpa menunggu lama, aku segera mengeluarkan buku tersebut, dan Tsukimi-san tersenyum lebar.
"Bagus. Itu juga salah satu bukuku yang sangat aku rekomendasikan. Aku tidak menyangka bisa bertemu sesama penggemar di sini... Tapi, kalo kita bisa menggunakan 'Sunasuna sebagai bahasa umum, kita bisa langsung ke inti. Maksudku adalah, perang harus belajar dari buku strategi—dan cinta harus belajar dari rom-com, itu maksudnya."
"Jadi, 'Sunasuna' adalah 'Sun Tzu' bagi ku, begitu?"
[TL\n: Sun Tzu (juga ditulis Sunzi) adalah seorang filsuf dan ahli strategi militer dari Tiongkok kuno yang terkenal karena karyanya, "The Art of War" (Seni Perang), sebuah risalah militer yang masih dianggap relevan hingga saat ini dalam berbagai bidang seperti strategi militer, bisnis, politik, dan psikologi.]
"Benar. Seperti yang diharapkan dari seorang gadis jenius, kau cepat menangkap maksudku."
Dengan puas mengangguk, Tsukimi-san melanjutkan dengan jari telunjuknya terangkat.
"Jadi, ayo kita pikirkan lebih lanjut. Apa yang menurutmu ada dalam rom-com tapi tidak ada dalam hubungan kalian?"
Tsukimi-san mengajukan pertanyaan itu, dan aku menutup mata untuk berpikir.
"... Mungkin itu adalah pembatasan diri?"
"Ku rasa itu juga sebaiknya ada padamu. Karena kalo tidak, bukunya tidak akan bisa diterbitkan."
Meskipun aku tidak mengerti apa yang dia maksud, tampaknya itu bukan jawaban yang benar.
[TL\n: sama gua juga.]
"Bisa tolong beri tahu aku, Tsukimi-san? Apa yang sebenarnya kurang dalam hubungan kami?"
Dengan penuh harap, aku meminta penjelasan, dan Tsukimi-san mengangkat tangannya dengan serius──
"Itu adalah...tepatnya, acara-acara klasik!"
Dengan wajah percaya diri, dia berkata sambil menunjuk jari telunjuknya ke arah ku.
"Kuon-kun, sekarang kau tampaknya membabi buta mencoba untuk memajukan hubungan kalian secara sembarangan...tapi di sana tidak ada 'pemicu'. Tanpa itu, tidak mungkin ada bendera untuk kemajuan hubungan."
"Pemicu...ya?"
Saat aku memikirkan itu, Tsukimi-san mengangguk kecil.
"Dengarkan, Kuon-kun. Rom-com adalah, dalam istilah lain, rencana berantai."
"Rencana berantai...itu adalah salah satu dari 36 strategi dalam seni perang, yang secara bertahap melemahkan lawan melalui kombinasi taktik dan strategi."
"Benar."
"Pembicaraan macam apa ini..."
Mariya-chan, yang sedang menyantap bekal makan siangnya bergumam dengan menyipitkan matanya, untuk sementara aku akan mengabaikannya dan kami melanjutkan rapat strategi.
"Dalam mengembangkan rom-com, kalo kau hanya fokus pada tujuan besar, cerita tidak akan bergerak maju. Justru hal yang benar-benar penting dalam Rom-com adalah serangkaian acara klasik yang muncul secara kebetulan atau tidak terhindarkan dalam kehidupan sehari-hari."
"Acara klasik...?"
"Ya, benar. Misalnya, 'terlambat dan keluar sambil menggigit roti', 'secara tidak sengaja melihat sang heroin di atap saat senja', 'terjatuh dan kepala mendarat di payudara heroin', dan sebagainya."
"Contoh-contohnya terasa sangat kuno, apa itu oke?"
"Ini adalah pelajaran dari pengalaman, Tsukimi-kun. ...Tapi Bagaimanapun juga, akumulasi dari acara-acara kecil seperti itu akan menciptakan bendera, dan pengumpulan bendera itu akan memajukan hubungan kalian, itu akan menjadi kunci menuju acara-acara klasik yang lebih besar."
"Jadi, itu artinya... 'Roma tidak dibangun dalam sehari' ya!"
[TL\n: Pepatah "Roma tidak dibangun dalam sehari" berarti bahwa hal-hal besar, kompleks, atau berharga memerlukan waktu dan usaha yang lama untuk dicapai. Ungkapan ini digunakan untuk mengingatkan bahwa kesuksesan atau pencapaian penting tidak bisa diraih dengan cepat atau instan. Sebaliknya, diperlukan ketekunan, kesabaran, dan kerja keras yang berkelanjutan. Dalam konteks kehidupan, pepatah ini mengajarkan bahwa proses menuju sesuatu yang besar sering kali memerlukan langkah-langkah kecil dan waktu yang cukup, serta kesabaran dalam menghadapi tantangan atau kesulitan.]
Tsukimi-san mengangguk, seolah-olah mengonfirmasi jawaban ku.
"Benar. Untungnya, kita memiliki 'Sunasuna' sebagai buku panduan yang kuat. Kalo kau mengikuti itu dan menginisiasi acara-acara klasik dari pihak mu, pasti hubunganmu dengan Fudo-senpai akan berkembang."
Seperti yang diharapkan dari Tsukimi-san, dia memberikan nasihat yang sangat tepat.
Aku hanya bisa mengeluarkan desahan kagum.
...Tapi, ada satu masalah.
"Tsukimi-san, aku tidak bisa tidak mengagumi rencana yang sempurna ini. ...Tapi, apa Gentetsu-senpai yang sangat berhati-hati itu akan terjebak dalam jebakan semacam itu?”
Selama ini, aku sudah berusaha mendekati senpai berkali-kali. Tapi, setiap kali aku mendekati senpai, dia hanya memberikan jawaban datar dan tidak menunjukkan minat sedikit pun.
Menanggapi keraguan ku, Tsukimi-san dengan santai mengangguk.
"Ah, memang. Karena itu, kita akan menggunakan strategi ganda di sini."
"Strategi ganda...?"
Saat aku memiringkan kepalaku, Tsukimi-san berbisik di telingaku lagi dengan senyuman yang sulit dimengerti di wajahnya.
"Artinya──"
...Dan kemudian.
★ ★ ★
"Jadi, senpai, mari kita bertarung."
Setelah sekolah hari itu, aku langsung mengucapkan pernyataan itu kepada senpai yang sudah asyik membaca di ruang klub sastra.
Senpai memandangku dengan wajah datar untuk sementara waktu, sebelum berkata,
"Begitu ya. Semoga berhasil."
Dengan ekspresi datar, senpai mengalihkan kembali pandangannya ke novel yang sedang dibacanya.
"Tunggu, tolong dengarkan aku, senpai."
Aku tidak bisa membiarkan percakapan terhenti di sini. Dengan mata berkaca-kaca, aku memeluk lengan senpai, dan dia menunjukkan sedikit kebingungan di wajahnya sambil menutup bukunya.
"...Oke, oke. Jadi, hari ini ada apa? Aku harap itu hanya suara yang salah ketika kau mengatakan 'pertarungan'."
"Tidak, aku sudah mengatakan itu dengan jelas. Senpai, ayo kita bertarung."
Aku mengungkapkan niatku sambil semakin menggenggam lengan senpai yang kekar dan berotot. Senpai menekan dahinya dengan jarinya dan, dengan kebingungan yang jarang terjadi, dan dia mulai berbicara lagi.
"Aku tidak mengerti maksudmu, jadi aku ingin penjelasan."
"Baiklah, kalo itu yang senpai inginkan, aku akan menjelaskannya."
Dengan dada yang tegak, aku melanjutkan.
"Aku merasa senpai tidak beralih ke fase 'dere' (malu malu) sama sekali, jadi aku pikir tidak ada cara lain selain aku yang harus mengambil inisiatif... itu sebabnya aku melakukannya."
"Aku punya banyak hal yang ingin kukatakan, tapi...baiklah, setidaknya aku akan mendengarkan."
"Seperti yang diharapkan dari senpai, pembicaraannya sangat lancar dan membantu."
Ketika senpai menjawab dengan sedikit rasa was-was, aku mengangguk besar dan mengulurkan telapak tanganku ke depan.
"Pertarungannya adalah...tepatnya, 'pertarungan tokimeki'."
[TL\n: Tokimeki (ときめき) adalah istilah dalam bahasa Jepang yang menggambarkan perasaan deg-degan atau jantung yang berdebar-debar karena kegembiraan atau antisipasi. Kata ini sering digunakan untuk merujuk pada perasaan emosional yang muncul ketika seseorang merasa terpesona, jatuh cinta, atau merasakan sesuatu yang sangat menyentuh hati.]
"Ada apa dengan nama mencurigakan itu? Sepertinya aku tidak perlu mendengar lebih lanjut."
"Tolong tetap bersamaku selama satu menit lagi. Setelah iklan diputar, video akan dimulai."
"Biarkan aku melewatinya dalam 5 detik."
Sambil mengabaikan bantahan senpai, aku melanjutkan pembicaraan sepihak. Dalam situasi seperti ini, semangat sangat penting.
"Pertarungan ini berlangsung selama 5 hari, dengan 3 kemenangan untuk menang dalam 5 pertarungan. Aturannya sangat sederhana...setiap hari di dalam ruang klub sastra ini, kalo senpai merasa deg degan terhadapku, senpai akan kalah. Hanya itu saja."
"...Sederhana. Tapi juga kabur. Kau bilang 'deg degan', tapi bagaimana kita menilai itu?"
"Self-report dari senpai sudah cukup. ...Meskipun aku menyebutnya pertarungan, ini sebenarnya hanya permainan untukku agar bisa menghabiskan waktu yang sedikit menyenangkan dengan senpai. Jadi, jangan terlalu tegang. Aku tidak berniat melakukan hal yang tidak pantas."
Aku mengatakan ini dengan tegas, dan meskipun senpai terlihat sedikit curiga, dia tampaknya setuju.
"Permainan, ya. ...Yah, kalo kau bilang begitu, maka menurutku tidak sopan untuk langsung menolaknya."
Ini adalah reaksi yang sudah aku duga.
Tanpa sadar, aku membayangkan melakukan pose kemenangan sambil mengingat percakapan sebelumnya dengan Tsukimi-san.
──.
"...Pertarungan, ya?"
Mendengar kata-kata Tsukimi-san, aku tidak bisa menahan untuk bertanya balik.
"Ya, benar. Dengan menyebutnya 'pertarungan', Kuon-kun akan secara aktif memulai 'acara klasik'. Dengan syarat, jika kau merasakan deg degan, kau akan kalah."
"Tapi...apa Gentetsu-senpai akan mau ikut serta?"
"Tentu saja. Senpai Fudo-senpai pun pasti, dalam beberapa hal, ingin bergandeng tangan dengan Kuon-kun—justru dengan alasan 'pertarungan' ini, dia akan lebih mudah terlibat."
Mendengar kata-kata Tsukimi-san yang disertai senyuman percaya diri, aku pun mengerti.
"Semakin aku melihat peta yang Tsukimi-san gambarkan. Dengan nama 'pertarungan' sebagai kedok, kita akan menarik senpai, dan tujuan sebenarnya bukanlah hasil pertarungannya, tapi prosesnya—yaitu untuk memicu acara romansa dari pihak kita...jadi ini adalah strategi 'Koe Togeki Nishi' (suara timur, serangan barat) , ya?"
"Benar sekali. Hebatnya Kuon-kun, kau bisa memahami satu hal dan langsung menangkap 10. Ini sangat menghemat waktu."
Sebagai informasi, 'Koe Togeki Nishi' adalah istilah yang merujuk pada taktik serangan mendadak. Untuk penjelasan lebih lanjut, silakan cari saja di google.
[TL\n: asli ini bukan dari gua, ini emang dari Raw-nya. BTW 'Koe Togeki Nishi' atau suara timur, serangan barat adalah sebuah taktik militer dan politik yang berasal dari "The Art of War" oleh Sun Tzu. Maksud dari strategi ini adalah untuk membuat musuh berpikir bahwa serangan atau fokus utama akan datang dari satu arah (misalnya dari timur), padahal serangan sebenarnya datang dari arah yang berlawanan (misalnya dari barat). Ini merupakan bentuk pengelabuan atau tipuan untuk mengecoh musuh dan mengalihkan perhatian mereka dari serangan yang sebenarnya.]
Sambil mengangguk atas reaksiku, Tsukimi-san melanjutkan.
"Yang terpenting kali ini adalah melancarkan pertarungan itu sendiri. Entah menang atau kalah, setelah pertarungan ini berakhir, senpai Fudo-senpai pasti akan merasakan deg degan terhadap Kuon-kun. Itulah rencananya."
"Apa memang begitu...?"
Dengan sedikit keraguan, aku bertanya, dan Tsukimi-san dengan tegas mengangguk.
"Tenang saja, Kuon-kun itu imut bagi siapa pun yang melihatnya...dan yang terpenting, dia itu tipe yang kejam. Fudo-senpai pasti akan menyerah."
"Tipe yang menenangkan...memang, mungkin benar!"
"Ah, benar kan?"
"...Rasanya kata-katanya berbeda, ya?"
[TL\n: maksudnya. 残酷 (zankoku), yang berarti kejam. 落ち着く (ochitsuku), yang berarti menenangkan. Dia salah dengar mungkin(?).]
Mariya-chan, yang baru saja selesai makan siang, menggumamkan sesuatu, tapi mungkin itu hanya perasaanku saja.
Sambil menggenggam tinju dengan erat, aku mengumumkan dengan suara lantang,
"Siapkan dirimu, senpai—aku pasti akan membuat senpai mengatakannya, 'Aku mencintaimu'!"
"Oy, suaramu terlalu kencang, suaramu terlalu kencang."
Oh, tepuk tangan!
...Entah kenapa, dari teman-teman sekelas di sekitarku, yang sepertinya tidak tahu apa yang aku bicarakan, langsung bertepuk tangan.
──.
Jadi, mari kita kembali ke situasi semula.
Setelah beberapa saat hening, Gentetsu-senpai kembali membuka mulutnya.
"Ngomong-ngomong, Riya. Kalo ini adalah pertarungan, berarti ada arti kemenangan dan kekalahan, kan?"
Wah, senpai memang cerdas. Dia sangat perhatian.
"Yah, karena ini kesempatan, aku berharap kalo aku akan menang, dan senpai bisa memenuhi sedikit permintaanku."
"Permintaan?"
"Karena pertarungan ini bertujuan untuk mendekatkan jarak antara kita. Kalo aku menang, aku ingin kita pulang bersama mulai sekarang...bagaimana?"
Permintaan ini tidak ada hubungannya dengan perhitungan apa pun.
Sebenarnya, apa aku bisa menang atau tidak bukanlah hal yang terlalu penting. Meskipun begitu, kalo aku bisa menang—aku rasa permintaan semacam ini tidak akan merugikan.
Mendengar jawabanku, senpai mengernyitkan dahinya dan terdiam.
...Apa permintaanku terlalu besar? Karena terburu-buru, aku terlewat langkah dasar dalam negosiasi, yaitu mulai dari permintaan yang sangat besar lalu beralih ke permintaan yang lebih realistis.
Saat rasa cemas mulai muncul dalam diriku—akhirnya, setelah berpikir cukup lama, senpai membuka mulutnya.
"Baiklah."
"Begitu ya, jadi tidak bisa...eh, apa yang kau katakan barusan!?"
"Karena itu, aku bilang akan menerima tantangan itu. Kalo kau ingin berhenti, itu juga tidak masalah."
"Jangan sekali-kali bilang begitu!"
Dengan jawaban yang tidak terduga itu, aku menggelengkan kepalaku dengan keras.
"...Ah, jadi, aku juga perlu memikirkan tentang apa yang terjadi kalo aku kalah. Kalo tidak, itu tidak adil."
Tapi, senpai menggelengkan kepala.
"Tidak perlu. Ini kan 'hanya permainan', kan? Aku tidak berniat memberi hukuman apapun padamu hanya karena aku menang."
Dengan senyum masam yang jarang terlihat, senpai berkata begitu.
Aku tertegun sejenak menatap senpai, lalu cepat-cepat memulihkan diri dan mengangguk beberapa kali.
"Haha, meski kau menunjukkan sikap santai seperti itu, jika kita pulang bersama, aku tidak akan merasa bersalah!"
"Ya, benar. Aku akan lebih berhati-hati."
...Ah, hampir saja. Senpai bisa begitu santai menunjukkan sisi maskulinnya, membuatku terpesona.
Kalo aturannya adalah 'Kalo kau merasakan deg degan, kau kalah," mungkin aku sudah kalah satu poin.
──.
"Ngomong-ngomong, aku ingin kau melepaskan tanganku sekarang."
"Oh, kau menyadarinya?"
Sebenarnya, aku ingin menikmati sedikit lebih banyak momen bersamanya, tapi sayang sekali.