Kamu saat ini sedang membaca Senpai, watashi to shōbu shimashou. Tokimeitara makedesu! Iya shi-kei yōjo kōhai VS bujin-kei senpai volume 1 chapter 1. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
RUMAH, PERVERT, DAN TALI YANG PUTUS
Suasana hening memenuhi dojo pada pukul 5 pagi.
Di tengah ruangan berlantai kayu yang kosong dan remang-remang, aku menghembuskan napas yang terkumpul di dalam paru-paru dengan tenang.
Aku melangkahkan kaki kanan ke depan dengan mantap, lalu menurunkan Shinai yang kupegang dengan suara 'Ribaku'.
[TL\n: SHINAI adalah alat yang digunakan dalam olahraga Kendo, yaitu seni bela diri Jepang yang mengutamakan penggunaan pedang. Shinai terbuat dari empat batang bambu yang disatukan dengan tali, membentuk bentuk pedang yang ringan dan aman untuk digunakan dalam latihan atau pertandingan. Alat ini digunakan untuk mempraktikkan teknik serangan, pertahanan, dan gerakan dalam Kendo. Shinai menggantikan pedang tajam, yaitu katana, untuk menghindari cedera saat berlatih. RIBAKU adalah istilah dalam olahraga bela diri Jepang, khususnya dalam Kendo, yang merujuk pada teknik atau gerakan yang melibatkan serangan atau perlawanan dengan menggunakan shinai (pedang bambu). Dalam konteks Kendo, ribaku dapat merujuk pada pertemuan atau bentrokan antara shinai, terutama saat dua pemain bertemu di tengah-tengah serangan mereka. Ini bisa terjadi saat kedua pemain mencoba menyerang atau bertahan pada saat yang bersamaan, dan menghasilkan kontak langsung antara shinai mereka.]
Suara hentakan kaki di lantai, derit kayu yang halus, dan Shinai membelah udara.
Semua itu menggema sekaligus, memecah keheningan, tapi dalam sekejap, keheningan pun kembali seolah tidak ada yang terjadi.
Udara dingin dan keringat tipis di kening.
Keduanya menyejukkan tubuhku yang hangat akibat latihan ini, membuat darahku terasa didinginkan dengan nyaman.
Aku mengayunkan pedang ke bawah.
Mengayunkan ke bawah.
Mengayunkan ke bawah.
Mengayunkan ke bawah.
Setiap pagi, berlatih ayunan pedang di dojo di sebelah rumahku sudah menjadi rutinitasku sejak kecil.
Akan ku katakan sejak awal, kalo sebenarnya aku tidak ingin mendalami jalan ini lebih jauh, dan aku juga tidak berencana untuk meneruskan usaha keluarga ini.
Hingga saat aku masih duduk di bangku SD, kakek kadang-kadang membimbingku, tapu sejak kakakku memutuskan untuk mewarisi dojo ini, aku tidak lagi ditekan untuk melanjutkannya.
Jadi, sekarang aku hanya sesekali menggunakan dojo ini untuk melatih diri sambil menenangkan pikiran—semacam olahraga pagi layaknya senam radio.
Rumah yang juga berfungsi sebagai dojo aliran seni bela diri kuno mungkin terdengar seperti latar klise bagi tokoh utama light novel, tapi toh memiliki tempat ini cukup berguna bagiku di saat seperti ini.
Dengan pikiran yang mulai jernih, aku kembali memikirkan apa yang terjadi kemarin tentang Kuon. "Ayo bertanding," katanya.
Aku sudah cukup terbiasa dengan ide-ide aneh dari Kuon, jadi, sejujurnya, aku tidak begitu kaget kali ini.
Tapi, mengingat kecerdasan dan pemikirannya yang tajam, jelas dia tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak berarti tanpa tujuan.
"....Hmm,"
Dengan Shinai yang siap ku ayunkan lagi, aku diam-diam merenungkan pikiranku.
Dia mengatakan kalo itu pertandingan 5 babak. "Jika hatimu berdebar, kau kalah." Sebuah peraturan yang sangat umum dan bahkan diserahkan pada pengakuan diri sendiri.
Dia sempat mengatakan kalo dia menang, kami akan pulang bersama.
Tapi, mengingat sikapnya yang biasa, permintaan itu terbilang sederhana.
Rasanya wajar untuk mengira dia punya rencana lain di baliknya—tapi,
"Yah, anggap saja ini tidak masalah."
Aku mengayunkan Shinai sekali lagi dan bergumam pada diriku sendiri.
Sejujurnya, setelah menerima pengakuan darinya, aku sadar kalo aku tidak melakukan satu pun hal yang layaknya dilakukan seorang kekasih.
Ada sedikit perasaan bersalah dalam diriku.
Mengikuti permainan kecil semacam ini, setidaknya, mungkin bisa kulakukan.
Meski syaratnya—kalo dia menang, kami akan pulang bersama, yang mungkin itu akan sedikit menarik perhatian, pada dasarnya itu bukan masalah besar.
"Selama aku tidak kalah, itu sudah cukup."
ucapku lirih, sambil menatap gulungan kaligrafi di kejauhan bertuliskan Fudo-Fudetsu, tanpa berbicara kepada siapa pun dalam dojo yang sunyi.
[TL\n: Fudo-Fudetsu (不動不撤) adalah sebuah istilah dalam seni bela diri Jepang. FUDO (不動): Berarti "tidak bergerak" atau "tetap teguh," yang menggambarkan sikap atau keadaan mental yang tidak tergoyahkan, stabil, dan tidak mudah dipengaruhi. FUDETSU (不撤): Berarti "tidak mundur" atau "tidak menarik diri," yang mengarah pada sikap tidak menyerah atau tidak mundur dalam menghadapi tantangan. Secara keseluruhan, Fudo-Fudetsu mengacu pada prinsip untuk tetap teguh, tidak tergoyahkan, dan tidak mundur dalam situasi sulit atau dalam menghadapi lawan yang kuat. Dalam konteks Kendo, ini mengajarkan tentang ketahanan mental dan keberanian untuk tetap maju meskipun ada kesulitan atau bahaya.]
Hari ini adalah pertandingan pertama dari 5 babak.
Untuk menghormati Kuon, aku pun merasa perlu mempersiapkan diri dengan baik, sebagai seorang pejuang, hatiku harus sekeras baja, tak tergoyahkan oleh apa pun.
Mengingat namaku dalam hati, aku menegaskan tekadku, lalu meletakkan Shinai di tempatnya dan meninggalkan dojo.
★★★
Hari berlalu tanpa insiden, dan waktu terus berjalan hingga sepulang sekolah.
Ketika aku melangkah ke ruang klub sastra, Kuon sudah duduk tenang di tempatnya yang biasa.
"Kau datang lebih awal ya, Kuon."
"Hehe. Karena ini adalah pertandingan penting, jadi tanpa sadar aku merasa agak terburu-buru."
Aku mengajukan pertanyaan kepadanya ketika aku menuju ke tempat dudukku yang biasanya ketika dia dengan senang hati menjawab.
"Apa pertandingan itu sudah dimulai?"
"Ya. Seperti yang sudah kukatakan kemarin, ini pertandingan yang berlangsung selama 5 hari mulai hari ini."
"Aturannya, kalo aku deg-degan, aku kalah, kan?"
"Tepat sekali. Jika dalam satu hari ini saja senpai sampai deg-degan oleh pesonaku, maka senpai kalah."
"Jadi begitu."
Sebenarnya, aku selalu merasa kalo dia itu imut.
Tapi, mengatakannya sekarang dan dinyatakan kalah tentu tidak menyenangkan, jadi aku memilih untuk menyimpannya dalam hati.
Dengan tampang percaya diri, seperti biasa, Kuon mengeluarkan buku saku dari tasnya dan mulai membuka halaman-halamannya.
Meski katanya "kalo senpai sampai deg-degan oleh pesonaku, maka senpai kalah", sepertinya dia tidak akan melakukan sesuatu yang khusus untuk membuatku deg-degan.
Merasa sedikit bingung, aku menaruh tasku di meja tanpa memikirkan lebih jauh.
Meski berbagai hal membuatku tidak bisa mengalihkan pandangan dari apa yang mungkin Kuon lakukan, aku tidak ingin terus terbawa suasana yang dibuatnya.
Karena itu, aku mulai mencari buku untuk kubaca dari koleksi di ruang klub.
Rak buku berbahan logam yang menyandar di dinding ruangan begitu besar, hampir mencapai langit-langit.
Bahkan aku harus menggunakan tangga jika ingin mengambil buku di rak paling atas.
Buku-buku yang tertinggal di rak atas mungkin sudah terlupakan, tapi aku tidak merasa punya tekad yang cukup besar untuk mengambil tangga, jadi aku mencari buku di sekitar yang bisa kujangkau.
Sudah hampir setahun sejak aku bergabung di klub ini, tapi belum sampai setengah dari seluruh koleksi buku di sini yang kubaca.
Ini adalah 'kastil' buku-buku yang dibawa dan ditinggalkan para anggota klub sebelumnya sesuai selera mereka.
Mengikuti seri tertentu bisa menjadi tantangan karena buku-buku berserakan di seluruh ruangan, membuat pencarian cukup sulit.
Tapu, karena itulah, hanya dengan berada di sini setiap hari, aku selalu memiliki kesempatan untuk bertemu dengan buku-buku yang tidak pernah terpikirkan.
Setelah memeriksa beberapa buku, aku membuka-buka sebuah novel roman yang jarang sekali kugunakan.
Mungkin, menghadapi perilaku aneh Kuon, aku ingin mencari sedikit petunjuk.
Saat aku hendak kembali ke tempat duduk, Kuon tiba-tiba berdiri.
Meski begitu, tak ada yang aneh, sepertinya dia juga ingin mencari buku lain.
Dia mendekat ke sebelahku dan menatap rak buku, lalu berjinjit dengan seluruh tenaganya untuk mencoba meraih buku.
Saat aku melihat apa yang mau dia ambil, itu adalah novel sejarah... sejenis kisah militer.
Aku mengambilnya dari rak menggantikan Kuon yang berjuang menggapai buku dengan ujung jarinya yang gemetar, lalu menyerahkannya padanya.
Dia tersenyum lebar dan berkata, "Terima kasih banyak."
Senyuman sederhana seperti ini sangat polos dan sesuai usianya.
Sambil tersenyum masam dalam hati, aku mulai berbicara.
"Kau memilih buku yang tidak biasa untukmu."
"Ya, saat ini aku merasa ingin belajar tentang strategi perang."
"Apa kau berniat menjadi panglima perang Sengoku?"
"Kurang lebih begitu. Mereka bilang cinta itu mirip perang, kan?"
Aku tidak paham maksudnya, tapi ini bukan hal yang aneh darinya, jadi aku memilih tidak mengejarnya lebih jauh.
Saat aku hendak kembali, Kuon tiba-tiba memanggilku lagi.
"Uhm, senpai. Kalo boleh, ada satu buku lagi yang ingin kuambil. jadi bisakah kamu membantuku?"
"Tidak masalah. Buku yang mana?"
"Itu."
Saat dia mengatakan itu, dia menunjuk ke sampul keras tebal yang menempel di rak paling atas rak buku. Di punggung buku tertulis '7 Kitab Wu Jing', itu adalah kumpulan strategi militer dari Tiongkok kuno.
"....Kau ingin menjadi seperti Tokugawa Ieyasu?"
[TL\n:Tokugawa Ieyasu (1543–1616) adalah seorang tokoh penting dalam sejarah Jepang yang mendirikan shogunat Tokugawa, sebuah pemerintahan militer yang bertahan selama lebih dari 250 tahun (1603–1868). Ieyasu memainkan peran kunci dalam menyatukan Jepang setelah periode sengoku (periode perang saudara), yang ditandai oleh ketidakstabilan politik dan perang antar daimyo (penguasa lokal).]
"Suatu hari nanti, aku ingin mencoba mencapainya."
...Tidak ada gunanya mengkhawatirkan mengapa hal seperti ini ada.
Mungkin beberapa anggota klub di masa lalu adalah otaku militer yang serius.
Aku menyingkirkan rasa penasaran dan menatap ke atas sambil bergumam.
"Dengan tinggi seperti ini, aku rasa aku pun tidak akan bisa menggapainya. Kita harus menggunakan tangga."
Aku mengambil tangga lipat yang tersimpan di sudut ruang klub dan menempatkannya di depan rak.
Saat aku hendak menaiki tangga, tiba-tiba Kuon berkata,
"Senpai kau tidak perlu repot-repot melakukan itu. Aku sendiri yang akan mengambilnya...hanya saja, akan lebih aman kalo senpai bisa berjaga di bawah untuk berjaga-jaga dari kemungkinan kecelakaan."
"Baiklah, tentu saja."
Aku mengangguk, dan Kuon mulai menaiki tangga dengan langkah yang sedikit goyah.
Apa dia akan baik-baik saja?
"Kuon, apa kau pernah menggunakan tangga sebelumnya?"
"Tidak, ini pertama kalinya... dan ternyata ini lebih menakutkan dari apa yang kubayangkan..."
"Mungkin sebaiknya aku saja yang naik."
"Tidak perlu! Senpai cukup menunggu di sana dan lihat saja!"
Dengan suara yang agak kuat, Kuon naik sampai di langkah tertinggi yang bisa dijangkau.
Karena dia mengenakan rok, rasanya tidak pantas jika aku melihat ke atas, jadi aku hanya memalingkan pandanganku sambil tetap menahan tangga.
"Sudah dapat?"
"Belum... sedikit lagi, sedikit lagi..."
"Baiklah."
Aku menunggu beberapa saat lagi.
Setelah berjuang sekitar satu menit, Kuon berkata, "Sudah selesai..." dengan suara yang sedikit tertekan karena suatu alasan.
Aku menerima buku itu lebih dulu dan meletakkannya di meja, lalu membantunya turun dari tangga.
Saat kurasa semua sudah selesai, Kuon memanggilku lagi.
"Senpai, senpai! Boleh aku mengambil buku yang di sana selanjutnya?"
Yang dia tunjuk adalah rak buku lain di bagian paling atas lagi.
Sepertinya hari ini dia tertarik membaca buku-buku yang sulit dijangkau.
Aku pun memindahkan tangga ke lokasi yang ditunjuknya, dan Kuon naik lagi.
Sambil melihat ke bawah dengan wajah serius, dia berkata,
"Senpai, mungkin dari posisi senpai sekarang, bagian dalam rokku akan terlihat jelas. Tapi, tolong jangan lihat ya."
"Tenang saja, aku tidak tertarik melihat ke dalam rokmu."
Mendengar jawabanku, dia entah kenapa cemberut.
"Pokoknya, senpai tidak boleh lihat, ya. Aku bahkan memakai celana dalam khusus yang agak...menarik hari ini untuk senpai, tapi tetap saja senpai tidak boleh lihat!"
"Seperti yang kukatakan, aku tidak berniat melihat. Dan lagi, apa kau perlu memberitahuku soal itu?"
Informasi yang tidak perlu malah membuat situasi semakin canggung.
Sambil mengangkat bahu, aku menahan tangga dengan ke-2 tanganku seperti sebelumnya.
Pandanganku tetap lurus ke depan.
Posisiku membuat betis ramping Kuon tampak tepat di depan mataku.
Memang, sedikit saja aku mengubah sudut pandangku, aku bisa melihat bagian dalam roknya—sebuah posisi yang cukup rawan.
Baru sekarang kusadari, biasanya dia lebih suka memakai stoking karena katanya itu terlihat lebih dewasa, tapi hari ini dia malah memakai kaus kaki selutut.
Jadi, kalo aku sedikit menunduk lagi, aku bisa mendapatkan "kyaa, senpai mesum!" momen klise itu.
"...Bisakah kau berhenti berusaha membacakan pikiranku? Apa itu tujuanmu sejak awal?"
"Tujuan? Hm, aku tidak tahu apa yang senpai maksud."
Saat kutanya Kuon, yang tadi bergumam seakan mencoba 'menyusupkan' pikirannya ke dalam pikiranku, dia tertawa kikuk dengan cara yang sangat kentara.
Jadi begitu, rupanya ini bagian dari rencananya untuk membuatku 'deg-degan' melalui semacam kejadian kecil ini.
... Tapi, apa dia tidak punya rencana yang lebih baik dari ini?
"Senpai, senpai, sudahlah, kau tidak perlu terlalu memikirkan hal kecil. Ayo, coba lihat ke atas! Ini kan dari sudut pandang senpai, jadi senpai harus benar-benar 'mengamati' bagian dalam rokku supaya pembaca bisa merasakan adegannya, dan biar ada ilustrasinya juga!"
[TL\n: jir si Kuon nyadar kalo ada kami, si pembaca, mana dia ngarti lagi apa yang diinginkan kami sebagai pembaca.]
"Jangan berpikir soal pembaca yang tidak ada."
"Tidak, bagaimanapun juga aku harus menghindari situasi di mana celana dalamku terlihat jadi 'tidak pasti terlihat atau tidak' seperti dalam eksperimen Schrödinger! Kalo begini, mungkin lebih baik kuangkat saja rokku... tapi itu bisa merusak citraku sebagai heroin... Apa yang harus kulakukan!"
[TL\n: maksudnya tentang eksperimen kucing dalam kotak (eksperimen fisika kuantum), ini tu eksperimen imajiner Schrödinger. Eksperimen ini menggambarkan sebuah kucing yang ditempatkan dalam kotak tertutup bersama alat yang dapat membunuhnya, berdasarkan peluruhan atom radioaktif. Jika atom tersebut meluruh, alat akan menghancurkan botol asam sianida yang akan membunuh kucing. Namun, jika atom tidak meluruh, kucing tetap hidup. Menurut teori mekanika kuantum, sebelum kita membuka kotak, atom tersebut berada dalam keadaan "superposisi" antara meluruh dan tidak meluruh. Dengan demikian, kucing berada dalam keadaan "hidup dan mati" secara bersamaan, sampai ada pengamatan yang dilakukan (dengan membuka kotak) lebih jelasnya kalian bisa liat pembahasannya di Youtube.]
"Cepat ambil bukunya dan turun."
Mendengar itu, Kuon dengan enggan mulai menarik buku yang terselip rapat di atas.
"Hm, ini agak susah... Terlalu padat terselip."
"Kalo memang berbahaya, jangan memaksakan diri oke?"
"Tidak masalah. Tinggal sedikit lagi...dan... yey, akhirnya—eh, kyaaa!"
Sepertinya dia berusaha menariknya dengan paksa.
Akibatnya, saat buku itu berhasil dia tarik, dia kehilangan keseimbangan dan nyaris terjatuh dari tangga.
"Ugh...!"
Aku segera melepaskan peganganku pada tangga dan memprioritaskan untuk menangkap tubuhnya.
Walaupun tangganya tidak sampai jatuh, aku tetap jatuh ke lantai sambil memeluk tubuh Kuon untuk menahannya.
Aku tidak bisa mengurangi benturan karena ke-2 tanganku memegangnya, tapi untungnya tubuhnya yang mungil membuat dampaknya tidak terlalu parah.
"Kuon, apa kau baik-baik saja?"
"Ya, terima kasih, berkat senpai aku baik-baik saja... tapi senpai!"
"Tenang saja, seperti yang kau lihat, aku ini kuat, jadi tidak ada masalah."
Sambil berkata begitu, aku bangkit perlahan dengan tubuh Kuon dalam pelukanku.
Sekarang posisinya, dia duduk di pangkuanku.
"... Maafkan aku, senpai. Karena aku, senpai jadi kerepotan."
Masih duduk di pangkuanku, Kuon bergumam dengan wajah sedikit lesu yang jarang terlihat darinya.
Aku hanya mengangkat bahu ku sambil menggelengkan kepala ku pelan.
"Jangan khawatir. Kalo aku merasa kerepotan karena hal seperti ini, aku tak akan bisa jadi pacarmu, kan?"
"Ah, kalo begitu baguslah... tapi, tunggu sebentar, Gentetsu-Senpai? Apa maksud dari perkataan mu tadi?"
"Coba pikirkan dengan menaruh tanganmu di dadamu sendiri."
"Kurasa akan terasa lebih baik kalo Senpai yang menyentuhnya, bagaimana menurut mu?"
"Aku akan menolak dengan hormat."
Sepertinya dia mulai menunjukkan suasana hati yang lebih ceria.
Tapi, kuharap dia tidak terlalu menunjukkan keinginannya terlalu jelas.
"Sudah saatnya kau berdiri dari sana. Aku tak bisa bangkit."
Begitu kukatakan itu pada Kuon yang masih duduk di pangkuanku, dia malah menggelengkan kepalanya dengan wajah serius.
"Umm, aku akan sangat berterima kasih, kalo kau bisa memberiku sedikit waktu lagi."
"...Apa kau terluka di suatu tempat?"
Aku memperhatikannya secara keseluruhan.
Setidaknya, di bagian tubuhnya yang terlihat, tidak terlihat ada memar atau luka.
"Tidak, bukan karena itu, hanya saja aku ingin menikmati posisi 'menggendong seorang putri' ini sedikit lebih lama."
...Baiklah, aku tarik ucapanku.
Dia benar-benar kembali seperti biasanya.
"Cepat bangun."
"Kyaaa!"
Dengan menggunakan kekuatan tanganku, Aku dengan lembut mengangkat tubuhnya dan memindahkannya ke lantai, setelah itu, aku bangkit berdiri lalu menempatkan kembali tangga lipat ke pojok ruangan.
Sambil duduk, Kuon memandangku dan menghela napas puas.
"Wah, aku benar-benar menikmati saat-saat bersama Senpai."
"Bahkan setelah terjatuh pun, kau tetap tidak mau menyerah begitu saja, ya."
"Oh, rupanya Senpai mengetahui pepatah keluarga kami."
...Pepatah yang sangat sederhana untuk keluarga konglomerat yang menduduki peringkat 1 atau 2 dunia.
Tapi mungkin, karena prinsip sederhana itulah keluarga mereka bisa menduduki posisi setinggi itu.
"Ngomong-ngomong, Senpai, menurut mu, bagaimana kejadian barusan? Apa itu membuat jantungmu deg-degan?"
"Tidak... memang tadi itu hampir membuat jantung hampir berhenti, tapi hanya sebatas itu."
"Tidak mungkin! Dalam Rom-com, kejadian seperti tadi biasanya masuk kategori 'fan service', lho!? Kalo tokoh utama dalam Rom-com yang profesional, dia pasti sudah menyisipkan beberapa aksi agak mesum sebanyak 3 kali! Senpai, berikan monolog semacam, ‘Tubuh Kuon sangat kecil, tapi lembut, hangat, dan dia sangat wangy...’ Sekarang pun masih belum terlambat! Ayo, mulai!"
"Tidak akan."
Aku menghela nafas dan menekan dahiku.
"Hei, izinkan aku menanyakan ini... kau tidak akan melakukan hal semacam ini terus selama 4 hari ke depan, kan?"
"Ya, aku memang berniat melakukannya... Tapi tenang, mulai besok aku akan lebih memperhatikan keselamatanku, kok."
Itu memang masalah, tapi bukan itu masalah yang kumaksud.
"Lagi pula, hari ini juga hari aman ku. Maksudku, aku masih..."
Kata berikutnya dihilangkan.
"...Belum haid pertama."
Meski aku berkata kalo kata berikutnya dihilangkan, dia tetap mengatakannya.
──。
Setelah obrolan konyol itu selesai, Kuon yang tadinya duduk di lantai akhirnya mencoba berdiri.
Tqpi, gerakannya tiba-tiba terhenti di tengah jalan.
Aku memandangnya dengan penasaran, lalu dia mengangkat tangannya dengan sikap agak malu-malu.
"Um, Senpai. Aku ingin melaporkan sesuatu."
"Apa itu?"
"Agak sulit sulit untuk aku mengatakannya, tapi singkatnya... celana dalamku terlepas."
"......Apa?"
"Maksudku, celana dalamku copot. Aih, Senpai ini, apa ini semacam permainan memalukan karena kau memaksaku mengatakannya berkali-kali?"
"Mendengar kali kau mengenal rasa malu membuatku sedikit lega..."
Sambil memandang Kuon yang wajahnya sudah memerah, aku menekan dahiku dan menggelengkan kepalaku.
"....Tapi, ada terlalu banyak hal yang perlu aku tanggapi, jadi aku tidak tahu harus mulai dari mana."
"‘Menanggapi’ katamu, apa kau benar-benar ingin melawan peraturan pemerintah?"
"Aku sudah menduga kau akan menjawab seperti itu, dan aku sudah menyesalinya... Tapi bukan itu maksudku. Kenapa tiba-tiba... pakaian dalammu bisa terlepas hanya karena itu?"
"Oh, kau malu mengatakan 'celana dalam', ya?"
"Diam."
"Seperti yang tadi kukatakan, celana dalam yang kupakai hari ini itu... khusus. Bisa dibilang ini jenis yang cukup minim dalam hal... penahan. Singkatnya, tipe yang diikat tali."
Sambil memutar-mutar jari telunjuknya, Kuon mengatakannya tanpa ragu.
...Kupikir ini hanya lelucon khas dirinya, tapi ternyata dia serius.
Kenapa gadis ini selalu bertindak begitu impulsif dan tidak biasa?
"Seorang gadis yang jatuh cinta, akan mengenakan pakaian dalam seksi demi orang yang disukainya."
"Jangan katakan hal vulgar seperti itu dengan manis."
"Haruskah aku mengatakannya dengan lebih... menggoda?"
"Bukan itu maksudku."
Bagaimanapun, melihat Kuon yang terlihat tidak nyaman sambil terus-menerus menggesekkan kakinya, sepertinya dia tidak sedang bercanda.
Sambil duduk dan menekan roknya, Kuon melanjutkan.
"Tapi serius, ini masalah besar. Sepertinya akibat guncangan tadi, bagian talinya... yah, kira-kira pada bagian sambungannya... bagian itu putus. Oh, 'bagian sambungan' itu terdengar agak... menggoda, ya?"

[TL\n: ni loli meresahkan bet, bangsat.]
"Kenapa kau selalu harus berputar-putar dulu sebelum sampai ke inti pembicaraan...? Lagipula, bukankah pakaian dalam seharusnya tidak mudah terlepas seperti itu?”
"Yah, itu mungkin memang dirancang agar... mempermudahmu menyelesaikan sesuatu dengan cepat."
"Pikiran yang sama sekali tidak diperlukan..."
Kuon terlihat tetap santai meskipun kata-katanya tidak cocok dengan ekspresinya, dan dia menyilangkan tangannya dengan tenang.
"Pokoknya, kalau terus begini, meski aku mengenakan rok, aku harus menjalani sisa hari ini sampai aku pulang ke rumahku dengan bagian bawah tubuh yang... bisa dibilang sama saat aku lahir. Jadi, Senpai, aku punya permintaan padamu."
"Apa itu?"
"Bisakah Senpai mengambilkan cadangan celana dalamku yang ada di loker kelasku?"
".......Kenapa harus aku?"
Kuon menjawab dengan emosi negatif yang bisa dia kumpulkan, dan melanjutkan dengan ekspresi yang sangat serius.
"Yah, kan memang begitu. Kalo aku pakai lagi celana dalamku yang talinya putus ini, bisa-bisa celana dalamku malah jatuh lagi, jadi celana dalam cadangan benar-benar diperlukan. Untungnya, aku selalu menyimpan celana dalam cadangan di loker untuk saat-saat darurat seperti ini. Yang perlu Senpai lakukan hanya pergi ke kelasku dan mengambilnya."
"Terkadang aku sungguh tidak bisa membedakan apa kau serius atau hanya bercanda."
"Aku selalu serius, terutama demi masa depan cerah kita bersama."
Aku sudah kehabisan tenaga untuk merespons leluconnya.
"Senpai, kumohon. Kalo aku pergi ke kelas dan ada angin tiba-tiba yang bertiup, aku bisa saja dicap sebagai gadis jenius cantik, eksibisionis, dan loli bitch selama 3 tahun ke depan , Kalo sampai itu terjadi, aku bisa menarik perhatian orang-orang jahat dan mungkin aku akan dipaksa menampung cairan putih encer yang mereka keluarkan. Apa yang seharusnya menjadi Rom-com murni malah berubah menjadi NTR yang keras, jadi senpai kumohon..."
[TL\n: Eksibisionisme adalah suatu kondisi psikologis di mana seseorang merasa terangsang secara seksual ketika memperlihatkan tubuh atau organ intim (memek, oppay, dll) mereka kepada orang lain, tanpa persetujuan. Ini biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian atau mengejutkan orang lain, dan sering kali terkait dengan perilaku yang melanggar norma sosial atau hukum. Dalam konteks psikologi, eksibisionisme dianggap sebagai salah satu bentuk gangguan parafilia, yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan emosional seseorang.]
Dengan penuh permohonan, Kuon menatapku.
Ada terlalu banyak hal yang ingin ku tanggapi, bahkan mungkin sampai ke level tertinggi.
Tapi, menghadapi tatapannya, aku hanya bisa menghela nafas panjang dan menggelengkan kepalaku.
"Maaf, tapi untuk hal sejauh itu, aku tidak bisa membantumu. Tolong ambil sendiri. Lagipula, di dalam sekolah tidak ada angin, jadi kau akan baik-baik saja."
Ini adalah benih yang dia tabur sendiri.
Jika aku terlalu cepat menawarkan bantuan tanpa alasan jelas, hal ini mungkin saja memberikan dampak negatif pada perkembangan pribadinya.
Meskipun aku merasakan sedikit rasa bersalah di dadaku, aku mengatakan ini dengan tegas sambil menyilangkan tanganku.
Ya, memang seharusnya tidak baik untuk selalu memanjakannya.
Tidak peduli betapa gelisahnya dia, sambil memandangku dengan tatapan penuh harap meminta bantuan.
Tapi, aku sama sekali tidak bisa, sama sekali tidak boleh membantunya kali ini.
★★★
Sepulang sekolah, pukul 16.30.
Aku berjalan menyusuri koridor yang disinari cahaya matahari sore yang lembut, dan akhirnya tiba di depan ruang kelas Kuon—kelas 1-B.
...Oh, tolong jangan katakan apa pun.
Aku tahu betul apa yang ingin kalian katakan.
Aku mengerti, aku benar-benar mengerti.
Tapi, izinkan aku juga mengatakan sesuatu.
Ini tidak bisa dihindari.
Kalo dipikirkan dengan tenang, Kuon sebenarnya tidak sengaja merusak tali celana dalamnya.
Dalam penafsiran hukum, niat atau apakah itu disengaja atau tidak sering kali menjadi hal yang penting.
Dari sudut pandang itu, kejadian ini jelas merupakan sesuatu yang tidak diprediksi oleh Kuon.
Bisa dibilang ini adalah sebuah kecelakaan.
Jika begitu, sebagai pacarnya, tentu saja aku harus menolongnya.
Memang, ada pepatah yang mengatakan 'seekor singa akan mendorong anaknya ke lembah seribu hiro', tapi untuk kali ini, situasinya berbeda.
[TL\n:Pepatah seekor singa akan mendorong anaknya ke lembah seribu hiro mengandung makna mendalam tentang pembentukan karakter dan ketangguhan. Dalam konteks pepatah ini, "lembah seribu hiro" (di mana hiro adalah satuan panjang Jepang, sekitar 1,8 meter) melambangkan sebuah ujian atau tantangan yang berat. Pepatah ini menggambarkan bagaimana orang tua (diumpamakan sebagai singa) harus membiarkan anak-anak mereka menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan dalam hidup agar mereka menjadi lebih kuat, mandiri, dan tangguh. Dengan "mendorong anaknya ke lembah," artinya orang tua memberikan kesempatan bagi anak untuk mengatasi rintangan dan belajar dari pengalaman, meskipun terasa sulit atau menakutkan. Tujuannya adalah agar anak-anak mampu berkembang menjadi pribadi yang tegar dan siap menghadapi berbagai situasi dalam kehidupan.]
Ini bukan masalah memanjakannya atau bersikap lembek, itu bukan intinya.
...Bagaimanapun juga, inilah sebabnya aku datang ke sini untuk mengambilkan celana dalam Kuon.
Aku mendekat dan mendengarkan suara-suara yang datang dari dalam ruang kelas.
Sepertinya masih ada beberapa orang di dalam, mungkin sekelompok siswi yang sedang mengobrol santai.
Ini agak merepotkan, aku menghela napas.
Loker tempat Kuon menyimpan barang-barangnya ada di bagian belakang kelas.
Jika aku masuk dan mengacak-acak lokernya sekarang, itu bisa berakhir dengan kehancuran kehidupan sosialku.
Terlebih lagi, jika aku keluar sambil membawa celana dalamnya, tidak ada lagi cara untuk menjelaskan situasi ini.
Mungkin aku harus menunggu sampai siswi-siswi itu pulang.
Itu tentu langkah yang lebih aman, tapi sepertinya itu tidak akan berhasil.
Ada aturan di sekolah kalo siswa terakhir yang keluar dari kelas harus mengunci pintu, jadi begitu mereka pulang, kelas akan terkunci.
Bagaimanapun, kesempatan ku hanyalah sekarang.
Entah bagaimana aku harus mencari cara untuk mengambil celana dalam Kuon tanpa menarik perhatian siswi-siswi lain—untuk itu, aku perlu merencanakan langkah-langkahnya dengan hati-hati.
Aku mengintip ke dalam melalui jendela kecil di pintu, memeriksa posisi musuh... maksudku, siswi-siswi yang tidak bersalah di dalam.
Di tengah kelas, aku melihat ada 4 atau 5 orang yang duduk mengelilingi sebuah meja, mereka terlihat serius melihat sesuatu bersama-sama.
"Apa kalian semua sudah siap... Kalo begitu, ayo kita mulai ritual pemanggilannya."
Pemanggilan?
Aku merasa ada yang aneh dan berpikir ini mungkin bukan genre yang tepat, tapi saat aku memperhatikan mereka, para siswi yang berkumpul perlahan-lahan meletakkan jari telunjuk mereka di atas meja.
Di bawah ujung jari mereka, terdapat sebuah koin 10 yen.
Di atas meja ada sebuah kertas yang bertuliskan simbol aneh yang sepertinya itu ditulis tangan – sepertinya mereka sedang memainkan permainan meramal yang disebut papan Ouija atau Kokkuri-san.
"...Fungurui, muguruna fu..."
...Benarkah ini Kokkuri-san?
Aku merasa sedikit ragu dengan mantra yang bisa membuatku merasa seperti kehilangan kewarasan, tapi tampaknya mereka memang sedang melakukan semacam ritual semacam itu.
Aku hampir terperangkap dalam suasana yang semakin terasa misterius dan mencurigakan di dalam kelas, tapi aku terus mengamati perkembangan situasi.
Dilihat dari posisi duduk para siswi, sepertinya tidak ada celah untuk bersembunyi.
Kalo aku berniat menyelinap, tidak ada kardus atau benda lain yang bisa digunakan untuk menyembunyikan diriku.
Aku berpikir keras tentang apa yang harus dilakukan... saat itu, suara para siswi yang melantunkan mantra semakin keras.
"Ugafunaguru, futagun... ia, ia, ia—!!"
Aku mulai merasa khawatir tentang apa yang sebenarnya mereka lakukan, tapi dalam situasi yang penuh ketegangan itu, aku teringat pada sebuah ide.
Itu bukanlah cara yang aku inginkan, tapi dalam keadaan terdesak, aku tidak punya pilihan lain.
Aku mengambil keputusan dan, dengan hati yang bulat, aku mengetuk pintu dengan keras tanpa merusaknya.
Ke-2 ketukan keras itu membuat para siswi terkejut dan mereka menoleh dengan cepat.
"...Eh, apa itu tadi...?"
"Suara keras... apa itu...?"
Aku tidak mendapatkan perhatian mereka sebelumnya, jadi aku mengetuk pintu sekali lagi, kali ini lebih keras.
Saat itu, salah seorang dari mereka menoleh ke arahku dan tiba-tiba matanya terbelalak.
"Perhatikan, 'Gurita Perempuan'... di sana!"
Salah satu siswi yang tampaknya menjadi pemimpin ritual pertama kali (dan yang memimpin pembacaan mantra) menatapku dan matanya bertemu dengan mataku.
Aku yang biasanya sudah dianggap menakutkan oleh orang-orang yang lewat di jalan, mendapat nama-nama julukan kasar dari orang-orang yang merasa terganggu dengan cara pandangku—sebuah ekspresi wajah yang membuat orang-orang merasa cemas (yang aku sesali)—sekarang, dengan sengaja, aku menambah ketakutan itu lebih dalam lagi dengan mengerutkan kening dan menambah tekanan pada ekspresiku.
Begitu mataku bertemu dengan matanya, dia menjerit.
"Ah, jendela! Lihat di jendela!"
"Hah... eeeek!!??"
"Ahhhhhhh!!!??"
"Ke-keluar!! Ahhhhhhhhhh!!!"
Setelah mereka mengeluarkan teriakan yang keras dan aneh, keempatnya secara bersamaan terhenti, tubuh mereka bergetar hebat sebelum akhirnya terkulai lemas dan tidak bergerak lagi di tempat.
Dengan hati-hati, aku membuka pintu dan masuk ke dalam, namun tidak ada seorang pun yang bergerak sedikit pun.
Aku memperhatikan mereka, dan ternyata mereka semua terkulai dengan mata terbalik, seolah pingsan.
"....Begitu rupanya...?"
Sebenarnya aku hanya berniat menakut-nakuti mereka supaya mereka langsung keluar dari kelas, tapi melihat efek yang jauh lebih ekstrem dari yang aku bayangkan, aku merasa sedikit terkejut dan malah merasa sedikit cemas.
Atau lebih tepatnya, aku bertanya-tanya apa wajahku seseram itu...Aku akhirnya menderita kerusakan mental yang sulit untuk diabaikan.
Selain itu, sebagai imbalan atas kerusakan mentalku yang serius, pada akhirnya saya bisa membungkam mereka.
Aku berpikir untuk segera bertindak—dan dengan cepat, aku melangkah memasuki kelas, memandang ke sekeliling mencari loker di bagian belakang.
Loker milik Kuon dapat dengan mudah aku temukan.
Aku lalu menggunakan kunci yang aku terima darinya, aku membukanya dan di dalamnya terdapat seragam olahraga dan beberapa buku catatan yang tertata rapi—dan entah kenapa, sebuah celana dalam putih tergeletak begitu saja di atas barang-barang tersebut.
『Pastikan untuk menyebutkan kalo itu celana dalam dengan cetakan gambar beruang, Gantetsu-senpai...』
Tiba-tiba, suara aneh terngiang di kepalaku, tapi aku berusaha mengabaikannya.
Ini kan cerita Rom-com modern, jadi aku berharap author tidak membuat lelucon aneh semacam itu.
Apa pun itu, aku langsung meraih celana dalam putih tersebut tanpa berpikir panjang, dan segera mengunci kembali loker sebelum berencana untuk keluar dari kelas.
Tapi, saat itu juga...
"Apa yang sedang kamu lakukan di sana?"
Aku menyadari kalo aku sedikit kehilangan konsentrasi dalam situasi ini.
Tanpa aku sadari, ada seorang siswi berdiri di pintu kelas, dan aku baru menyadari keberadaannya.
Dia memiliki rambut hitam berkilau dan wajah yang sangat manis.
Meskipun tidak setinggi Kuon, postur tubuhnya cukup tegap, taoi ada sesuatu yang terasa sangat tajam dan berwibawa darinya.
Meskipun dia hanya berlatih bela diri dalam waktu singkat, aku bisa merasakannya.
Siswi ini—bukan orang sembarangan.
Dengan penuh perhatian, aku menyadari otot-ototku tegang, siap untuk bergerak kapan saja.
Itu adalah kebiasaan ku yang sudah tertanam sejak kecil melalui latihan yang tidak terhitung jumlahnya.
Siswi itu menatapku dengan mata tenang, seperti permukaan danau yang tak bergerak, sementara aku mulai berkeringat dingin.
Setelah itu, dia melirik ke loker Kuon yang baru saja kututup, seolah mengerti sesuatu.
Dia mengangguk kecil dan mengucapkan "Ah" lalu mengangguk.
"Jadi begitu...Jadi, kau adalah Fudou-senpai."
Begitu dia mengatakan itu, aura yang tadinya terkesan menekan langsung menghilang dan berubah menjadi senyuman lembut yang ramah.
Melihat perubahan itu, aku merasa sedikit terkejut dengan perbedaan suhu emosional yang tiba-tiba muncul.
Kemudian, dia membungkukkan kepalanya dengan sopan dan melanjutkan,
"Senang bertemu denganmu, aku adalah Tsukimi Hourai, teman dari Kuon-kun. Sepertinya kau sering membantu Kuon-kun, ya?"
"Oh, ah... iya..."
Meskipun seharusnya dia adalah kohai-ku, cara bicaranya yang agak angkuh malah terasa cocok dengan dirinya, dan entah kenapa aku tidak merasa kesal.
"Meski kau tidak mengatakan semuanya, aku kira aku tahu apa yang terjadi. Mungkin itu sesuatu yang menyebabkan Kuon-kun perlu mengganti pakaian dalamnya, ya?"
"Itu tidak benar."
"Oh, apa itu salah? Apa itu yang seperti, 'Hmm, sepertinya kotor... huhu'?"
Aku mulai berpikir, apa teman-teman Kuon ini memang saling menarik tipe yang sama?
Meskipun sedikit lelah, aku tetap menggelengkan kepalaku dan berbalik menatap Tsukimi, kohai yang baru saja berbicara.
"Untuk rincian itu, tanya langsung pada yang bersangkutan nanti. Maaf, tapi setiap detik sangat penting saat ini."
"Oh, aku mengerti. Sasa, lebih baik kau segera pergi sebelum mereka yang sudah kehilangan kesadaran itu bangun."
Setelah mengangguk pada sarannya, aku melangkah keluar dari kelas, melewati dia.
Saat itu, Tsukimi berkata dengan suara pelan, "Oh, satu hal lagi."
"Apa itu?"
"Sepertinya lebih baik kau menyimpan itu di dalam sakumu, oke?"
".....Terima kasih atas sarannya."
Aku dengan cepat memasukkan kain putih yang tadi aku pegang ke dalam saku celanaku dan kembali melangkah menuju ruang klub sastra.
★★★
"Ah, seperti yang diharapkan dari, Senpai. Aku yakin Senpai pasti akan membawa celana dalam ku dengan aman."
Saat aku kembali ke ruang klub dan menyerahkan celana dalamnya, Kuon mengatakan itu dengan senyuman seperti bunga yang mekar.
Meskipun segala sesuatunya jadi berantakan karena yang aku serahkan adalah celana dalam, aku merasa tugas telah selesai.
Begitu pikiranku tiba pada kesimpulan itu, rasa kelelahan langsung menyerang tubuhku, dan aku terjatuh di meja.
"Sekarang aku akan mengganti celana dalamku, jadi senpai, kau jangan mengintip ya. Oh, ini hanya bercanda kok, aku ingin kau membaca maksudku yang tersirat dengan cermat."
"Tentu saja aku tidak akan mengintipmu."
Kuon lalu mengganti celana dalamnya. Satu-satunya suara yang bisa kudengar hanyalah gesekan kain yang terdengar samar, tapi aku tidak memiliki energi untuk merespon lebih jauh.
Selain itu, sange terhadap pakaian dalam seorang gadis berusia 11 tahun pastinya adalah sebuah kejahatan.
Para pembaca semua, kalian juga harus berhati-hati dengan hal ini.
"Sepertinya rasa kelelahanmu juga terungkap dalam teks."
"Jangan baca pikiranku. ...Memang aku lelah, jalan-jalan sambil memegang celana dalam perempuan di tempat umum, aku berharap ini adalah pengalaman sekali seumur hidup saja."
"Tapi apa kau tidak merasa terangsang?"
"Aku tidak punya energi untuk itu."
Kuon mengeluh dengan sedikit kecewa, lalu berkata, "Oh, baiklah, sudah selesai kok. Kamu bisa lihat sekarang."
Aku mengangkat kepala, dan di sana, Kuon sudah berdiri tegak.
"Ya, ternyata celana dalam yang biasa jauh lebih baik. ...Oh, tentu saja, kalo Senpai lebih suka yang tali, Senpai bisa mengatakan padaku kapan saja, oke?"
"Jangan khawatir, aku tidak akan mengatakan apa pun padamu..."
"Ngomong-ngomong, tadi adegan mengganti pakaian ku terasa sangat cepat dan dilupakan begitu saja, kenapa begitu? Bukankah ini saat yang tepat untuk ilustrasi? Ah, tapi tentu bukan dalam pengertian yang itu, tapi mungkin dalam arti 'tempat yang pas' untuk itu."
[TL\n: yah, gua setuju ama yang Kuon katakan, seharusnya di sini di kasih ilustrasi.]
"Aku tidak memiliki kewajiban untuk menggambarkan adegan kau menganti celana dalammu secara rinci."
"Tapi menurutku 70% orang yang membaca ini menginginkan itu. Harga sebuah dari harga light novel itu mungkin berasal dari ilustrasi yang cabul dari illustrator, kan? Senpai, terimalah kenyataan dunia komersial."
"Kalo begitu, lebih baik kau minta maaf pada penulis keras kepala yang menjual karyanya tanpa bergantung pada hal-hal semacam itu."
Aku merasakan rasa tanggung jawab yang kuat untuk menegurnya, dan setelah mengatakan itu, aku menghela nafas panjang seolah ingin mengeluarkan semua rasa lelah di sekujur tubuhku.
Ketika aku melihat jam, waktu menunjukkan pukul 16.50. Sudah hampir waktunya untuk pulang sekolah.
"....Sudah waktunya, kau sebaiknya pulang sekarang."
Sambil menatapku dengan tajam, Kuon membuka mulutnya lagi tanpa memberi kesempatan untuk menjawab.
"Senpai, senpai, bagaimana menurutmu? Apa jantungmu deg-degan hari ini??"
"Tidak ada rasa deg-degan, tapi... yang ada malah rasa lelah saja yang menumpuk."
"Begitu? Padahal kita sudah sangat banyak bercanda tentang cinta dan komedi."
Apa Rom-com memang seharusnya membuat seseorang merasa lelah seperti ini?
Sepertinya antara apa yang aku pikirkan tentang Rom-com dan apa yang dia bayangkan ada jurang yang cukup besar.
"Apa pria yang tidak merasa berdebar-debar saat memegang celana dalam seorang gadis bisa dimaafkan? Bahkan orang bijak pun pernah berkata, 'Anak-anak sekolah dasar itu luar biasa!'"
"Dalam kasusmu, aku yakin bahkan orang bijak itu pun pasti bertanya-tanya apa akan menyebutmu siswa SMA atau anak berusia 11 tahun..."
Setelah percakapan itu, Kuon mendengus pelan dan menatapku.
"Dengan kata lain... berdasarkan aturanmu, kemenangan hari ini milik Senpai"
"Kalo mengikuti aturanmu, maka begitu."
"Hmph... Tapi ini baru hari pertama, Senpai. Rencanaku hari ini hanya permulaan kalo dibandingkan dengan apa yang akan datang besok...!"
Dengan kata-kata yang jelas-jelas menunjukkan kalo dia menerima kekalahannya, Kuon dengan cepat mengemasi tasnya dan bersiap untuk pergi.
"Besok, aku pasti akan mengajari Senpai rasa puas menggenggam celana dalam seorang gadis!"
Dengan kalimat itu, dia pergi, dan hanya suara gema kata-katanya yang tersisa di ruang klub yang kosong.
"...Itukah yang kau inginkan untuk pertandingan ini?"
Aku mengumumkan itu, tapi tentu saja tidak ada yang menjawab.
Hasil: 1-0〈Hari pertama pertandingan──Pemenang: Fudo Gentetsu〉
INTERMISSION
Malam itu, setelah makan malam dan mandi, di kamarku.
"Hmph, meskipun hari ini adalah langkah utama dalam rencanaku, aku tidak menyangka Senpai ternyata begitu sabar."
Aku mengerang pada diriku sendiri ketika aku menuliskan reaksi Senpai di dalam buku catatanku.
Apa yang sedang aku lakukan?
Tentu saja, aku sedang menganalisis hari ini.
Seorang wanita yang handal pasti dapat mengambil kegagalan sebagai pelajaran untuk keberhasilan esok.
Pertarungan pertama hari ini memang berakhir dengan kekalahan, tapi masih ada 4 pertandingan lagi.
Ini baru awal dari jalan kemenangan bagiku.
Untuk itu, aku harus menganalisis hari ini dengan cermat... Tapi, saat aku mengingatnya, sepertinya Senpai tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda terkejut.
"Bagian ke-2 tadi memang kejadian yang tidak aku duga, tapi aku pikir setelah itu Senpai pasti akan goyah. Tapi, ternyata ini semakin membuatku berpikir, mungkin mengalahkan Senpai dengan cara-cara beruntung seperti itu bukanlah hal yang mudah. Aku harus memikirkan rencana baru untuk besok."
Sambil berkata begitu, aku membuka beberapa buku novel yang tergeletak di dekatku.
"Suna-suna."
Buku panduan strategi percintaan yang menentukan jalannya perang cinta 5 hari ini pasti bisa memberikan beberapa petunjuk yang berguna, dan aku mulai mempelajarinya lagi.
"Hah, salah langkah!"
Saat aku menyadari, aku sudah tenggelam dalam membaca beberapa buku.
Hal seperti ini memang sering terjadi, kan?
"Hmm, 'Suna-suna'... benar-benar buku yang menakutkan. Padahal niatku hanya untuk membolak-balik sebentar, eh, tanpa sadar aku sudah membaca sampai volume ke-3"
Suna-suna. Judul lengkapnya 'Sunaoni Narenai Boku to Sunaosugiru Kanojo' (Aku yang Sulit Jujur dan Dia yang Terlalu Jujur) terlalu panjang dan sulit diucapkan, jadi orang lebih sering menyebutnya dengan nama pendek ini.
'Strategi Di Rak Buku (Dihilangkan sebagian)' hari ini memanfaatkan situasi langsung dari buku ini.
Aki, protagonis yang tidak bisa jujur dan Haru, heroin yang terlalu jujur.
Inti dari karya ini adalah pendekatan langsung Haru terhadap Aki yang tidak bisa menerima perasaannya begitu saja...tapi hubungan mereka terasa sangat dekat, hampir seperti kisah yang terjadi pada diriku sendiri.
Secara umum, aku lebih cenderung merasa terhubung dengan Haru, tapi terkadang saat Haru mulai ragu dan posisi mereka terbalik, aku justru merasa ingin memberi semangatepada Aki, "Peluklah dia! Peluklah dia!"
Daya tarik utama dari karya ini adalah bagaimana penulis menggambarkan perasaan karakter-karakternya dengan begitu mendalam.
Meskipun karakter pendukungnya tidak banyak, setiap karakter yang muncul meski hanya sesaat dapat membuat pembaca merasa mereka sangat berkesan.
Karena novel ini pertama kali diterbitkan di web, bahasanya mudah dan ringan, tapi cara penulis menggambarkan karakter-karakter ini dengan jelas, serta menyajikan mereka dengan cara yang terlihat seperti ditulis oleh orang seusia pembaca, membuat tokoh-tokohnya terasa sangat hidup.
Ini sebabnya novel ini menjadi sangat populer dan diterbitkan dalam bentuk buku setelah beberapa tahun.
Tapi, belakangan ini ada karakter yang agak aneh muncul dalam cerita.
Ada karakter baru yang bernama, Touka-chan, yang entah kenapa tidak begitu aku sukai.
Dibandingkan dengan Haru yang secara polos menyerang Aki, Touka-chan ini malah lebih sering berbicara dengan lelucon cabul dan berusaha menarik pervert di setiap kesempatan.
Sungguh, kalo dia seagresif itu orang pasti akan menjauh.
Meskipun begitu, karena sepertinya si penulisnya 'Kuroko' sangat menyukai karakter ini, Touka-chan sering muncul, bahkan Aki sedikit terpengaruh olehnya.
Inilah bagian dari cerita yang akhir-akhir ini membuatku merasa kurang puas.
Aku bahkan memberi bintang 3 dalam review di Amazon karena hal itu.
Eh, bintang 1? Apa ada orang yang benar-benar memberikan bintang 1? Menakutkan sekali.
Tapi memang, para penulis biasanya sangat sensitif terhadap kritik, seperti ikan mola-mola yang rentan terhadap stres—jadi memberi bintang 1 mereka akan mati karena syok.
"Aha, sekarang saatnya rencana berikutnya... Hmm, menarik sekali."
Saat aku terus membaca, rencana untuk besok perlahan mulai terbentuk dalam pikiranku.
Aku harus mengakui, kecerdasan otakku benar-benar menakutkan.
"Besok, aku akan membuat Senpai terkejut!"
Aku mengangkat tinjuku dengan semangat di kamarku, sambil diperhatikan oleh boneka beruang yang ada di samping tempat tidurku (sudah 5 tahun).
—Ayo, gadis kecil, semangat! Kau hanya perlu menggenggam bagian ini dan pria itu akan jatuh dalam sekejap.
Dari mata hitamnya yang tenang itu, terasa kesan berwibawa—ya, kalo diibaratkan, seperti suara dengan CV-nya mirip Otsuka ○ Akio yang memberikan dukungan.