Kamu saat ini sedang membaca Senpai, watashi to shōbu shimashou. Tokimeitara makedesu! Iya shi-kei yōjo kōhai VS bujin-kei senpai volume 1 chapter 3. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
RIYA, COKLAT DAN EPISODE BAJU RENANG
"Senpai, senpai, apa kau ingin makan coklat?"
Ketika aku sedang membaca buku seperti biasa di ruang klub, tiba-tiba Kuon mengatakan hal tersebut.
Itu mendadak sekali, pikirku.
Tapi, saat itu sudah lewat pukul 3 sore, waktu yang tepat di mana aku mulai merasa sedikit lapar.
Otakku langsung merespons kata 'coklat' dengan mendesak perlunya asupan gula.
"Ada apa tiba-tiba, Riya?"
"Ah, sebenarnya begini. Aku mendapat hadiah berupa coklat yang cukup bagus... Tapi, di rumah ku tidak banyak yang memakannya, jadi aku pikir akan menyenangkan kalo aku bisa memakannya bersama mu, Senpai. Apa kau menyukai makanan manis?"
"Ya, aku cukup menyukainya."
"Syukurlah kalo begitu."
Sambil tersenyum kecil, Kuon mulai mengaduk-aduk isi tasnya.
Tak lama kemudian, dia mengeluarkan sebuah kotak putih yang ukurannya kira-kira sebesar kotak tisu.
Meski tampilannya sederhana, kalo diperhatikan dengan saksama, terlihat pola emas yang dicetak seperti bordir dengan teknik hot stamping.
Beberapa kata dalam bahasa Inggris tercetak di sana, mungkin itu merupakan nama mereknya.
"Ta-da! Ini produk dari tempat yang cukup terkenal. Silakan, buka saja."
"Begitu, ya. Kalo begitu, aku tidak akan sungkan."
Aku berusaha bersikap seperti biasa, tapi aku tidak dapat menahan suara ku yang terdengar sedikit bersemangat.
...Dan itu tidak mengherankan.
Memang benar aku mengaku sebagai penyuka makanan manis, meskipun sulit dipercaya oleh orang-orang karena penampilanku.
Tapi, kenyataannya, aku sangat menyukainya.
Untuk kopi, aku membutuhkan 6 gula batu, dan kalo memilih tingkat kepedasan kari, aku selalu memilih yang manis.
Bahkan, aku telah menjadi pelanggan tetap toko kue tradisional di dekat rumah ku sejak aku di TK.
Bagi seseorang sepertiku, kesempatan untuk mencicipi cokelat yang terlihat begitu mewah ini benar-benar sesuatu yang membahagiakan.
Ketika aku membuka bungkus tipis di dalam kotaknya, aroma manis langsung menguar dengan lembut.
Di dalamnya, terdapat total 20 potong coklat dengan berbagai bentuk yang tersusun rapi di ruang-ruang kecilnya.
"Silakan, Senpai, kau duluan. Oh, dan karena ada ini, aku juga membawa teh. Bagaimana menurut mu?"
"Karena sudah disiapkan, aku akan mencobanya. Hmm, ini memang terlihat sangat lezat... Kalo begitu, kau ingin yang mana?"
"Ah, jangan khawatirkan aku. Hari ini aku membawanya khusus agar Senpai bisa mencicipinya terlebih dahulu."
"Begitu, ya... Terima kasih banyak."
"Eh-hehe."
Melihat reaksi Kuon yang kali ini tidak seperti biasanya dan sama sekali tidak mengandung sindiran, seharusnya aku merasa lebih waspada.
Tapi, pada saat itu, pikiranku sepenuhnya terpaku pada manisan yang ada di depan mataku.
Setelah menerima teh yang dituangkan Kuon dari termos, aku mencoba menahan kegembiraan dalam hatiku agar tidak sampai terlihat di wajahku.
Aku lalu mengambil sepotong coklat dan memasukkannya ke mulutku.
...Memang, ini luar biasa lezat.
Sayangnya, dengan lidahku yang terbiasa dengan coklat biasa dari minimarket, sulit bagiku untuk menggambarkannya dengan kata-kata.
Tapi, yang pasti, rasanya sangat enak.
Bagian luar coklat susu yang halus mulai mencair hanya dengan suhu di lidah, diikuti dengan keluarnya lapisan cokelat lain yang lebih pahit dan kental dari dalam.
Ke-2 rasa tersebut berpadu sempurna, menghasilkan sensasi rasa ke-3 yang datang kemudian.
Biasanya, aku tidak terlalu menyukai cokelat pahit.
Tapu, ternyata, dengan menjadikan rasa pahit sebagai aksen, rasa manisnya justru semakin menonjol.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengangguk penuh pengertian.
"Ini...luar biasa."
"Benar sekali. Aku juga tidak menyangka akan sehebat ini...hmm, lezat sekali."
Ketika aku menyeruput teh yang disiapkan Kuon, rasa manis yang tersisa di mulut berpadu dengan aroma dan rasa teh, menciptakan kombinasi yang sempurna dan memberikan sensasi akhir yang segar.
"Teh ini juga sangat cocok dengan coklatnya."
"Fufu, teh itu aku yang membuatnya, lho."
"Oh...luar biasa, Riya. Terus terang, aku jadi semakin kagum padamu."
"Eh-hehe, coba kagumi aku seperti kau mengulang soal ujian masuk berkali-kali."
Wajahnya yang tersipu malu dengan senyuman lembut membuatnya terlihat jarang-jarang seumuran dan polos, bahkan cukup menggemaskan.
...Sungguh, andai saja dia selalu menyimpan sifat liciknya seperti ini, aku bisa merasa lebih tenang.
Dengan senyuman cerah, Kuon mendorong kotak cokelat itu ke arahku dengan pelan.
"Ini sebenarnya aku membawa khusus untuk Senpai, jadi silakan makan sebanyak yang kaj suka. Kalo tersisa, nanti coklatnya akan meleleh."
"Memang benar. Kalo begitu, aku akan menerima tawaranmu dengan senang hati."
Sambil berkata begitu, aku mengambil satu potong lagi dan memasukkannya ke mulutku.
Coklat ini, seperti dugaan, benar-benar buatan yang sangat berkelas.
Tapu, ada satu hal yang menarik perhatianku—salah satu jenis coklat dalam kotak ini memiliki rasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Sebenarnya, apa itu?
Aku mencoba mencari penjelasan di kotaknya, tapi tidak ada informasi yang tercantum.
Bahkan, di dalamnya pun tidak ada deskripsi khusus mengenai cokelat tersebut.
...Tapi, mencari alasan lebih jauh untuk sesuatu yang sudah jelas lezat mungkin hanya akan merusak kenikmatan ini.
Dengan pikiran seperti itu, aku mengambil 1 lagi dan membiarkannya meleleh di mulutku.
"Fufu, ini pertama kalinya aku melihat wajah Senpai yang terlihat begitu bahagia."
"Begitukah? ...Apa itu begitu kentara?"
"Tentu saja. Aku memperhatikan Senpai setiap hari, jadi aku tahu. ...Apa Senpai merasa degdegan?"
"Tidak, aku tidak deg-degan."
Aku membalasnya sambil mengangkat bahu dan tersenyum masam.
Baru kemarin Kuon menyuguhiku masakan rumahan yang penuh dengan intrik, tapi betapa kurang waspadanya aku ini.
"....Tapi, kalo dipikir-pikir, ada 1 hal yang mengganjal. Mengingat kejadian kemarin, aku sedikit ragu apa sebaiknya aku makan begitu saja apa yang kau berikan kali ini."
"Ahaha, Senpai ini suka sekali bercanda. Seburuk apa pun aku, aku tidak akan menggunakan trik yang sama 2 kali berturut-turut, kok."
Kuon tertawa ceria saat mengatakan itu, dan aku hanya bisa mengangguk kecil.
"Haha, itu benar juga."
"Ahaha."
"Hahaha."
──Dan itulah kata-kata terakhir yang aku ucapkan.
★★★
Baiklah, ini giliran ku.
Sambil memperhatikan Senpai yang terlihat sedikit lebih ceria dari biasanya, aku memutuskan sudah waktunya untuk melanjutkan ke tahap ke-2 dari rencana ku.
Di ruang klub yang sempit ini, saat Senpai masih asyik menikmati coklatnya, aku perlahan bergeser ke balik rak buku.
Dan di sana—aku mulai melepaskan pakaianku.
Dengan suara bluk, rok ku jatuh ke lantai, diikuti oleh jaketku yang ku lempar sembarangan.
Setelah itu, aku menyingkap apa yang aku kenakan di bawah pakaianku—sebuah baju renang tipe bikini, yang kini terlihat sepenuhnya terkena udara luar. Aku menghela napas pelan, "Hah."
Ya, ini baju renang.
Dari pagi tadi, aku sengaja mengenakannya di bawah pakaianku, khusus untuk momen ini.
Sejujurnya, memakai ini di bawah baju biasa agak terasa panas...itu yang ku pikirkan tadi pagi.
Selain itu, aku baru sadar kalo ternyata aku tidak memikirkan kemungkinan ada pelajaran olahraga hari ini—kalo ada, mungkin aku akan benar-benar dalam masalah.
Sebagai tambahan informasi, warnanya biru muda dengan sedikit sentuhan hijau, dihiasi desain dengan aksen ruffle.
Kalo kau bertanya kenapa aku mengenakan sesuatu seperti ini, jawabannya hanya satu: ini adalah senjata utama dalam rencana ki hari ini.
Nama rencananya adalah: "Mari buat episode spesial baju renang! Goda Senpai yang sedikit mabuk setelah makan cokelat isi whisky bonbon dengan pemandangan baju renang ini★!"
Biasanya, Senpai yang selalu berwajah datar itu pastilah tetap seorang remaja laki-laki SMA yang penuh rasa ingin tahu.
Tidak mungkin dia sama sekali tidak tertarik pada hal-hal seperti baju renang atau pakaian yang agak terbuka.
Jadi, rencana ku adalah sedikit—hanya sedikit, sungguh—melonggarkan keteguhan hati Senpai yang keras bak baja dengan cokelat berisi alkohol.
Setelah itu, dengan tubuhku penuh pesona ini, aku akan membuatnya terpesona.
Dengan begitu, aku yakin kalo aku akan melihat reaksi yang biasanya tidak pernah dia tunjukkan.
Dan kalo semuanya berjalan lancar, di ruang klub yang kosong sepulang sekolah ini, hanya ber-2 bersama dengan seorang gadis cantik dalam pakaian renang, tidak mungkin kalo tidak terjadi apa-apa.
Rasanya seperti sebuah cerita klise di iklan pop-up yang menggoda, kan?
[TL\n: ni loli meresahkan bet jir...]
Baiklah, saatnya bertindak.
"Senpaaai, lihat sini, lihat…"
Tapi, saat aku melompat keluar dari balik rak buku, pemandangan yang aku dapati membuat ku terdiam.
...Entah sejak kapan, Senpai sudah tergeletak di atas meja, tertelungkup seperti orang pingsan.
"Eh...?"
Aku lalu mendekatinya perlahan, berusaha untuk tidak menimbulkan suara.
Untuk berjaga-jaga, aku mendekatkan telingaku ke wajahnya, dan untungnya, aku masih bisa mendengar suara napasnya.
Aku berpikir dalam hati, "Syukurlah."
Tapi kemudian, aku mengarahkan pandanganku ke kotak putih yang tergeletak di atas meja dan merasa sedikit bingung.
"Tadinya aku memang ingin memanfaatkan sedikit efek alkohol, tapi...tidak kusangka hasilnya akan seefektif ini..."
Tentu saja, tidak ada yang akan mencurigai ku, karena ini hanyalah whisky bonbon biasa—coklat mewah yang mengandung alkohol, tapi tidak dengan kadar yang tinggi.
Aku mulai benar-benar khawatir apa ada yang salah, jadi aku mencoba memasukkan satu ke dalam mulutku.
Hasilnya, sama saja: rasa manis yang lembut dan elegan tanpa ada keanehan lainnya.
Kemudian, aku mengambil cangkir teh yang baru setengah diminum oleh Senpai (catat, ini penting), dan membasahi mulut dengan teh tersebut.
Hmm, rasa tehnya pun cukup enak, ini hasil buatan ku sendiri.
"Baiklah, ini sedikit di luar dugaan..."
Aku bergumam sambil menyilangkan tangan, meniru gaya khas Senpai saat berpikir.
Awalnya, aku hanya berharap kalo aku bisa melihat Senpai sedikit mabuk dan dalam suasana hati yang lebih ceria.
Tapi...siapa sangka kalo toleransi alkohol Senpai ternyata selemah ini?
Oh, sekadar informasi, meskipun makanan yang mengandung alkohol tidak dianggap sebagai minuman beralkohol, tetap saja alkohol adalah alkohol.
Jadi, mengemudi setelah memakannya jelas tidak diperbolehkan!
"Apa yang harus aku lakukan sekarang..."
Sambil bergumam, aku mencoba menyentuh hidung Senpai dengan ujung jariku, memberi sedikit sentuhan ringan.
Senpai sepertinya benar-benar tertidur pulas, bahkan kelopak matanya nyaris tidak bergerak sama sekali.
"Kalo aku memikirkannya dengan tenang, wajah tidur Senpai itu benar-benar pemandangan langka... Apa ini saatnya aku mengabadikannya dengan sebuah foto?"
Dengan pikiran itu, aku mengeluarkan Hp-ku dan perlahan mengarahkan kamera ke Senpai.
Tapi saat aku hendak mengambil gambar, sesuatu terjadi.
Melalui layar Hp, aku melihat Senpai membuka matanya dengan lebar.
"Eh, Se-Senpai!?"
Aku langsung menyembunyikan Hp-ku di belakang punggungku dan mencoba tersenyum seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Dalam hati, aku sibuk mencari alasan.
Tapi, Senpai hanya menatap ku dengan pandangan yang sedikit kabur—sama sekali bukan tatapan biasanya—dan tiba-tiba dia tersenyum lembut.
"Ah, Kuon. Selamat pagi."
Coba pikirkan.
Gentetsu-senpai itu punya 'senyum lembut’ kan?
Memang, kalo diperhatikan baik-baik, dia selalu terlihat tenang.
Tapi, biasanya ekspresinya penuh ketegasan, dengan kerutan tajam di antara alis dan tatapan yang seolah bisa menebas baja.
Tapi kini, dengan senyum selembut ini, seperti habis direndam pelembut pakaian...selama 6 bulan mengenalnya, aku tidak pernah sekalipun melihat pemandangan seperti ini.
Jadi, wajar saja kalo aku membeku di depan pemandangan seperti itu.
Bisa tetap berpikir dan tidak langsung 'error' seperti layar biru saja sudah bagus.
"Ah, maaf. Entah kenapa, tadi aku ketiduran sebentar... Mungkin karena aku kurang tidur belakangan ini, haha. Tapi...ada apa, Kuon? Wajahmu kok kelihatan agak pucat?"
"Eh? Ah, tidak, itu bukan karena aku berpikir, 'Siapa dia...?' atau semacamnya, tentu saja tidak."
"Haha, kau ini aneh sekali, Kuon. Tapi ya, sisi anehmu itu yang aku suka darimu."
"Eh, h-hah?!"
Dengan senyum lembut yang terlihat penuh dengan rasa prihatin, Senpai berkata begitu, dan aku tanpa sadar mengeluarkan suara aneh yang terdengar seperti suara kerusakan sistem.
Eh, apa yang terjadi? Kata-kata seperti 'Aku menyukaimu' atau 'Aku mencintaimu' sepertinya tidak pernah ada dalam koleksi suara Senpai sebelumnya.
Sebenarnya, aku sudah lama ingin mendengarnya, aku ingin mengatakan itu, tapi...begitu kalimat itu keluar secara tiba-tiba, aku benar-benar terkejut.
Entah Senpai sadar atau tidak akan kebingunganku, dia tetap tersenyum lebar dan menarik kursi dekatnya.
"Kalo kau berdiri terus begitu, kau pasti akan lelah. Ayo, duduk di sampingku."
Sambil mengatakan itu, Senpai dia mendudukkanku dengan jarak yang sangat dekat dengannya, dan yang membuat ku kaget, dia juga memeluk bahu ku dengan lembut.
"~~~~~~?!"
Aku tidak bisa mengeluarkan suara, aku hanya bisa terdiam.
Lengan Senpai yang kokoh itu tidak terlalu keras, namun cukup lembut untuk memberikan rasa nyaman.
Tapi! Senpai yang itu! Yang bahkan jarang sekali menggenggam tangan ku!
Karena aku mengenakan pakaian renang, tubuh kami langsung bersentuhan.
"Tatapi...Se-se-se-sekalian tidak memakai pakaian dalam, Senpai, itu tidak baik!"
"Eh? Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, tapi...tunggu, kalo kulihat lagi, kenapa kau memakai pakaian seperti itu, Kuon?"
Sambil berkata begitu, Senpai mulai menatap ki dari atas hingga bawah, memperhatikan pakaian renang ku dengan seksama.
Meskipun aaku sudah mempersiapkan diri untuk ini, entah kenapa aku jadi canggung melihat tatapannya tersebut.
Ya, karena kenyataannya, Senpai jarang sekali memperhatikan ku seperti ini, terutama saat-saat seperti ini.
Dan kini, dia melihat dengan sangat teliti.
Sejujurnya, aku terkejut dengan dia yang begitu proaktif.
Atau lebih tepatnya, ini.
"Senpai, kau benar-benar sedang sangat mabuk, kan?!"
Aku menyerahkan segala kekuatan ku untuk melontarkan pertanyaan itu, tapi Senpai justru menatap ku dengan wajah bingung dan memiringkan kepalanya.
"Mabuk? Apa yang kau bicarakan, Kuon? Bukankah aku selalu seperti ini?"
"Memangnya aku bisa menerima itu sepenuhnya?! Biasanya kan kau selalu terlihat serius dan menekankan kerutan di dahimu!"
Aku kemudian mencoba meniru ekspresi Senpai dengan merapatkan alis ku.
Melihat ku seperti itu, Senpai tertawa riang dengan wajah yang penuh keceriaan.
"Kau benar-benar menghibur, ya, Kuon."
Sambil memeluk bahu ku, Senpai mengangkat bahunya dengan senyum lembut di wajahnya.
Tatapan itu membuat ku tiba-tiba terdiam.
Sorot matanya juga membuatku terdiam.
"Hei, Kuon."
"H-Hai!"
Sudah terlambat, tapi sejak tadi, orang ini terus memanggil ku dengan namaku, lho.
Dari panggilan dengan nama keluarga ke nama depan, ini kan momen yang sangat penting dalam kisah romansa, kan?
Apa ini benar-benar bisa begitu saja diselesaikan dalam keadaan mabuk seperti ini!?
Sementara itu, Senpai, seolah tidak peduli dengan kegelisahan ku, dia melanjutkan perkataannya dengan ekspresi yang penuh dengan nuansa romantis.
"Aku masih ingat saat kau mengungkapkan perasaanmu padaku, Kuon... Meskipun aku jarang mengatakannya, itu benar-benar membuatku sangat senang."
"Hah...?"
Aku terkesiap dan menatapnya dengan mata terbuka lebar, sementara Senpai terlihat sedikit malu dan menggaruk pipinya.
"Meskipun ada perbedaan usia, kau tetaplah gadis yang imut, cerdas, dan bahkan hanya berbicara denganmu saja sudah menyenangkan. Sejak aku mulai mengobrol denganmu, aku selalu berpikir begitu. Jadi, ketika kau mengungkapkan perasaanmu tahun lalu, aku benar-benar tidak percaya. Itu rasanya seperti mimpi. Dan..."
Setelah berhenti sejenak, Senpai menggenggam tangan ku dengan lembut.
"...Sekarang, saat aku bisa berada di sini bersamamu, rasanya itu tetap seperti mimpi yang aku ingin terus jalani."
Dengan tatapan yang penuh perasaan, Senpai berkata begitu.
Aku terdiam, aku tidak bisa membalas kata-katanya, aku hanya menatap matanya yang terlihat penuh emosi.
Lalu, setelah beberapa saat, aku merasa seolah-olah tubuh ku mati rasa dan bibir ku gemetar.
"...Tunggu, tunggu, ini tidak mungkin! Ini aneh sekali!"
Dengan udara yang terasa terlalu serius hingga membuat ku hampir kehabisan napas, aku akhirnya tidak bisa menahan diri dan berteriak.
"Ini mungkin aku yang membawakannya untukmu, tapi apa ada orang yang bisa sampai mabuk hanya karena alkohol dalam permen?!"
"Terutama di bagian kepala... Itu yang tidak bisa kutahan. Pikiran jadi kosong, seperti dalam manga, kan?"
"Senpai, kenapa kau jadi begitu santai! Ini menakutkan!"
Aku menemukan kelemahan tidak terduga dari Senpai yang seharusnya membuat ku senang, tapi kali ini aku hanya merasa sangat takut.
"Jangan-jangan ada sesuatu yang berbahaya yang diselipkan di dalamnya...?"
Aku mulai khawatir dengan serius, lalu meraih kotak coklat itu.
Tapi, sebelum aku sempat mengambilnya, Senpai dengan cepat mengambil kotak itu dan mengeluarkan satu permen,
"Hoi, Kuon,"
Dia berbisik nakal, lalu dengan tiba-tiba memasukkan permen itu ke dalam mulut ku.
Rasa manis yang elegan langsung menyebar di mulut ku, tapi suasana yang terlalu manis dan kacau ini jauh lebih mengguncang pikiran ku.
Aku bahkan hampir tidak bisa merasakan rasa coklat itu.
Senpai, yang sepertinya sama sekali tidak peduli dengan kegelisahan ku, tersenyum cerah sambil menatap ku dan berkata,
"Ini pertama kalinya aku melihatmu memakai pakaian renang... Hm, bagus juga. Warna biru muda itu cocok dengan kulitmu yang putih, dan frill-nya juga sesuai denganmu. Kalo biasanya, aku pikir kau akan memilih sesuatu yang lebih ekstrem untuk dipakai, jadi ini cukup mengejutkan."
Tentu saja, seperti yang kau duga, aku telah menyiapkan beberapa yang cabul, tapi aku harus berhenti karena pelayan ku benar-benar mengganggu ku pada tahap pemasangan kostum.
"Apa itu cumi-cumi yang diikat dan dikeringkan?"
Aku tidak akan pernah memaafkan Annyarome karena mengatakan hal itu.
[TL\n: kalo yg masih kurang paham tu analogi buat oppai Kuon.]
Aku tidak akan pernah memaafkannya.
Saat aku tenggelam dalam kemarahan mengingat hal ini, senpai masih yang masih memegang tanganku berkata.
"Kau sangat imut, Kuon."
"Wow."
Tidak, bukan karena di imut, tapi ...... jujur saja, dia membuatku sedikit terangsang.
"Horny?"
Mau tak mau aku menjadi kaku di depan pernyataan senpai yang tidak realistis.
Dia memeluk tubuhku lebih erat lagi, dan seperti yang diharapkan, dia dengan lembut mendorong daguku ke atas dengan ibu jarinya.
Itu adalah pendekatan yang hanya bisa ditoleransi oleh pria tampan pada umumnya.
Tapi, kalo senpai yang keren seperti ini, dia biasanya dianggap pria tampan, jadi itu cocok sekali untuknya.
Heh heh heh.
"Kuon."
Senpai berbisik, begitu dekat hingga aku bisa merasakan napasnya.
Itu saja sepertinya membuat telingaku 3.000 kali lebih sensitif, tapi serangan senpai tidak menunjukkan tanda-tanda melambat.
"Hiyau!
Aku, yang merasakan gelitikan di punggung ku dan mengangkat suara tanpa sadar.
Apa yang terjadi?
Senpai menggeser tangannya yang memegang bahu ku dan menelusuri punggung ku dengan jari-jarinya.
"Kuon, aku rasa aku mungkin sudah mencapai batas kemampuan ku.
"Hyahahah ......ge, apa sih batasanmu itu......."
"Aku malu untuk mengatakannya."
"Ho-hyah!"
Seluruh tubuhku memerah dan sensitif, dan bahkan suaraku bergetar.
Sambil menatapku dengan tatapan antusias, senpai bergumam dengan senyum pahit di wajahnya.
"Ketika aku melihat mu, aku rasa aku tidak akan bisa ...... bertahan lebih lama lagi. Aku tidak bermaksud menjadi lolicon, tapi... mungkin karena pihak lain adalah kau Kuon?"
Jari-jari Senpai menelusuri punggungku dan dia meraih tali di bagian belakang pakaian renangku.
"Eh, tidak, itu uh-senpai, apa mungkin kau orang yang sangat berbahaya!?"
"Biasanya kaulah yang mengundangku, kan?"
"Tidak, itu yang kusebut gaya seni seperti itu! Kalo kau mencoba melewati batas lebih jauh lagi, aku merasa kau akan membuat musuh dari segala macam hal! Maksud ku, toko buku itu akan berubah!"
"Apakah ini benar-benar penting?"
"Ini adalah masalah hidup dan mati, ......, Kya!"
Aku mencoba menjauhkan diri dari senpai yang sedang mendekatiku dengan membungkuk ke belakang - dan alhasil aku kehilangan keseimbangan dan kami berdua terjatuh dari kursi.
"Apa kau baik-baik saja?"
"Ya, aku minta maaf ......Hiya!"
Ketika aku tersadar, sungguh mengejutkan.
Aku berada di posisi di mana aku merasa seperti didorong ke bawah.
Sungguh perhitungan fisika cabul yang beruntung.
Hav○k God juga pasti akan akan terkejut dan melompat-lompat.
Aku bisa merasakan diriku kehilangan akal karena situasi ini
Senpai juga menatap ku dengan wajah sedikit memerah dengan naps yang berat.
"..... bagus, kurasa."
"Apa yang kau maksud dengan bagus, ......!"
"Tentu saja, seperti yang selalu dikatakan Kuon yang ingin aku lakukan."
"Hyaaa."
Ya Tuhan.......
Aku tidak yakin apa yang harus aku lakukan, atau lebih tepatnya, haruskah aku melakukan sesuatu?
Kalau dipikir-pikir dengan tenang, tidak akan ada masalah kalo aku membiarkan semuanya mengalir dan membiarkannya menjadi fakta yang tidak bisa dibantah.
Atau lebih tepatnya, seperti yang Senpai katakan, itulah yang selalu menjadi tujuan ku ... dan sekarang aku akan ditunjuk sebagai R-18.
"......"
Aku mencoba memikirkan hal ini dengan tenang, dan sebelum aku bisa mengumpulkan tekadku sepenuhnya, senpa perlahan mendekatkan wajah dan bibir lembutnya ke bibirku.
Kenangan saat aku bersama senpai mengalir di benak ku seperti lampu yang menyala.
Aku mengumpulkan keberanian untuk mengakui perasaanku pada senpai, dan dia menerimaku—tapi sampai sekarang, aku belum pernah menciumnya.
Ciuman pertamaku, atau chuu.
Aku yakin kami berdua merasakan coklat sekarang.
Aku malah memikirkan hal-hal yang sangat tidak penting seperti itu, , aku mengambil keputusan dan memejamkan mataku... tapi tidak peduli berapa lama waktu berlalu, aku tidak merasakan bibirnya menyentuh bibirku.
Atau lebih tepatnya,
"Wah!?"
Saat berikutnya.
Tubuh senpai tiba-tiba ambruk, menimpa tubuhku...Aku mengeluarkan suara seperti katak yang tertabrak, dan mataku menjadi hitam dan putih dan berputar-putar.
"Se-senpai...!?"
Melihat senpai yang terbaring di atas ku tanpa bergerak, wajahnya memerah, dan kedua matanya perlahan tertutup.
Yang bisa kudengar hanyalah napas tidurnya yang tenang.
...Ternyata, alkohol sudah sepenuhnya mempengaruhi tubuhnya.
"Ah... syukurlah..."
Dengan ketegangan yang hilang, aku tidak sengaja berbisik seperti itu.
Meskipun aku sedikit kecewa setelah melihat keadaan ini, aku rasa itu tidak masalah.
Mungkin karena merasa lega, tubuh ku tiba-tiba menjadi lemas, kelopak mata terasa berat.
Kalau dipikir-pikir, aku juga sudah memakan 3 potong coklat itu... aku lalu menghitung noda di langit-langit, sambil terkadang memikirkan situasi ini dan terkadang tidak memikirkannya.
Setelah menghitung sekitar 6 atau 7 noda, kesadaran ku pun perlahan menghilang, tenggelam dalam kantuk yang dalam.
Sedikit saja, selamat tidur...
★★★
Anehnya, kepalaku sakit.
Hal pertama yang kupikirkan ketika terbangun adalah itu.
"Ah, selamat pagi, Senpai."
Suara Kuon terdengar dari atas.
Ketika aku melihat ke atas, aku melihat wajah Kuon yang menatapku dengan tatapan hangat yang aneh.
Di bawah kepalaku, ada sesuatu yang ramping, kering dan agak rapuh, namun sedikit lembut.
Ternyata aku sedang dipangku oleh Kuon.
"Apa aku tertidur?"
"Ya, benar. Mungkin karena kau kelelahan, setelah kau makan coklat kau langsung tertidur begitu saja."
Aku mengerti begitu mendengarnya.
...Memang, seperti yang dia katakan, belakangan ini aku agak kekurangan tidur, jadi mungkin tubuhku merasa lelah.
Coklat memang memiliki efek untuk mengurangi kelelahan.
Mungkin karena itu aku terlalu rileks dan tertidur tanpa sadar.
"Begitu... Maaf, Riya. Sudah merepotkanmu."
"Tidak, tidak sama sekali."
Kuon tersenyum kecil.
Pipinya yang sedikit memerah itu entah kenapa terasa sangat menarik hari ini.
Kalo dipikir-pikir, hari ini dia tidak seliar biasanya, dan di lebih tenang.
Mungkin itu yang membuatnya berbeda.
"Riya."
"Ada apa, Senpai?"
"Pertandingan hari ini, aku yang kalah. Aku berhutang padamu."
Ketika aku mengatakan itu, Kuon sedikit terkejut, lalu tersenyum malu-malu dan menggelengkan kepalanya.
"Hari ini, kita anggap seri saja."
"Benarkah? Tapi..."
Kuon dengan lembut meletakkan tangannya di bahuku saat aku mencoba bangkit, lalu melanjutkan.
"Tidak masalah. Karena aku ini pacar Senpai, kan? Hal seperti ini tidak perlu dipikirkan soal hutang piutang."
Setelah dia berkata begitu dan tersenyum, aku terdiam sejenak sebelum menjawab.
"...Begitu, ya. Kalo begitu, aku akan menerima kata-katamu."
Aku kembali mengendurkan bahu ku dan meletakkan kepalaku di paha Kuon.
Beberapa saat kemudian, suara Kuon terdengar lagi dari atas kepalaku.
"...Senpai."
"Hmm... Ada apa?"
"Jangan minum alkohol, ya? Itu janji kita."
"...? Ah, aku mengerti, tapi... Lagipula, aku masih di bawah umur, jadi tidak mungkin aku melakukan itu."
"Tidak, setelah dewasa pun, aku minta senpai tolong jangan pernah minum alkohol. Tolong, tolong jangan pernah Senpai minum alkohol. Bahkan kalo perlu, anggap saja pertandingan kali ini sebagai kekalahan ku, tapi alkohol, tolong jangan...alkohol saja..."
"Ah, ah...baiklah..."
Dengan Kuon yang memohon sambil meneteskan air mata, aku merasa tertekan dan hanya bisa mengangguk.
...Aku tidak tahu kenapa, tapi begitulah sepertinya yang terjadi.
──.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau memakai baju renang?"
"Itu rahasia."
Hasil: 2 VS 1〈Hari ke-3 pertandingan──Pemenang: Gentetsu Fudo〉
■ Intermission
Malam itu, setelah makan malam dan mandi, aku pergi ke kamarku.
"...Huff, hari ini benar-benar melelahkan..."
Merasa seluruh energi di tubuhku telah habis, aku berbaring telungkup di tempat tidur, bahkan aku nyaris tidak sempai mengeringkan rambutku.
Aku lalu memeluk beruang kecil di samping bantal, aku membenamkan wajahku pada kelembutannya ─ sambil mengingat kembali kejadian hari itu.
"Sungguh kau sangat imut, Kuon."
Hawa...
"Jujur saja, ini membuatku terangsang."
Hawa...
"...Boleh?"
Hawa...
Sambil mengenang kejadian itu, aku merasakan wajahku memerah.
Tidak, karena begini, kan?
Rasanya berbeda kalo kita yang menyerang atau jika mereka yang menyerang kita.
Selagi aku mendinginkan wajahku dengan beruang kecil, aku menghela napas panjang.
Aku tidak menyangka Senpai yang sedang mabuk bisa menjadi begitu tak terkendali.
Kalo saat itu Senpai tidak jatuh pingsan, apa yang akan terjadi ya?
Aku mengingat kembali bibir Senpai yang ada di depanku saat itu.
Lalu, aku menyentuh bibirku dengan jari ─ aku mengerang pelan.
"Ugh, kalo dipikir-pikir, setidaknya ciuman kecil pun seharusnya aku lakukan..."
Apa aku benar-benar punya keberanian untuk itu?
Sejujurnya, aku tidak yakin.
Aku merasa agak canggung mengingat itu.
Apa aku ini heroin dalam komedi mc?
[TL\n: ya emang.]
"...Ngomong-ngomong soal mc Rom-com,"
Tiba-tiba aku teringat sesuatu dan mengambil sebuah buku dari rak, membalik-balikkan halamannya.
Tiba-tiba, aku teringat akan sesuatu dan mengambil buku 'Suna Suna' dari rak buku lalu membolak-balik halamannya.
Sikap aneh yang ditunjukkan oleh senpai hari ini membuat ku merasa deja vu yang aneh, dan akhirnya aku menyadari kenapa.
[TL\n:Déjà vu adalah istilah dalam bahasa Prancis yang berarti "sudah pernah melihat". Dalam konteks psikologi, déjà vu merujuk pada perasaan aneh atau pengalaman di mana seseorang merasa bahwa suatu situasi atau peristiwa yang sedang dialaminya telah terjadi sebelumnya, meskipun secara logis tidak mungkin.]
"Rasanya mirip dengan...,"
Mc dalam Suna Suna, seorang siswa SMA bernama Aki.
Cara senpai yang berbicara lembut saat mabuk dan sikapnya yang kadang terlalu memaksa, terasa sangat mirip dengan Aki dalam cerita tersebut.
"Yah, meskipun begitu, sebenarnya tidak ada yang terlalu penting,"
Aku meletakkan buku itu di samping bantalku dan perlahan menutup mataku.
Hari itu, aku merasa tidur ku sedikit lebih nyenyak dari biasanya.