> TRUN 4

TRUN 4

 Kamu saat ini sedang membaca   Senpai, watashi to shōbu shimashou. Tokimeitara makedesu! Iya shi-kei yōjo kōhai VS bujin-kei senpai  volume 1  chapter 4. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw





RIYA, LUKISAN, DAN KENANGAN




Itu adalah kejadian yang terjadi belum lama ini.


"Hei, Nak. Tersesat di tempat seperti ini, ya? Apa kau tidak tau dimana arah rumahmu?"


Sambil menyeringai mengejek, para pemuda itu mengelilingi ku. 


Rambut mereka dicat cokelat atau pirang, dengan anting-anting di telinga...atau lebih tepatnya itu adalah contoh sempurna dari anak nakal.


Mungkin penampilan seperti ku terlihat aneh untuk mereka, sehingga aku menarik perhatian. 


Ketika aku hendak pergi ke perpustakaan kota, mereka mendekatiku dengan cara yang agak memaksa. 


Biasanya, saat aku keluar rumah, selalu ada pengawal yang menemaniku, jadi hal seperti ini tidak pernah terjadi. 


Tapi, hari itu aku ingin sedikit berpetualang, jadi aku diam-diam keluar rumah tanpa memberi tahu siapa pun.


Sekarang kalo dipikir-pikir, itu tindakan yang benar-benar bodoh.


Saat aku hendak meminta bantuan, mereka sudah menyeretku ke gang sepi, dan orang-orang yang sesekali lewat sepertinya tidak ingin terlibat, memilih berpura-pura tidak melihat dan berlalu dengan cepat.


Dalam keadaan terisolasi, dikelilingi oleh para berandalan, aku hanya bisa diam sambil menatap mereka dengan tajam. 


Aku tidak bisa berkata apa-apa...dalam arti sebenarnya.


Saat itu, ketika aku baru tiba di Jepang, aku belum sempat belajar bahasa Jepang dengan baik. 


Membaca saja masih sulit, apalagi untuk berbicara, jelas itu hal yang mustahil.


"Hei, hei, lihat, dia hampir menangis. Pasti karena wajahmu yang seram, kan?"


"Diam, kau. Hei, Nona kecil, kau pasti anak dari rumah besar di sana, kan?"


"Hah, serius? Rumah yang itu, ya..."


"Serius, serius. Aku pernah lihat dia keluar dari rumah besar di area terpencil itu. Jadi, dia pasti anak orang kaya."


"Wah, beneran? Kalo begitu, imi traktir kami dong? Hei, Nona kecil, kau dengar tidak? Dari tadi kau tidak bilang apa-apa. Padahal kami ini ramah sekali."


Mereka terus saja bicara sepihak dengan nada yang jelas-jelas penuh niat buruk. 


Aku menggenggam erat tas tangan bermotif beruang kesayanganku dan, dengan tekad bulat, akhirnya berkata. 


"...A-anu, to-tolong, be-berhenti... desu."


Suara itu terdengar sangat terbata-bata dan nyaris tak terdengar.


Tapi, alih-alih berhenti, hal itu justru membuat mereka semakin terhibur. 


Melihat aku yang gemetar, mereka tertawa terbahak-bahak.


"Apa-apaan itu tadi? Dia berbicara terpatah-patah! Aku kira dia terlihat seperti orang asing, tapi ternyata dia benar-benar bicara seperti itu! Lucu sekali!"


"Ayo, katakan sesuatu lagi! Ini sangat menghibur!"


Apa yang sebenarnya mereka anggap lucu...? 


Mungkin saja mereka hanya merasa puas melihatku gemetar tanpa mampu melawan, seolah itu memberi mereka rasa kendali.


Di bawah hujan tawa kasar yang tak berkelas, aku hanya bisa diam, gemetar tanpa daya—tapi, saat itulah sesuatu terjadi.


"Apa yang kalian lakukan?"


Di tengah orang-orang yang pura-pura tidak melihat dan hanya berlalu, hanya dia yang berhenti dan berkata demikian.


Itulah—awal pertemuanku dengan Gentetsu-senpai.


★★★


Di hadapanku ada sebuah easel kayu berdiri tegak, menopang sketsa kosong yang menantiku dengan penuh harap. 


Lembar kertas putih itu seperti salju segar yang belum terinjak, seakan tak sabar menanti sentuhan untuk dilukis.


Setelah melirik sketsa kosong itu dan pensil 2B yang kugenggam erat di tangan kanan, pandanganku sedikit bergeser. 


Aku menatap tajam patung gips berbentuk setengah badan seorang pria yang berdiri kokoh di tengah ruang seni.


Seorang siswa laki-laki yang duduk di depanku tiba-tiba mengeluarkan suara kecil, "Hih!?" entah karena apa. 


Tapi, aku mengabaikannya dan tetap fokus menatap patung itu. 


Lalu, dengan seberkas inspirasi yang tiba-tiba muncul, aku menutup mata sejenak sebelum menggerakkan pensil di atas kertas.


Grafit menghantam permukaan kertas, merekam setiap bayangan yang tertanam di benakku. 


Ini bukanlah proses interpretasi, melainkan ekspresi spontan yang mencerminkan apa adanya. 


Seperti sebuah mekanisme otomatis, tanganku hanya mengikuti bentuk yang terlintas dalam pikiranku.


Seorang pematung pernah berkata, kita tidak sedang memahat sesuatu, melainkan hanya mengungkapkan wujud sejati yang tersembunyi di dalamnya. 


Hal yang sama berlaku dalam seni lukis—cukup biarkan bentuk itu muncul dengan sendirinya.


Di tengah suasana tegang yang diciptakan oleh para siswa yang menahan napas, aku terus menggambar dengan penuh semangat. 


Easel bergetar ringan, sementara dunia perlahan-lahan terwujud di atas kertas di bawah sentuhan pensilku.


Waktu yang kuhabiskan mungkin tidak sampai 1 menit. 


Aku terlalu terlarut dalam sketsa hingga aku nyaris lupa untuk bernapas, aku akhirnya menarik napas dalam-dalam dan membuka mata.


Di tengah gumaman para siswa di sekitarku, tampaklah hasil yang telah tergambar di sana.


"....Fudou-kun, gambarmu unik sekali, ya..."


Komentar teman sekelas itu memang tidak salah. 


Yang tergambar di kertas hanyalah sebuah sketsa sederhana, dengan goresan pensil yang kasar dan jauh dari kata indah.


★★★


"Jadi, Riya, aku punya permintaan penting untukmu."


Ruangan klub sastra seusai jam pelajaran. 


Begitu aku mengucapkan itu sambil menundukkan kepalaku, Kuon yang sedang menyeruput susu stroberi dalam kotak kecil hanya bisa berkedip bingung.


"...Umm, apa maksudmu?"


"Begini, panjang ceritanya."


"Bukankah kau menghilangkan sesuatu yang tidak boleh dilakukan di media tertulis!? Apa senpai begitu putus asa sehingga dia menggunakan metode keterlaluan seperti itu?"


Dengan nada terkejut, dia membalas begitu. 


Aku hanya bisa mengangguk malu-malu. 


Memang, situasiku tidak memungkinkan pilihan lain.


Setelah mendengarkan penjelasanku dengan seksama, Kuon mengangguk sambil menyilangkan tangan di depan dadanya.


"Hmm...jadi begini. Karena kemampuan menggambarmu sangat parah, kau takut dipermalukan di kelas seni, dan ingin meningkatkan sedikit kemampuanmu agar hasilnya bisa diterima, begitu?"


"Ya, begitu. Aku dengar kamu punya bakat luar biasa di bidang seni. Permintaan ini mungkin agak sepihak, tapi… bisakah kau mengajariku?"


Kuon menatapku tajam, lalu meletakkan tangannya di mulutnya dengan ekspresi sedikit bingung.


"Baiklah, aku tidak keberatan. Tapi...ini agak mengejutkan. Aku kira, Senpai bukan tipe yang terlalu peduli soal harga diri seperti ini."


"Bukan begitu. Lagipula..."


"Lagipula?"


Kuon memiringkan kepala dengan penasaran dan setelah ragu sejenak, aku akhirnya melanjutkan.


"Meski belum pernah kukatakan pada siapa pun, tapi aku ini pacarmu... Aku tidak ingin mempermalukanmu dengan keadaanku yang menyedihkan ini."


Meskipun sikapnya terkadang tidak biasa, Kuon adalah gadis yang sangat berbakat. 


Tidak hanya unggul dalam akademik, dia juga mahir dalam musik, seni, dan bahkan olahraga. 


Sebagai pacarnya, aku ingin setidaknya bisa menyamai sebagian dari kemampuannya, aku ingin menutupi kekuranganku sejauh yang aku bisa.


Mendengar jawabanku, Kuon tampak sedikit terkejut, tapi tak lama kemudian, dia tertawa kecil, tampak terhibur.


"Fufu, ini sangat khas dari Senpai. Baiklah, kalo begitu, aku akan membantumu. Aku akan melakukan apa pun untuk membantumu, bahkan jika itu berarti secara harfiah, kalo kau mau."


[TL\n: maksudnya dia juga bakalan ngabulin semua permintaan si Gentetsu dalam hal cabul atau apapun itu.]


"Tidak, cukup dalam arti kiasan saja. Terima kasih... Aku sangat berterima kasih."


Dengan gaya santainya seperti biasa, Kuon menyetujuinya tanpa ragu. 


Aku sekali lagi menundukkan kepala. 


Sambil tersenyum tipis, dia berkata, "Angkat kepala mu," lalu melanjutkan dengan nada penuh semangat.


"Kalo sudah diputuskan, ayo kita mulai. Aku akan meningkatkan kemampuan menggambar senpai sampai mencapai level setara pelukis profesional dalam satu hari! Tapi, pertama-tama, kita perlu memeriksa kondisi awal. Kalo bisa, aku ingin melihat sketsa yang senpai buat hari ini sebagai latihan."


"Oh, benar. Kebetulan, aku membawa sketsa itu."


Sambil menjawab, aku mengeluarkan buku sketsaku dari tasku dan mulai membolak-balik halaman. 


Sketsa patung gips yang kubuat hari ini... Ah, ini dia.


"Bagaimana menurutmu?"


"Baiklah, mari kita lihat..."


Saat aku mengatakan ini, aku membuka buku sketsa itu dan mengarahkannya ke Kuon, dan dia membungkuk untuk melihatnya—dan Kuon langsung menjadi kaku di tempat.


"....Jadi, ini abstrak, ya? Kumpulan garis acak yang ditarik dengan pensil secara kompleks—judulnya mungkin 'Kegelapan Masyarakat Modern' atau semacamnya."


"Bukan, ini sketsa patung gips," 

 

Saat aku memotong ucapannya yang seolah mencoba memahami dengan tatapan jauh, aku hanya mengangkat bahu. 


Memang, dari reaksi sekitarku sebelumnya, aku sudah sedikit menduga ini—


"Jadi, aku benar-benar buruk, ya?"


"....Bisa dibilang ini masuk kategori unik."


Dengan nada yang penuh dengan kesopanan, Kuon menjawab sambil mengerutkan kening dan bergumam, "Hmm..."


"Ini...cukup nyentrik, ya. Aku tidak tahu harus mulai mengomentari dari mana... Tapi, Senpai, apa ini benar-benar gambar yang kau buat dengan melihat modelnya?"


"Itu memang niatku..."


"Begitu, ya. Kalo begitu, kalo harus jujur, untuk mencapai level normal...kurasa kau akan membutuhkan sekitar 3,8 miliar tahun."


"Sama dengan usia asal-usul kehidupan, ya..."


[TL\n: Berdasarkan bukti geologis dan fosil mikroskopis, para ilmuwan memperkirakan bahwa kehidupan di Bumi muncul sekitar 3,8 hingga 4 miliar tahun yang lalu.


Penjelasan: 1. Bukti Geologis: Batuan tertua yang ditemukan di Bumi, seperti stromatolit purba dan isotop karbon tertentu, menunjukkan tanda-tanda aktivitas biologis yang berasal dari sekitar 3,8 miliar tahun yang lalu. (2.) Proses Awal Kehidupan: Pada masa itu, Bumi masih dalam tahap awal pembentukan, dengan kondisi lingkungan yang sangat berbeda dari sekarang—panas, kaya akan gas vulkanik, dan tanpa oksigen bebas. (3.) Kemunculan Mikroorganisme: Kehidupan pertama kemungkinan besar berupa mikroorganisme sederhana seperti bakteri atau arkea, yang mampu bertahan dalam kondisi ekstrem.


Kesimpulan: Pernyataan tersebut menegaskan bahwa usia kehidupan di Bumi kira-kira sama dengan usia batuan tertua yang mengandung bukti kehidupan, yaitu sekitar 3,8 miliar tahun. Ini menandai awal mula evolusi kehidupan di planet kita.]


Mendengar langsung kalo kemampuanku setara dengan bakteri purba mungkin akan terasa lebih ringan.


Tapi, Kuon tetap menatap gambar itu dengan ekspresi serius, lalu mengangguk kecil.


"Bagaimanapun, memikirkannya saja tidak akan menyelesaikan apa-apa. Baiklah, Senpai. Untuk awal, coba gambarlah sesuatu di depanku."


"Baik. Kalo begitu...aku akan mencoba menggambar kursi di sana."


Sambil berkata begitu, aku menatap kursi pipa yang diletakkan di samping ruangan klub, aku lalu membuka buku sketsaku...setelah beberapa detik mengamatinya, aku mengambil pensil dari kotak pensil dan dengan cepat mulai menggambar di atas kertas.


Hasilnya—


"Hmm, ini parah."


Penilaian Kuon sangat langsung dan tegas.


"Apa gagal?"


"Jelas gagal... Maksudku, dengan gambar ini, kaki dan dudukan kursinya bahkan tidak saling terhubung. Selain itu, proporsi masing-masing bagian juga sangat tidak seimbang. Rasanya sulit untuk menggambarkan seburuk ini hanya dengan kata-kata."


Aku terdiam mendengar kritiknya, taap, setelah dipikirkan, apa yang dia katakan sangat tepat.


"Aku rasa aku sudah mencoba menggambar apa yang kulihat, tapi aneh juga..."


"Jangan cuma bilang 'aneh' dan terima begitu saja! Bagaimana dunia ini terlihat dari matamu, Senpai!?"


Kuon, yang biasanya selalu santai, kini menyerang dengan kalimat yang sangat serius, dan aku bahkan tidak bisa bersuara.


Memang, seperti yang dia katakan, gambar kursi yang selesai ku buat entah bagaimana berubah menjadi bentuk yang sangat jauh berbeda dari kursi asli.


Melihatku yang terlihat bingung, Kuon membuka mulutnya dengan suara yang sedikit lelah.


"Yah, meskipun begitu, aku paham sekarang... Senpai, sepertinya terlalu fokus pada bagian-bagian tertentu saja."


"Apa maksudmu?"


Aku belum sepenuhnya memahami apa yang dia maksud, dan Kuon mengangguk sambil melanjutkan.


"Misalnya, ketika Senpai mencoba menggambar sandaran kursi untuk pertama kalinya, perhatianmu terkonsentrasi begitu besar pada bagian itu sehingga keseimbangan keseluruhan gambar menjadi buruk. Mungkin lebih baik kalo kau menggambar dengan memperhatikan keseluruhan konturnya dulu."


"Ah, jadi begitu...aku tidak menyangka kalo aku akan mendapat kritik yang seserius ini."

 

"Meski komentarmu agak aneh, tapi rasa aku akan mengabaikannya untuk saat ini."


Berdasarkan sarannya, aku mencoba menggambar kursi yang sama sekali lagi. 


Kontur keseluruhan... Hmm, meskipun aku paham apa yang dimaksud Kuon, tapi rasanya cukup sulit untuk menangkapnya secara intuitif.


Melihatku yang sepertinya kesulitan untuk melanjutkan menggambar, Kuon membuka mulutnya setelah beberapa saat.


"Yah, meskipun begitu, memang tidak mudah untuk langsung memahami hanya dengan mendengar penjelasan. Aku tidak terlalu paham tentang seni bela diri, jadi aku tidak tahu apa perbandingannya tepat, tapi dalam bela diri ada yang namanya 'menonton latihan' atau 'mengamati'. Mungkin itu lebih familiar untuk Senpai, kan?"


"Ah, benar juga... Dulu aku sering mengamati latihan kakakku untuk mempelajari gerakan-gerakan dasar."


Itu adalah kenangan yang cukup mengharukan.

 

Tapi, biasanya latihan hanya berakhir dengan mengamati, dan setelah itu, kakakku akan mengajakku untuk latih tanding tanpa henti—saat memikirkan itu, kenangan yang pahit pun muncul, jadi aku memutuskan untuk berhenti mengingatnya.


"Apa pun jenis seninya, paling mudah dipelajari dengan menontonnya sekali. Jadi, Senpai, tolong buka bajumu."


"Ah, benar juga—tunggu dulu, kenapa tiba-tiba begitu?"


Kuon mengatakan itu dengan ekspresi wajah yang serius, dan aku langsung mencegahnya, dan dengan ekspresi yang sama seriusnya, dia melanjutkan kata-katanya.


"Jadi, maksudku adalah, aku akan menunjukkan contohnya. Aku akan menggambar tubuh Senpai yang kekar itu, jadi silakan perhatikan dan pelajari dari gambar ku."


"...Tunggu, sebentar, aku hampir setuju, tapi dengan begitu aku yang jadi objek gambar, berarti aku tidak bisa melihat bagaimana kau menggambarnya, kan?"


"...................Uh."


Kuon terdiam sejenak, seolah terpojok oleh kata-kataku. 


Wajahnya memerah dan pipinya mengembang, kemudian dia mulai merajuk.


"Tapi tapi, Senpai, aku juga ingin mendapatkan keuntungan sedikit! Lagipula, biasanya kalo pria, kan, mereka akan ingin melepas pakaian mereka di depan gadis secantik ku, kan!?"


"Jangan generalisasi fetish mu sebagai hal yang umum."


Betapa licinnya dia dalam berbicara, aku tetap menolaknya dengan tegas. 


Tapi, perlawanan Kuon tetap kuat.


"Tapi Senpai, sebenarnya menggambar manusia itu lebih sulit daripada menggambar benda, kan...! Ah, bagaimana kalo aku mengambil foto Senpai? Kau boleh masih memakai pakaianmu, kok. Kalo begitu, aku bisa menggambar berdasarkan foto itu!"


Setelah sedikit berpikir, aku mengangguk pada usulnya.


"Ya, kalo begitu, itu tidak masalah. Memang, apa yang kau katakan ada benarnya."


Memang, kalo sudah belajar dengan cara mengamati, lebih baik mempelajari cara menggambar manusia dengan baik juga. 


Mendengar jawabanku, Kuon langsung senang dan merayakannya dengan gerakan kemenangan, lalu dia dengan riangnya, mengeluarkan Hp-nya untuk mengambil foto dan mengarahkan lensa kamera ke arahku, tapi—


"Eh, tunggu dulu..."


Setelah berhenti sejenak seolah mengingat sesuatu, Kuon menarik sesuatu dari tasnya. 


Ternyata itu adalah kain besar berwarna hijau cerah.


"Senpa, bisakah kau menggantungkan ini di belakangmu?"


"Ah, aku mengerti...tapi apa ini?" 


Aku bertanya padanya ketika aku mengambil kain itu darinya dan menggantungnya di rel tirai yang telah dipasang di lubang ruang klub. 


"...Kalo latar belakangnya hijau, itu lebih nyaman di mata saat menggambar."


Setelah sedikit hening, entah kenapa, Kuon menjawab sambil sedikit memalingkan muka.


"Begitu... Baiklah, apa ini sudah cukup?"


"Ya, itu sudah bagus, sepertinya itu bisa digunakan untuk membuat latar belakang transparan dan menggunakannya sebagai bahan..."


"Tunggu...apa maksudmu?"


"Ah, itu hanya pikiran ku saja, jadi jangan terlalu dipikirkan. Sekarang, aku akan ambil fotonya... 1, 2, 3!"


Tanpa pose apapun, aku yang masih duduk di kursi difoto beberapa kali oleh Kuon. 


Setelah itu, dia meletakkan Hp-nya dengan ekspresi puas.


"Ah, dengan ini aku bisa melakukan banyak hal... Sekarang, ayo akan aku tunjukkan kemampuan menggambar ku kepada Senpai."


"Ah, baiklah, tolong bantu aku."


Kuon mulai menggambar sambil melihat foto ku di layar Hp-nya setelah menerima sketsa buku dariku. 


Pertama, dia memberi garis kasar pada kepala, lengan, dan persendian, membentuk kontur keseluruhan. 


Kemudian, dia mulai menambahkan detail seperti garis rambut, pakaian, tekstur, dan kerutan.


Melihat cara dia menggambar, aku merasa kalo selama ini aku terlalu fokus pada bagian-bagian tertentu dan tidak cukup memperhatikan gambaran keseluruhan.


Lalu—


"Ada apa, Senpai?" 


"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya benar-benar kagum, kau sangat mahir." 


Itu memang benar, dan bukan kebohongan.


Kuon duduk tegak dengan punggung lurus, wajah seriusnya fokus pada buku sketsa, dan penampilannya terasa jauh lebih dewasa daripada biasanya. 


Mungkin itu sebabnya, pemandangan itu terasa seperti sebuah lukisan yang lengkap, dan aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari sosoknya.


Tapi, berbalik dari reaksiku yang memuji, Kuon malah merespon dengan wajah datar dan sedikit mengangkat bahu.


"Yah, sejak kecil aku sudah dilatih dalam berbagai seni. Bagi keluarga Riya, ini bukan hal yang bisa dibanggakan."


"...Meskipun begitu, yang hebat tetaplah hebat. Kemampuanmu untuk menguasai begitu banyak hal adalah hasil dari usahamu yang tidak diragukan lagi." 


Aku menghargai kata-kata Kuon yang berasal dari keluarga terhormat Riya. 


Meskipun dia mengatakannya dengan nada biasa, aku tahu kalo arti di balik kata-katanya lebih berat daripada yang terlihat.


Tapi meskipun begitu—dengan tubuh kecilnya, dia selalu bisa tersenyum dengan tenang tanpa menunjukkan beban. 


Itu pasti karena kekuatan yang dimilikinya.


"Kau terlalu memujiku, Senpai. Nanti aku malah akan semakin jatuh cinta padamu tau?" 


"Apa kau terpesona?" 


Saat aku bercanda untuk menjawab kata-kata Kuon yang biasa, dia lalu tersenyum dan berkata,


"Aku selalu terpesona padamu, kok, Senpai."


Dengan senyuman itu, dia kembali memfokuskan pandangannya pada sketsa bukunya. 


Tangannya bergerak cepat namun dengan presisi, dan kemudian dia menghela napas pelan sambil berkata,


"...Hei, Senpai, apa kau tidak teringat dengan kejadian 6 bulan yang lalu saat kita sedang seperti ini?"


"6 bulan yang lalu?"


"Sebelum aku mulai berpacaran dengan senpai... itu saat kita bertemu di perpustakaan."


Tanpa mengalihkan pandangannya dari buku sketsa, dia melanjutkan kata-katanya dengan tenang.


"Pada saat itu, aku baru saja datang ke Jepang dan aku sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Jepang. Karena itu, aku terlibat dalam beberapa masalah, tapi justru karena itu aku bisa bertemu dengan senpai—dan setelah itu, setiap minggu, senpai menemani ku belajar bahasa Jepang di perpustakaan itu."


"...Apa itu pernah terjadi."


Tanpa sengaja, aku memberikan jawaban yang agak dingin, merasa agak malu untuk menanggapinya secara langsung.


Tapi—tentu saja, aku tidak akan pernah melupakan itu.




[TL\n: ini flashback mereka ya...]



"Eh, Fudou-san. Aku ingin membaca buku ini."


"Aku yang sulit jujur dan kau yang terlalu jujur... Itu pilihan yang cukup aneh tapi kenapa kau memilih ini?"


"Aku tertarik dengan novel-novel Jepang seperti ini. Aku pikir belajar dari buku yang ku suka akan membantuku lebih cepat mengingatnya."


"....Aku tidak akan menghentikanmu."



[TL\n: kembali lagi pas mereka di ruangan klub sastra.]


Mengingat kembali waktu itu, aku tidak bisa menahan senyum kecut.


"Itu pertama kalinya aku melihat mencoba menggunakan web novel sebagai bahan pembelajaran bahasa Jepang."


"Hm. Meskipun begitu, kemampuan bahasa Jepang ku yang luar biasa ini jelas dibangun berkat 'Suna Suna',"


Setelah mengatakan itu dan membusungkan dadanya, lalu dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.


"'Suna Suna' itu bagus, senpai. Secara spesifik, pertama, kepribadian karakter-karakternya sangat menonjol, itu jelas tidak bisa diabaikan, dan sudah benar-benar ditekankan di sana. Selain itu, meskipun ada banyak rasa yang kuat, tapi tidak terasa berlebihan. Aku juga suka bagian diskusi antara karakter dan penulis di bagian akhir, tapi sayangnya itu tiba-tiba menghilang di tengah jalan, itu sedikit mengecewakan. Tapi itu lain cerita, mengenai daya tarik ceritanya yang berlanjut... meskipun seri ini berlanjut, jumlah karakternya tidak ditambah-tambah secara sembarangan, jadi alur ceritanya mudah diikuti, dan yang paling penting, cara penulis menyusun garis emosional karakter-karakternya dengan begitu halus. Penulisnya, 'Kuroko', pasti seorang wanita yang sangat feminin... Aku merasa sangat terpesona setiap kali membacanya. Meskipun aku belum pernah bertemu dengannya secara langsung, aku rasa dia pasti wanita yang sangat ideal bagi ku. Senpai, bagaimana jika Anda juga membacanya?"


Terkadang sedikit tertekan oleh kata-katanya yang keluar begitu cepat, aku menggelengkan kepalaku.


"....Tidak, terima kasih. Aku sudah mencoba membaca sedikit, tapi itu tidak cocok untuk ku."


"Hmm, memang benar, bagi seseorang seperti senpai yang keras kepala, kekar, dan sangat maskulin, mungkin itu tidak cocok... 'Suna Suna' memang sangat feminin dan manis, sangat bertolak belakang dengan senpai."


Sambil mengangguk-angguk, dia mengatakan itu, dan aku hanya bisa tersenyum canggung sambil mengangguk.


"Yah, terlepas dari apakah 'Suna Suna' itu bagus atau tidak—tidak dapat dipungkiri kalo itu sangat membantu dalam pembelajaran bahasa Jepangmu."


Aku sempat terlintas di pikiran kalo mungkin itu sedikit memberikan dampak buruk dalam pendidikan emosionalnya, tapi saya memutuskan untuk tidak mengatakannya.


"Hehe. Itu benar, tapi... tetap saja, kalo senpai tidak ada, aku rasa aku tidak akan sampai seperti ini."


Jawaban Kwon itu membuat ku hanya bisa mengangkat bahu.


"....Dulu aku yang mengajarkan, sekarang aku yang diajarkan, ya?"


"Itu juga berkat senpai. Senpai yang mengajarkan ku bahasa Jepang, dan...dan yang pertama dan terpenting kalo senpai tidak membantu ku waktu itu, saat aku dikerubungi oleh preman, aku tidak tahu bagaimana nasibku. Mungkin sekarang aku sudah menjadi salah satu karakter dalam buku-buku tipis yang di unggah di web Doujindesu.Tv ..."


[TL\n: maksudnya buku Doujinshi]


"Meskipun mereka tidak sekejam itu..."


Ketika aku mengingat kembali kejadian itu, aku berkata sambil tersenyum pahit. 


Lalu, tiba-tiba aku menoleh ke arahnya dan mengajukan pertanyaan.


"...Riya. Ngomong-ngomong, seberapa banyak kau ingat tentang kejadian waktu itu?"


"Ah—sangat ingat."


Dia mengangguk pelan, kemudian dia meletakkan ke-2 tangannya di pipinya dan menggumam dengan ekspresi yang terlihat agak terpesona.


"Senpai mengusir semua preman itu dengan peluit Maester Singer dan mengalahkan mereka semua..."


"Jangan mengarang cerita dan dunia fantasi."


Memang benar aku pernah diberitahu kalo senyum ku tidak simetris atau menyeramkan, tapi itu hanya masalah otot wajah ku.


Mendengar mendengar kata-kataku, Kuon menjulurkan lidah sambil tertawa kecil.


"Waktu itu aku benar-benar tidak mengerti bahasa Jepang... Sebenarnya, aku tidak begitu tahu bagaimana senpai mengusir mereka. Aku ingat senpai sedang berbicara dengan mereka, tapi aku tidak begitu mengerti."


"....Begitu. Kalo begitu, tidak masalah."


Aku pun menutup mulut, dan setelah sedikit memiringkan kepalanya, Kuon kembali melanjutkan pekerjaan menggambarnya.


Setelah beberapa menit berlalu, sekitar 10 menit, aku akhirnya terlukis dengan jelas di buku sketsa.


"Mm, aku rasa ini cukup bagus."


Seperti yang dia katakan, memang, gambaran ku dalam kertas gambar itu menunjukkan diri ku yang biasa, dengan ekspresi wajah datar dan tangan disilangkan.


(Meskipun rasanya agak lebih dipoles dibandingkan foto aslinya)


Meskipun agak canggung untuk aku katakan sendiri—ekspresi wajah yang galak itu terlihat digambarkan dengan cukup akurat.


"Memang, ciri-cirinya tertangkap dengan baik, dan—meskipun aku tidak berhak mengatakan ini—proporsinya juga pas."


"Hehe, sekarang aku rasa aku bisa menggambar versi telanjang Senpai dengan mata batin ku."


"Jangan digambar."


Bagaimanapun, aku merasa ada banyak hal yang bisa aku pelajari dari cara dia menggambar saat ini.


Tentu saja, kemampuan ku jauh tidak setara dengannya, tapi aku merasa ingin mencoba teknik yang dia ajarkan.


Setelah menerima kembali buku sketsa dan pensil dari Kuon, aku membuka lembaran putih baru, aku lalu berpikir sejenak, lalu menatap Kuon dan berkata. 


"Hei, Riya. Kalo kau tidak keberatan, boleh aku menggambar dirimu?"


"Eh?"


"Berkat mu, aku rasa aku bisa menggambar sesuatu yang lebih baik. ...kalo aku sudah menggambar, aku pikir aku akan lebih semangat kalo subjeknya menarik."


Mendengar kata-kata ku itu, dia terkejut sejenak, lalu pipi putihnya sedikit memereah.


"....Senpai, kadang-kadang mengatakan hal memalukan secara tiba-tiba seperti itu."


"Aku tidak merasa mengatakan hal yang memalukan."


"Di bagian itu, coba manfaatkan kemampuan tuli mu, seperti protagonis dalam komedi romantis!"


"Untungnya, aku belum pernah gagal dalam tes pendengaran."


Saat aku menjawab seperti itu, Kuon menutup mulutnya, mengerang "Uu", lalu mengangguk dengan.


"Baiklah, kalo begitu, aku akan melepaskan pakaianku kali ini."


"Terima kasih, tapi tidak perlu sampai begitu."


Ketika dia mencoba membuka pita dasi seragamnya, aku menghentikannya, dan meskipun dia mengerucutkan bibirnya, dia tetap duduk di tempatnya.


Dengan ke-2 lutut rapat dan tangan diletakkan di atasnya, dia duduk dengan manis. 


Aku memandanginya dari depan, lalu mulai menggerakkan pensil di atas kertas.


Melihatnya dengan cara ini, tubuhnya memang kecil dan ramping. ...Terkadang saat aku berbicara dengannya aku hampir lupa, tapi pada akhirnya dia hanya seorang gadis berusia 11 tahun, jadi itu wajar.


Rambut platinumnya yang berkilau memantulkan sinar matahari senja yang masuk melalui jendela, membuatnya terlihat sangat cantik


Wajahnya yang masih mempertahankan tampilan kekanak-kanakan, terlihat semakin menggemaskan saat dia diam seperti ini.


Dengan hanya memfokuskan pandanganku pada dirinya, aku terus menggerakkan tangan ku. 


Setelah beberapa saat seperti itu, Kuon mulai terlihat agak gelisah dan mengalihkan pandangannya.


"....Um, senpai, kau tidak perlu memandangiku begitu serius."


"Tapi kalo aku tidak melakukannya seperti ini, aku tidak bisa menggambarmu."


"Itu memang benar... tapi... ugh."


Dia mengeluh pelan, lalu menundukkan kepala seolah sudah menyerah. 


Pipi merahnya kemungkinan besar karena cahaya matahari senja yang masuk dari jendela. 


Tentu saja, aku rasa tidak mungkin Kuon merasa malu hanya karena ku pandang terus-menerus...dia pasti tidak akan mengatakan hal seperti itu.


Bagaimanapun, setelah beberapa belas menit lagi akh terus menggambar—akhirnya.


"...Selesai."


Aku lalu meletakkan pensil ku dan sedikit menjauhkan buku sketsa untuk melihat keseluruhan gambar.


Di sana, ada sosok Kuon yang sedang duduk dengan tenang. 


Aku tidak bisa menilai dengan pasti, tapi akau rasa gambar ini jauh lebih baik dari yang aku bayangkan.


Kuon yang melihat ke arah buku sketsa itu tersenyum dengan ceria.


"Ha-ha, seperti yang ku kira, senpai memang cepat sekali berkembang."


"Jangan terlalu memujiku. ...Masih banyak bagian yang perlu diperbaiki."


"Tapi menurut ku, ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Setidaknya, kalo gambar ini dipamerkan, rasanya tidak akan memalukan."


"Ya, memang. Tapi—"


Setelah memotong kata-katanya itu, aku menatap Kuon dengan intens dan menghela napas.


"Kali ini, subjeknya memang bagus."


".....!"


Kuon terlihat terkejut seolah seperti dia baru saja menerima pukulan kecil, tapi itu mungkin hal yang tidak terhindarkan.


Sekali lagi aku menatap gambarmu, aku lalu menggeram pelan.


"Tapi...ini bagaimana sebaiknya? Kalo aku biarkan di buku sketsa ini, dan kalo ada orang yang menemukannya, tentu saja akan menimbulkan pertanyaan yang tidak perlu..."


Tapi, ini adalah gambar Kuon. 


Rasanya tidak enak kalo aku harus membuangnya, dan aku merasa tidak tega.


Kalo aku menyimpannya di rumah, kemungkinan besar saudara perempuan ku yang terlalu kepo akan menemukannya dan menganggapnya lucu—Aku sedang memikirkan hal itu ketika Kuon tiba-tiba mengangkat tangannya.


"Eh, senpai. Kalo kau tidak keberatan, boleh aku mengambilnya?"


"Ah, tidak masalah, tapi...apa kau yakin? Gambar seperti ini?"


Menanggapi pertanyaanku, Kwon mengangguk dengan penuh keyakinan.


"Tentu saja. Karena ini adalah gambar diri ku yang dibuat oleh senpai, mungkin aku tidak akan bisa melihatnya lagi seumur hidupku."


Dia berkata begitu.


Ya, kalo dia menginginkannya, aku tidak bisa menolaknya. 


Aku memisahkan gambar Kuon dari buku sketsa dan menyerahkannya padanya. 


Dengan senyum lebar, dia menatap gambar itu.


Ketika aku menatap wajahnya yang terlihat bahagia, aku pun menghela napas kecil.


"Hari ini, ini kekalahanku."


...Aku merasa sudah menggambarnya dengan sebaik mungkin. 


Tapi, tetap saja, aku merasa gambar ini jauh dari bisa menandingi keanggunan dirinya yang asli.


──.


"Bagaimanapun, ini menyelamatkan ku dari kesulitan berkompetisi hari ini."


"Apa kau sudah menyiapkan sesuatu?"


"Ya, begitulah. Apa kau tertarik untuk mengetahuinya? Hari ini aku membawa papan Ouija dan permainan Twister."


"Apa sebenarnya yang kau rencanakan?"


Hasil: 2 VS 2〈Hari ke-4 pertandingan──Pemenang: Riya Kuon〉



■ Intermission


Setelah Kuon pulang, aku kembali sendirian di ruang klub sastra.


Hanya sinar matahari senja yang menyusup masuk, menerangi ruang yang agak gelap itu, dan aku pun mengeluarkan sebuah buku dari tas ku.


'Sunasuna'—Volume pertama dari 'Boku wa Sunao ni Narenai, Kono Kanojo wa Sunao Sugiru'(Aku yang Tak Bisa Jujur dan Dia yang Terlalu Jujur).


Aku memegang sampul buku yang bergambar seorang gadis imut sedang tersenyum, lalu mengangkat bahu.


Untungnya, sepertinya dia tidak begitu ingat tentang kejadian waktu itu.


Tapi...sampai kapan aku bisa terus menjaga rahasia ini?


Aku lalu menggelengkan kepalaku.


Tidak, aku harus menjaga rahasia ini.


Rahasia ini saja...setidaknya, aku tidak akan mengungkapkannya kepada Kuon. 


Aku harus membawanya hingga ke kuburanku, tanpa ada yang tahu.


Dengan tekad baru, aku menyimpan 'Sunasuna' di dasar tas ku.


Dalam, sangat dalam. 


Agar tidak ada yang menemukannya, terutama dia.


★★★


Setelah pulang ke rumah, aku segera menarik keluar bingkai kosong dari gudang dan memutuskan untuk memajang gambar yang dibuat oleh senpai di kamar ku.


Bingkai kecil yang digantung di dinding sebelah tempat tidur. 


Di dalamnya, ada gambar pensil ku yang terlihat sedikit manja, menatap balik dengan tajam.


Seperti yang dikatakan oleh senpai. 


Jujur saja, gambar itu tidak bisa dibilang sangat bagus.


Garis-garisnya goyah, tubuhnya beberapa bagian hampir rusak, dan jari-jemarinya pun terlihat tidak seragam, ini benar-benar menunjukkan kesan 'pemula.'


...Tapi.


Tapi, di dalam gambar itu—tentu saja, itu adalah aku.


Itulah bentuk ku yang tercermin dalam tatapan tajam senpai.


"...Ehehe."


Aku sudah melihat gambar itu entah sudah berapa kali hari ini, tapi setiap kali aku melihatnya, aku tidak bisa menahan tawa canggung.


Karena, senpai yang itu menggambar ku. Apalagi,


"'Karena subjeknya bagus,' katanya."


Hehe, ehehe. 


Pikiran ku sudah terlalu melayang hingga rasanya aku bahkan tidak bisa menulis dengan baik.


Setelah itu, aku kembali menatap gambar yang dibuat oleh senpai. 


Tiba-tiba, aku teringat akan sesuatu.


"Ngomong-ngomong, tadi senpai bilang sesuatu yang agak aneh hari ini"


...Yah, kalo dilihat dari tingkat keanehannya, perilakunya yang mabuk kemarin lebih mencolok, tapi itu bukan yang ku maksud.

Yang jelas—ya,


"Kenapa waktu itu aku ditanya seperti itu ya?"


Ketika pertama kali bertemu dengan senpai.


Waktu itu, aku yang masih kesulitan berbahasa Jepang diganggu oleh para preman, dan senpai menyelamatkan ku.


Saat ditanya, aku tidak terlalu memperhatikannya, tapi setelah aku pikir-pikir, rasanya seperti... ya, bisa dibilang itu seperti petunjuk yang sengaja disembunyikan.


"Hmm?"


Entah kenapa, aku jadi sangat penasaran, jadi aku mencoba mengingat-ingat kejadian waktu itu dengan lebih teliti.


Aku ingat, senpai sempat berbicara dengan para preman itu untuk beberapa waktu... setelah itu.


"Aah, iya."


Aku ingat satu hal.


Waktu itu... senpai memang memberikan sesuatu kepada para preman itu.


Sesuatu yang tidak terlalu besar, seukuran telapak tangan.


Dan itu—sepertinya bukan hal yang aku salah lihat, itu adalah sebuah buku pocket.


★★★


...Keesokan harinya.


Entah kenapa aku merasa terganggu dengan kejadian kemarin, jadi setelah sekolah berakhir, aku langsung meninggalkan kelas.


Aku pergi untuk meminjam kunci ruangan klub, dan sepertinya hari ini senpai sudah lebih dulu meminjamnya.

 

Aku dengan cepat menuju ke ruangan klub sastra yang terletak di sudut gedung klub, dan ketika aku hendak membuka pintu, akh mendengar suara wanita yang tidak saya kenal dari dalam.


"...──Sudah waktunya──...?"


Aku terkejut dan terdiam di tempat itu.


Seharusnya hanya ada aku dan senpai di klub sastra. 


Apa aku salah dengar? 


Tidak, itu tidak mungkin.


Dengan hati-hati, aku berdiri sedikit lebih tinggi untuk mengintip melalui jendela kecil di pintu. 


Di dalam, aku melihat 2 orang.


Senpai yang sedang duduk di tempat biasa, dan—di sampingnya, berdiri seorang siswi yang menatapnya.


Wanita itu terlihat cantik dengan kacamata, sepertinya tipe yang bisa menjadi ketua atau anggota dewan, yang memberikan kesan seperti itu. 


Oh, dan payudaranya kecil.


Aku merasa seperti pernah melihatnya sebelumnya, jadi aku mencoba menggali memori ku, dan—ah, ya. 


Dia adalah ketua OSIS tahun ini, senpai dari kelas 2.


Aku ingat nama lengkapnya sangat rumit dan sehingga aku langsung melupakanya dalam 3 detik. ...Singkatnya, aku tidak mengingatnya, jadi aku akan memanggilnya ketua OSIS saja untuk saat ini.


Biasanya, dalam cerita light novel, nama karakter selain protagonis dan heroine sering kali terlupakan. 


Orang-orang lainnya sering dipanggil berdasarkan warna, atribut, atau bahkan nama pengisi suara mereka.


Tapi, entah kenapa, ketua OSIS itu terlihat sedang berbicara serius dengan senpai, dengan ekspresi wajah yang cukup tegang. 


Karena suasana sepertinya sulit untuk ku campur tangan, aku memutuskan untuk mendekatkan telingaku ke pintu agar tidak ketahuan dan mencoba mendengarkan pembicaraan mereka.


"...Tunggu... Tidak bisa...?"


Meski pintu itu sudah cukup tua, ternyata itu kedap suara juga, jadi aku tidak bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas. 


Tapi, nada bicara senpai tampak lebih kaku dari biasanya, sementara ketua OSIS juga terlihat serius. 


Aku bisa merasakan kalo mereka sedang membicarakan sesuatu yang cukup serius.


Hmm, aku masih belum bisa mendengar dengan jelas. 


Haruskah aku sedikit lebih mendekat? 


Begitu aku berpikir begitu, aku mendengar suara ketua OSIS yang cukup tegas.


"...Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi... Harus... sebelum aku suka..."


Setelah suara ketua OSIS yang tajam itu, aku melihat dia berbalik dan berjalan menuju pintu. 


Aku buru-buru menyembunyikan diri di balik tiang terdekat.


Ketika dia menutup pintu dengan keras dan berjalan cepat dengan punggung tegak, aku mencoba untuk menganalisis potongan percakapan yang baru saja saya dengar.


‘Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi’ dan ‘Suka’—setidaknya, 2 hal ini jelas terdengar.


Melihat situasi ini, aku bisa menyimpulkan kalo satu-satunya hal yang mungkin dibicarakan antara seorang pria dan wanita dengan ekspresi serius adalah... ya, itu pasti mengenai perasaan mereka.


"......Jangan-jangan ini sebuah pengakuan cinta...!!??"





Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال