> ■CHAPTER 1

■CHAPTER 1

 Kamu saat ini sedang membaca   Kyō mo iki tete erai! ~ Amaama kanpeki bishōjo to sugosu 3 LDK dōsei seikatsu ~  volume 1,  chapter 1. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw 

APARTEMEN MEWAH



"Maafkan aku... Ini semua karena aku..."


"Tidak, tidak apa-apa. Akulah yang bekerja sambil berbohong, jadi aku hanya dihukum karenanya."


Setelah meninggalkan lokasi kejadian, aku memutuskan untuk mengantar Tojo-san pulang ke rumahnya.


Waktu sudah hampir tengah malam, dan aku tidak bisa membiarkan seorang perempuan pulang sendirian.


"Yang penting, semuanya tidak menjadi masalah besar. Jangan terlalu dipikirkan, Tojo-san."


"Bukan begitu... Lagipula, Inamori-kun telah menolongku, dan sekarang aku membalas kebaikannya dengan kejahatan."


Dia terlihat sangat terpukul, dan dia menundukkan wajahnya dalam-dalam.


Aku tidak menyangka dia akan memikirkannya sedalam itu, sampai-sampai aku pun tidak tahu harus berkata apa.


Untuk saat ini, aku mencoba mengalihkan topik.


"Ngomong-ngomong, kenapa kau berada di sekitar sini selarut ini?"


"Ah... Aku ada sedikit urusan yang harus aku urus."


"Urusan?"


"Ah, benar. Inamori-kun, apa kau sudah makan malam?"


Dia dengan jelas mengalihkan pembicaraan.


Mungkin itu topik yang sebaiknya tidak aku sentuh lebih jauh.


Kalo begitu, lebih baik aku mengikuti alur baru tanpa bertanya macam-macam.


"Belum, sih. Aku memang berniat makan setelah ini."


"Kalo begitu, bagaimana kalo aku mentraktirmu makan? Aku tahu ini tidak sebanding sebagai permintaan maaf, tapi paling tidak izinkan aku membalas kebaikanmu yang telah menolongku tadi."


Sebenarnya aku ingin mengatakan kalo dia tidak perlu repot-repot───tapi baru membayangkan soal makan malam saja sudah cukup membuat perutku berbunyi keras.


Di sekolah tadi, aku hanya sempat makan satu buah roti manis sebagai pengganti makan siang dan sejak itu aku belum menyentuh makanan apa pun.


Mungkin karena terlalu fokus, aku tidak menyadarinya sampai sekarang, tapi setelah aku menyadarinya, suara perutku terus terdengar tanpa henti.


"Fufu. Sepertinya aku bisa sedikit membalas budi."


"Uh... kalo begitu, aku akan sangat berterima kasih."


"Tentu saja. Kalo begitu, ayo kita pergi."


"Ngo-ngomong-ngomong, boleh aku tahu kita akan ke mana?"


Karena sudah larut malam begini, sebagian besar tempat makan pasti sudah tutup.


Meskipun izakaya atau restoran waralaba mungkin masih buka, kalo berada di tempat yang terang dan wajah kami terlihat jelas, sudah pasti aku akan ketahuan sebagai anak di bawah umur.


Menanggapi pertanyaanku, Tojo-san tersenyum nakal.


"Di rumahku."


★★★



"Uh, wow..."


Aku dibawa oleh Tojo-san dan sebelum ku sadari kami sudah sampai di sebuah gedung apartemen mewah yang sangat besar.


Sejujurnya, perbedaan antara ini dan apartemen satu kamar kumuh yang aku tinggali saat ini bagaikan langit dan bumi, meskipun ini agak kasar untuk dikatakan.


Seperti yang diharapkan dari orang kaya. Tempat tinggalnya saja sudah berbeda kelas.


"Hehe, reaksimu lucu sekali."


"Hah?"


"Ayo, kita masuk dulu ke kamarku. Nanti akan aku jelaskan lebih detail di sana."


Karena ini rumahnya sendiri, dia terlihat sangat terbiasa dan berjalan dengan santai, sementara yang bisa kulakukan hanyalah menyaksikan dengan kagum saat Tojo-san masuk.


Ketika dia menyadari aku berhenti bergerak, dia kembali mendekat dengan senyum canggung seolah mengerti keadaanku.


"Eto... karena ini sistem pintu otomatis, aku ingin kau ikut masuk bersamaku."


"...Ah, ah, benar juga. Ini namanya auto lock, ya?"


"Seharusnya aku sudah menjelaskan dari awal, maaf."


"Ti-tidak apa-apa, aku juga kurang paham."


Jujur saja aku merasa sangat malu.


Orang tuaku dulu tinggal di apartemen biasa tanpa sistem seperti ini, dan teman-temanku juga tidak ada yang tinggal di tempat seperti ini.


Jadi melihat pintu otomatis di apartemen ini terasa sangat baru bagiku, dan aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.


"Tolong masuk dulu. Dari sini kita masih perlu waktu sedikit lagi."


Tojo-san menarik lengan bajuku dan kami melangkah masuk ke dalam apartemen. 


Seperti yang dia bilang, kami melewati lobi yang luas, naik lift, lalu menuju lantai paling atas, jadi aku agak terkejut karena butuh waktu lebih lama dari yang aku perkirakan.


───Ternyata ini lantai paling atas.


Entah bagaimana, rasanya seperti udara di sini tipis.


Aku tidak bisa berkomentar selain itu.


"Inilah rumahku. Silahkan anggap seperti rumah sendiri, santailah di sini."

 

"Wah, aku rasa itu agak sulit."


Kami membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.


Dilihat dari penampakannya, ini seperti rumah tipe 3LDK atau bahkan lebih banyak kamar.


Semua ruangan rapi dan bersih, serta tercium aroma manis yang samar.


"Maaf, semuanya begitu tiba-tiba sampe-sampe aku belum sempat beres-beres..."


"Tidak kok, ini malah terlihat seperti tidak ada debu sama sekali."


"Aku sungguh terhormat. Hehe, kau tahu, selain keluargaku, kau adalah orang pertama yang datang ke rumah ini."


Aku merasa sedikit malu mendengar itu.


Tapi, ucapannya membuatku penasaran dan sekaligus takut, jadi aku memberanikan diri bertanya.


"Eto...maksudmu keluargamu akan datang?"


"Ya, saat ini aku tinggal sendiri di rumah ini. Ini adalah cara untuk belajar tentang masyarakat, dan memberiku sedikit pengalaman untuk mandiri."


Tinggal sendirian di rumah 3LDK sebesar ini?


Dia seumuran denganku, tapi rasanya dia sudah melangkah jauh ke tingkat yang berbeda.


Dan satu fakta lagi, sekarang hanya ada aku dan Tojo-san di rumah ini.

 

Dalam situasi saat ini, kenyataan ini adalah yang paling menakutkan.


"Ah, apa kau merasa canggung karena hanya kita berdua saja?"


"Yah, memang...pada malam seperti ini, kalo pria dan wanita berdua saja, bukankah itu terasa kurang pantas?"


"Tenang saja, aku tidak akan menyerangmu."


Tunggu sebentar.


Apa yang akan diserang justru aku?


"Silakan duduk di sofa dan tunggu sebentar. Aku akan membuatkan sekarang.”


"Hah? Jadi, ini seperti pengiriman atau semacamnya...?"


"Meskipun ini makanan yang diantar, aku yakin makanannya akan terasa berat di perut saat ini, apalagi kalo sampai mengganggu aktivitas besok, atau, apa ada makanan tertentu yang kau inginkan?"


"Tidak, tidak ada yang khusus."


"Senang mendengarnya. Meski mungkin kau berpikir sebaliknya, tapi aku sebenarnya cukup yakin dengan kemampuan memasakku."


Dia mengenakan apron di atas pakaian biasa dan menuju dapur sambil bersenandung. 


Aku, sebentar lagi akan makan masakan buatan Tojo-san.


Kalo teman-teman sekelasku tahu, mungkin aku akan dikritik habis-habisan.


"Apa ada makanan yang tidak kau sukai atau yang membuatmu alergi?"


"Oh, tidak, tidak ada."


"Apa kau mungkin gugup?"


"Tentu saja."


Fakta kalo aku telah bersikap canggung selama beberapa waktu adalah bukti yang cukup.


"Fufu, aku sebenarnya ingin kau lebih santai, tapi mungkin sulit kalo saya aku begitu. Untuk saat ini, silakan menonton TV sambil menunggu."


"...Baiklah."


Dengan kedua kaki terkatup seperti kucing yang sedang ketakutan, aku perlahan mengambil remote dan menyalakan TV.


Di rumahku sendiri tidak ada TV, jadi sudah lama sekali aku tidak menonton orang-orang berbicara di layar seperti ini.


(...Gambarnya sangat bagus.)


Kalo dibandingkan dengan TV yang kukenal, layar ini jauh lebih besar dan kualitas warnanya jauh lebih tajam.


Apakah Tojo-san biasa menonton film di layar seperti ini?


Aku merasa sedikit iri.


"───Nah, sudah siap."


"Hah?"


Saat aku menatap kosong ke layar, tanpa sadar sekitar 20 menit sudah berlalu.


Mungkin aku sempat tertidur karena kelelahan.


Segera aku merapikan posisi duduk dan mengangkat kepalaku, di depan sofa sudah terletak meja kecil dengan dua mangkuk besar.


"Ini udon daging. Sebenarnya aku ingin membuat hidangan yang lebih rumit, tapi melihatmu sangat lelah, aku tidak ingin membuatmu menunggu terlalu lama, jadi masakannya agak sederhana."


Sambil meminta maaf, Tojo-san menunduk, tapi aku menggelengkan kepalaku dengan tegas.


Jangan remehkan udon daging biasa ini.


Daging sapi tidak hanya sedikit sebagai hiasan, melainkan memenuhi permukaan mangkuk.


Di atasnya ditaburi daun bawang yang memberi warna cerah, dan aroma kaldu serta daging menggugah selera hingga batas maksimal.


"Apa kau benar-benar baik-baik saja dengan ini?"


"Ya, Bismillah."


Aku kemudian duduk di lantai di antara sofa dan meja agar lebih dekat dengan makanan.


Setelah menyatukan tangan untuk doa sebelum makan, aku mengambil sumpit yang diberikan dan mulai menikmati udon daging yang hangat dan mengepul.


Rasa lapar mungkin menjadi faktor besar, tapi lebih dari itu, udon daging buatan Tojo-san sangatlah lezat.


Kuahnya tidak terlalu pekat atau asin, rasanya lembut, namun justru membuatku tak bisa berhenti makan, bahkan lebih menggugah selera dibandingkan masakan dengan rasa kuat seperti bawang putih.


"Aku senang kau menyukainya."


"Enak sekali!"


"Fufu, tidak perlu terburu-buru. Silakan makan dengan tenang."


Meski begitu, aku tetap tidak bisa berhenti makan.


Dalam waktu kurang dari 5 menit, aku sudah menghabiskan semuanya dan dengan sedikit rasa enggan aku meletakkan mangkuk kembali di atas meja.


"Huff... terima kasih atas makanannya."


"Sama-sama. Aku akan menyiapkan teh hangat untuk setelah makan."


"Terima kasih banyak atas segalanya."


"Tidak, tidak. Lagian aku melakukannya karena aku ingin."


Ternyata ada orang sebaik ini di dunia ini.


Kehangatannya begitu kuat sehingga membuat sudut mata ku terasa panas.


"Ini teh yang sederhana, tapi silahkan dinikmati."


"Terima kasih...tapi aku sebentar lagi───"


"Aku sedang mengisi bak mandinya sekarang, jadi nanti kalo sudah waktunya, silakan mandi. Kau pasti sudah berkeringat setelah bekerja keras, dan kalo kau langsung tidur, besok kau pasti akan merasa tidak nyaman."


"Oh? Ah, iya. Tapi tidak perlu repot───"


"Aku juga akan menyiapkan tempat tidur. Inamori-kun, kau lebih suka futon atau tempat tidur biasa? Kalo kau tipe yang tidak bisa tidur kalo bantalnya beda, aku bisa menyuruh seseorang untuk mengambil bantalmu dari rumahmu."


"Tu-tunggu sebentar!"


"Hm?"


Tojo-san memiringkan kepalanya dan terlihat bingung.


Sepertinya dia tidak mengerti apa yang aku katakan, tapi justru aku yang tidak mengerti.


"Apa aku salah dengar? Apa Tojo-san kira aku akan menginap di rumahmu?"


"Ya. Dari awal aku sudah menyiapkan semuanya untuk itu."


Aku benar-benar tidak mengerti.


Aku sebenarnya berniat pulang, dan sejak awal aku tidak berniat untuk tinggal lama di sini.


Seorang pria dan wanita muda menghabiskan malam bersama. 


Meski tidak ada kesalahpahaman, itu bukanlah sesuatu yang pantas dipuji.


"Ah, benar juga. Aku terlalu cepat mengambil kesimpulan... maaf membuatmu bingung."


"Eh, apa maksudmu...?"


"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu terlebih dahulu, jadi bisakah kau memberiku sedikit waktu lagi?"


Aku benar-benar tidak paham apa yang terjadi, tapi kalo dia mau menjelaskan, aku pikir aku harus mendengarkan.


Sambil memikirkan itu, aku pun menenangkan diri dan kembali duduk di sofa, setelah hampir berdiri.


"Sejujurnya, aku ingin melakukannya setelah kita lebih dekat... tapi aku akan menceritakan semuanya sekarang."


"...Baik."


Tojo-san terlihat sangat serius sampai aku tidak bisa menahan menelan ludah.


Dalam suasana tegang yang aneh, dia membungkuk dalam-dalam padaku.


"Maukah kau menikah denganku...?"


───Maaf, apa?


"A-apa maksudmu...?"


"...Aku akan menjelaskan detailnya dengan benar."


Mengabaikan kebingunganku yang semakin dalam, Tojo-san melanjutkan pembicaraannya.


Entah kenapa, mungkin hanya perasaanku saja, tapi dia terlihat sangat gelisah.


Seperti sedang panik atau malu.


Wajahnya terlihat memerah, dan matanya seolah-olah tidak bisa fokus.


Intinya, dari sikapnya terlihat jelas kalo dia dia tidak tenang.


Mungkin dia terlihat seolah-olah santai saat mengatakannya, tapi sebenarnya dia sangat gugup───mungkinkah begitu?


"Sebenarnya, sejak dulu aku selalu memperhatikanmu."


"Hah?"


"Pertemuan kita tadi di tempat kerjamu bukanlah kebetulan semata. Aku bisa sampai di tempat ini berkat bantuan dari Tojo Group milik keluargaku, untuk mengumpulkan informasi dan mengetahui tempat kerjamu, sehingga aku bisa sampai di sana."


Aku sulit menerima cerita itu begitu saja.


Kenapa? Kenapa? Pikiran itu terus muncul, tanpa bisa kupikirkan penjelasan logis apapun.


"Aku selalu merasa khawatir. Melihatmu yang semakin hari semakin lelah dan kurus. Ketika temanmu mengajakmu keluar, kau selalu menolak dan langsung pulang setelah kelas selesai, kan? Bahkan makan siangmu hanya roti manis saja... Aku benar-benar khawatir."


Tojo-san mengucapkan kata demi kata dengan sangat hati-hati, seperti memastikan sesuatu.


Berbeda sekali dengan sikapnya sebelumnya, tidak ada rasa malu atau canggung.


Lebih tepatnya, aku merasa seperti sedang mendengar seorang anak kecil yang mengaku melakukan kesalahan pada ibunya.


Kalau aku pikirkan dengan tenang sejenak, apa yang dilakukan Tojo-san tidak bisa dibilang wajar.


Kalo orang lain, itu mungkin sudah dianggap sebagai penguntit.


"Dan...aku sudah mengetahui apa yang terjadi padamu."


“!?"


Tojo-san melanjutkan ceritanya.



Tepat sebelum masuk SMA. Mobil orang tua Haruyuki Inamori ditabrak truk yang dikendarai pengemudi yang mengantuk, dan kedua orang tuanya meninggal seketika di tempat.


Truk tersebut tidak hanya menghantam mobil orang tua Haruyuki, tapi juga menabrak tiang listrik di dekatnya sehingga sopir truk pun meninggal saat dibawa ke rumah sakit.


Yang tersisa untuk Inamori Haruyuki adalah uang kompensasi dari perusahaan tempat sopir truk bekerja dan harta yang telah ditabung oleh orang tuanya.


Tapu, harta yang jumlahnya cukup besar itu membuat para kerabat berusaha mendekat Inamori Haruyuki untuk mencoba menguasainya.


Untuk menghindari hal itu, Inamori Haruyuki menyerahkan semua harta selain yang dipakai untuk biaya sekolah, lalu dia menjalani hidup sendiri dengan bekerja paruh waktu untuk biaya hidup.



"Kau sudah mengetahui semuanya..."


Aku selama ini diam karena menganggap masa laluku bukan sesuatu yang perlu dibanggakan atau dibicarakan dengan sengaja.


Jadi, aku tidak merasa marah meskipun sudah diketahui.


Tapi, aku takut kalau-kalau karena melihat noda dalam hidupku, dia menjadi kecewa padaku, atau menganggapku anak bodoh yang cuma sok keren.


Saat aku membayangkan dia mungkin berpikiran seperti itu, tiba-tiba aku merasa cemas.


"...Yang aku tahu bukan hanya masa lalumu saja."


Dengan penuh perhatian, dia meletakkan tangannya perlahan di atas punggung tanganku.


Suhu tubuhnya ternyata lebih dingin daripada aku, dan jarinya terasa agak sejuk.


"Saat mengamatimu, aku melihat sisi lembut hatimu."


“Sisi lembut...?”


"Ya. Saat kau bekerja di minimarket, kau membela teman kerjamu ketika melakukan kesalahan. Dan saat kerja sebagai pengatur lalu lintas, meskipun kau sendiri kelelahan, kau tetap membantu seorang pekerja yang bermasalah dengan punggungnya."


"Itu kan hal yang biasa saja..."


"Aku juga tahu hal lain. Kau selalu memberi tempat dudukmu pada ibu hamil dan orang tua di kereta. Bahkan aku pernah melihatmu 2 kali dalam 6 bulan terakhir membantu seorang nenek yang kesulitan membawa barang berat dengan menggendongnya menyeberang jalan di lampu merah."


6 bulan lalu? Sejak kapan dia memperhatikanku?


Aku tidak marah, tapi aku mulai merasa sedikit takut.


"Kau hidup dalam kondisi yang sulit dan tidak nyaman setiap hari, tapi kalo ada orang yang kesusahan, kau akan mengulurkan tanganmu tanpa ragu. Itulah yang membuatku jatuh cinta padamu. Tentu saja, itu bukan satu-satunya alasan."


"Tapi aku...hanya melakukan hal yang seharusnya dilakukan."


"Kau menolong orang lain seakan-akan itu adalah hal yang paling wajar di dunia, itu membuatku sangat menyukaimu."


Dia tersenyum dan aku merasakan cahaya lembut seperti sinar bulan dari wajahnya.


Wajahnya yang sangat sempurna dan rambut peraknya yang jarang terlihat di Jepang.


Dia memancarkan aura misterius dan kata 'dewi' terasa paling tepat untuknya.


『Jadilah orang yang bisa membantu sesama.』


Itu adalah kata-kata yang diwariskan kedua orang tuaku, dan aku masih memegangnya sampai sekarang, meski mereka telah tiada.


Karena aku mencoba menjadi orang seperti itu, mungkin kerabatku memandangku dengan cara yang memanfaatkan.


Mungkin cara hidupku selama ini salah arah───


Aku akan berbohong kalo aku bilang aku tidak pernah berpikir seperti itu.


Tapi, hanya dengan mengetahui kalo Tojo-san telah memberiku penegasan tentang itu, membuatku merasa anehnya tenang.


Aku merasa kata-katanya memiliki bobot tersendiri.


"Mendengar orang seperti Tojo mengatakan sesuatu seperti itu...membuatku merasa bersyukur bisa hidup sampai sekarang."


"Aku juga sangat bahagia Inamori-kun masih hidup di sini saat ini."


Mungkin dia benar-benar seperti dewi.


Aku merasa sangat malu, aku lalu menggaruk pipi ku untuk menyembunyikannya.


"Kalo begitu────maukah kau menikah denganku?"


...Tapi, mungkin ini adalah pembicaraan yang berbeda.


"Aku ingin orang seperti mu selalu ada di sisiku, dan aku ingin memanjakanmu sampai kau benar-benar tergantung padaku! Bahkan sampai kau tidak bisa hidup tanpaku! Ini sudah hampir menjadi sebuah fetishku!"


"Eh...?"


Sungguh, apa yang sebenarnya dia katakan?


Sambil berpose dengan gaya yang berlebihan, Tojo-san dengan tegas menyatakan hal itu.


Karena ucapan dan tindakannya yang sangat mengejutkan, aku langsung kembali tenang dan bisa berpikir jernih.


"Kalo kau mau menikah denganku, aku berjanji akan menghidupimu seumur hidup. Sampai kau menuntaskan usia panjangmu, aku tidak akan membiarkanmu kekurangan apapun."


"Itu...terdengar seperti tawaran yang sangat baik."


Sejujurnya, ceritanya terlalu bagus sampai aku merasa khawatir akan diajak masuk suatu ajaran atau sesuatu semacam itu.


Mungkin semua ini sebenarnya adalah cara dia untuk mengikat hatiku, semacam pencucian otak────mungkin saja.


"Apa kau mencurigaiku?"


"....Karena itu kedengarannya terlalu bagus untuk menjadi kenyataan."


"Hm. Kalo begitu, aku harus menjelaskan dengan lebih jelas kenapa aku jatuh cinta pada Inamori-kun."


Tojo-san yang kembali bersemangat menyeruput seteguk teh buatannya sendiri.


"Fuh... Inamori-kun, apa kau tahu bagaimana sifatku yang sebenarnya?"


"Karena kita belum pernah benar-benar berbicara sebelumnya, jadi aku tidak tahu secara detail...tapi menurutku, kau memiliki keceriaan yang membuatmu mudah berteman dengan siapa saja, dan kau juga orang yang baik kepada semua orang."


"Syukurlah. Jadi aku memang terlihat seperti itu, ya."


Dia mengusap dadanya dengan oega.


Apa aku salah dengar? Kalo aku menerima kata-katanya apa adanya, berarti Tojo Fuyuki yang biasa aku lihat bukanlah dirinya yang sebenarnya.


"Waktu aku masih SMP, aku menjalani hari-hariku dikelilingi oleh teman-temanku, sama seperti sekarang."


Tapi kenyataannya sangat berbeda.


Tojo-san mengungkapkan hal itu sambil menunjukkan ekspresi tidak nyaman di wajahnya.


"Suatu hari, mereka berkata kepadaku, 'Berikan aku uang saku mu dong. Kita berteman, kan?'"


"Ah..."


"Mereka sebenarnya tidak tertarik padaku sebagai pribadi. Aku hanya dianggap sebagai sumber uang saja. Karena itu sejak SMA aku berusaha selalu berada di pusat perhatian agar tidak diremehkan dan agar tidak menimbulkan kebencian yang tidak perlu dari orang-orang di sekitar."


Ah, jadi begitu.


"Rasanya sangat menyedihkan saat aku diperlakukan bukan sebagai manusia, tapi hanya dilihat dari harta yang aku miliki. Jadi aku bisa mengerti perasaanmu ketika menjauh dari keluargamu. Karena kau mengerti perasaan itu, aku pikir kau tidak akan mendekatiku dengan niat buruk."


"........"


"Kita bisa saling mengerti dan mendukung, kan?"


Aku merasa hampir bisa menerima penjelasannya.


Taoi, setelah menerima ceritanya itu, ada satu hal yang masih mengganjal.


"Tapi kalo begitu, kalo aku menikah dengan Tojo-san, bukankah itu berarti aku juga hanya mengincar uangmu?"


"Aku yang mengajukan, jadi itu tidak masalah!"


"Eh...?"


"Justru karena aku yang mencoba menarik perhatian Inamori-kun dengan uang, maka sebenarnya kita setara."


Apa memang begitu kenyataannya?


Seberapa pun dia menjelaskan, rasanya itu hanya teori yang sulit dipercaya, tapi sepertinya itu masuk akal untuknya.


"Saat aku lulus kuliah, aku akan mengambil alih Grup Tojo dari ayahku. Selama masa SMA dan kuliah, aku sudah diberi tanggung jawab mengelola bisnis kecil sebagai bagian dari pembelajaran. Apartemen ini bukan dibeli oleh ayahku, melainkan aku yang membelinya dengan keuntungan yang aku hasilkan sendiri."


"Eh?"


"...Ya, memang pembeliannya dengan pinjaman yang ayah ku jadi penjamin, tapi yang ingin aku tekankan adalah aku yakin aku bisa membuat Inamori-kun tidak kekurangan apa pun! ───Tapi! Hidup ini tidak selalu mudah! Tentu saja ada hal yang aku ingin kau lakukan juga!"


"A-apa itu...?"


Dia menatapku dengan ekspresi sangat serius.


"Saat aku pulang setelah seharian bekerja keras, kau harus memanjakanku semaksimal mungkin!"


"...Hm?"


"Usap kepalaku saat aku pulang, mandilah bersamaku, makan bersama, dan peluk aku di tempat tidur saat kita tidur! Tolong lakukan itu setiap hari tanpa terlewat!"


"Eh, bagaimana dengan pekerjaan rumah semacam itu...?”


"Aku akan serahkan urusan bersih-bersih pada pembantu, dan aku yang akan selalu memasak. Memasak adalah hobiku yang tidak bisa aku tinggalkan, meskipun kau boleh membantu, aku tidak berniat menyerahkan tugas itu kepada siapa pun!"


Energinya sungguh luar biasa.


"Kalo aku harus menyampaikan hal yang paling sulit..."


"Yang paling sulit?"


"....Aku ingin kau tetap menjadi orang yang baik dan lembut."


Mata Tojo-san sedikit menyipit, seperti orang yang memandang sesuatu yang sangat indah.


Mungkin aku juga memandangnya dengan cara yang sama.


Entahlah.


Tojo Fuyuki, dia mengagumiku.


Meskipun ini adalah kenyataan yang sedang terjadi di depan mataku, rasanya sulit dipercaya.


"Aku menginginkan kebaikan hatimu. Aku ingin kau ada di sisiku sampai akhir hayatku. Aku juga ingin dimakamkan di tempat yang sama denganmu, dan kalo memungkinkan, aku ingin hidup bersamamu di kehidupan selanjutnya."


“Aku tidak bisa menjamin itu, tapi..."


"Ini bukan soal kenyataan! Ini menunjukkan betapa besar perasaanku padamu!"


Karena dia begitu penuh semangat, walau terdengar seperti sesuatu yang mustahil, aku tidak merasa dia berbohong.


Tapi────aku dan Tojo-san memang belum pernah benar-benar dekat, dan walau dia sudah banyak mencari tahu tentangku, aku masih merasa banyak hal tentang dirinya yang belum aku pahami.


"....Boleh aku merangkum semuanya dulu? Tojo-san kau mencintaiku, dan sebagai imbalannya karena aku menikahimu, kau akan mendukung kehidupan ku ke depannya...benar begitu?"


"Ya, aku ingin sekali kau menjadi gigolo-ku."


[TL\n: Gigolo adalah sebutan untuk pria yang menawarkan jasa pendampingan atau hubungan romantis dan/atau seksual kepada wanita (terkadang juga pria) sebagai imbalan atas bayaran atau keuntungan materi lainnya. Dalam banyak kasus, hubungan ini bersifat transaksional dan tidak melibatkan perasaan pribadi yang mendalam.]


Cara dia mengatakannya kurang tepat.


"Tentu saja, Inamori-kun masih belum cukup umur untuk menikah, jadi kita tidak akan langsung mendaftarkan pernikahan kita. Setelah kau lulus SMA, kita akan resmi menikah. Jadi sampai saat itu, status kita adalah tunangan."


"Kalo begitu...bagaimana dengan rencana kuliah?"


"Kalo Inamori-kun ingin melanjutkan kuliah, aku akan membiayainya. Kalo kau tidak ingin kuliah, kau boleh santai saja di rumah. Tapi kalo kau benar-benar ingin bekerja, aku akan mendukung itu, walau dengan berat hati."


Tojo-san benar-benar tidak ingin aku jauh darinya.


Dia berpendapat, kalo aku bekerja dan waktuku berkurang bersamanya, lebih baik aku tetap di rumah saja.


Semuanya terdengar terlalu sempurna.


Hidup tanpa bekerja, hanya menikmati keindahan dengan seorang gadis cantik seperti Tojo Fuyuki.


Sebagai pria, mungkin ini memalukan, tapi aku tidak bisa menolak daya tarik hidup seperti itu.


Tapi.


"Hmm...kau keras kepala. Aku kira kau akan lebih mudah menerimanya. Apa aku tidak cukup menarik?"


"Bukan berarti kau tidak menarik...tapi kekhawatiranku terlalu besar."


“Kekhawatiran apa itu?”


"Yah... Aku jadi bertanya-tanya apa tidak apa-apa untuk melanjutkan pembicaraan ke pernikahan tanpa perasaan cinta dulu."


Aku pikir itu hal yang sangat wajar untuk dikatakan, tapi entah kenapa Tojo-san menatapku dengan mata terbelalak, terkejut.


Aku mulai panik, takut mengatakan sesuatu yang aneh tanpa sadar, lalu dia menutupi mulutnya dan tertawa.


"Inamori-kun, kau benar-benar lucu. Seharusnya kau lebih jujur pada keinginanmu sendiri."


"A-apa maksudmu?”


"Maaf, tunggu sebentar, ya?"


Tiba-tiba Toujou-san berdiri dan memelukku.


Dua lekuk besar tubuhnya menutupi wajahku, memberikan sentuhan kelembutan dan kehangatan yang luar biasa.


Seketika pikiranku jadi kosong.


Kebingungan bertumpuk kebingungan, ditambah dengan sensasi tubuh perempuan yang belum pernah kukenal, mungkin otakku mengalami kejutan.


"Ba-bagaimana rasanya?"


"Ah...lembut sekali."


Kelembutan payudaranya seolah menjadi semacam serum kebenaran bagiku. 


Saat aku tanpa sadar mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya, semuanya sudah terlambat.


Rasa malu dan penyesalan membuat pipiku memerah, dan dengan tergesa aku melepaskan pelukannya.


"Bahkan ini...masih belum cukup?"


"....."


PipiTojo-sano bahkan lebih merah daripada pipiku, hingga aku hampir merasa seperti ada uap yang keluar dari kepalanya.


Meski membawa rasa malu sebesar itu, Tojo-san berusaha sekuat tenaga menarikku ke dalam pelukannya.


Apa yang sebenarnya benar?


Sebagai seorang pria dan sebagai Haruyuki Inamori, apa yang seharusnya aku lakukan?


"...Bisakah kau memberiku waktu?"


"Eh?"


"Entah sebagai teman atau dalam bentuk lain, aku ingin waktu untuk bisa menyukai Tojo-san..."


Aku merasa aku harus menghargai tekadnya yang sudah mempertaruhkan segalanya untukku.


Aku tidak bisa memberikan jawaban sekarang juga.


"...Baiklah, aku mengerti perasaanmu, Inamori-kun. Bagaimana kalo kita mulai dengan masa percobaan selama satu bulan?"


"Masa percobaan?"


"Ya. Selama satu bulan, kau akan mencoba gaya hidup yang tadi aku jelaskan, dengan beberapa batasan. Kalo setelah itu kau masih ingin melanjutkan, kita akan resmi bertunangan."


Mendengar tawaran dari Tojo-san, aku menarik napas lega.


Satu bulan. Dengan waktu itu, pasti sisi burukku juga akan terlihat.


Kalo memang nanti aku mengecewakannya, lebih baik sebelum harapanku membesar.


Setelah dia berpikir begitu keras, rasanya aku tidak enak menolaknya lagi.


Kalo harus mengambil keputusan yang pas, mungkin ini jawabannya.


"Baiklah...aku setuju dengan itu."


"Baik! Terima kasih!"


Dan dengan itu, Tojo-san menunjukkan senyum paling lebar hari ini.


"Kalo begitu...sekali lagi, karena air mandinya sudah siap, silakan duluan. Aku sudah menyiapkan beberapa jenis bath salt, jadi kau bisa pilih yang kau suka."


"Ba-bath salt?"


"Apa kau belum pernah mencobanya?"


Sayangnya, aku tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu saat aku tinggal bersama keluargaku, dan aku tidak mampu membelinya setelah aku mulai tinggal sendiri.


Sebenarnya, aku bahkan jarang sekali berendam di bak mandi.


"Kalo begitu, kurasa sebaiknya aku menjelaskannya?"


Tojo-san lalu memintaku untuk mengikutinya, jadi aku mengikutinya dan menuju kamar mandi.


Saat aku sampai di ruang ganti, dia menunjukkan kepadaku sejumlah kantong kecil yang terletak di atas wastafel.


Semua kemasannya berwarna-warni, dan masing-masing tertulis nama dalam bahasa Inggris.


Sekilas, terlihat banyak nama bunga di antara mereka.


"Kami sudah menyiapkan yang umum seperti aroma mawar dan lavender."  


"Ah, aku memang benar-benar kurang paham soal ini... Aroma mana yang biasanya sering Tojo-san pakai?"


"Apa kau mau memakai aroma yang sama denganku?"


Tiba-tiba, semangat Toujou-san langsung meningkat.


Aku hampir merasa kewalahan dengan antusiasmenya, tapi aku sebenarnya tidak keberatan, jadi aku menganggukkan kepalaku.


Sebenarnya aku merasa lebih aman kalo memakai aroma yang sudah biasa dipakai orang lain.


"Nah, coba pakai yang yuzu ini. Ini aroma favoritku."


"Oh, terima kasih. Aku akan mencobanya."


Setelah menerima bath salt beraroma yuzu, aku bersiap membuka bajuku untuk masuk ke kamar mandi.


──Tapi, tiba-tiba───


"Eto... Bisakah kau meninggalkan ruang ganti?"


"Hah? Apa kau malu kalo aku melihatmu?"


"Bukankah itu sudah jelas?! Itu kan hal yang memalukan!"


"Tidak usah khawatir! Kita mungkin akan menjadi suami istri suatu saat nanti!"


"Kita belum jadi suami istri, jadi aku tetap malu!"


Karena penolakanku yang cukup tegas, akhirnya Tojo-san terlihat mengalah.


Meski dia menggembungkan pipinya dan terlihat sangat tidak puas, dia akhirnya keluar dari ruang ganti.


"Huh..."


Setelah sendiri, aku pun mulai membuka bajuku.

 

Sepertinya aku sudah cukup banyak berkeringat, karena kaos yang kupakai di bawah baju kerja sedikit berbau keringat.


Saat hendak pergi, dia sempat memberitahuku agar semua pakaian itu dimasukkan ke dalam mesin cuci, tapi jujur aku merasa agak ragu untuk melakukannya. 


Tapi, tidak ada pilihan lain.


"...Tidak ada jalan lain."


Sambil menahan rasa bersalah, aku memasukkan baju kerja dan kaosku ke dalam mesin cuci.


Karena pakaian ini harus dikembalikan nanti, aku tidak bisa membiarkannya dalam kondisi kotor.


Aku membuka pintu kamar mandi dan melangkah masuk.


"Luas sekali..."


Aku tak dapat menahan diri untuk bergumam dalam hati. 


Jika dibandingkan dengan yang aku tahu, kamar mandi di rumah ini hampir 2 kali lebih besar.


Bak mandinya bahkan cukup luas untuk 2 orang dewasa sekaligus, dan entah kenapa ada monitor terpasang di dinding.


Aku penasaran lalu menekan tombol yang ada, dan monitor itu menyala, memutar acara TV yang tadi aku tonton.


(Ada televisi juga di sini...)


Dengan rasa kagum yang aneh, aku duduk di bangku mandi dan membuka keran shower.


Suhu air yang awalnya dingin perlahan menjadi hangat, hingga akhirnya pas untuk mandi.


"Oh, iya."


Aku hampir lupa karena terkejut dengan luasnya kamar mandi, tapi aku harus memasukkan bath salt.


Dengan tangan yang agak basah, aku membuka kemasan dan menuangkan bubuknya ke dalam bak mandi.


Aroma yuzu yang segar dan sedikit manis langsung tercium, dan air di bak berubah warna menjadi kuning.


Bak mandi sudah siap.


Aku kembali duduk, lalu mulai mencuci rambut dengan sampo.


Rasanya sangat menyegarkan mandi setelah berkeringat, tubuh dan pikiranku terasa lebih ringan.


Setelah membilas busa, aku hendak meraih handuk mandi yang sudah disiapkan untuk membersihkan tubuhku.


Tapi entah kenapa, pintu kamar mandi perlahan terbuka, dan dari sana muncul sepasang kaki tanpa noda yang terlihat lembut.


Di saat itu, aku tanpa sadar mengangkat wajahku───itu kesalahanku yang terbesar.


Aku berkontak mata dengan mata Toujou-san yang hanya membalut tubuhnya dengan handuk, dan kepalaku langsung kosong.


"Inamori-kun, boleh aku membantu membasuh punggungmu?"


Dengan pipi yang sedikit meemerah, dia perlahan masuk ke kamar mandi.


Meskipun dia membalut tubuhnya dengan handuk, kalo diperhatikan lebih teliti, sebenarnya dia hanya menahan handuk itu dengan tangannya saja tanpa mengikatnya dengan kuat.


Karena dia menahan handuk di sekitar dadanya, bagian payudara Tojo-san yang besar dan sulit untuk diabaikan hampir saja terlihat keluar.


Bagian bawahnya pun cukup berani, karena handuk itu hampir menyentuh pangkal paha, membuatku bingung mau memandang ke mana.


"A—apa yang kau lakukan, sih?!"


"Tidak apa-apa! Tidak ada yang perlu ditakutkan! Aku tidak akan melakukan hal yang menyakitkan kok!"


"Bukan itu masalahnya!"


"Jangan bergerak! Nanti handukku jatuh..."


"Ah, maaf..."


Ucapan Toujou-san itu ternyata jebakan.


Ketika aku sedikit tersadar dan mulai tenang, dia segera memutari tubuhku dari belakang.


Saat aku refleks mencoba bangun, dia menahan bahuku sehingga aku tidak bisa bergerak.


Di lantai yang licin ini, dia bisa bergerak secepat itu? Jelas dia punya kemampuan fisik yang luar biasa.


"Lantai kamar mandi ini licin, jadi jangan bergerak terlalu banyak, oke?"


"Tapi, tapi..."


"Tidak ada tapi-tapian. Aku janji tidak akan melewati batas, jadi tenang dan santai saja."


Tapi ini bukan soal seperti itu, dan menurutku dia sudah melewati batas sejak tadi.


Sebelum aku sempat memohon agar dia berhenti, Toujou-san sudah meneteskan sabun mandi ke handuk untuk mencuci badan.


Dengan cekatan, dia menggosokkan busa itu ke handuk, lalu mulai mengusap punggungku.


"Tolong bilang kalo aku terlalu keras, ya."


“Itu pas, tapi..."


Selama beberapa saat, satu-satunya suara di kamar mandi adalah suara handuk yang bergesekan dengan kulit. 


Aku ingin bicara, tapi karena merasa aneh berada dalam situasi di mana idol sekolahku mencuci punggungku, aku malah tidak bisa berkata apa-apa.


Lalu tiba-tiba───aku merasakan ada sensasi lembut yang terasa di punggungku.


"Eh, ha?"


"Bagaimana menurutmu? Aku cukup percaya diri dengan ukuran dan kelembutannya, lho."


Dari ucapannya, aku pun sadar apa yang sebenarnya sedang menempel di punggungku.


Meskipun masih terhalang handuk, kelembutan seperti ini hampir tidak mungkin ditemukan pada benda lain di dunia ini.


Ini adalah...impian seorang pria.


Impian yang dipenuhi dengan hasrat lelaki, dan 2 bukit yang sanggup membuat siapa pun kehilangan akal sehat.


Sensasinya jauh lebih jelas dibanding saat tadi tanganku secara tidak sengaja menyentuhnya.


(Jadi ini...kelembutan payudara?)


Di dalam kepalaku, seakan-akan alam semesta mulai terbentang luas. Lebih tepatnya, aku membayangkan alam semesta sebagai bentuk pelarian dari kenyataan.


"Kalo kau menikah denganku, kau bisa melakukan apa pun padaku, kapan pun kau mau, lho?"


"Bu-bukannya kita sudah sepakat satu bulan percobaan dulu?"


"Ya, itu benar sekali. Maka dari itu, selama satu bulan ini, tugasku adalah membuatmu benar-benar jatuh cinta padaku. Karena itu, aku akan menggunakan segala cara yang aku punya."


Nada bicara Tojo-san begitu serius hingga membuatku yang sejak tadi hanya melihat masa depan, tiba-tiba merasa merinding.


────Dia benar-benar serius.


Lebih dari yang aku bayangkan, dia sudah menetapkan tekadnya dan tidak akan mundur hanya karena sedikit penolakan dariku.


Tindakan Tojo-san yang jelas-jelas tidak sehat ini, entah kenapa sekarang justru terlihat tulus.


Meskipun, mengatakan itu 'tulus' mungkin terlalu berlebihan.


Karena ya, tetap saja ini tidak sehat.


"Setelah masa percobaan selesai... Kalo kau menolakku, aku tidak mau menyesal dan berpikir 'seandainya waktu itu aku melakukan lebih...'. Aku tidak ingin menyesal."


"Uh..."


Tekanan lembut yang menempel di punggungku semakin terasa.


Jantungku berdebar kencang.


Kalo terus begini, rasanya aku akan pingsan karena kepanasan───meskipun air panasnya bahkan belum menyala.


"Hehe...tubuhmu mulai hangat, ya? Padahal belum ada air panas...apa ini cuma perasaanku saja?"


"Tidak...lebih dari ini aku akan...!"


"Benar juga. Kalau diteruskan, ini sudah di luar batas masa percobaan."


Sensasi lembut yang tadi terasa di punggungku perlahan menjauh.


Saat merasakan kelegaan, aku juga mendapati diriku merasa sedikit enggan melepasnya, dan karena itu, aku merasa ingin menampar diriku sendiri.


"Untuk kali ini, aku benar-benar akan menunggu di luar. Silakan berendam dengan tenang dan santai sebelum keluar. Ah, sebelum pergi, boleh aku pinjam sedikit shower-nya?"


Tojo-san menyalakan shower dengan kekuatan air yang rendah, lalu membilas busa yang masih menempel di bagian depan tubuhnya sebelum akhirnya keluar dari kamar mandi.


Ditinggal sendirian, aku menunduk dan memegangi kepalaku sambil merasa sangat kacau.


Apa yang harus aku lakukan...? Makin kupikirkan, semakin terasa kalo menolak tawarannya mungkin tidak memberiku keuntungan apa pun... 









"────Uuuuuuh~~~~~! Apa dia menganggapku wanita cabul...? Tapi di internet tertulis kalo laki-laki pasti langsung luluh kalo diperlakukan seperti itu... Uuh! Memang memalukan, tapi aku harus berusaha sekuat tenaga! Semangat, wahai diriku!"


Di luar kamar mandi.


Saat itu aku sama sekali tidak tahu kalo, Tojo-san juga sedang memegangi kepalanya dan bergelut dengan perasaan sendiri. 


★★★



Beberapa saat setelah aku selesai mandi, Tojo-san yang baru saja selesai mandi menggantikan posisiku, tiba-tiba berkata kalo dia memiliki 'sesuatu yang bagus' dan kemudian menuju ke dapur.


Sebagai catatan, karena aku tidak membawa pakaian ganti, aku akhirnya meminjam pakaian santai berupa setelan sweatshirt yang entah sejak kapan sudah disiapkan oleh Tojo-san.


Setelah diperlakukan dengan baik, aku merasa sedikit tidak enak, atau semacamnya.


"Aku sudah menyiapkan es krim Häagen-Dazs. Kau suka rasa apa? Aku sih sengaja beli semua varian supaya bisa dipilih."


"Kalo begitu aku yang vanila."


"Fufu, kebetulan sekali. Aku juga paling suka yang vanila."


Tojo-san mengambil 2 cup Häagen-Dazs rasa vanila dari dalam freezer, lalu meletakkannya masing-masing di hadapan kami.


"Terima kasih banyak. Jujur saja, dalam beberapa tahun terakhir aku bahkan tidak mampu membelinya."


"Kali kau menikah denganku, kau bisa makan ini setiap hari, lho."


".....Itu kedengarannya cukup menggoda."


"Eh? Jangan-jangan...tubuhku kalah menarik dibandingkan es krim?"


Ekspresi Tojo-san yang tampak terkejut benar-benar berbeda dari wajah anggun dan tenangnya saat di sekolah.


Melihat sisi dirinya yang tifak pernah aku tahu sebelumnya, entah kenapa malah terasa menghibur.


"Ah, itu untuk pertama kalinya kau benar-benar tersenyum, ya."


"Eh...begitu, ya?"


"Sebelumnya kau memang pernah tersenyum kecut atau senyum basa-basi, tapi senyuman barusan terasa sangat alami...dan sangat menawan."


Mendengar itu, seolah-olah ada sesuatu yang tidak kusadari telah ditunjukkan, jadi ketika dia menyampaikan pujian itu, aku justru merasa agak malu.


Dengan wajah yang perlahan terasa hangat, aku pun mengambil es krim di hadapanku.


"Inamori-kun, bagaimana cara kamu memakan es krim dari cangkir seperti ini? Aku pribadi lebih suka menunggu sampai bagian pinggirnya sedikit mencair, lalu mulai makan dari situ."


"Kalo aku────"


Itu pertanyaan yang belum pernah kupikirkan secara serius.


Selama ini aku selalu menganggap kalo es krim sebaiknya dimakan sebelum sempat mencair, jadi mendengar ada yang sengaja menunggu hingga sedikit mencair justru terasa seperti wawasan baru bagiku.

 

"Aku biasanya langsung memakannya. Apa rasanya jadi lebih enak kalo dimakan setelah mulai mencair?"


"Rasanya memang tidak banyak berubah, tapi menurutku teksturnya jadi lebih lembut, dan terasa lebih milky. Mumpung ada kesempatan, apa kau mau mencobanya?"


Mendengar penjelasan itu, aku jadi tidak bisa menahan rasa penasaran.


Tojo-san mengambil cup es krimnya dan mulai menghangatkannya dengan kedua telapak tangannya.


"Sambil dihangatkan begini, kalo saat ditekan dengan jari bagian sampingnya terasa sedikit lembek, menurutku itu saat yang paling pas untuk dimakan."


"Begitu, ya..."


Aku pun mengikuti caranya, menggenggam cup es krim dengan kedua telapak tangan untuk mentransfer panas tubuh.


Tak butuh waktu lama sampai bagian permukaannya mulai melunak, tanda es krim sudah siap disantap seperti yang dia maksudkan.


"Kalo sudah lunak begini, coba makan dari bagian pinggirnya dulu. Rasanya sedikit berbeda dari biasanya."


Sesuai dengan arahannya, aku menyendok bagian yang mulai mencair di tepiannya dan membawanya ke mulut.


Rasanya memang tidak jauh berbeda.


Tapi, sensasi lembut saat menyentuh lidah terasa sangat berbeda───benar-benar halus.


Es krim, tetap saja es krim.


Anehnya, rasa manis yang lembut dan tekstur yang begitu halus itu berhasil membuatku merasa bahagia.


"Tu-tunggu dulu! Jangan bergerak! Diam seperti itu!"


"Hah?"


Tepat saat aku akan menyuap suapan kedua, Tojo-san tiba-tiba memintaku berhenti. Aku pun refleks menghentikan gerakanku dengan sendok masih di mulutku.


Dengan cepat Tojo-san mengeluarkan Hp-nya, membuka aplikasi kamera, dan langsung memotretku.


"A-apa yang terjadi?"


"Ah?! Ma-maaf... Soalnya wajahmu terlihat sangat bahagia barusan, aku jadi tidak tahan ingin menyimpannya dalam bentuk foto..."


Apa itu? Entah kenapa, rasanya terlalu memalukan. Nafsu makanku langsung berkurang seketika.


"Uuh~ ini foto langka! Jenis foto yang cuma bisa diambil kalo kita ada di tempat yang sama! Boleh aku jadikan ini sebagai wallpaper?"


"Ka-kalo bisa...tolong jangan dijadikan wallpaper. Rasanya agak memalukan kalo sampai dilihat orang lain..."


"Jangan khawatir! Hp ini hanya aku gunakan untuk keluarga dan untuk menghubungi Inamori-kun,, jadi tidak akan ada orang lain yang melihatnya."


Sambil berkata begitu, dia menunjuk 2 Hp yang sedang diisi daya di atas rak.


"Itu yang di sana adalah Hp khusus untuk keperluan sekolah, dan yang di sebelahnya untuk urusan pekerjaan. Saat ke sekolah atau bermain dengan teman-temanku, aku selalu membawa Hp yang sekolah. Kalo ke kantor, aku selalu pakai Hp yang untuk kerja."


"Memangnya ada gunanya dipisah seperti itu...?"


"Aku tidak terlalu suka mencampuradukkan urusan pribadi dan pekerjaan. Saat sedang bekerja, aku ingin bisa fokus dan melupakan soal sekolah. Sebaliknya, saat di sekolah, aku ingin melupakan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Oh, tentu saja, nomor kontakmu akan aku simpan di ketiga Hp itu. Jadi, jangan khawatir!"


Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud mengkhawatirkan hal itu───.


Pada akhirnya, dengan cara seperti itu, dia bisa meningkatkan produktivitasnya dan menutupi biaya untuk 3 Hp sekaligus.


Tidak perlu merasa itu pemborosan. Baginya, itu hal yang penting.


"...Yah, kalo begitu, bagaimana kalo kita sikat gigi lalu tidur?"


"Sebelumnya, aku ingin memastikan satu hal. Kita...kita tidak akan tidur di ranjang yang sama, kan?"


"Fufu, sayangnya, tempat tidur yang tersedia cuma satu. Jadi, kita memang akan tidur bersama."


Apa yang sebenarnya dia katakan dengan nada santai seperti itu?


Tidak semua laki-laki seperti itu, tapi kebanyakan remaja laki-laki yang sehat secara fisik pasti akan mengartikan tidur seranjang dengan seorang gadis sebagai sesuatu yang...ya, bisa kalian tebak lah ya.


"Tenang saja. Aku tidak akan melakukan apa-apa kok. Kalo sampai seperti itu terjadi, berarti itu sudah keluar dari batas 'masa percobaan'."


"Tapi...justru aku rasa kamu salah paham arah kekhawatirannya..."


"Kalo kau yang mengambil inisiatif, aku tidak keberatan sama sekali. Aku sudah melakukan riset, dan aku tahu kalo kau tipe pria yang bertanggung jawab."


───Begitu rupanya.


Memang benar, kalo sampai terjadi suatu kesalahan, aku tidak akan punya pilihan selain bertanggung jawab atasnya. Kalo dia memintaku untuk menikahinya, mungkin aku akan menerimanya tanpa banyak keberatan.


Ya...kalo begitu, kemungkinan terjadi kesalahan di antara kami berdua seharusnya tidak ada.


(Jadi aku bisa tidur dengan tenang...tentu saja itu tidak mungkin.)


Sekarang saja aku sudah merasa gugup, dan kalo nanti aku harus tidur bersebelahan dengannya, aku yakin aku tidak akan bisa tidur sama sekali.


"Kalsajao begitu...boleh aku tidur di sofa saja?"


"Tidak boleh."


"Ba-baiklah..."


Kalo pemilik rumah sudah berkata tidak, rasanya tidak pantas juga memaksakan kehendak.


Sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain mempersiapkan diri secara mental.


"Oh, satu hal lagi... Inamori-kun sejak tadi kau terus berbicara dengan bahasa yang formal, tapi kita ini teman sekelas, jadi kau tidak perlu terlalu formal, lho? Sebenarnya, aku merasa ada jarak di antara kita dan itu membuatku kesepian." 


Mendengar dia mengatakan itu, aku baru sadar kalo sejak tadi aku memang terus menggunakan bahasa formal.


Mungkin karena aku terlalu terpengaruh oleh citra kalo Tojo-san adalah seseorang yang luar biasa, tanpa sadar aku terus menempatkan diriku di posisi lebih rendah.


Terus terang saja, aku merasa terintimidasi.


"....Tapi, Tōjō-san juga berbicara dengan bahasa formal, kan?"


“Itu memang gaya bicara asliku. Aku memang selalu berbicara seperti ini kepada siapa pun. Jadi, tidak masalah. Bahkan, ini sudah jadi bagian dari identitasku.”


Kalo sudah dijelaskan begitu, aku tidak punya alasan untuk membantah.


Kalo dipikir-pikir lagi, sebenarnya tidak ada alasan untuk tetap berbicara dengan bahasa formal───.


"Kalau begitu...aku akan berbicara biasa, ya?"


"Ya! Aku senang sekali kalo begitu!"


Sebagai teman sekelas, berbicara terlalu formal mungkin memang terasa terlalu kaku.


Selama ini aku berpikir kalo menjaga jarak dengan perempuan adalah hal yang wajar, tapi ternyata sedikit dipaksa untuk berubah seperti ini justru bisa jadi hal yang baik.


"Kalo begitu, ayo kita sikat gigi."


Tojo-san menggandeng tanganku dan membantuku berdiri, lalu membawaku menuju wastafel.


"Yang tersedia hanya sikat gigi cadangan, apa tidak apa-apa?"


Sambil berkata begitu, dia menunjukkan beberapa sikat gigi yang masih baru.


Untungnya, ada satu dari merek yang sama dengan yang biasa aku pakai di rumah, jadi aku memilih yang itu.


"Inamori-kun, kau lebih suka sikat yang bulunya lembut, ya. Kalo aku, justru lebih suka yang agak keras."


Entah kenapa, cara dia mengatakannya terdengar begitu menggoda, dan itu membuat jantungku berdebar kencang.


Ini tidak baik. Kalo aku terus bereaksi seperti ini setiap kali, jantungku benar-benar tidak akan kuat.



Kami berdua menyikat gigi di depan cermin, lalu berkumur dan kembali ke ruang tamu.


"Ah, seharusnya aku menunjukkan kamar tidur terlebih dahulu. Silakan ke sini."


Tojo-san membuka pintu yang terletak di sebelah ruang tamu.


Ruangan itu adalah kamar tidur dengan tempat tidur berukuran double. Di sepanjang dinding juga terlihat rak buku besar, tapi buku-buku yang tersusun di sana semuanya tertulis dalam bahasa asing, sehingga aku tidak tahu isinya.


"Aku ingin mengatakan kalo aku sengaja menyiapkan tempat tidur double ini supaya aku bisa tidur dengan mu, tapi aku selalu memerhatikan kualitas tempat tidur. Aku minta dibuatkan secara khusus, agar meski tidur dalam waktu singkat sekalipun, tubuh ku tetap bisa pulih sepenuhnya. Jadi, kualitas dan luasnya adalah sesuai preferensi pribadiku."


"Eh, tapi kalo kau mementingkan ruang tidurmu, bukankah aku seharusnya tidak tidur bersamamu?"


"Kau tidak perlu khawatir. Memang awalnya aku berpikir semakin luas semakin baik, tapi begitu mulai menggunakannya, ternyata aku justru merasa kesepian. Bisa dibilang, tempat tidur ini baru terasa lengkap kalk kau berbaring di sebelahku."


Menyebutnya 'lengkap' mungkin agak berlebihan.


Tapi, sepertinya dia mengatakan itu bukan sekadar basa-basi, dan kalo keberadaanku di sebelahnya bukanlah sesuatu yang merepotkan.


"...Tapi tetap saja, menurutku kita tidak seharusnya tidur bersama."


"Eh...?"


Perkataanku yang menolak di akhir tadi sepertinya menjadi kejutan yang tidak dia duga.


Raut tenangnya yang selama ini dia tampilkan langsung menghilang dari wajahnya.


"Jadi...apa sampai sebegitunya kau tidak ingin tidur di sebelahku...?"


"Bu-bukan itu maksudku..."


"Uuh..."


“Tojo-san?"


"Ti-tidak apa-apa. Maaf...aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman..."


Sambil menutupi wajahnya, Tojo-san mulai terisak pelan.


Sepertinya dia benar-benar terluka oleh ucapanku.


Rasanya dadaku terasa sesak karena rasa bersalah.


Kalo dipikir-pikir lagi, toh tawaran itu datang dari pihak Tojo-san. Selama aku tidak melakukan hal yang tidak pantas, bukankah sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan?


Lagipula aku juga bukan yang memaksa untuk ikut masuk ke dalam selimutnya. Bahkan, terus-menerus menolak mungkin bisa dianggap tidak sopan.


Aku sendiri mulai bingung dengan apa yang kuucapkan barusan, tapi satu hal yang pasti, aku tidak ingin terus membuat Tojo-san bersedih seperti ini.


"Ba-baiklah! Bukan berarti aku tidak mau tidur bersamamu, Tojo-san! Jadi...kalo harus berbagi tempat tidur, aku tidak keberatan───"


“Syukurlah...terima kasih. Kalo begitu, ayo kita tidur bersama."


...Eh?


Wajah Tojo-san tiba-tiba kembali cerah, dia lalu langsung menggenggam tanganku dan menarikku menuju tempat tidur.


...Apa aku barusan dijebak?


"Barusan kau bilang kalo kau tidak masalah tidur di ranjang yang sama denganku, kan?"


"Ah...iya."


Aku hanya bisa mengangguk.


Tanpa bisa menolak, aku diajak masuk ke kamar tidur dan mendekati tempat tidur.


Ada 2 bantal di sana.


Melihat salah satu bantal yang bagian tengahnya agak cekung, bisa ditebak itu adalah bantal yang biasa digunakan oleh Tojo-san.


Artinya, bantal satunya lagi mungkin baru disiapkan untukku.


Sambil berusaha mengendalikan detak jantungku yang semakin cepat, aku pun berbaring di ranjang yang sama dengan Tojo-san.


Yang langsung terasa adalah jaraknya yang sangat dekat.


"Fufu, aku bisa merasakan kehangatan tubuhmu, Inamori-kun."


"A-aku...terlalu tegang sampai rasanya sulit untuk tidur..."


"Hmm...aku senang kau bisa sampai sepeduli itu, tapi akan jadi masalah kalo kelelahanmu terbawa sampai besok."


Tepat saat aku hendak kembali mengusulkan untuk tidur di sofa, tiba-tiba Tojo-san meraih bagian belakang kepalaku dan menarikku dengan kekuatan yang tidak kusangka-sangka ke arah dadanya.


Kepalaku tenggelam di antara dua gumpalan lembut dan besar itu, dan otakku kembali membeku───entah sudah untuk yang keberapa kalinya hari ini.


"...Sebenarnya, aku juga deg-degan, lho."


"Eh...?"


Aku bisa mendengar detak jantung Tojo-san yang berdetak cepat dari tubuhnya.


Jelas sekali, iramanya jauh lebih kencang dari biasanya───menandakan kalo dia pun sangat gugup saat ini.


"Orang yang ku cintai sedang berbaring sangat dekat denganku seperti ini...bukankah wajar saja kalo jantungku berdebar?"


Dia membisikkan kata-kata itu tepat di dekat telingaku, membuat sensasi dingin dan menggoda menjalar di sepanjang punggungku.


Tapi, entah kenapa detak jantungku perlahan mulai tenang.


Aku pernah mendengar kalo suara detak jantung seseorang bisa memberikan efek menenangkan untuk orang lain, dan sekarang, setelah mengalaminya sendiri, aku tidak bisa tidak mempercayainya.


"Maaf ya...aku sudah beberapa kali bersikap agak memaksa. Tapi...aku benar-benar ingin kau tahu perasaanku. Dan juga───"


"Dan juga?"


"Aku tahu ini mungkin terdengar agak sombong, tapi...aku ingin mengatakan 'kau sudah berjuang dengan baik' kepada Inamori-kun, yang selama ini terus berusaha keras..."


Jari-jari Tojo-san dengan lembut mengelus kepalaku.


Seolah menyentuh benda kristal yang sangat rapuh, gerakan tangannya terasa amat lembut dan penuh kehati-hatian.


Terlalu lembut...hingga tanpa kusadari, air mata mulai mengalir dari mataku.


Aku tidak pernah bekerja keras hanya untuk mendapatkan pujian dari siapa pun.


Aku melakukan semua ini karena aku pernah berkata tegas kepada keluargaku, dan karena aku butuh bertahan hidup.


Selain kematian orang tuaku, semua yang terjadi pada dasarnya adalah akibat dari keputusanku sendiri.


Tanpa sadar, aku bahkan telah melupakan bagaimana caranya mengeluh, dan mungkin juga telah mengikat diriku sendiri dengan keyakinan bahwa aku tidak boleh bergantung pada siapa pun───baik itu keluarga maupun orang-orang di sekitarku.


Karena itu...hanya dengan satu kalimat 'kau sudah berjuang dengan baik', semua emosi yang selama ini kupendam pecah begitu saja, meluluhkan pertahananku.


"Untukku... Inamori-kun itu sudah luar biasa hanya dengan tetap bertahan hidup sampai sekarang. Mungkin ini bukan cara yang tepat untuk menyampaikan perasaan itu, ya?"


"...Tidak."


Rasa malu yang tadinya kurasakan, entah ke mana perginya.


Aku memeluk tubuh Tojo-san erat-erat, dan menyandarkan wajahku ke dadanya seperti sedang mencari perlindungan.


Aroma manis yang lembut memenuhi indera penciumanku, sementara suara detak jantungnya yang konsisten perlahan membuat rasa kantuk mulai menyergap.


"Aku...benar-benar senang mendengarnya."


"....Kalo begitu, aku juga senang."


Mungkin karena tubuhku memang sudah sangat lelah, gelombang kantuk yang tidak bisa kutahan akhirnya datang menghampiri.


Tak lama setelah itu, aku pun terlelap dalam tidur.


★★★


(Imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut, imut...)


Inamori-kun tertidur dengan ekspresi wajah yang begitu damai.


Melihat dia tertidur dalam pelukanku seperti ini, sungguh membuat hatiku dipenuhi kebahagiaan.


Taoi, dengan jarak sedekat ini, sejujurnya aku sendiri sulit untuk tidur seperti biasa.


(Rambutnya sedikit berdiri di beberapa tempat...imur sekali. Untuk ukuran laki-laki, bulu matanya panjang, dan itu juga megemaskan. Wajah tidurnya seperti anak kecil, sangat menggemaskan───tapi tubuhnya jauh lebih tegap dari yang terlihat, dan itu sangat mempesona. Tangannya pun agak kasar, kokoh, dan terasa sangat...maskulin. Sangat memesona...!)


Ah...sepertinya aku bisa mimisan bisa kapan saja.


Sungguh, aku tidak bisa menemukan satu pun hal yang tidak kusukai darinya.


Sebaliknya, aku merasa bisa menyebutkan 100, bahkan 1000 hal yang kusukai darinya.


Karena aku belum pernah jatuh cinta sebesar ini pada orang yang tidak kukenal sebelumnya, jadi jujur ​​saja, aku tidak tahu harus berbuat apa. 


Apa yang harus aku lakukan? Kalo sekarang aku mencium pipinya, mungkinkah dia tidak akan menyadarinya...?


──Saat pikiran-pikiran nakal itu mulai memenuhi kepalaku,


"Mm..."


"!"


Tiba-tiba, Inamori-kun mempererat pelukannya padaku.


Tubuh kami menjadi lebih rapat, dan kehangatan tubuhnya semakin terasa.


(Ayah, Ibu...maafkan aku. Mungkin aku benar-benar akan meninggal karena bahagia malam ini.)


Ini benar-benar...kebahagiaan yang tiada tara.


Dan mengingat kalo semua ini masih dalam masa percobaan, sungguh terasa luar biasa.


Kalo suatu hari nanti kami benar-benar menjadi pasangan suami istri secara resmi, aku rasa tidak ada yang aneh kalo aku sampai kehilangan akal karena terlalu bahagia.


"Uuh...hmm..."

 

Saat aku mempererat pelukan sedikit lebih kuat, Inamori-kun mengeluarkan suara kecil yang terdengar agak kesakitan.


Ini tidak baik.


Saat ini pun kami sudah cukup dekat, jadi sebaiknya aku menahan diri agar tidak berlebihan.


(Kalo dia ada di sisiku...aku bisa terbang lebih tinggi.)


Saat hatiku sempat hancur dulu, semangat Inamori-kun yang terus berjuang-lah yang memberiku kekuatan untuk bangkit kembali.


Saat itu, aku yakin satu hal.


Kalk Inamori Haruyuki adalah sosok yang sangat berarti bagiku.


"...Selamat malam, Inamori-kun."


Karena dia menundukkan wajahnya di dadaku, aku membiarkan wajahku bersandar di rambutnya.


Aroma sampo yang sama dengan milikku menggelitik hidungku, dan hal sesederhana itu sudah cukup membuatku sangat bahagia.


Aku benar-benar ingin membuat kebahagiaan ini abadi────Itulah yang kupikirkan.



Sebelumnya     Daftar isi     Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال