> ■ PROLOG

■ PROLOG

Kamu saat ini sedang membaca   Kyō mo iki tete erai! ~ Amaama kanpeki bishōjo to sugosu 3 LDK dōsei seikatsu ~  volume 1,  prolog. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw 

GADIS BERAMBUT PERAK DAN AKU YANG BARU DIPECAT



Uang, uang, uang────


Setiap orang di dunia ini tahu kalo hidup itu membutuhkan uang, dan aku pun sangat memahami hal itu.


Itulah sebabnya, bahkan di malam hari setelah pulang sekolah, aku tetap bekerja.


Demi bisa bertahan hidup.


Sewa, utilitas, makanan, biaya sekolah, serta berbagai kebutuhan lain yang diperlukan di sekolah.


Sejak kehilangan kedua orang tuaku dalam sebuah kecelakaan, aku harus menanggung semua itu seorang diri.


Andai aku menerima tawaran tinggal di rumah kerabat yang bersedia menampungku, mungkin aku tidak perlu bersusah payah seperti ini.


Tapi, aku tidak bisa mempercayai mereka yang datang dengan senyum manis, hanya karena mengincar harta peninggalan orang tuaku.


Alih-alih menunjukkan kesedihan atas kepergian orang tuaku, mereka justru terlihat bersuka cita di balik ekspresi duka mereka.


Aku tidak ingin tinggal bersama orang seperti itu, bahkan sekalipun mereka membayarku untuk melakukannya.


Karena itulah, aku menyebarkan seluruh uang warisan itu kepada mereka.


Dengan satu syarat—kalo mereka tidak akan pernah menggangguku lagi────


"Hei, Nak, kau boleh istirahat sekarang."


"Baik!"


Pekerjaan yang kulakukan sekarang adalah di sebuah proyek konstruksi jalan.


Karena pekerjaan tersebut dilakukan di dekat kawasan perbelanjaan yang ramai di depan stasiun, lalu lintas kendaraan cukup padat, dan saya bertugas mengatur lalu lintas untuk menghindari kecelakaan. 


Tentu saja, sebagai seorang di bawah umur, seharusnya aku tidak boleh bekerja di malam hari.


Tapi, pekerjaan ini adalah pekerjaan harian yang tidak membutuhkan resume dan sedang butuh orang cepat, karena pekerja sebelumnya kabur tanpa kabar.


Jadi, meski aku merasa bersalah, aku memalsukan umur saat melamar. Untungnya, penampilanku yang masih muda justru membuat mereka tertarik, dan begitulah aku bisa mulai bekerja di sini.

 

"Wah, punya anak muda di sini sungguh sangat membantu. Kau sekarang mahasiswa, kan?"


"Y-ya."


"Baguslah. Aku sendiri, punggungku rasanya sudah tak kuat lagi. Ah, ini, biar ku traktir kopi."


"Ah...terima kasih banyak."


Yanagi-san, salah satu pekerja di lokasi proyek ini, menyerahkan sekaleng kopi rendah gula padaku.


Udara mulai terasa panas seiring datangnya musim panas, dan tubuhku yang gerah karena pakaian kerja tebal terasa sedikit lega saat disiram oleh dinginnya kopi kaleng itu.


"Kita mulai lagi sekitar 10 menit lagi, jadi tolong lanjutkan nanti."


"Baik..."


Dengan senyum hangat yang bisa diandalkan, Yanagi-san kembali ke tempat berkumpul bersama rekan-rekan kerjanya.


Saat aku menyadari kalo aku telah membohongi orang sebaik itu, dadaku terasa sesak seolah dicekik oleh rasa bersalah.


".....Maafkan aku."


Meskipun begitu, aku tidak boleh kehilangan pekerjaan ini.


Pagi hari aku bekerja di minimarket, malamnya menjadi petugas pengatur lalu lintas.


Waktu tidur dan belajar pun kuatur sehemat mungkin.


Kalo dihitung, antara penghasilan dan waktu yang kuhabiskan, hidupku sekarang sudah sangat mepet.


Ke depannya, aku hanya bisa bersandar pada seberapa jauh aku sanggup mengorbankan waktu tidurku.


Memang, mungkin aku bisa sedikit lebih ringan kalo aku tidur di sekolah───tapi aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu belajar yang berharga hanya untuk itu.


"Ugh, berbahaya..."


Hanya karena aku sedikit melamun, kesadaranku hampir terlepas dari tubuhku.


Sepertinya tubuhku sudah kelelahan hingga ke tingkat yang tidak bisa lagi diabaikan.

 

Sebelum tubuhku benar-benar terlena oleh istirahat dan enggan bergerak, aku bangkit dari tepian jalan tempatku duduk tadi.


────Dan tepat saat itulah, pandanganku tertuju pada sesuatu.


Aku melihat sosok-sosok yang sepertinya sedang terlibat dalam sebuah pertengkaran.


"He-hentikan!"


"Jangan bilang begitu dong... kau manis sekali, kenapa kau tidak menghabiskan malam bersamaku?"


Seorang gadis, sepertinya seumuran denganku—sekitar kelas 2 SMA—sedang diganggu oleh seorang pria paruh baya mabuk yang mengenakan dasi di kepalanya.


Raut wajah gadis itu jelas menunjukkan ketakutan, sedangkan pria mabuk itu sepertinya sudah kehilangan kendali dan tidak bisa diajak berbicara secara wajar.


Kalo terus dibiarkan, bukan tidak mungkin pria itu akan bertindak kasar terhadap si gadis.


Karena sudah melihat kejadian itu, aku bisa mengabaikannya begitu saja. Mumpung aku sedang istirahat, aku meninggalkan posku dan segera berlari ke arah mereka.


"U-umm, apa kau tidak apa-apa?"


"Eh...?"


Gadis itu mengangkat wajahnya, dan rambut peraknya yang jarang ditemui di Jepang bergoyang ringan.


Aku mengenal wajah dan rambut perak itu.


Sejak naik ke kelas 2, kami berada di kelas yang sama. Nama depannya sayangnya agak samar di ingatanku, tapi aku cukup yakin dia bernama Tojo-san.


Katanya, dia selalu menempati peringkat pertama di semua mata pelajaran pada setiap ujian semester tahun lalu, di sekolah kami yang terkenal sebagai sekolah unggulan. Bahkan dia pernah naik ke podium dalam kejuaraan tenis dan atletik.


Dia adalah putri dari presiden Tojo Group, sebuah perusahaan besar yang beroperasi di Jepang dan luar negeri. Rambut peraknya adalah hasil dari darah campuran asing dalam keluarganya.


Dan penampilannya—begitu mepesona hingga siapa pun yang melihat pasti akan menoleh 2 kali.


Gadis seperti itu sedang diganggu oleh pria mabuk tepat di depan mataku.


"Apa? Bocah, apa kau mau ikut campur, ya?!"


Pria mabuk itu tentu saja tidak akan tinggal diam ketika aku mencoba membantu.


Bau alkohol yang menyengat langsung menusuk hidungku hanya dari satu ucapannya.


Di jarinya, terlihat cincin yang berkilau memantulkan cahaya.


"U-umm... apa kau tidak apa-apa?"


"Hah?! Apa maksudmu?!"

 

"Kalo kau minum sampai larut malam begini, istri mu pasti sangat marah, kan?"


Wajah pria paruh baya itu tampak tercengang, lalu dia melirik ke arah jam tangannya.


Manusia memang makhluk yang aneh—begitu melihat waktu, wajahnya langsung pucat, seolah mabuknya mendadak menghilang.


"Gawat...aku harus pulang..."


Dia pun berjalan pergi dengan langkah sempoyongan, sementara aku dan Tojo-san hanya berdiri dan diam menatap punggungnya yang menjauh, lalu saling berpandangan.


Ini adalah pertama kalinya aku melihat wajahnya dari jarak sedekat ini, dan aku sedikit tertegun karenanya.


Aku hampir ingin mengucap syukur kepada Tuhan tanpa alasan, hanya karena tidak menyangka kalo seseorang bisa memiliki wajah seindah itu.


"Ah...terima kasih banyak, telah menolongku tadi."


"Aku hanya kebetulan melihatmu sedang diganggu, jadi aku tidak bisa tidak menolongmu. Umm...kau tidak terluka, atau apa kan?”


"Tidak, berkatmu aku baik-baik saja. Terima kasih banyak, eh... Inamori Haruyuki-san."


"....Kau bahkan tahu nama lengkapku?"


Biasanya aku langsung pulang begitu jam sekolah usai, jadi aku hampir tidak pernah berbicara dengan siapa pun selain beberapa teman dekatku.


Karena itu, aku pikir tidak ada yang benar-benar ingat namaku, apalagi Tojo-san, yang selalu dikelilingi banyak teman setiap harinya—bahkan mungkin wajahku pun tidak dia kenali.


"Aku sudah menghafal semua nama teman sekelas di hari pertama masuk sekolah tahu? Itu supaya aku bisa lebih akrab dengan semua orang."


"Be-begitu ya..."


"Di sisi lain, apa kau tidak ingat namaku, Inamori-san?"


"Yah, karena kau cukup terkenal, setidaknya aku tahu kau adalah Tojo-san... Tapi maaf, aku kurang yakin dengan nama depanmu. Umm... Fuyuka-san? Benar?"


Saat aku menanyakan hal itu padanya, Tojo-san tampak kecewa dan menundukkan kepalanya. 


Tapi tak lama kemudian, dia kembali menatapku dan menggenggam tanganku erat sambil menatap mataku.


"Namaku adalah Tojo Fuyuki. Ditulis dengan karakter musim, 'Fuyuki' berarti 'musim dingin'. Meskipun terdengar kurang feminin, aku pikir itu cukup mudah diingat...bagaimana menurutmu?"


"Ah, tidak...menurutku itu nama yang manis, kok."


"....Ternyata kau cukup pandai merayu juga ya, Inamori-kun."


Tojo-san tersenyum malu karena dipuji, lalu dia berdeham kecil seolah ingin mengalihkan suasana, dan kembali menatapku dengan serius.


"Karena kita sekarang sekelas di tahun kedua, aku akan senang kalo kita bisa lebih akrab mulai sekarang."


"Te-tentu saja───ah."


"Ada apa?"


Keringat dingin tiba-tiba mengalir dari tubuhku.


Aku bisa merasakan ada yang memperhatikan, dan saat perlahan aku menoleh ke belakang, aku melihat Yanagi-san berdiri di sana—kemungkinan dia datang untuk mengecek keadaanku.


"Kelas 2-A, teman sekelas, katamu... Jadi kau ini anak SMA? Berarti kau belum cukup umur, kan?"


"Ah, itu..."


"....Sudahlah, tidak perlu dijelaskan."


"....Maafkan aku."


Baru saja terjadi.


Demi senyum seorang gadis tercantik di sekolah, aku harus membayar dengan kehilangan pekerjaanku.


Sebelumnya     Daftar isi      Selanjutnya

1 Komentar

نموذج الاتصال